Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 08
SIAPAKAH
wanita cantik dan anak laki-laki yang tampan dan lihai itu? Pernah diceritakan
di bagian depan cerita ini bahwa sepuluh tahun yang lalu, ketika diadakan pesta
pernikahan di Istana Lembah Naga, pernikahan antara Liong Si Kwi dengan Kui Hok
Boan, muncul wanita cantik ini di dalam pesta di mana secara mengerikan dia
sudah membunuh enam orang di antara para tamu yang mempunyai she Tio, Yap, dan
Cia.
Wanita ini
adalah yang menjadi utusan Sabutai itu, seorang wanita cantik yang mengaku
bernama Kim Hong Liu-nio, yang memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan.
Sekarang dia masih tampak cantik sekali, biar pun usianya sudah kurang lebih
tiga puluh lima tahun sekarang, masih cantik dan agung, bagaikan seorang puteri
raja saja, sikapnya angkuh, dingin, akan tetapi tahi lalat kecil di dagunya itu
membuat dia nampak manis sekali.
Siapakah
sebenarnya Kim Hong Liu-nio ini? Melihat wajahnya dan suaranya ketika bicara
tadi, jelas bahwa dia adalah seorang wanita bersuku Han. Akan tetapi kenapa dia
menjadi utusan raja liar Sabutai?
Kim Hong
Liu-nio adalah seorang dayang atau pelayan wanita yang amat disayang oleh
Permaisuri Khamila, yaitu isteri Raja Sabutai. Dia adalah seorang wanita Han
yang ketika kecilnya menjadi tawanan perang, yaitu pada waktu pasukan Raja Sabutai
menyerbu ke selatan.
Karena Raja
Sabutai tertarik melihat kecantikan anak yang ketika itu baru berusia belasan
tahun, maka dia tidak dibunuh, tidak pula dijadikan korban perkosaan oleh para
prajurit dan perwira seperti yang menjadi nasib para wanita tawanan perang.
Bahkan dia ditarik ke dalam istana dan dijadikan dayang. Karena ternyata dia
cerdik, setia, serta cekatan, akhirnya sang permaisuri merasa suka kepadanya,
maka diangkatlah dia menjadi dayang yang melayani sang permaisuri yang amat
tercinta itu.
Di dalam
cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Raja Sabutai mempunyai dua orang guru
yang memiliki kepandaian luar biasa, merupakan orang-orang sakti yang sukar
dicari bandingannya pada saat itu. Mereka berdua itu adalah Pek-hiat Mo-ko dan
Hek-hiat Mo-li, dua orang kakek dan nenek iblis yang tadinya berasal dari
Negara Sailan.
Dalam
pertempuran mereka menghadapi para pendekar sakti, Pek-hiat Mo-ko tewas dan
Hek-hiat Mo-li terluka parah. Dengan mengandalkan kekuasaannya, Raja Sabutai
berhasil menyelamatkan subo-nya itu dari kematian dan membawa subo-nya untuk
dirawat, pergi meninggalkan Istana Lembah Naga di mana tadinya kakek dan nenek
iblis itu tinggal.
Karena
Hek-hiat Mo-li sudah tua, pikun, mempunyai watak aneh, suka marah dan mudah
membunuh orang begitu saja, maka sulitlah untuk merawat dan melayaninya. Akan
tetapi, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sekali itu dapat merawatnya dengan baik
sehingga sangat menyenangkan hati nenek itu dan akhirnya dayang inilah yang
ditugaskan untuk merawat Hek-hiat Mo-li.
Kim Hong
Liu-nio memang cerdik bukan main. Semenjak dia menjadi tawanan kemudian menjadi
dayang, dia selalu mencari jalan untuk dapat meningkatkan kedudukannya dan
akhirnya dia berhasil menjadi dayang kesayangan permaisuri, dan hal ini tentu
saja sudah merupakan kemajuan besar karena kedudukannya menjadi jauh lebih
tinggi dibandingkan dayang-dayang istana yang biasa. Namun dia belum juga puas.
Dia tahu bahwa
nenek seperti iblis itu adalah guru dari sri baginda sendiri, maka tentu saja
merupakan seorang yang amat terhormat dan disegani semua orang. Dan dia sendiri
selama ini telah rajin berlatih silat dari para pelatih silat yang biasa
melatih para pengawal di istana. Dia sendiri suka akan ilmu silat, maka melihat
nenek itu terluka dan dirawat di istana, melihat betapa jarang ada yang berani
dan sanggup melayaninya, dia kemudian ‘memperlihatkan’ kesetiaannya, menawarkan
diri untuk merawatnya! Dan dia berhasil!
Kim Hong
Liu-nio melihat kesempatan baik sekali baginya. Bukan saja kesempatan untuk
membikin senang hati nenek itu beserta sri baginda, akan tetapi juga kesempatan
untuk mempelajari ilmu kesaktian karena dia tahu bahwa Hek-hiat Mo-li adalah
seorang nenek luar biasa yang mempunyai ilmu kepandaian seperti dewa!
Memang harus
diakui bahwa wanita muda itu memang cerdik bukan main. Bukan hanya ilmu silat
yang menariknya mendekati Hek-hiat Mo-li, meski pun memang dia ingin sekali
menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi lebih dari itu, apa bila dia
bisa menjadi murid nenek itu, berarti dia menjadi adik seperguruan Sri Baginda
Sabutai sendiri dan hal ini tentu saja akan mengangkat derajatnya tinggi
sekali, dari seorang dayang menjadi adik seperguruan raja!
Dan dia
memang berhasil menyenangkan hati nenek itu. Hek-hiat Mo-li adalah seorang
nenek yang sudah pikun, maka melihat ada dayang yang merawatnya penuh
ketekunan, melayaninya dan merawatnya ketika dia masih menderita sakit sehingga
dia berak dan kencing di atas pembaringan, dibersihkan dan dicuci, dimandikan
oleh dayang ini, hatinya tertarik sekali dan dia menjadi suka kepada dayang
itu.
Mulailah
nenek pikun ini mengajaknya bercakap-cakap, bahkan lalu menceritakan tentang
sakit hatinya terhadap para musuhnya. Menyatakan betapa dia sudah terlalu tua
sehingga sakit hatinya itu tentu akan dibawanya sampai mati tanpa terbalas,
karena muridnya yang hanya seorang, yaitu Sabutai, adalah seorang raja yang
tidak mungkin mengurus urusan pribadi. Mendengar ini, secara cerdik sekali Kim
Hong Liu-nio lalu menawarkan diri untuk mewakili nenek itu membalas
musuh-musuhnya!
"Kau...?
Hi-hi-hi-hi! Tiga orang musuh besarku itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Orang semacam engkau mana mampu mewakili aku untuk membunuh
mereka?" Nenek itu mentertawakan.
Kim Hong
Liu-nio segera menjatuhkan diri berlutut. "Kalau locianpwe mau mendidik
saya dan suka menurunkan semua kepandaian locianpwe kepada saya, apa sulitnya
bagi saya untuk membunuh mereka sehingga kelak locianpwe boleh naik ke alam
baka dengan hati tenang?"
Hek-hiat
Mo-li terbelalak, berpikir dan akhirnya dia mengangguk-angguk. "Hendak
kulihat dulu bakatmu!" Dia lalu mencoba dan menyuruh wanita itu mainkan
ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Hatinya girang sekali pada waktu
mendapatkan kenyataan bahwa Kim Hong Liu-nio ternyata memiliki bakat yang amat
baik!
"Baik!
Kau berlututlah dan bersumpahlah! Aku menerimamu menjadi muridku!"
akhirnya dia berkata.
Kim Hong
Liu-nio ketika itu berusia dua puluh tahun lebih dan cepat dia menjatuhkan diri
berlutut di hadapan pembaringan nenek itu. Hek-hiat Mo-li terkekeh, lalu
mengelus kepala muridnya dan tiba-tiba bertanya, "Engkau masih
perawan?"
Pertanyaan
ini tentu saja amat mengejutkan dan mengherankan hati gadis itu, dan juga
membuat pipinya menjadi merah sekali karena malu. Akan tetapi dia mengangguk.
"Bagus!
Aku telah menciptakan beberapa macam ilmu yang hanya dapat dipelajari secara
sempurna oleh perawan-perawan dan jejaka-jejaka. Sekarang terlebih dulu engkau
harus bersumpah bahwa kelak engkau akan membunuh semua orang she Yap, Tio,
serta Cia yang kau temukan, dan kau tidak akan berhenti melakukan pembunuhan
terhadap semua keturunan tiga she itu sebelum engkau berhasil membunuh ketiga
orang musuh besarku, yaitu Yap In Hong beserta kakaknya Yap Kun Liong, Cia Bun
Houw, dan Tio Sun. Hayo bersumpahlah...!"
Sambil
berlutut, Kim Hong Liu-nio kemudian bersumpah menurutkan kata-kata nenek itu.
Selesai bersumpah, tiba-tiba gadis itu merasa dagunya sakit sekali ketika
tangan nenek itu menyambar, kepalanya pening dan dia roboh pingsan! Ketika dia
siuman kembali, dia merasakan dagunya masih amat sakit. Dia merabanya dan
ternyata dagunya terluka.
"Biarkan
saja, sudah kuobati. Nanti di sana akan tumbuh sebuah tahi lalat kecil, dan
tahi lalat itu adalah tanda bahwa engkau masih perawan. Sekarang bersumpahlah
lagi bahwa sebelum kau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku itu, maka
engkau tidak boleh menikah! Dan awas, sekali saja engkau melanggar pantangan
itu dan keperawananmu lenyap, tentu tahi lalat di dagumu itu pun akan lenyap
dan aku akan membunuhmu!"
Bukan main
kagetnya hati gadis itu. Akan tetapi dia tahu bahwa nenek ini memang amat sakti
dan luar biasa keji. Dengan suara tenang dia kemudian mengucapkan sumpahnya
lagi bahwa dia tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang musuh
besar dari gurunya.
Hek-hiat
Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati senang. "Hi-hik-hik, sekarang engkau
menjadi muridku, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan dapat melepaskan
diri dari sumpahmu. Hayo lekas panggil suheng-mu ke sini."
"Su...
suheng...?"
"Raja
Sabutai itu! Siapa lagi dia kalau bukan suheng-mu?" bentak nenek itu.
"Hayo lekas minta supaya dia datang ke sini, sekarang juga."
Bukan main
girang dan bangganya rasa hati gadis itu. Raja Sabutai adalah suheng-nya! Dia
mengangguk lalu berlari ke luar, terus memasuki istana Raja Sabutai. Akan
tetapi tentu saja dia tidak berani selancang itu dan setelah tiba di depan sri
baginda tetap saja dia bersikap hormat seperti biasanya.
"Ehh,
Kim Hong, kenapa engkau pergi meninggalkan subo dan datang menghadap tanpa
diundang?" sri baginda berkata dengan halus.
"Harap
paduka sudi memaafkan hamba. Hamba diutus oleh... oleh lo-thai-thai (nyonya
tua) untuk minta paduka suka datang kepada beliau sekarang juga..." Tentu
saja dia tidak berani lancang menyebut ‘subo’ kepada nenek itu.
Raja Sabutai
mengenal watak gurunya yang aneh, maka dia pun bergegas pergi bersama Kim Hong
Liu-nio memasuki kamar subo-nya. Begitu dia masuk, Hek-hiat Mo-li langsung
berkata, "Ehh, sri baginda, sekarang engkau mempunyai seorang sumoi."
"Sumoi...?"
"Heh-heh,
dia itulah sumoi-mu!"
"Kim
Hong...?" Sabutai terbelalak.
Kim Hong
Liu-nio merasa jantungnya berdebar tegang. Dia takut kalau-kalau raja marah dan
merasa terhina, sebab itu dia cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan tanpa
berani mengangkat muka dia lalu berkata, "Mohon paduka sudi memberi ampun
kepada hamba. Hamba mendengar penuturan... lo-thai-thai..."
"Ihh,
kau menyebut nyonya tua kepadaku? Murid macam apa kau ini?" Tiba-tiba
nenek itu membentak.
Kim Hong
Liu-nio terkejut, kemudian melanjutkan kata-katanya, "...subo bercerita
tentang musuh-musuh beliau dan hamba merasa kasihan, maka hamba menawarkan diri
untuk mewakili subo membalas sakit hati itu... lalu subo mengangkat hamba
menjadi murid..."
Raja Sabutai
menoleh kepada nenek itu. "Subo, apakah dia pantas menjadi murid subo?
Apakah kelak dia tidak akan mengecewakan dan memalukan kita?"
"Huuh-huh-he-heh!
Sri baginda lihat saja, beberapa tahun lagi kepandaiannya sudah akan melampaui
tingkat kepandaianmu sendiri, hi-hik-hik! Dan pula dia sudah bersumpah akan
membunuh empat orang she Yap, Cia dan Tio itu. Sri baginda saya panggil ke sini
untuk menjadi saksi. Lihatlah tahi lalat di dagunya itu, sekarang merupakan
luka, beberapa hari lagi akan tumbuh tahi lalat di situ sebagai tanda
keperawanannya. Dia bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh
musuh-musuh kita dan kalau aku sudah mati, harap sri baginda mengawasinya. Apa
bila musuh-musuh belum mati namun tahi lalat itu lenyap, berarti dia melanggar
sumpah dan harus dibunuh!"
Raja Sabutai
mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, subo, aku akan mengamatinya."
Diam-diam
Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Ketika dia tadi bersumpah, memang timbul
perasaan mengejek di dalam hatinya. Nenek itu sudah tua, mana bisa mengawasi
dia terus? Dan tentang tahi lalat tanda keperawanan itu tentu tidak akan ada
orang lain yang tahu. Siapa sangka, nenek iblis itu kini membuka rahasia ini
kepada Raja Sabutai, bahkan sudah memesan kepada raja itu untuk mewakilinya
menghukum kalau dia berani melanggar sumpahnya.
Demikianlah,
mulai hari itu Kim Hong Liu-nio menjadi murid Hek-hiat Mo-li dan ternyata dia
memang berbakat baik sekali. Dia masih bersikap hormat kepada raja, dan hanya
di depan gurunya saja dia berani menyebut suheng kepada raja. Di tempat biasa,
dia masih bersikap sebagai seorang dayang terkasih.
Akan tetapi,
semua orang dari pelayan terendah sampai panglima tertinggi tahu belaka, bahwa
dayang ini adalah murid dari Hek-hiat Mo-li, adik seperguruan raja dan
mempunyai ilmu kepandaian yang sangat hebat, maka tentu saja semua orang
menghormatinya dan tidak ada yang memperlakukannya sebagai seorang dayang.
Apa lagi
sesudah putera dari Raja Sabutai mulai dilatih ilmu silat, maka pengaruh Kim
Hong Liu-nio lebih besar lagi. Dialah yang diserahi tugas untuk mendidik anak
laki-laki itu! Anak laki-laki itu bukan lain adalah Ceng Han Houw, putera
tunggal dari Raja Sabutai. Nama Ceng Han Houw adalah nama pemberian dari
Khamila, ibu kandung anak itu, ada pun nama pemberian ayahnya adalah Pangeran
Oguthai!
Mengapa
Permaisuri Khamila memberi nama Ceng Han Houw kepada puteranya? Hal ini ada
rahasianya yang hanya diketahui oleh Permaisuri Khamila beserta suaminya
sendiri, yaitu Raja Sabutai. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan
peristiwa itu yang terjadi belasan tahun yang lalu.
Ketika itu,
Raja Sabutai dan isterinya yang tercinta, yang masih sangat muda dan cantik
jelita, belum memiliki keturunan. Waktu itu, Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan
Beng, yang baru berusia dua puluh tiga tahun, dijebak oleh kecurangan dan
pengkhianatan seorang pembesar.
Pada waktu
melakukan perjalanan ke utara, kaisar muda ini telah menjadi tawanan raja liar,
yaiti Raja Sabutai dan ditahan di daerah liar di utara. Kaisar Ceng Tung yang
muda itu memperlihatkan sikap gagah perkasa, dan hal ini sangat menarik dan
mengagumkan hati Raja Sabutai. Kaisar Ceng Tung tidak dibunuh oleh Sabutai
karena memang hendak dijadikan sandera kalau dia menyerbu ke selatan.
Ketika itu,
Raja Sabutai merasa berduka dan kecewa karena dari permaisurinya yang amat
cantik dan tercinta itu, dia belum juga memperoleh keturunan. Karena sejak
dahulu sebelum menikah dengan isteri tercinta ini pun belum pernah ada selirnya
yang berhasil memperoleh keturunan, maka dia pun dapat menduga bahwa dirinyalah
yang tidak dapat memberikan keturunan kepada permaisurinya yang tercinta itu.
Padahal dia ingin sekali mempunyai anak dari permaisurinya terkasih ini.
Pada saat
dia kelihat kegagahan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanannya, timbullah
rencananya yang amat luar biasa. Dia hendak menggunakan kaisar yang dikaguminya
itu agar dapat meninggalkan keturunan di dalam rahim permaisurinya, keturunan
yang kelak akan menjadi anaknya secara resmi! Dia tidak akan merasa malu mempunyai
anak yang sebetulnya memiliki darah kaisar yang besar dan gagah perkasa itu.
Bahkan kedudukan kaisar itu masih jauh lebih tinggi dari pada kedudukannya
sebagai raja liar.
Demikianlah,
dengan sepengetahuannya, bahkan atas perintahnya, Permaisuri Khamila yang muda
dan cantik jelita itu mendekati tawanan terhormat itu. Kemudian terjadilah hal
yang tidak mengherankan mengingat bahwa keduanya masih sama muda dan keduanya
merupakan pria dan wanita yang tampan dan cantik. Kedua orang muda itu saling
jatuh cinta!
Kemudian,
tepat seperti yang diharapkan oleh Raja Sabutai, permaisurinya mengandung,
bahkan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan.
Sementara itu, Kaisar Ceng Tung telah berhasil lolos dari tawanan dan kembali
ke Tiong-goan untuk menjadi kaisar lagi.
Demikianlah
cerita ringkas dari peristiwa itu yang dituturkan dengan jelas di dalam cerita
Dewi Maut. Rahasia tentang diri anak yang kini bernama Pangeran Oguthai alias
Ceng Han Houw itu hanya diketahui oleh ayah dan ibunya sendiri. Raja Sabutai
memberi nama Oguthai kepada puteranya, diambil dari nama seorang pangeran gagah
perkasa bangsa Mongol, putera ke tiga dari raja besar Jenghis Khan yang
termashur itu.
Akan tetapi
atas permintaan Permaisuri Khamila, anak itu diberi nama Ceng Han Houw. She
Ceng diambilnya dari nama Kaisar Ceng Tung yang sebetulnya adalah ayah kandung
dari anak itu, dan nama Han Houw adalah nama pemberian Kaisar Ceng Tung sendiri
yang diam-diam disampaikan kepada bekas kekasihnya itu. Hal itu membuktikan
bahwa sampai saat itu pun sang permaisuri itu masih belum dapat melupakan
kekasihnya, ayah kandung dari anaknya.
Meski pun
dia seorang raja, namun Sabutai adalah seorang yang suka akan kegagahan, maka
tentu saja dia ingin melihat putera tunggalnya itu menjadi seorang gagah
perkasa dan berilmu tinggi. Oleh karena itu, semenjak masih kecil, Oguthai atau
Ceng Han Houw itu oleh Raja Sabutai diserahkan kepada subo-nya supaya
digembleng kepandaian silat, maka dengan sendirinya anak itu dekat sekali
dengan suci-nya, Kim Hong Liu-nio yang kadang-kadang mewakili gurunya untuk
melatih sang pangeran ini.
Demikianlah
keadaan anak laki-laki berusia empat belas tahun yang tampan dan lihai itu,
yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, dan Kim Hong Liu-nio yang kini sudah
menjadi seorang wanita yang luar biasa lihainya, dan tepat seperti apa yang
pernah dijanjikan oleh Hek-hiat Mo-li kepada Sabutai, kepandaian Kim Hong
Liu-nio kini sedemikian hebatnya sehingga sudah melampaui tingkat kepandaian
Raja Sabutai sendiri!
Banyak
ilmu-ilmu baru ciptaan nenek yang sudah tua renta itu berhasil dikuasai oleh
Kim Hong Liu-nio, ilmu-ilmu yang sengaja diciptakan oleh Hek-hiat Mo-li bagi
muridnya untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, ilmu yang bahkan Hek-hiat Mo-li
sendiri tak mampu menguasainya karena tidak sempat lagi melatih diri.
Pada hari
itu, Kim Hong Liu-nio diutus kembali oleh Raja Sabutai untuk pergi ke Lembah
Naga dan dalam kesempatan ini, secara diam-diam Khamila memanggil Kim Hong
Liu-nio menghadap. Setelah wanita yang masih bersikap sebagai dayang di depan
permaisuri itu menghadap, Permaisuri Khamila lalu memegang tangannya dan
berkata,
"Kim
Hong, sebagai murid Hek-hiat Mo-li, kurasa engkau sudah tahu akan rahasia yang
meliputi diri anakku, Oguthai. Benarkah dugaanku ini?" Permaisuri yang
masih kelihatan cantik sekali itu memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan penuh
selidik.
Wajah ini
masih cantik dan muda, bahkan kelihatan lebih muda dari pada wajah sang
permaisuri, sungguh pun usia Kim Hong Liu-nio pada waktu itu sudah tiga puluh
lima tahun sedangkan usia sang permaisuri baru tiga puluh tahun lebih sedikit.
Hal ini adalah karena Kim Hong Liu-nio menguasai suatu ilmu mukjijat yang
diajarkan oleh gurunya, ilmu yang akan membuat dia tidak akan pernah nampak
tua!
Kim Hong
Liu-nio yang dahulu sebelum menjadi murid Hek-hiat Mo-li bersifat riang itu
kini menjadi orang yang pendiam sekali, pendiam dan dingin akan tetapi terhadap
permaisuri dia masih tetap menghormat. Dia berlutut dan menjawab. "Hamba
ada mendengar sedikit mengenai hubungan sang pangeran dengan Kaisar Kerajaan
Beng di selatan, akan tetapi mana hamba berani untuk mengetahui lebih
banyak?"
Khamila
tertunduk sejenak, lalu berkata lagi, "Kim Hong, engkau adalah orang yang
amat setia, bahkan engkau masih terhitung saudara seperguruan dari sri baginda
sendiri dan juga engkaulah yang membantu gurumu mendidik anakku, oleh karena
itu tidak perlu lagi aku merahasiakannya. Ketahuilah bahwa Han Houw adalah
keturunan Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng."
Akan tetapi
Kim Hong Liu-nio tidak kelihatan terkejut mendengar ini, karena memang dia
telah dapat menduganya. Karena menduga itulah maka dia selalu menyebut ‘sute’
kepada Han houw, bahkan selalu mengajarkan Han Houw untuk berbahasa Han
sehingga anak itu selain pandai limu silat, juga pandai pula berbahasa Han
bahkan pandai membaca dan menulis pula!
"Hamba
telah mendengarkan dan terima kasih atas kepercayaan paduka kepada hamba.
Apakah maksud paduka dengan membuka rahasia ini? Dan perintah apakah yang
hendak paduka berikan kepada hamba?"
"Aku
mendengar bahwa engkau diutus ke selatan, ke Lembah Naga. Benarkah?"
"Memang
benar demikian, apakah ada sesuatu yang harus hamba lakukan?"
"Engkau
diperintahkan apa oleh sri beginda?"
"Hamba
diperintah untuk menyampaikan kepada penghuni Lembah Naga bahwa dalam waktu
setengah tahun mendatang ini, Lembah Naga harus dikosongkan karena Istana
Lembah Naga akan dipakai oleh sri baginda."
"Ehh?
Untuk apa istana tua yang sudah bobrok itu?"
"Setengah
tahun lagi usia sang pangeran sudah genap lima belas tahun. Sri baginda berniat
mengundang kepada seluruh tokoh di dunia kang-ouw dan di dalam undangan itu
nanti sesudah mereka berkumpul, sri baginda akan memilih orang yang paling
pandai di antara mereka, yaitu yang mampu mengalahkan hamba, untuk selanjutnya
mendidik ilmu silat kepada sang pangeran."
"Ihhh...
Apa perlunya itu? Kepandaianmu dan kepandaiannya sendiri sudah sangat hebat,
dan masih ada Hek-hiat Mo-li yang mendidik puteraku. Mau dijadikan apa puteraku
maka harus menerima pendidikan orang yang paling pandai di antara jagoan-jagoan
itu?"
"Sri
baginda ingin melihat sang pangeran menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan
hamba yakin melihat bakatnya, bahwa hal itu pasti akan terlaksana," kata
Kim Hong Liu-nio yang ikut merasa gembira dan bangga karena sesungguhnya dialah
yang selama ini mendidik Han Houw.
"Aahhh,
aku tidak mau tahu segala urusan tetek bengek itu! Dengarlah, Kim Hong, aku
mempunyai urusan yang lebih penting lagi dan aku minta engkau suka melaksanakan
perintahku ini. Aku telah memberi tahu kepada sri baginda dan beliau hanya
setuju saja. Sanggupkah kau melaksanakan perintahku?"
"Paduka
tentu telah memaklumi bahwa hamba pasti akan melaksanakan segala perintah
paduka dengan taruhan nyawa hamba."
"Bagus,
aku percaya kepadamu, Kim Hong. Begini, sesudah engkau mengunjungi Istana
Lembah Naga, bersama Han Houw yang harus kau ajak serta, kau antarkanlah anakku
itu melintasi Tembok Besar dan mengunjungi Kota Raja Kerajaan Beng."
"Ahhhh...!"
Kim Hong Liu-nio benar-benar terkejut bukan main karena sama sekali tidak
diduganya bahwa tugas yang akan diserahkan kepadanya demikian hebatnya.
"Hamba... hamba... mendengarkan...," katanya.
"Aku
mendengar bahwa saat ini kaisar sedang menderita sakit. Hatiku merasa tidak
enak sekali dan aku selamanya tentu akan menderita tekanan batin kalau puteraku
itu belum sempat melihat wajah ayah kandungnya. Maka ajaklah dia menghadap dan
pertemukan dia dengan kaisar sebelum... terjadi apa-apa dengan kaisar, Kim
Hong."
"Hamba
siap melaksanakan tugas! Akan tetapi... hamba kira tak akan mudah untuk dapat
menghadap kaisar begitu saja, dan untuk menggunakan kekerasan... ahh, rasanya
hal itu tidak mungkin. Tenaga hamba seorang mana mampu melakukan hal seperti
itu?"
Permaisuri
Khamila tersenyum lembut, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Kau
bawalah ini, di dalamnya terdapat suratku dan sebuah benda yang pasti akan
dikenal di sana dan akan membuka semua pintu istana untuk puteraku."
Kim Hong
Liu-nio menerima sambil berlutut, tidak banyak bertanya. Hati wanita ini merasa
lega ketika sri baginda sendiri datang dan dengan wajah yang keras mengatakan,
"Kim Hong, aku serahkan keselamatan Oguthai kepadamu. Engkau adalah
sumoi-ku sendiri, bahkan Oguthai adalah sute-mu juga. Sebab itu engkaulah yang
bertanggung jawab atas keselamatan puteraku!"
"Akan
hamba lindungi dengan pertaruhan nyawa hamba. Selembar nyawa hamba yang menjadi
tanggungannya, sri baginda!" jawab Kim Hong Liu-nio dengan tegas dan penuh
dengan kebanggaan.
Demikianlah,
pada hari itu Kim Hong Liu-nio berangkat bersama Ceng Han Houw dengan
menunggang kereta yang mewah menuju ke selatan dan dikawal oleh tujuh belas
orang pengawal pilihan, yang bertindak sebagai anak buah dan juga melayani
segala keperluan sang pangeran.
Dan seperti
diceritakan di bagian depan, perjalanan itu dihadang oleh orang-orang yang
merasa sakit hati terhadap Kim Hong Liu-nio yang sudah banyak membunuhi
orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Kim Hong Liu-nio mengajak sute-nya untuk
meninggalkan kereta karena dia ingin ‘melatih’ sute-nya itu menghadapi
orang-orang yang dianggapnya tidak terlalu berbahaya itu dan seperti telah
diceritakan di bagian depan, lima orang itu dengan mudah dapat mereka tewaskan,
kemudian sesudah itu mereka menerima undangan dari Jeng-hwa-pang yang mengirim
surat beracun yang berbahaya itu.
Seperti
tidak pernah terjadi sesuatu, kini Kim Hong Liu-nio bersama Han Houw sudah
menunggang kereta lagi, menuju ke Lembah Naga. Karena rombongan ini menggunakan
kereta, maka mereka harus mengambil jalan raya yang lebar, jalan memutar, tidak
seperti Siong Bu yang tadi mengintai dari tempat persembunyiannya, dan kini
anak ini dapat mendahului pulang ke Istana Lembah Naga melalui jalan yang jauh
lebih dekat namun tidak mungkin ditempuh oleh kereta itu.
***************
"Sin
Liong...!" Hok Boan memanggil-manggil dengan suara marah.
Dia sudah
membawa sebatang cambuk rotan yang sudah disiapkannya untuk menghajar anak itu.
Hatinya menjadi semakin marah pada saat dia tidak melihat anak itu dan tidak
mendengar jawabannya, maka dia lalu mencari ke belakang kandang kuda.
"Sin
Liong, di mana kau? Hayo cepat ke sini...!" kembali Hok Boan berteriak.
Tiba-tiba
saja terdengar jawaban Sin Liong dari atas sebatang pohon di tepi hutan dekat
kandang itu. "Gi-hu memanggil saya? Saya berada di sini..."
Hok Boan
berlari ke bawah pohon itu, bertolak pinggang dan memandang ke atas. Dia
melihat Sin Liong sedang duduk di cabang pohon itu. "Hayo lekas turun kau,
anak jahat dan kurang ajar!"
Sin Liong
terkejut dan cepat dia merayap turun dari atas pohon lalu berdiri di depan ayah
angkatnya itu dengan kepala ditundukkan. Dia tahu bahwa ayah angkatnya ini
kelihatan marah tentu berhubung dengan peristiwa perkelahiannya dengan Siong Bu
pagi tadi.
"Engkau
berani melawan Kwan-kongcu, ya?" bentak Hok Boan. "Bagaimanakah pesan
dan laranganku dahulu itu? Engkau berani melanggarnya, ya. Hayo katakan, siapa
yang kau andalkan? Hayo siapa?!" Kemarahan Hok Boan sebenarnya tertuju
kepada isterinya yang menurut pengaduan Siong Bu telah menampar anak itu, akan
tetapi karena dia tidak mau ribut-ribut langsung dengan isterinya, maka
kemarahan itu kini ditimpakan kepada Sin Liong dan ingin dia mendengar anak ini
mengandalkan ibu angkatnya!
Akan tetapi
Sin Liong tidak menjawab. Dia tahu ayah angkatnya ini sangat memanjakan dua
orang keponakannya itu, maka tentu akan percuma saja apa bila dia membela diri
dengan kata-kata. Dia adalah seorang anak keras hati, maka kini dia berdiri
menunduk sambil menggigit bibir.
"Kau
tidak lekas berlutut minta ampun?!" kembali Hok Boan menghardik, semakin
marah melihat anak itu berdiri dengan bandelnya. Akan tetapi Sin Liong hanya
melirik ke arah wajah ayah angkatnya itu sebentar, lalu menunduk lagi.
Bagaimana
dia mau minta ampun kalau dia tidak bersalah apa-apa? Dalam urusan antara dia
dan Siong Bu, kalau mau bicara tentang minta ampun, sepatutnya Siong Bu yang
harus minta ampun, karena anak itulah yang mulai lebih dulu menyerangnya. Maka
dia mengeraskan hatinya dan tidak menjawab, juga tidak berlutut, apa lagi minta
ampun.
"Hayo
kau minta ampun kepada Kwan-kongcu!" Hok Boan membentak.
Dia
mencengkeram pundak anak itu dan ditariknya kembali ke dalam rumah. Hok Boan
mendorong-dorong hingga tubuh Sin Liong terhuyung, bahkan pada waktu dia
mendorong melangkahi anak tangga, Sin Liong terjatuh. Akan tetapi Hok Boan
menyeretnya bangun dan menariknya memasuki ruangan samping di mana Lan Lan, Lin
Lin, serta Beng Sin memandang dengan mata terbelalak!
Memang Hok
Boan sengaja mengajak Sin Liong kembali ke rumah, untuk dihajarnya di rumah,
bukan saja untuk minta ampun kepada Siong Bu, akan tetapi juga supaya dilihat
semua isi rumah sehingga Sin Liong akan merasa malu dan bertobat benar-benar.
"Mana
Siong Bu?" tanya Hok Boan kepada tiga orang anak itu dengan suara
membentak. "Suruh dia ke sini!"
"Dia
tidak ada ayah," jawab Lan Lan dan Lin Lin hampir berbareng.
"Dia
tadi berlari ke dalam hutan sambil menangis, paman," kata Beng Sin dengan
mata terbelalak ketakutan.
Mendengar
ini, semakin kasihanlah rasa hati Bok Hoan kepada Siong Bu, dan semakin
marahlah dia kepada Sin Liong. "Anak liar, hayo lekas kau berlutut dan
minta ampun!" bentaknya.
Cambuk rotan
yang berada di tangan kanannya mulai dikerjakannya. Terdengarlah bunyi cambuk
menyambar kemudian menimpa punggung Sin Liong, suaranya amat nyaring dan
bertubi-tubi.
"Hayo
berlutut!" bentak Hok Boan.
Akan tetapi
Sin Liong hanya berdiri menghadap jendela, sepasang tangannya menekan tembok,
mukanya pucat, bibirnya digigitnya sendiri untuk mencegah dia menangis.
"Tar-tar-tar-tar!"
Kembali cambuk itu menghantam punggung dan pinggulnya.
Sin Liong
memejamkan mata dan menggigiti bibir makin keras sebab rasa nyeri menggigit
tubuhnya bagian belakang. Namun, dia sama sekali tidak menangis, tidak
mengeluh, apa lagi berlutut minta ampun!
"Tar-tar-tar-tar-tarrr...!"
Hok Boan
menjadi semakin marah menyaksikan kebandelan ini, merasa seolah-olah dia
ditantang!
Tiba-tiba
Lan Lan dan Lin Lin menjatuhkan diri berlutut menghadap ayah mereka.
"Ayah... jangan pukul dia...!" Lan Lan berkata dengan suara terisak.
"Ayah,
dia... dia tidak bersalah... ampunkan dia, ayah!" Lin Lin juga berkata dan
anak perempuan ini sudah menangis.
Melihat itu,
Beng Sin juga berlutut. Anak yang gemuk ini merasa kasihan sekali kepada Sin
Liong, apa lagi melihat betapa permintaan kedua anak perempuan itu agaknya
belum menggerakkan pamannya yang masih terus mencambuki punggung Sin Liong. Ia
melihat warna merah dari balik pakaian Sin Liong, tanda bahwa kulit punggung
itu tentulah sudah pecah-pecah berdarah!
"Paman...
harap paman sudi mengampuninya... sesungguhnya Sin Liong tidak bersalah...
paman ampunkanlah dia...," anak gendut itu pun minta ampun sambil
berlutut.
Hok Boan
terengah-engah, bukan karena lelah, tetapi karena dibakar oleh kemarahannya
sendiri. Dia tadi tak mendengar suara kedua orang anak perempuan itu, akan
tetapi pada waktu Beng Sin juga mintakan ampun, dia agak merasa heran dan ragu,
menghentikan cambukannya dan menoleh. Terbelalak dia memandang ke arah tiga
orang anak yang berlutut itu. Mereka mintakan ampun untuk Sin Liong? Dia
tertegun, terheran dan agak bingung.
"Pamaaaann...!
Celaka..., lekas... wah, celaka...!"
Hok Boan
terkejut, juga ketiga orang anak yang sedang berlutut terkejut bukan main lalu
mereka cepat menoleh. Siong Bu memasuki ruangan itu sambil terengah-engah,
mukanya amat pucat, matanya terbelalak ketakutan. Hanya Sin Liong yang masih
bersikap tenang, bahkan masih berdiri seperti tadi, menghadap jendela, tidak
mempedulikan segala yang terjadi, juga tidak mempedulikan apakah dia akan
dicambuki lagi ataukah tidak.
"Siong
Bu! Ada apa...?" Hok Bow bertanya dengan kaget sekali. Juga tiga orang
anak itu sudah bangkit berdiri dan menghampiri Siong Bu dengan kaget dan heran.
"Paman,
celaka... mereka datang... dan dia... siluman wanita itu... dia mau membunuh
orang... tadi mereka sudah membunuh banyak orang di hutan sana..." Siong
Bu berkata dengan gagap dan dia kelihatan amat ketakutan.
Hok Boan
mengerutkan alisnya. Dia tidak senang melihat Siong Bu yang disayangnya itu
kelihatan begini ketakutan. Sungguh tidak patutlah kalau keponakannya, atau
lebih tepat lagi muridnya atau anak kandungnya sendiri, puteranya sendiri,
bersikap begini penakut!
"Bicaralah
yang jelas!" bentaknya dan sekarang dia sudah melupakan Sin Liong, bahkan
dia sudah membuang cambuk rotan itu ke atas lantai. "Apakah yang telah
terjadi?"
Beberapa
kali Siong Bu menelan ludah untuk menenteramkan hatinya yang terguncang. Memang
anak ini tadi menyaksikan sepak terjang wanita cantik dan anak laki-laki yang
membunuhi orang seenaknya itu. Setelah agak tenang hatinya karena teringat
bahwa dia berada dalam perlindungan ayahnya, Siong Bu lalu berkata,
"Di
dalam hutan saya melihat seorang wanita yang seperti siluman, amat sakti dan
kejam sekali, bersama seorang anak laki-laki yang seperti bangsawan. Mereka itu
membunuhi orang-orang dan akhirnya mereka menunggang kereta yang sangat indah,
dikawal oleh belasan orang prajurit, katanya hendak ke sini! Dan wanita itu
betul-betul menyeramkan sekali, paman... dia cantik seperti puteri, akan tetapi
kejam seperti iblis..."
Diam-diam
Hok Boan terkejut juga, alisnya berkerut. Teringatlah dia akan wanita utusan
Raja Sabutai sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, yang muncul ketika dia
merayakan pernikahannya dengan isterinya sekarang. Maka tiba-tiba dia bertanya,
"Apakah wanita itu membawa salib kayu yang ada tulisannya tiga macam
she...?"
"Benar,
paman...! She Yap, Tio, dan Cia...! Itulah celakanya, dia bilang mau membunuh
semua orang dengan ketiga macam she itu dan dia... dia bilang mau datang ke
Lembah Naga ini...!"
Sekarang
yakinlah Hok Boan bahwa memang betul wanita lihai utusan Raja Sabutai itulah
yang dimaksudkan oleh Siong Bu. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa
khawatir, dan dia berkata sambil menarik napas panjang, menekan kengerian
hatinya membayangkan wanita itu agar terlihat oleh anak-anak itu bahwa dia
tidak takut.
"Mengapa
engkau ketakutan seperti itu? Wanita itu bukanlah musuh kita, dia mencari
orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Apakah yang mesti dikhawatirkan? Di sini
tidak ada seorang pun yang mempunyai she Yap, Tio, atau Cia. Janganlah kau
terlampau mudah ketakutan, Siong Bu..."
"Tapi,
paman, bukankah dia itu she Cia?"
Hok Boan
terkejut ketika melihat Siong Bu menudingkan jari telunjuknya kepada Sin Liong
yang masih berdiri di depan jendela. "Apa katamu...?!" bentaknya.
"Dia...
dia adalah she Cia... maka celakalah kalau wanita itu datang..."
Pada saat
itu, terdengarlah suara halus dan nyaring, "Siapakah she Cia...?"
Hok Boan
cepat-cepat menoleh dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat wanita itu
yang segera dikenalnya. Biar pun sudah lewat sebelas tahun, akan tetapi
seolah-olah baru kemarin saja dia melihat wanita ini datang ke dalam ruangan
pesta pernikahannya dan membunuhi orang.
Tidak ada
perubahan sama sekali pada wanita itu, wajahnya masih kelihatan cantik jelita
seperti dulu, cantik dan agung, seperti seorang puteri raja, sikapnya dingin,
angkuh, dan tahi lalat hitam kecil di dagunya membuatnya nampak makin manis.
Masih kelihatan muda belia seperti dulu, padahal dibandingkan dengan
kemunculannya yang pertama, tentu kini usianya sudah bertambah sebelas tahun!
Cepat Hok
Boan melangkah maju dan menjura dengan hormat sekali, lalu tersenyum dan
berkata lembut, "Aihhh, kiranya kouwnio (nona) yang datang mengunjungi
kami. Selamat datang, kouwnio, dan mudah-mudahan selama ini kouwnio dalam
keadaan baik-baik saja. Silakan masuk dan mari duduk di dalam, kouwnio!"
Akan tetapi
wanita itu seolah-olah tidak mendengar penyambutan yang amat menghormat itu.
Sepasang matanya yang jeli dan tajam itu menyambar ke sekeliling, ke arah wajah
lima orang anak itu, dan sejenak menatap wajah Sin Liong karena anak ini juga
sudah membalikkan tubuh menghadap dan memandang kepadanya.
"Siapakah
yang memiliki she Cia?" kembali terdengar pertanyaannya, pertanyaan yang
singkat, lirih, terdengar satu-satu dan membawa suasana dingin dan tegang
sekali karena di dalam suara ini terkandung ancaman maut!
Hok Boan
merasa mulutnya kering dan diam-diam dia mengerling ke arah Sin Liong. Baru
tadi dia mendengar dari Siong Bu bahwa Sin Liong she Cia, dan hal ini sungguh
sangat mengherankan hatinya dan tidak dimengertinya.
Akan tetapi
tentu saja dia tidak dapat menunjukkan Sin Liong kepada wanita itu bahwa anak
itu she Cia karena sekali wanita itu tahu, tanpa banyak cakap lagi tentu Sin
Liong akan dibunuhnya. Dan Hok Boan maklum bahwa dia tidak boleh melakukan hal
itu. Dia tahu betapa isterinya amat sayang kepada Sin Liong.
Walau pun
dia agak membenci Sin Liong karena dianggapnya terlalu disayang Si Kwi dan
dianggapnya nakal dan bandel, akan tetapi dia tak ingin melihat anak angkat
isterinya itu dibunuh orang begitu saja. Maka dia cepat mengalihkan pandang
matanya dari Sin Liong dan memandang kembali kepada wanita itu masih menanti
dengan alis berkerut.
"Tidak...
tidak ada yang she Cia...," kata Hok Boan sambil menggelengkan kepalanya.
"Hok
Boan, berani engkau membohong kepadaku?" Tiba-tiba wanita itu suaranya
dingin, amat menyeramkan.
"Tidak...,
mana saya berani membohong, kouwnio?"
"Aku
sendiri mendengar kalian tadi bicara tentang seorang she Cia di sini. Hayo
mengaku, siapa she Cia di antara kalian?"
Sejak tadi
Sin Liong diam saja dan hanya memandang dengan matanya yang terbelalak lebar.
Dia tidak takut kepada wanita ini, dan dia tahu bahwa dialah she Cia itu. Kini
dia merasa heran mengapa ayah angkatnya yang membencinya itu tidak mau
menyerahkan dia kepada wanita iblis itu.
Bukankah
wanita ini yang tadi diceritakan oleh Siong Bu dan yang hendak membunuh semua
orang she Yap, Tio dan Cia? Mengapa ayah angkatnya tidak mau mengaku terus
terang saja agar dia dibunuh oleh wanita itu? Dan dia melirik ke arah Siong Bu.
Juga anak ini sama sekali tidak membuka mulut!
"Hayo
cepat katakan, kalau tidak, akan kusiksa kalian seorang demi seorang!"
Wanita itu kembali melayangkan pandangan matanya, dari Hok Boan yang pucat
mukanya sampai kepada semua anak yang tertunduk dan ketakutan. Hanya Sin Liong
seorang yang berdiri dengan tegak, memandangnya dengan penuh keberanian.
Kim Hong
Liu-nio merasa heran dan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan tidak
puas melihat seorang anak laki-laki yang tidak kelihatan takut kepadanya!
Padahal anak inilah yang tadi dirangket oleh Hok Boan, dicambuki tetapi sedikit
pun anak itu tadi tidak mengeluh, padahal dari baju anak itu dapat dilihat
bahwa kulit punggungnya pecah-pecah dan berdarah!
Dia lalu
menoleh pada Siong Bu yang tertunduk dan matanya melirik ke arah pamannya.
Melihat wajah anak ini tampan dan mirip dengan wajah Hok Boan, Kim Hong Liu-nio
lalu mendapatkan akal.
"Hayo
katakan, jika tidak, anak ini akan kusiksa lebih dulu!" katanya sambil
menghampiri Siong Bu.
Anak
laki-laki yang tadinya memang telah merasa amat ngeri dan ketakutan menyaksikan
sepak terjang wanita iblis ini, kini kedua kakinya menggigil dan wajahnya
menjadi pucat sekali.
"Bukankah
engkau yang tadi bilang tentang orang she Cia? Hayo katakan, di mana dia, jika
tidak, telingamu ini akan kucabut putus!" Sambil berkata demikian, Kim
Hong Liu-nio mencubit telinga kiri Siong Bu.
Anak itu
makin ketakutan dan menggeleng-gelengkan kepala tidak mampu mengeluarkan suara.
Diam-diam Sin Liong merasa makin heran dan juga terharu. Biasanya, Siong Bu
begitu kasar dan jahat kepada dirinya, dianggap selalu memusuhinya, akan tetapi
kenapa sekarang, biar pun diancam secara hebat, Siong Bu tidak mau
mencelakainya dengan menunjukkan she-nya kepada wanita iblis itu? Dia tidak
tahu bahwa dalam batin Siong Bu juga terdapat benih kegagahan yang tidak mau
berbuat khianat!
"Harap
jangan ganggu dia...!" Tiba-tiba saja Hok Boan berseru dan cepat melangkah
maju menghampiri wanita itu.
Kim Hong
Liu-nio melepaskan Siong Bu, lalu dengan perlahan-lahan membalikkan tubuh,
tersenyum sambil mengangguk-angguk kepada Hok Boan. "Hemmm, jadi engkau
berani menentangku, ya? Kau kira sukar bagiku untuk membasmi kalian sekeluarga
apa bila aku menghendaki? Kalau aku membunuh anak ini, kau mau apa?"
"Kouwnio,
harap jangan mengganggu kami sekeluarga. Percayalah, kami tidak memiliki
hubungan dengan musuh-musuhmu..."
"Kalau
aku tetap hendak mengganggu keluargamu, kau mau apa, Kui Hok Boan?"
Hok Boan adalah
orang yang biasanya amat mengandalkan kepandaian sendiri, bahkan biasanya dia
memandang rendah orang lain karena percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah
tinggi dan jarang menemui tanding. Biar pun dia tahu bahwa wanita ini amat
lihai dan mungkin sekali dia tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi karena
dia didesak dan diejek terus, ditantang secara terang-terangan seperti itu,
mukanya yang pucat tadi kini perlahan-lahan berubah memerah.
"Apa
yang akan dilakukan orang bila keluarganya diganggu? Tentu saja dia akan
melawan sedapatnya!" katanya dengan sikap gagah, dan dadanya agak diangkat
sedikit.
"Bagus!
Sudah lama aku mendengar bahwa ilmu silat yang kau warisi dari Go-bi-pai itu
amat lihai. Nah, coba kau hadapi seranganku, apakah engkau sanggup bertahan
sampai sepuluh jurus?"
"Kouwnio,
kami menyambut kedatangan kouwnio sebagai tamu yang kami hormati, dan saya sama
sekali tidak hendak bermusuhan dengan kouwnio..."
"Cukup!
Lekas katakan siapa orang she Cia itu atau kau harus menghadapi aku sampai
sepuluh jurus!"
Melihat
sikap wanita itu yang mendesak pamannya, Beng Sin diam-diam lalu merangkak ke
pintu, hendak lari keluar dan melapor kepada bibinya. Dia tahu bahwa bibinya
juga lihai, kabarnya tidak kalah lihai dari pada pamannya, maka kalau bibinya
itu membantu pamannya dan mereka berdua maju menghadapi wanita iblis ini,
agaknya mereka tidak akan kalah.
"Ke
mana kau?" Tiba-tiba wanita itu membentak, tangannya bergerak ke arah
pintu dan... aneh sekali, tanpa disentuh, tubuh Beng Sin yang gemuk itu
terjengkang seperti ditarik dan bergulingan masuk kembali ke dalam ruangan itu.
Melihat ini,
terdengar Lan Lan dan Lin Lin menjerit. Akan tetapi ternyata Beng Sin hanya
kaget saja dan sedikit sakit karena terbanting, selain itu dia tidak terluka
apa pun.
"Kouwnio,
engkau terlampau mendesak orang!" Hok Boan berseru marah setelah melihat
keponakannya, yang sebenarnya juga puteranya, yang gemuk itu dirobohkan, maka
dia lalu menerjang dengan kepalan tangannya, menyerang wanita itu.
"Hemmm…
ini adalah Hek-wan Hian-ko... (Lutung Hitam Memberi Buah) dari Go-bi-pai,
bukan? Tidak terlalu jelek... tidak terlalu jelek..." kata Kim Hong
Liu-nio sambil melangkah mundur dan menangkis serangan itu.
Hok Boan
terkejut karena baru saja bergerak ternyata lawan telah dapat mengenal jurus
ilmu silatnya. Akan tetapi karena memang dia dapat menduga wanita ini lihai
sekali, dia tidak peduli dan menyerang terus dengan jurus selanjutnya. Dan
karena tahu lawan lihai sekali, dia pun segera mengeluarkan jurus-jurus pukulan
yang paling ampuh.
"Ehh?
Berani kau menggunakan Hok-thian-hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi) untuk
membunuh aku? Hemm, kau harus dihajar!"
Memang Hok
Boan telah mempergunakan ilmu silat yang ampuh dari Go-bi-pai itu untuk
menghadapi lawan tangguh ini. Akan tetapi, kembali lawannya sudah mengenal
ilmunya dan tiba-tiba, ketika kedua tangannya memukul ke arah kepala dan ke
arah pusar dengan berbareng secara hebat sekali, dia merasa kedua tangannya itu
bertemu dengan hawa pukulan yang merupakan benteng yang menghentikan
gerakannya, dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, wanita itu telah menampar
punggungnya dari samping.
"Plakkk!"
"Aughhh...!"
Hok Boan terguling roboh dan dari mulutnya dia muntahkan darah segar!
"Berani
kau melukai suamiku?" Teriakan ini keluar dari mulut Si Kwi yang baru saja
tiba di tempat itu.
Si Kwi
tadinya berada di dalam kamarnya, karena dia masih mendongkol sehabis cekcok
sedikit dengan suaminya. Dia tahu bahwa Sin Liong tentu akan dihajar, akan
tetapi dia pun tidak mau sampai bentrok dengan suaminya hanya demi anak itu,
dan memang dia juga tahu bahwa Sin Liong keras kepala dan bandel, mungkin perlu
diberi sedikit hajaran pula. Maka dia diam saja di dalam kamarnya.
Akan tetapi
ketika tiba-tiba dia mendengar jerit Lan Lan dan Lin Lin, dia terkejut dan
cepat melompat keluar sambil membawa pedangnya. Jeritan dua orang anak
perempuan yang terdengar oleh ibu mereka itu adalah ketika mereka melihat Beng
Sin dirobohkan oleh wanita tadi.
Ketika Si
Kwi memasuki ruangan itu dan melihat Kim Hong Liu-nio, dia terkejut sekali dan
segera mengenal wanita itu karena wanita itu memang sama sekali tidak berubah
sejak dilihatnya untuk pertama kali sebelas tahun yang lalu. Akan tetapi pada
saat dia melihat wanita itu merobohkan Hok Boan, Si Kwi menjadi marah sekali.
Tidak peduli wanita itu utusan Raja Sabutai, bila kini mengganggu keluarganya,
maka harus dilawannya. Karena itu dia sudah membentak marah dan menerjang
wanita itu dengan pedangnya!
Ilmu pedang
dari Si Kwi amat hebat. Dahulu wanita ini adalah seorang ahli menggunakan
siang-kiam, yaitu sepasang pedang. Akan tetapi, sejak tangan kirinya buntung,
dia hanya mempergunakan pedang tunggal, namun dengan menguasai Ilmu Im-yang
Lian-hoan-kun maka dia dapat memainkan pedang tunggalnya secara hebat.
Apa lagi
karena Si Kwi terkenal dengan ginkang-nya sehingga dulu dia pernah mendapat
julukan Ang-yan-cu (Si Walet Merah) karena gerakannya yang sangat cepat seperti
walet terbang dan kegemarannya mengenakan pakaian warna merah. Maka kini
serangannya terhadap Kim Hong Liu-nio juga hebat sekali.
Namun,
wanita cantik itu menghadapi serangan ini dengan sikap tenang bahkan mulutnya
berkata mengejek, "Hemm, ilmu pedang apa ini yang kau pergunakan?"
Dengan
sangat mudahnya, Kim Hong Liu-nio mengelak. Akan tetapi ilmu pedang serta
gerakan Si Kwi luar biasa cepatnya, tahu-tahu sinar pedangnya sudah menyambar
lagi ke arah leher lawan dengan kecepatan tinggi.
"Bagus!
Kiranya diambil dari Im-yang Lian-hoan-kun, ya?"
Wanita
cantik itu tidak mengelak dari sambaran pedang yang mengancam lehernya, akan
tetapi mengangkat sedikit tangan kirinya.
"Cringgg...!"
Tubuh Si Kwi
tergetar dan terhuyung mundur. Tadi pedangnya hampir saja terlepas dari
pegangannya ketika tertangkis oleh lengan wanita itu, lengan kiri yang memakai
gelang emas kecil-kecil berjumlah belasan buah. Gelang-gelang kecil inilah yang
tadi menangkis pedang dan membuat Si Kwi terhuyung. Bukan main!
Maklum bahwa
dia bukan tandingan wanita itu, melihat bahwa suaminya sudah tidak lagi
mengalami luka parah, hatinya lega dan dia pun menghentikan serangannya.
"Mengapa
engkau menyerang suamiku?" demikian tanyanya sebagai pembelaan diri telah
berani menyerang wanita itu. Dia teringat bahwa wanita ini adalah utusan Raja
Sabutai, maka kalau saja tidak melihat wanita itu tadi merobohkan suaminya, dia
pun akan berpikir panjang lebih dulu sebelum berani menyerangnya.
"Kouwnio,
harap kouwnio suka memaafkan kami dan harap jangan mengganggu keluarga kami
yang tidak mempunyai kesalahan terhadap kouwnio," kini Hok Boan berkata
karena dia maklum bahwa dia dan isterinya sama sekali tak akan mampu menghadapi
wanita ini.
Pula,
memusuhi utusan Raja Sabutai sama saja dengan membunuh diri karena mereka
berada di daerah kekuasaan raja liar itu. Karena itu lebih baik mengalah dan
melupakan penghinaan tadi, bersikap merendah.
Kim Hong
Liu-nio kembali memandangi mereka itu satu demi satu dengan sinar matanya yang
tajam dan dingin mengerikan. Lalu katanya, seperti tadi, lirih dan satu-satu
namun penuh desakan dan ancaman, "Siapakah orang she Cia?"
Si Kwi
terkejut mendengar pertanyaan ini. "Orang she... Cia...? Apa maksudmu
dengan pertanyaan itu, kouwnio?" tanyanya dengan wajah berubah pucat.
Kim Hong
Liu-nio memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik, sinar mata
yang seolah-olah hendak menjenguk ke dalam isi hati wanita itu. "Nyonya
buntung, siapakah orang she Cia di sini?" tanyanya, suaranya penuh
ancaman.
Dalam
keadaan biasa, tentu Si Kwi akan marah disebut sebagai nyonya buntung. Akan
tetapi pada saat itu, disebutnya she Cia membuat jantungnya berdebar tegang
sehingga dia pun tidak mempedulikan sebutan itu. "Aku tidak tahu, di sini
tidak ada yang she Cia!" jawabnya tegas.
Sejenak Kim
Hong Liu-nio beradu pandang dengan Si Kwi, kemudian wanita cantik itu menoleh
kepada Kui Hok Boan, dengan suara seperti tadi, suara yang menyeramkan itu, dia
mengajukan pertanyaannya kepada sasterawan itu, "Siapakah orang she Cia di
sini?"
Hok Boan
cepat menggeleng kepalanya. "Tidak ada... tidak ada yang she Cia!"
jawabnya dengan suara tegas pula.
Kim Hong
Liu-nio juga memandang tajam kepada laki-laki ini, baru kemudian dia menoleh
kepada Lan Lan yang memandangnya dengan mata terbelalak.
"Adik
manis, siapakah orang she Cia di sini?"
Lan Lan
menjawab sambil menggeleng kepala, suaranya tidak jelas, "Tidak tahu...
tidak ada she Cia..."
Kim Hong
Liu-nio lalu berpaling kepada Lin Lin yang menundukkan muka. "Dan kau,
nona cilik, tahukah kau siapa orang she Cia di sini?"
Lin Lin
mengangkat muka memandang wanita itu, lalu menunduk kembali dan menjawab,
"Tidak tahu, tidak ada she Cia."
Kim Hong
Liu-nio segera memutar tubuhnya. Di samping Lin Lin berdiri Sin Liong akan
tetapi dia tidak bertanya kepada anak itu. Percuma saja, pikirnya, dan anak ini
agaknya tidak disayang oleh suami isteri itu maka tak ada harganya bagi dia.
Dipandangnya Beng Sin dan bertanyalah dia kembali,
"Kau,
bocah gemuk. Siapa orang she Cia di sini?"
"Tidak
tahu! Tidak tahu! Tidak ada orang she Cia!" Beng Sin menjawab gagap dan
tegas, lalu menundukkan mukanya.
Kini tiba
giliran Siong Bu, Sin Liong yang sejak tadi terus mengikuti gerak-gerik wanita
itu, sekarang ikut pula memandang kepada Siong Bu dan jantungnya berdebar penuh
dugaan ketika mendengar wanita itu bertanya.
"Sekarang
engkau, yang tadi kudengar suaramu, hayo katakan siapakah orang she Cia di
sini?"
Siong Bu
mengangkat muka memandang, lalu menoleh kepada yang lain, akan tetapi dia
melewati muka Sin Liong, lalu menggeleng kepala, "Aku tidak tahu. Di sini
tidak ada orang she Cia!" Setelah berkata demikian, cepat-cepat dia
menundukkan muka pula agar jangan sampai menoleh kepada Sin Liong.
Kembali Sin
Liong merasa terharu. Baru sekarang dia melihat kenyataan bahwa betapa pun
juga, ternyata keluarga ini tidak rela melihat dia terancam bahaya maut dan hal
ini segera mendatangkan perasaan demikian gembira dan lega di dalam dadanya
sehingga dia agak tersenyum dan wajahnya berseri-seri, rasa nyeri pada
punggungnya lenyap tak terasakan lagi!
Keadaan
menjadi makin menegangkan dan Hok Boan bersama isterinya sudah siap untuk
menghadapi segala kemungkinan kalau-kalau wanita itu akan memperlihatkan
kemarahan dan kekecewaannya karena semua keluarga itu menjawab tidak tahu. Akan
tetapi, wanita cantik itu tersenyum! Tersenyum manis sekali, senyum yang sangat
mengherankan hati Hok Boan akan tetapi membuat bulu tengkuk Si Kwi meremang
karena dia yang sejak dulu sudah biasa bergaul dengan tokoh-tokoh golongan
sesat yang berwatak aneh-aneh, sudah mengerti senyum yang mengerikan ini. Manis
memang, mungkin memikat bagi hati pria, akan tetapi di balik senyum itu
terkandung ancaman maut mengerikan.
Senyum itu
melebar sehingga sekilas pandang nampak gigi putih kemilau di balik belahan
bibir merah basah itu, lantas bibir itu bergerak-gerak dan berkatalah dia,
"Bagus sekali, agaknya memang harus ada seorang di antara kalian yang
disiksa, barulah kalian mau mengaku. Baik, anak manis ini tentu tidak akan
menjadi manis lagi kalau ujung hidungnya kupotong...!"
Cepat
laksana kilat, tahu-tahu tangannya telah mencengkeram pundak Lan Lan kemudian
diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Lan Lan menjerit, Si Kwi dan Lin Lin juga
menjerit.
"Akulah
orang she Cia!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan keras.
Semua orang
terbelalak dan memandang kepada Sin Liong yang mengeluarkan kata-kata itu
dengan suara lantang tadi. Anak ini berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar,
dada diangkat dan sepasang matanya memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan
sinar penuh kemarahan.
"Lepaskan
dia, jangan ganggu orang-orang yang tidak bersalah. Akulah orang she Cia yang
kau cari-cari!"
Perlahan-lahan
tangan yang mencengkeraman pundak Lan Lan itu mengendur sehingga tubuh Lan Lan
terlepas dan terhuyung. Anak perempuan ini terisak dan cepat dirangkul ibunya.
Kim Hong Liu-nio kini memandang kepada Sin Liong dengan mata bersinar-sinar
seperti kilat, penuh keheranan, kekagetan, dan juga kekaguman. Anak ini memang
bukan anak biasa, pikirnya, ngeri juga menentang pandang mata yang mencorong
seperti mata anak naga itu.
"Liong-ji...!"
Si Kwi berkata lirih dengan muka pucat sekali. Timbul niat di dalam hatinya
untuk melindungi anak itu, anak kandungnya sendiri itu, dengan taruhan nyawa.
Sin Liong
menoleh kepada Si Kwi dan agaknya dia maklum akan niat dari ibu angkatnya itu.
Dia masih kecil akan tetapi dia tahu bahwa wanita iblis itu lihai bukan main
dan baik ibu angkatnya mau pun ayah angkatnya bukanlah tandingan wanita itu.
"Ibu,
harap jangan mencampuri. Ibu hanyalah ibu angkatku, tidak perlu mempertaruhkan
nyawa untuk aku." Setelah berkata demikian, dia lalu melangkah maju
menghampiri Kim Hong Liu-nio dengan sikap gagah sekali.
Si Kwi
terbelalak dan bulu tengkuknya meremang karena sikap Sin Liong itu membuat dia
teringat kepada Cia Bun Houw. Anak ini benar-benar Cia Bun Houw kecil! Sinar
matanya itu, keberaniannya, dan kegagahannya! Juga Kim Hong Liu-nio menjadi
tertegun sehingga dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap anak
kecil yang mengaku she Cia dan amat pemberani itu. Dan anak ini tadi dihajar
oleh Kui Hok Boan, sedikit pun tidak mengeluh, bahkan dimintakan ampun oleh
anak-anak lain!
"Benarkah
engkau she Cia?" Kim Hong Liu-nio bertanya, diam-diam merasa sayang kalau
anak ini she Cia dan dia terpaksa harus membunuhnya. Dia kagum melihat
keberanian anak ini.
"Seorang
gagah tidak akan mengingkari perbuatannya dan aku melihat bahwa engkau adalah
seorang wanita yang berkepandaian tinggi sehingga ibu dan ayah angkatku sendiri
tidak mampu menandingimu!" Sin Liong berkata dengan lantang, membuat ayah
dan ibu angkatnya benar-benar merasa terkejut karena biasanya Sin Liong amat
pendiam dan tak banyak bicara. "Karena itu engkau tentu mau mengatakan
pula mengapa engkau mencari orang she Cia?"
"Akan
kubunuh! Semua orang she Cia harus kubunuh!" jawab Kim Hong Liu-nio.
"Mengapa?
Apa salahnya orang-orang she Cia?" tanya pula Sin Liong.
"Anak
kecil mau mampus, kau tahu apa?! Bersiaplah untuk mampus!"
"Membunuh
seorang anak kecil seperti aku tentu saja mudah bagimu dan perbuatanmu itu tak
akan mengharumkan namamu. Kau membunuh aku sama dengan aku membunuh seekor
semut, perbuatan itu mana dapat dibanggakan? Kalau kau memang gagah berani,
hayo kau hadapi ayahku yang juga she Cia, barulah seimbang!"
"Monyet
kecil, siapa ayahmu?" Kim Hong Liu-nio membentak marah.
Dia tidak
tahu bahwa Sin Liong paling benci kalau dimaki monyet kecil, karena memang dia
suka bergaul dengan monyet, akan tetapi dia tahu bahwa dia manusia bukan
monyet. Mendengar makian itu, dia melotot dan balas memaki.
"Dan
kau srigala betina besar! Kau mau tahu ayahku? Ayahku adalah pendekar terhebat
di dunia ini dan kalau kau bertemu dengan ayahku, tentu dia tidak akan memberi
ampun kepada srigala betina yang kejam seperti engkau ini!"
Kim Hong
Liu-nio hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sinar merah menyambar dan
terdengarlah bunyi nyaring.
"Prakkk…!"
Ternyata
meja di dekat Sin Liong hancur berkeping-keping terkena sambaran sinar merah
itu yang bukan lain hanyalah ujung sabuk merah dari sutera yang diikatkan di
pinggang wanita itu dan yang ujungnya masih berjuntai panjang. Hanya
menggunakan ujung sabuk merah saja mampu menghancurkan meja batu, kepandaian
ini benar-benar membuat Si Kwi dan Hok Boan menjadi pucat dan tubuh mereka
mengeluarkan keringat dingin.
"Liong-ji,
jangan banyak bicara!" Si Kwi memperingatkan anaknya.
"Bocah
bermulut lancang! Kau layak mampus seribu kali, akan tetapi sebelum mampus,
katakan dulu siapa ayahmu dan di mana dia!"
"Huh,
karena berada di sini maka engkau enak saja mengancam hendak membunuh aku, coba
kalau ada ayah, mengganggu seujung rambutku pun engkau tak akan mampu. Aku
menantangmu untuk bertanding dengan ayahku, dan kalau ayah sampai kalah olehmu,
biarlah tanpa kau turun tangan, aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu.
Kalau engkau sekarang membunuh aku tanpa berani memenuhi tantanganku, maka
engkau ini tiada bedanya dengan seekor srigala pemakan bangkai yang beraninya
hanya menyerang bangkai, dan kau beraninya hanya mengganggu orang-orang lemah
seperti anak-anak kecil. Huh, sungguh memalukan sekali!"
"Liong-ji...!"
Si Kwi mengeluh. Anak itu seperti bunuh diri saja, berani bicara seperti itu di
depan wanita ini!
Dan Kim Hong
Liu-nio sendiri sampai tercengang, seolah-olah dia tidak percaya apa yang
didengarnya. Selama hidupnya, belum pernah ada orang yang berani berbicara
seperti itu kepadanya, bahkan Sri Baginda Sabutai sendiri tidak pernah menghina
dirinya seperti itu. Saking herannya, dia sampai lupa akan amarahnya, atau
mungkin juga saking marahnya, dia sampai tidak tahu lagi harus berbuat apa!
"Katakan
siapa ayahmu, anak setan! Kalau aku tak dapat membunuh ayahmu dan nenek
moyangmu, selamanya aku tidak mau memakai nama Kim Hong Liu-nio lagi!"
Wanita itu akhirnya menjerit seperti seorang anak perempuan yang digoda sampai
hatinya mengkal sekali, dan Kim Hong Liu-nio juga sampai lupa diri, dia membanting
kakinya ke atas lantai, seperti anak perempuan sedang berang.
"Bresss!"
Kaki Kim
Hong Liu-nio kecil mungil, akan tetapi begitu dibantingnya di atas lantai
dengan pengerahan sinkang, kaki itu langsung amblas sampai hampir selutut
dalamnya!
Kembali Si
Kwi dan Hok Boan menelan ludah. Bahkan Siong Bu dan Beng Sin terang-terangan
mengulurkan lidah mereka saking heran, kaget dan kagum. Kepandaian wanita itu
benar-benar seperti sliuman!
"Ayahku
adalah pendekar sakti Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai kalau kau
mau tahu!" Sin Liong berkata sambil mengangkat dada, wajahnya berseri dan
matanya bersinar-sinar. Dia maklum bahwa di tangan wanita iblis ini, ayah dan
ibu angkatnya tidak mungkin akan dapat menyelamatkannya, maka dia hendak
menghadapi kematian dengan gagah dan mengangkat tinggi-tinggi nama ayahnya yang
selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu.
"Ahhhhh...!"
Seruan ini bukan hanya terdengar dari mulut Kim Hong Liu-nio, akan tetapi juga
dari mulut Kui Hok Boan yang menjadi terkejut setengah mati dan terheran-heran
bukan main mendengar pengakuan Sin Liong.
Tentu saja
dia sudah mendengar nama pendekar sakti Cia Bun How, dan membayangkan betapa
bocah ini yang tadinya dikenal sebagai anak peliharaan monyet mengaku putera
Cia Bun Houw, bulu tengkuknya langsung meremang.
"Bohong!"
Kim Hong Liu-nio berseru. "Macam engkau ini anak Cia Bun Houw? Huh, siapa
percaya omonganmu? Jangan kira engkau akan bisa menakut-nakuti orang dengan
nama Cia Bun Houw yang kau akui sebagai ayahmu!"
Sin Liong
melangkah maju menghadapi wanita itu dengan dua tangan bertolak pinggang,
sikapnya sungguh penuh keberanian. "Dan kau bilang bohong hanya untuk
menutupi rasa takutmu! Aku adalah Cia Sin Liong, anak kandung dari Cia Bun
Houw! Engkau mau percaya atau tidak adalah urusanmu, akan tetapi aku
menantangmu untuk melawan ayah kandungku itu! Sekarang, mau bunuh, mau siksa,
mau bakar, kau orang dewasa boleh berlaku sesuka hatimu terhadap anak kecil
seperti aku. Akan tetapi awas, aku akan mati penasaran dan rohku akan selalu
mengejar-ngejarmu sampai engkau berani berhadapan dengan ayahku. Rohku baru
tidak akan penasaran lagi apa bila kau sudah menggelinding mampus di depan kaki
ayahku!"....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment