Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 07
SEMENJAK
kecil, manusia telah mengenal pujian-pujian yang tentu saja mula-mula dimulai
dengan timang dan puji dari ayah ibunya sendiri, lalu lama-kelamaan sifat suka
dipuji ini dibentuk oleh keadaan sekeliling. Makin besar pertumbuhan anak itu,
makin besar pula sifat suka dipuji ini, dan agaknya sifat ini dibawa terus
sampai tua dan sampai mati.
Betapa
manusia selalu haus akan pujian. Sifat haus akan pujian ini makin memperbesar
gambaran kita tentang diri kita sendiri sehingga membuat kita bertambah sukar untuk
memandang dan mengenal diri sendiri seperti apa adanya.
Kita ini
kerdil, namun gambaran-gambaran itu membuat kita melihat diri kita besar dan
agung! Kita ini kotor, tetapi gambaran-gambaran itu membuat kita melihat
bayangan kita sebagai yang paling bersih! Sehingga kekotoran kita sendiri itu
tidak pernah nampak oleh kita, dan karena tidak pernah kelihatan maka tentu
saja tidak pernah terjadi perubahan yang membersihkan kekotoran itu.
Sin Liong
sebagai anak, baru berusia dua belas tahun, tentu saja tidak terlepas dari
sifat ini. Mendengar dua orang anak itu bersorak memuji, dan kadang-kadang
menjerit karena merasa ngeri, dia kemudian sengaja hendak memamerkan
kepandaiannya! Bagi dia yang hidup di atas pohon sejak lahir, berayun-ayun dan
bermain-main di pohon itu, betapa pun tingginya, tiada bedanya dengan
bermain-main dan berlarian di atas tanah saja.
Melihat Sin
Liong berayun-ayun demikian cepatnya, melepaskan cabang dan meloncat ke cabang
lain, kemudian memutar-mutar tubuhnya dengan tangan berpegang pada ranting,
mengenjot-enjot ranting, kedua orang anak perempuan itu bersorak memuji. Akan
tetapi tiba-tiba, pegangan Sin Liong terlepas dan tubuhnya melayang ke bawah!
"Aihhhh...!
Dua orang anak perempuan itu menjerit dengan berbareng.
Akan tetapi,
tiba-tiba kaki Sin Liong mengait ranting dan tubuhnya terayun dengan kepala di
bawah dan dia tertawa-tawa, lalu berjungkir balik dan telah memanjat naik
kembali. Dua orang anak perempuan itu juga tertawa, akan tetapi muka mereka
berubah agak pucat. Ketangkasan Sin Liong bermain-main di atas pohon itu memang
tak ada bedanya dengan seekor monyet. Hal ini tentu saja tidak mengherankan
kalau diingat bahwa sebelum dia bisa berjalan kaki, Sin Liong sudah pandai
sekali berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon.
Tidak lama
kemudian Sin Liong sudah turun dari pohon itu membawa dua tangkai bunga merah
segar yang indah. Dia menggigit tangkai bunga-bunga itu. Bunga-bunga itu segar
dan masih basah oleh embun pagi.
"Engkau
hebat, Sin Liong!" kata Kui Lin.
"Kembang
itu indah sekali untuk hiasan rambut!" kata Kui Lan.
"Mari
kupasangkan di rambut kalian, seorang satu," kata Sin Liong.
Dua orang
anak perempuan itu tertawa-tawa girang dan Sin Liong lantas memasangkan
setangkai bunga pada rambut kepala Kui Lan, kemudian setangkai pula di rambut
kepala Kui Lin. Setelah kembang itu berada di atas kepala dua orang anak
perempuan kembar ini, Sin Liong memandang mereka dengan kagum. Cantik bukan
main mereka itu, cantik dan amat baik kepadanya. Dan kembang-kembang itu
membuat mereka nampak makin mungil.
"Kalian
cantik sekali...," dia memuji.
"Ah,
engkau yang hebat, Sin Liong. Tangkas sekali engkau memanjat pohon tadi, dan
aku berani bertaruh bahwa kedua suheng kami pun tidak mungkin bisa memetik
kembang ini seperti yang kau lakukan tadi!" Kui Lan memuji.
"Dan
sebagai hadiahnya, maka engkau boleh memasangkan kembang di rambut kami,"
Kui Lin menambahkan.
Mereka tidak
tahu bahwa di balik sebatang pohon, Kwan Siong Bu mengintai dan melihat serta
mendengar semua itu dengan mata terbelalak, muka merah dan tangan terkepal. Dia
merasa iri hati sekali. Tadi dia mendengar sorak dan jerit dua orang anak
perempuan itu, maka dia menghampiri dan mengintai dari balik pohon. Kini hatinya
menjadi panas oleh iri.
Akan tetapi
apa yang dapat dibuatnya? Untuk memanjat pohon dan bermain-main di atas pohon
seperti yang dilakukan Sin Liong tadi, tentu saja dia tidak mampu. Huh, kau
anak monyet, tentu saja pandai memanjat pohon, pikirnya marah.
"Sin
Liong, tangkapkan kupu-kupu kuning itu untukku!" mendadak Kui Lan berkata
sambil menudingkan telunjuknya kepada seekor kupu-kupu berwarna kuning yang
gerakannya gesit sekali.
"Ya,
untukku seekor, Sin Liong. Tadi kami mencoba-coba menangkapnya tetapi selalu
gagal," kata pula Kui Lin.
Mendengar
ini, tentu saja Sin Liong ingin sekali menyenangkan hati dua anak perempuan
itu. Untuk sementara dia melupakan pekerjaannya menyapu dan dia pun berkata
dengan wajah berseri, "Baiklah, Lan-moi dan Lin-moi, kalian tunggu saja.
Aku akan menangkap dua ekor kupu-kupu kuning untuk kalian!" Dan dia pun
sudah berlari mengejar kupu-kupu yang terbang menjauh itu.
Mendengar
betapa Sin Liong bermain-main dengan kedua orang sumoi-nya itu, bahkan menyebut
moi-moi pula, hati Siong Bu menjadi amat panas. Huh, anak monyet, sombong kamu!
Demikian pikirnya. Kalau selama satu tahun ini dia hanya menahan-nahan ketidak
senangan hatinya terhadap Sin Liong adalah karena dia takut terhadap bibinya
yang kini kelihatan melindungi Sin Liong. Kini, melihat Sin Liong pergi
mengejar kupu-kupu, Siong Bu cepat mencari akal untuk mengganggunya.
Iri hati
selalu menimbulkan rasa benci dan dendam. Benci dan dendam mendatangkan
kecerdikan yang selalu didorong oleh kejahatan untuk mencelakakan orang lain
atau pun menguntungkan diri sendiri. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kita
waspada terhadap diri sendiri yang mudah dikuasai oleh iri hati.
Iri hati
timbul dari perbandingan. Kita suka membandingkan keadaan kita dengan orang
lain, menganggap orang lain lebih beruntung dari kita, lebih senang dan lebih
enak dari pada kita, maka timbullah iba diri yang berkawan dengan iri hati.
Dua orang
anak perempuan itu sedang tersenyum-senyum dan saling pandang. Melihat
saudaranya demikian cantik memakai kembang di kepala, mereka tahu bahwa mereka
pun masing-masing seperti saudaranya itulah. Dan mereka merasa bangga dan
girang.
"Wuutt...
wuuttt...!" Dua buah benda menyambar.
"Pratt!
Prattt!"
Kui Lan dan
Kui Lin menjerit dan cepat memegang kepala masing-masing. Bunga-bunga di kepala
mereka tadi sudah runtuh dan mendadak kepala mereka menjadi kotor terkena
lumpur! Entah dari mana datangnya mereka tidak tahu, akan tetapi ada tanah
berlumpur yang menyambar bunga mereka sehingga bunga itu runtuh dari atas
kepala mereka dan rambut mereka menjadi kotor. Kui Lan dan Kui Lin adalah dua
orang anak manja. Melihat bunga itu jatuh rusak dan rambut mereka kotor, yang
mereka ketahui dari melihat rambut saudara mereka, keduanya lalu menangis.
Mendengar
jerit itu yang disusul tangis, Sin Liong menjadi terkejut. Kupu-kupu kuning
tadi memang lincah sekali, kelihatan terbang rendah akan tetapi beberapa kali
ditubruknya selalu gagal dan luput. Pada saat mendengar jerit kedua orang anak
perempuan itu dia menoleh dan kagetlah hatinya melihat mereka menangis sambil
memegangi kepala.
Cepat dia
berlari menghampiri. Napasnya sampai terengah-engah karena dia terkejut dan
berlari cepat sekali. Ketika melihat betapa bunga itu sudah rontok dari kepala
mereka dan rambut mereka kotor terkena lumpur, Sin Liong mengerutkan alisnya
dan memandang ke kanan kiri. Akan tetapi tak nampak seorang pun di situ dan dia
lalu membersihkan rambut kepala Kui Lan karena anak inilah yang lebih keras
tangisnya, sambil menghibur.
"Sudahlah,
biar nanti kucarikan lagi."
Sin Liong
menggunakan ujung lengan bajunya untuk membersihkan rambut kedua orang anak
perempuan itu.
"Heeei
Sin Liong, kau berani kurang ajar terhadap dua orang sumoi-ku, ya? Kau telah
menggoda mereka dan mengotorkan rambut mereka, ya?"
Sin Liong
terkejut dan menoleh. Dia melihat Siong Bu tiba-tiba saja muncul dan selagi dia
hendak membantah, Siong Bu sudah menerjang dan menyerangnya dengan pukulan ke
arah dadanya. Sin Liong mundur-mundur, akan tetapi dia tidak mampu menghindar
dari pukulan itu.
"Bukkk...!"
dan dia terhuyung ke belakang.
"Heeeiii,
aku aku tidak..."
"Pengecut!
Beraninya hanya menggoda anak perempuan!" Siong Bu menerjang lagi, kini
mengirim tendangan ke arah perut Sin Liong.
Gaya
serangan Siong Bu kini sudah makin berisi, berbeda dengan setahun yang lalu.
Sin Liong meloncat ke belakang mengelak, akan tetapi pemuda kecil yang berwajah
tampan dan pemarah itu sudah mendesaknya dan mengirim pukulan bertubi-tubi.
Setahun yang
lalu, walau pun Sin Liong belum pernah mempelajari ilmu silat, namun dia
memiliki ketangkasannya karena hidup secara liar bersama para monyet. Kini,
karena dia telah mempelajari ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan
Siong Bu yang marah tentu saja dia bergerak menurut itu silat yang selama ini
dilatihnya di bawah bimbingan ibunya. Dan justru hal inilah yang membuat dia
menjadi bulan-bulanan serangan Siong Bu.
Siong Bu
telah mempelajari ilmu silat sejak kecil, maka dibandingkan dengan Sin Liong
yang baru belajar satu tahun itu, tentu saja Siong Bu jauh lebih menang, maka
kalau Sin Liong menghadapinya dengan mengandalkan gerakan silat, tentu saja dia
kalah jauh dan elakan-elakannya menurut gaya silat yang belum matang itu tak
berhasil menghindarkan dia dari serangan-serangan Siong Bu.
Dengan
kepandaian silatnya yang masih mentah, namun yang dipakainya dalam gerakan, Sin
Liong bahkan mengurangi kecepatannya sendiri, kehilangan ketangkasan yang telah
didapatnya secara wajar dan otomatis itu. Andai kata dia tidak lagi terikat
dengan gerakan silat, kiranya dia malah akan dapat bergerak lebih cepat karena
bebas, dan dia pun dapat mengandalkan nalurinya yang sangat kuat untuk
menghindarkan diri dari semua pukulan dan tendangan. Namun, dia menangkis dan
mengelak dengan gerakan silat yang masih mentah sehingga berkali-kali dia
terkena hantaman dan tendangan Siong Bu. Beberapa kali dia terpelanting dan
terbanting roboh!
"Heiiii,
suheng! Sin Liong! Jangan berkelahi...!" Beng Sin datang berlari-lari ke
tempat itu dan mencoba untuk melerai. Akan tetapi hampir saja dia terkena
sambaran tendangan kaki Siong Bu. "Sudah... sudah... kenapa
berkelahi?" Beng Sin berseru lagi akan tetapi kini dia hanya berdiri
dengan khawatir.
Akan tetapi,
Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Meski pun hidungnya sudah
mengeluarkan darah dan mukanya benjol-benjol membiru, pakaiannya koyak-koyak
serta tubuhnya babak belur, dia masih terus melawan dan sekali dua kali ada
juga pukulannya yang mengenai tubuh Siong Bu. Akan tetapi, kembali dia
terjengkang oleh tendangan kaki Siong Bu yang mengenai dadanya.
"Desss...!"
Sin Liong terjengkang dan terbanting keras.
"Sudah...
sudah, jangan berkelahi...!" Kui Lin berseru.
"Kwan-suheng,
sudah jangan memukul dia lagi!" Kui Lan juga berteriak.
Akan tetapi
Siong Bu bukan hanya marah, akan tetapi anak ini juga ingin memamerkan
kepandaiannya di hadapan kedua orang sumoi-nya, untuk menonjolkan kelebihannya
dari Sin Liong agar harga dirinya naik dalam pandangan dua orang sumoi-nya itu,
juga untuk merendahkan Sin Liong di depan mereka.
"Hayo
kau minta ampun, baru aku mau sudah!" bentak Siong Bu kepada Sin Liong
yang sudah babak belur itu.
Akan tetapi,
bagi Sin Liong lebih baik jika dia dipukul mati dari pada harus minta ampun
kepada Siong Bu, minta ampun tanpa bersalah. Maka dia sudah merangkak bangun
lagi kemudian dengan gerengan di dalam kerongkongannya, dia menubruk ke depan.
Begitu terdengar gerengan ini, Sin Liong menyerang dengan ganas dan liar, tidak
menggunakan gerak silat lagi. Dia sudah lupa akan silatnya, kini berubah
menjadi seekor monyet marah, matanya mendelik dan mulutnya menyeringai,
tubrukannya dahsyat sekali.
"Plakkk!
Dukkk!"
Tendangan
dan pukulan Siong Bu memapaki tubuhnya, akan tetapi kini Sin Liong seperti
tidak mengenal rasa sakit lagi dan masih saja dia menubruk dan mencengkeram.
Rambut kepala Siong Bu dijambak dan ditarik sekuatnya sehingga anak itu
menjerit dan berusaha melepaskan jambakan.
Namun Sin
Liong tetap mencengkeram rambut itu seperti seorang yang hanyut di sungai
berpegangan kepada ranting pohon penyelamat. Siong Bu kesakitan dan
berteriak-teriak, kakinya menendang-nendang dan ketika lutut Sin Liong tertendang,
dia terguling, akan tetapi karena jari-jari tangannya masih mencengkeram rambut
Siong Bu, maka anak ini pun terbawa pula ikut terguling bersamanya. Mereka kini
bergulat dan bergulingan di atas tanah.
Tiba-tiba
terdengar bentakan, "Lepas...!"
Mendengar
suara ibunya, Sin Liong terkejut sekali lantas melepaskan cengkeramannya. Juga
Siong Bu melepaskan cekikannya dan kedua orang anak itu bangkit berdiri.
Pakaian mereka penuh debu dan mereka berdiri dengan muka tunduk karena takut.
Akan tetapi Sin Liong segera mengangkat mukanya dan memandang kepada ibunya.
Si Kwi
terkejut bukan main melihat muka anaknya itu benjol-benjol biru dan berdarah di
bibir dan hidungnya. Jelas bahwa Sin Liong telah dihajar oleh Siong Bu karena
pada muka anak ini tidak ada bekas pukulan Sin Liong. Si Kwi adalah seorang
wanita yang keras hati dan dia tidak mudah dipengaruhi oleh perasaan. Biar pun
hatinya marah melihat muka anaknya seperti itu, namun dia tidak menuruti
hatinya dan ingin tahu apa yang terjadi sebelum dia menyalahkan.
"Sin
Liong, mengapa kau berkelahi dengan Siong Bu?"
Sin Liong
menentang pandang mata ibunya. Sepasang matanya tajam menusuk sehingga
diam-diam Si Kwi bergidik. Mata anak ini serupa benar dengan mata Cia Bun Houw,
tetapi kalau dalam pandang mata Cia Bun Houw selain ketajaman luar biasa juga
terkandung kelembutan, sebaliknya ketajaman pandang mata anak ini bercampur
dengan cahaya liar dan ganas! Dan anak itu sama sekali tidak menjawab,
sebaliknya kini malah menunduk.
Si Kwi tahu
akan watak aneh dari anaknya ini, maka dia menoleh kepada Siong Bu dan
bertanya, "Siong Bu, hayo cepat katakan apa yang terjadi! Kenapa engkau
memukuli Sin Liong?"
Siong Bu
yang sejak tadi menunduk, kini mengangkat mukanya dan sambil menoleh ke arah
Sin Liong dengan pandang mata marah, dia berkata, "Dia menggoda Lan-sumoi
dan Lin-sumoi, mengotori rambut mereka dan membuat mereka menangis, maka saya
lalu menghajarnya, bibi."
Si Kwi
menoleh kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan muka tunduk. "Sin
Liong, benarkah engkau menggoda Lan Lan dan Lin Lin?" tanyanya dengan alis
berkerut.
Sin Liong
mengangkat mukanya, memandang ibunya sejenak, lalu menunduk lagi tanpa
menjawab! Si Kwi maklum bahwa kalau sudah begitu, diapakan pun juga, Sin Liong
tidak akan mau menjawab. Dia menoleh kepada Beng Sin yang gemuk dan yang
semenjak tadi berdiri agak jauh tanpa berani ikut bicara.
Melihat
bibinya memandang kepadanya, dia tersenyum ramah akan tetapi tidak berkata
apa-apa. Si Kwi tidak mau bertanya kepada Beng Sin, karena dia tahu bahwa Beng
Sin tidak ikut-ikut dalam hal ini. Yang paling tepat adalah menanyai
anak-anaknya sendiri.
"Lan
Lan dan Lin Lin, benarkah Sin Liong menggoda kalian dan mengotori rambut-rambut
kalian?"
"Tidak,
ibu. Sama sekali tidak!" Kui Lin berkata.
"Hemm,
kalau begitu mengapa mereka berkelahi?" Si Kwi mendesak. Kui Lan yang kini
menjawab karena Kui Lin memang tidak begitu pandai bicara.
"Sesungguhnya
Sin Liong tidak menggoda kami, ibu. Sin Liong malah mencarikan bunga dan
bermain-main dengan kami. Tahu-tahu Kwan-suheng datang dan menuduh Sin Liong
menggoda kami lalu memukulnya."
Si Kwi
menoleh dan memandang kepada Siong Bu dengan alis berkerut. Melihat ini Siong
Bu cepat berkata, "Saya... saya melihat kedua sumoi menangis, maka tentu
mengira Sin Liong menggoda mereka dan..."
"Kenapa
kalian menangis?" Si Kwi memotong dan kembali memandang pada dua orang
anaknya.
"Kembang
kami jatuh...," Kui Lin berkata.
"Entah
kenapa, ibu, kembang pemberian Sin Liong terjatuh dari rambut kami dan rambut
kami menjadi kotor terkena tanah lumpur. Kami menangis, Sin Liong menghibur
kami dan tahu-tahu Kwan-suheng muncul dan memukuli Sin Liong," kata Kui
Lan.
Si Kwi kini
memandang Siong Bu dengan mata marah. Dia kini dapat menduga apa yang terjadi
dan dia lalu melangkah maju mendekati Siong Bu. Tangannya bergerak ke depan
menyambar ke arah muka anak itu.
"Plakk!
Plakk!"
Dua kali
kedua pipi Siong Bu ditampar oleh nyonya itu. Siong Bu terpelanting, lalu
berlari sambil menangis dan memegangi kedua pipinya.
Hemmm, dia
tentu akan mengadu kepada pamannya, pikir Si Kwi. Lalu dia menegur Sin Liong
dengan suara halus, "Liong-ji, kenapa engkau mencari gara-gara? Kalau ada
orang menyerangmu, mengapa engkau tidak pergi saja mencariku biar aku yang
turun tangan? Kenapa engkau melawan sendiri sedangkan kepandaianmu masih amat
rendah? Engkau mencari penyakit."
Akan tetapi
Sin Liong tidak menjawab, bahkan langsung pergi meninggalkan ibunya untuk
melanjutkan pekerjaannya menyapu lorong di taman itu. Si Kwi menarik napas
panjang, tidak berani dia memperlihatkan kasih sayangnya secara terbuka kepada
Sin Liong, maka dia pun lalu menggandeng tangan kedua orang anak perempuan itu
dan mengajaknya kembali ke dalam rumah.
Dugaan Si
Kwi memang ternyata terbukti benar. Siong Bu yang merasa betapa pamannya amat
menyayangi dan memanjakannya, dan yang tahu pula bahwa pamannya itu tidak suka
pada anak angkat bibinya, sambil menangis lalu mengadu kepada pamannya bahwa
dia ditampari oleh bibinya karena bibinya membantu Sin Liong.
Melihat
kedua pipi keponakan yang sebenarnya adalah anaknya sendiri itu bengkak dan
merah, marahlah Hok Boan. Apa lagi sesudah mendengar pengaduan Siong Bu bahwa
perkelahian antara anak itu dengan Sin Liong disebabkan karena Sin Liong
dianggapnya menggoda dua orang anak perempuannya.
"Anak
monyet itu memang tak tahu diri!" bentaknya dan cepat dia menemui Si Kwi
dengan muka merah dan mata mengandung kemarahan besar.
"Niocu,
perbuatanmu sekali ini sungguh tidak menyenangkan hatiku!" Hok Boan
berkata kepada isterinya yang sedang mencuci rambut kedua anaknya yang kotor
terkena lumpur itu.
Si Kwi tahu
bahwa suaminya marah dan tentu sudah terkena pengaduan Siong Bu, akan tetapi
melihat betapa dalam kemarahannya Hok Boan masih bersikap halus kepadanya, dia
pun hanya memandang dan berkata dengan halus pula, "Kui-long (kakanda),
apakah aku sebagai isterimu tidak boleh mengajar keponakanmu?"
Hok Boan
amat mencintai isterinya, maka biar pun marah, dia tidak dapat bersikap kasar.
Sekarang, ditanya seperti itu, pertanyaan yang mengandung teguran, dia menjadi
gugup, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Tentu saja engkau berhak
dan boleh sekali mengajarnya karena keponakanku adalah keponakanmu pula. Bukan
pengajaranmu itu yang tidak menyenangkan hatiku, niocu. Biar engkau mengajar
Siong Bu lebih keras lagi, aku tidak akan merasa menyesal bahkan bersyukur
bahwa engkau sebagai isteriku ikut memperhatikan pendidikan untuk keponakanku.
Akan tetapi apa bila engkau mengajarnya sebagai pembelaan terhadap anak monyet
itu, sungguh hal ini amat tidak tepat!"
"Kui-long,
aku sama sekali bukan hanya membela Sin Liong. Kalau Sin Liong melakukan hal
yang tak patut, tentu dia akan kuajar pula. Akan tetapi aku melihat Sin Liong
dipukuli oleh Siong Bu tanpa kesalahan. Suamiku, ingatlah bahwa kita mendidik
anak-anak bukan untuk menjadi tukang pukul dan menjadi orang yang berhati
kejam! Engkau tahu bahwa baru saja aku mengajarkan silat kepada Sin Liong dan
dia tentu saja tidak akan mampu membela diri terhadap Siong Bu. Kalau dia tidak
diserang, mana dia berani kepada Siong Bu? Urusan ini merupakan urusan
anak-anak, dan kita sebagai orang tua wajib mendidik mereka, kalau perlu
menghajar mereka yang menyeleweng. Kalau kini engkau membela Siong Bu, bukankah
terdapat bahaya bahwa seakan-akan kita membela murid masing-masing?"
Diam-diam
Hok Boan terkejut. Benar juga, pikirnya.
"Tia
(ayah), Sin Liong tidak bersalah apa-apa dan suheng salah sangka, datang-datang
lalu memukulnya. Suheng mengira Sin Liong menggoda kami berdua, padahal tidak
sama sekali." Kui Lan berkata, membela Sin Liong dan membela ibunya.
Mendengar
ini, Hok Boan semakin tidak mampu berkata apa-apa. Dia sendiri pun tahu bahwa
puteranya itu, Siong Bu, memang berwatak keras. Dia menarik napas panjang lalu
berkata kepada isterinya,
"Maafkan
aku, niocu. Aku tidak menyalahkan engkau karena memberi hajaran terhadap
keponakan kita itu. Aku hanya khawatir bahwa melihat engkau menampari di depan
anak monyet itu, hal ini akan membuat dia besar kepala dan makin liar. Ingat,
sejak kecil dia itu sudah terpengaruh oleh keliaran binatang buas, maka kalau
dia merasa dimanja, bukan maksudku mengatakan kau memanjakannya, akan tetapi
kalau dia merasa dimanja, dia bisa menjadi semakin liar. Dia harus dididik
secara keras seperti mendidik seekor monyet liar supaya anak itu menjadi jinak
sehingga kelak tidak akan mencemarkan nama baik kita sebagai orang tua
angkatnya."
Mendengar
ini, Si Kwi mengangguk dan dia membenarkan pendapat suaminya. Dia amat mencinta
Sin Liong yang diketahuinya adalah puteranya sendiri. Akan tetapi tentu saja
dia lebih mencinta suaminya ini. Suami yang sah, sedangkan Sin Liong bukanlah
anaknya yang sah.
"Engkau
memang benar, biar aku akan memperkeras pengawasanku terhadap Sin Liong."
"Hemmm,
kurasa sebaiknya sekarang aku memberi hukuman kepadanya supaya dia tahu bahwa
lain kali dia tidak boleh berkelahi dengan orang." Sesudah berkata
demikian, Hok Boan pergi mencari Sin Liong yang biasanya pada waktu seperti itu
tentu masih bekerja di belakang memberi makan kuda. Akan tetapi ketika Hok Boan
tiba di kandang kuda, anak itu tidak berada di situ. Hanya kuda yang makan
makanan kuda dari bak yang nampak di dalam kandang.
"Sin
Liong...!" Hok Boan memanggil dengan suara marah.
Tidak ada
jawaban. Hok Boan telah membawa sebatang ranting yang dipersiapkan untuk
menghajar Sin Liong. Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak
itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu meninggalkan kandang kuda dan
mencari ke tepi hutan di belakang kandang kuda itu.
"Sin
Liong...!" Suaranya memanggil-manggil menggema di dalam hutan. Namun
panggilan itu hanya dijawab oleh gema suaranya sendiri.
***************
Biar pun dia
disayang oleh pamannya, akan tetapi bibinya agaknya lebih menyayang Sin Liong,
dan apa bila pamannya mendengar akan semua yang terjadi, mungkin dia malah yang
akan mendapat kemarahan pamannya itu. Oleh karena itu, setelah melapor sambil
menangis di depan pamannya dan melihat pamannya pergi dengan marah, Siong Bu
lalu pergi pula meninggalkan rumah dan masuk ke dalam hutan.
Dia memasuki
hutan besar itu, lantas duduk di bawah pohon besar, tersembunyi di balik
semak-semak belukar. Memang dia bermaksud untuk bersembunyi dan baru akan
pulang kalau keadaan rumah sudah mereda, kalau paman dan bibinya tidak
marah-marah lagi.
Kalau dia
teringat kepada Sin Liong hatinya menjadi semakin panas. Terbayang di dalam
ingatannya saat Sin Liong menangis dengan kepala di atas pangkuan bibinya,
dibelai oleh bibinya. Hal itulah yang sesungguhnya menimbulkan iri di dalam
hati anak ini.
Dia sendiri
tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Semenjak kecil dia dibawa
secara paksa oleh pamannya ke Istana Lembah Naga. Melihat Sin Liong yang
dikenalnya hanya sebagai seorang anak angkat, sama sekali tak ada hubungan
darah daging dengan paman mau pun bibinya, malah anak yang kabarnya ditemukan
dari sekumpulan monyet, akan tetapi demikian disayang oleh bibinya, tentu saja
dia merasa iri hati dan perasaan ini menimbulkan kebencian di dalam hatinya.
Kedua
pipinya masih terasa panas dan nyeri. Gara-gara anak monyet itu, pikirnya
sambil mengusap kedua pipinya. Bibinya sudah menamparnya demi membela anak
monyet itu! Hatinya merasa amat penasaran dan sakit sehingga dua tetes air mata
kembali menuruni pipinya. Siong Bu merebahkan diri di atas rumput, berbantal
lengan dan sebentar saja dia pun tertidurlah.
Dia terkejut
dan bangun mendengar suara-suara tidak jauh dari situ. Dengan heran Siong Bu
bangkit duduk dan ketika mendengar suara orang bercakap-cakap, dia cepat-cepat
merangkak dan mengintai dari balik semak-semak. Jantungnya berdebar keras
karena dia mendengar suara wanita, menduga bahwa bibinya yang datang
mencarinya. Akan tetapi setelah dia sadar betul, dia mendapat kenyataan bahwa
suara itu bukanlah suara bibinya. Timbul keberaniannya dan dia lalu mengintai.
Ternyata
wanita itu adalah seorang wanita yang berpakaian amat indah, usianya sepantar
dengan bibinya akan tetapi wanita ini cantik sekali, cantik dan pakaiannya
sangat mewah. Rambutnya digelung malang melintang dan membelit-belit bagaikan
beberapa ekor ular saling belit dan rambut itu dihias dengan hiasan rambut yang
gemerlapan. Lengan kirinya memakai gelang emas kecil-kecil yang banyak,
sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan kiri, terdengar suara gemerincing
nyaring. Wajah itu cantik dan manis, akan tetapi dingin sekali dan kelihatan
angkuh sehingga menakutkan hati Siong Bu.
Sekarang
Siong Bu mengalihkan perhatiannya dan memandang orang kedua yang berdiri
berhadapan dengan wanita itu. Orang ini adalah seorang pemuda kecil, usianya
kurang lebih empat belas tahun, akan tetapi perawakannya tinggi tegap, setinggi
orang dewasa. Seperti juga wanita itu, pemuda ini memakai pakaian yang amat
mewah, topinya terhias mainan seekor naga dengan mata mutiara indah. Wajahnya
tampan dan gerak-geriknya halus, mulutnya selalu tersenyum.
Siong Bu
merasa terheran-heran. Memang sudah banyak orang tinggal di sekitar Lembah
Naga, akan tetapi mereka semua adalah orang-orang dusun yang miskin dan
berpakaian sederhana. Lantas dari mana datangnya dua orang yang berpakaian
seperti bangsawan-bangsawan tinggi itu? Dia mendengarkan percakapan mereka
dengan penuh perhatian tanpa berani bergerak.
"Suci,
kenapa kita harus meninggalkan kereta dan pengawal?" anak laki-laki itu
bertanya kepada wanita yang disebutnya kakak seperguruan itu.
"Sute,
di dunia kang-ouw, hal yang paling terpandang adalah keberanian dan kegagahan.
Kalau kita datang bersama banyak pengawal, tentu orang akan mengira bahwa kita
hanya mengandalkan kekuatan pasukan pengawal dan hal itu berarti akan
mencemarkan nama suci-mu ini."
Mendengar
ucapan itu, Siong Bu terheran maka kini dia memandang wanita itu dengan makin
penuh perhatian. Tadinya dia tidak berani memandang terlalu lama karena wajah
wanita yang dingin dan angkuh itu menakutkan hatinya. Baru sekarang dia melihat
bahwa wanita yang cantik dan berpakaian indah itu ternyata membawa sebatang
pedang yang tergantung pada punggungnya. Di samping pedang ini, juga nampak
sebuah kayu salib tergantung di punggung itu, kayu salib yang jelas kelihatan
ada tulisan tiga huruf besar, yaitu CIA, YAP dan TIO.
"Suci,
banyakkah jagoan-jagoan di dunia kang-ouw?"
Wanita itu
menarik napas panjang. "Banyak? Sampai tidak terhitung, sute. Dan
masing-masing memiliki keistimewaan sendiri. Di dunia ini penuh orang pandai,
oleh karena itu, di dalam melakukan perjalanan ke kota raja di selatan nanti
bersama suci-mu, engkau harus berhati-hati dan selalu menurut bimbingan
suci-mu, jangan bertindak ceroboh, sute."
"Akan
tetapi kenapa kita harus berhenti dulu di Lembah Naga, suci? Bukankah itu hanya
membuang-buang waktu belaka?" anak laki-laki itu mencela.
"Ayahmu
sri baginda yang mengutus aku ke sini, sute. Selain itu, ada beberapa urusan
pribadi yang harus kuselesaikan. Ada beberapa orang musuh menantang suci-mu
untuk mengadakan pertemuan di tempat ini."
"Apakah
mereka lihai, suci?"
"Ahh,
tidak berapa lihai, hanya beberapa orang yang datang hendak mengantar nyawa
saja."
"Suci,
biarkan aku menghadapi mereka!"
"Bagaimana
nanti sajalah..."
Pada saat
itu terdengar bentakan nyaring. "Kim Hong Liu-nio, perempuan sombong! Kami
datang menagih nyawa saudara-saudara kami!" Dan bermunculanlah lima orang
laki-laki dari balik pohon-pohon. Namun wanita cantik itu hanya tersenyum
mengejek, sedangkan anak laki-laki itu pun memandang dengan wajah gembira dan
dia tersenyum lebar.
"Suci,
kenapa baru sekarang mereka muncul? Bukankah semenjak tadi mereka itu sudah
bersembunyi di balik pohon-pohon itu?"
Siong Bu
terkejut. Ternyata anak laki-laki itu sudah tahu akan kedatangan lima orang
ini! Jangan-jangan suci dan sute itu pun sudah tahu akan tempat dia
bersembunyi! Siong Bu makin ketakutan dan dia mengintai terus dengan hati penuh
ketegangan.
Dia melihat
bahwa lima orang yang baru datang itu kelihatan gagah dan kuat, dikepalai oleh
seorang laki-laki berusia enam puluh lima tahun lebih yang bertubuh pendek
besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Orang ini pakaiannya
serba hitam, dengan sabuk dan kain kepala berwarna kuning. Empat orang lainnya
agak lebih muda, antara empat puluh tahun usia mereka dan sikap mereka juga
gagah, dengan memegang bermacam senjata, sikap mereka penuh ancaman dan
kemarahan.
Kim Hong
Liu-nio, wanita cantik itu, menghadapi kelima orang dengan sikap memandang
rendah, lalu dia mengangkat muka memandang kakek pendek besar itu, bertanya dengan
sikap tak acuh, "Jadi kalian inikah yang mengirim surat tantangan supaya
aku datang ke tempat ini?"
"Suci,
apakah mereka ini jagoan-jagoan kang-ouw juga?" Anak lelaki itu bertanya
setelah memandang kepada lima orang itu penuh perhatian.
Wanita itu
mendengus dan bibirnya berjebi. "Sute, di dunia kang-ouw, orang-orang
seperti mereka ini hanya merupakan cacing-cacing busuk yang tiada
artinya."
Kakek pendek
besar yang membawa golok besar di pinggangnya itu membentak marah.
"Perempuan sombong! Aku Twa-sin-to Kui Liok selama hidupku tidak pernah
bermusuhan denganmu! Akan tetapi tanpa dosa sama sekali dua orang keponakanku
telah kau bunuh, hanya karena mereka itu she Tio!"
"Semua
orang she Cia, Yap dan Tio harus mampus di tanganku!" kata wanita itu
sambil memperlihatkan papan kayu salib yang diambilnya dari punggung.
"Siluman
betina, engkau juga telah membunuh sute kami yang she Yap!" Kini tiga
orang laki-laki yang memegang pedang melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Dan
engkau membunuh ibuku yang she Cia!" kata orang ke lima, juga marah
sekali.
"Sute,
apakah engkau jadi ingin menghadapi cacing-cacing in!?"
"Benar,
suci. Aku ingin mencoba apa yang telah kupelajari dari subo dan darimu."
Anak itu lalu melangkah maju, menghadapi lima orang itu dengan sikap tenang.
Lima orang
itu saling pandang dengan ragu-ragu. Tentu saja mereka tak sudi mengeroyok
seorang anak laki-laki yang usianya belum dewasa ini. Mereka adalah orang-orang
yang terkenal di perbatasan utara ini. Bahkan Twa-sin-to Kui Liok adalah
seorang perampok tunggal yang amat terkenal di selatan.
"Kim
Hong Liu-nio, lekas kau suruh anak ini minggir! Kami hanya ingin membalas
dendam kepadamu dan menagih nyawa!" bentak kakek itu sambil melangkah
maju.
"Twa-sin-to,
biarlah aku yang mewakili suci-ku. Cabutlah golok besarmu dan kalian boleh maju
semua, aku akan menghadapi kalian dengan tangan kosong saja," anak
laki-laki itu berkata dengan sikapnya yang halus, namun senyum di bibirnya
penuh ejekan dan penuh ketinggian hati.
Selagi
Twa-sin-to Kui Liok meragu, seorang di antara mereka, yang termuda, kurang dari
empat puluh tahun usianya, bermuka hitam, telah melangkah maju kemudian
membentak. "Biarlah aku melemparkan setan cilik yang sombong ini!"
Lelaki itu
bertubuh tinggi besar, bermuka hitam menyeramkan dan karena kedua lengan
bajunya tergulung sampai ke atas siku, maka nampak kedua lengannya yang berotot
dan amat kuat. Kini, menghadapi anak itu, dia menyimpan lagi pedangnya ke
sarung pedang yang tergantung di pinggangnya dan dia menghadapi anak itu dengan
dua tangan kosong yang telah dikembangkannya ke kanan kiri, siap untuk
menubruk.
"Nanti
dulu!" kata anak yang tampan itu. "Apakah engkau juga seorang jagoan
kang-ouw dan mempunyai nama julukan? Lebih baik kau beritahukan nama julukanmu
itu agar aku dapat mencatat namamu sebagai jagoan kang-ouw pertama yang
kurobohkan."
Muka yang
hitam itu menjadi makin hitam, matanya melotot. "Bocah sombong, setan
cilik yang bosan hidup!" bentaknya dan dengan cepat, seperti seekor
harimau kelaparan, si muka hitam ini sudah menerjang ke depan, menubruk dengan
tangan kiri mencengkeram ke arah pundak anak itu dan tangan kanan mencekik ke
arah leher!
"Hemm...
dia kasar sekali, suci!" anak itu berseru dan sekali tubuhnya bergerak,
dengan langkah kaki yang indah sekali, serangan orang itu mengenai tempat
kosong, dan sambil mengelak itu kaki kanannya diangkat sedikit menyentuh lutut
kiri lawan.
"Dukkk...!"
Perlahan saja tendangan itu, akan tetapi karena tepat mengenai sendi lutut tak
dapat dicegah lagi si muka hitam jatuh berlutut!
"Wah,
dia tahu aturan juga, suci. Lihat, belum apa-apa dia sudah berlutut minta
ampun!" anak itu berkata mengejek.
Tentu saja
si muka hitam menjadi semakin marah dan malu. Dia adalah seorang jagoan yang
telah terkenal mempunyai kepandaian tinggi dan nama besar. Sekarang, dalam satu
gebrakan saja dia telah dihina oleh seorang anak kecil belasan tahun!
"Bocah
keparat!"
Dia meloncat
dan kini dia mengirim serangan hebat, bukan lagi serangan biasa karena
memandang rendah seperti tadi, melainkan serangan yang berdasarkan ilmu silat.
Kedua tangannya secara bergantian menghantam ke arah leher dan pusar, lantas
kaki kanannya menyusul dengan tendangan maut ke arah dada. Cepat sekali
terjangan yang dilakukan oleh si muka hitam ini.
Akan tetapi
baru saja dia bergerak, anak itu telah berseru, "Wah, suci, bukankah ini
jurus Go-houw Pok-sit (Macan Kelaparan Menyambar Makanan)? Kalau kutangkis
begini, tentu dia akan menyusul dengan tendangan, nah sebaiknya kutangkap
kakinya dari bawah dan kudorong terus ke atas, ya?" Sambil bicara
demikian, dia melaksanakan kata-katanya.
Serangan
pukulan kedua tangan si muka hitam itu berhasil ditangkisnya dan ketika kaki si
muka hitam menyambar, dia langsung meloncat ke samping, lalu secepat kilat
tangannya menyambar kaki yang lewat, menyangga dari bawah dan mendorongnya
terus ke atas. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka hitam itu terjengkang dan
terbanting berdebuk ke atas tanah sampai mengeluarkan debu mengepul!
"Bagus,
sute, memang sungguh tepat perhitunganmu!" Wanita cantik itu memuji sambil
mengangguk-angguk. "Akan tetapi jangan terlalu lama main-main dengan dia,
masih ada empat ekor lagi yang lain!"
Si muka
hitam itu menjadi marah bukan main. Marah dan malu sekali. Jagoan seperti dia
sampai dua kali dirobohkan oleh seorang anak kecil dan hanya dalam dua gebrakan
saja! Saking marahnya dia sampai lupa diri, lupa bahwa yang kini dihadapinya
adalah seorang anak laki-laki yang belum dewasa. Dia sudah bangkit berdiri,
mukanya makin menghitam dan matanya mendelik lalu dia membungkuk seperti seekor
kerbau marah, mendengus-dengus.
"Wah,
tadi berlutut dan kini menjura. Sudahlah, muka hitam, jangan menggunakan
terlalu banyak peradatan dan sopan santun. Aku tidak bisa menerima
penghormatanmu!" Anak itu yang ternyata selain lihai juga memiliki lidah
tajam dan pandai mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangan ke depan seperti
orang menolak.
Melihat
kehebatan anak laki-laki ini, secara diam-diam Siong Bu menjadi kagum bukan
main. Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tiba-tiba si muka hitam itu
mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, lalu tubuhnya sudah menerjang ke
depan dengan kepala di depan, menyeruduk seperti seekor kerbau gila!
Siong Bu
terkejut bukan main. Dahulu dia pernah mendengar dari pamannya tentang ilmu
menyeruduk seperti ini, yang mengandalkan latihan lweekang yang dipusatkan di
kepala, dan ilmu ini amat berbahaya karena lawan yang kena diseruduk tentu akan
remuk tulang-tulang dadanya. Biar pun dia belum pernah menyaksikan kehebatan
ilmu aneh ini, namun mendengarkan penuturan pamannya dia merasa ngeri dan
sekarang melihat anak yang dikaguminya itu diserang dengan ilmu aneh ini, dia
terbelalak dan merasa tegang.
Juga empat
orang laki-laki yang menjadi teman si muka hitam merasa tegang dan mereka
hampir merasa yakin bahwa kini anak kecil itu tentu akan celaka. Anehnya,
wanita cantik yang menjadi suci anak itu hanya memandang dengan sikap tenang
saja, sama sekali tidak merasa kaget atau gelisah.
Bagai seekor
gajah atau seekor kerbau gila, si muka hitam menyeruduk dan nampaknya anak yang
menjadi lawannya itu pun tidak tahu harus berbuat apa. Dia sama sekali tidak
mengelak dan berdiri tegak saja. Ketika kepala yang mengancamnya itu sudah
meluncur dekat, tiba-tiba saja anak itu menggerakkan tangan kanannya, dengan
jari-jari terbuka dia menusuk ke depan, menyambut kepala itu dengan tusukan
jari-jari tangannya.
"Crokkk...!"
Tubuh anak
itu terhuyung ke belakang bergoyang-goyang dan mukanya agak pucat, akan tetapi
tubuh si muka hitam terguling dan dari kepalanya mengalir darah merah bercampur
cairan otak putih! Dia tewas seketika!
Empat orang
temannya menjadi kaget bukan main dan mereka memandang dengan mata terbelalak.
Akan tetapi, wanita cantik itu tidak mempedulikan mereka, cepat menghampiri
sute-nya kemudian dua kali dia mengurut dada sang sute yang menjadi tenang dan
pulih kembali.
"Ah,
sute, kenapa kau begitu ceroboh? Kau harus ingat bahwa orang yang menggunakan
serangan dengan kepala adalah orang yang mempunyai lweekang kuat, apakah kau
lupa lagi? Dan melawan kekerasan dengan kekerasan merupakan kecerobohan besar.
Untung bahwa lweekang-nya tadi belum kuat benar, kalau lebih kuat setingkat
saja, bukankah engkau pun akan menderita luka biar pun kau berhasil
membunuhnya?"
Anak
laki-laki itu mengangguk. "Aku telah keliru, suci, mengharapkan
petunjukmu."
"Sekarang
lihatlah baik-baik. Nah, kau lontarkan dia dalam kedudukan menyerang seperti
tadi kepadaku!"
Anak itu
mengangguk, lalu menghampiri mayat si muka hitam. Dicengkeramnya baju di
tengkuk dan di belakang pinggul mayat itu, kemudian sambil mengerahkan tenaga,
dia lalu melontarkan mayat itu ke arah suci-nya.
Mayat itu
meluncur dengan cepatnya ke arah wanita tadi dengan kepala di depan, seperti
ketika dia menyeruduk anak itu. Dan seperti juga sikap anak tadi, wanita ini
tenang saja, baru setelah serudukan itu dekat, tiba-tiba saja dia menggeser
kakinya, tubuhnya sudah berputar ke kiri dan pada waktu kepala yang menyeruduk
itu lewat, secepat kilat jari-jari tangannya bergerak seperti gerakan anak
tadi, menusuk ke arah pelipis kanan mayat yang lewat.
"Crokkk!"
Mayat itu
terbanting dan pelipis kanannya nampak berlubang-lubang bekas jari tangan,
sedangkan wanita itu tetap berdiri tegak.
"Nah,
kau sudah lihat, sute? Apa bila kau memapaki dari depan, selain melawan tenaga
lweekang-nya, juga tenaganya itu ditambah lagi dengan tenaga luncuran tubuhnya,
tentu saja menjadi sangat kuat. Sebaliknya, kalau engkau menusuk dari samping,
engkau tidak memapaki tenaga lawan secara langsung."
Tadinya
keempat orang teman si muka hitam itu hanya memandang dan mendengarkan dengan
mata terbelalak, akan tetapi kini mereka telah sadar dan menjadi marah sekali.
"Jahanam!
Bocah setan, berani kau membunuh teman kami?" bentak Twa-sin-to Kui Lok
kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh pendek gemuk itu. Goloknya
yang besar panjang tahu-tahu telah berada di tangan kanannya dan begitu dia
menggerakkan tangan, terdengar suara berdesing dan golok itu lenyap berubah
menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata.
"Jangan
lawan dengan tangan kosong, pergunakan pedangmu!" tiba-tiba wanita cantik
itu berseru setelah melihat gerakan Kui Lok.
"Prattttt...!"
Nampaklah
sinar berkeredepan dan tahu-tahu anak itu pun sudah mencabut pedangnya, yaitu
sebatang pedang yang amat indah, gemerlapan dan mengkilat sekali seperti perak
kebiruan, gagangnya berukir tubuh naga dengan ronce-ronce merah berbentuk lidah
yang keluar dari kepala naga yang terukir di ujung gagang.
Twa-sin-to
Kui Lok yang dihadapi oleh anak itu, merasa dipandang rendah sekali, karena itu
dia terus saja menggerakkan goloknya dengan dahsyat. Si pendek gemuk ini
berjuluk Twa-sin-to (Si Golok Besar Sakti) maka tentu saja ilmu goloknya amat
hebat dan dengan goloknya itu dia telah membuat nama besar di selatan.
Kini dia
dihadapi oleh seorang anak yang usianya baru empat belas tahun, tentu saja dia
marah sekali dan ingin cepat-cepat membunuh anak ini agar dapat mencurahkan
seluruh perhatian dan memusatkan tenaga serta kepandaian untuk menghadapi Kim
Hong Liu-nio yang menjadi musuh besarnya itu.
Dia tidak
mau berlaku sungkan-sungkan lagi, maka goloknya yang berubah menjadi sinar
bergulung-gulung itu kini seperti gelombang samudera datang menerjang anak yang
telah melintangkan pedang di depan dada sambil memandang permainan lawan dengan
penuh perhatian.
"Awas,
yang dimainkan itu adalah pecahan dari Lo-han-to yang tidak asli lagi, akan
tetapi masih memiliki dasar-dasar Lo-han-to!" mendadak wanita cantik itu
berseru ketika melihat gerakan golok Twa-sin-to Kui Lok.
Diam-diam si
gemuk pendek ini kaget bukan main, kaget dan juga marah. Dia merasa sudah
menguasai Lo-han-to, ilmu golok yang sangat hebat dari cabang persilatan
Siauw-lim-pai itu dengan baik, kini disebut pecahan yang tidak asli lagi!
Memang dia bukan murid langsung dari Siauw-lim-pai, akan tetapi dia mengira
sudah menguasai Ilmu Golok Siauw-lim-pai itu. Lo-han-to (Golok Orang Tua Gagah)
memang merupakan Ilmu Golok Siauw-lim-pai yang hebat, gerakannya gagah
bersemangat dan sungguh pun digerakkan dengan lambat, namun mengandung lweekang
yang sangat kuat dan sinarnya bergulung-gulung seperti ombak.
Akan tetapi,
Kui Lok tidak mau perhatiannya terpecah oleh kata-kata wanita itu, dia telah
menerjang ke depan, gerakannya ringan dan goloknya menyambar-nyambar seperti
kilat dari atas, mengarah tubuh atas anak itu.
"Itulah
jurus Yan-cu Tiak-sui (Burung Walet Menyambar Air), engkau tahu sifatnya, sute,
jaga yang atas jangan lupakan yang bawah!" kembali wanita itu berseru.
Anak itu
menggerakkan pedangnya menangkis. Terdengarlah bunyi trang-tring-trang-tring
nyaring sekali dan kemana pun golok itu menyambar dari atas, selalu bertemu
dengan bayangan pedang. Kui Lok terkejut juga dan cepat kakinya bergerak.
Memang
tendangan merupakan imbangan dari serangan golok jurus itu, dan karena itulah
maka tadi wanita itu mengingatkan sute-nya supaya tidak melupakan yang bawah!
Maka begitu kaki Kui Lok bergerak menendang, tiba-tiba saja anak itu
membalikkan pedangnya menyambut kaki yang menendang.
"Ehhhh....!"
Si gemuk pendek cepat menarik kembali kakinya dan meloncat ke belakang sehingga
dia agak terhuyung.
Mukanya
berubah dan keringat dingin membasahi lehernya karena dia mengingat betapa
hampir saja dalam satu gebrakan kakinya dibikin buntung oleh bocah lihai ini.
Dengan kemarahan meluap dia lantas menerjang lagi dengan kecepatan yang lebih
dari tadi, dan sekali ini dia sengaja mengeluarkan ilmu golok simpanannya yang
biasanya hanya dia pergunakan kalau menghadapi lawan tangguh.
"Sute,
itulah Ngo-houw-toan-bun-to (Lima Harimau Menjaga Pintu) yang terkenal itu.
Akan tetapi yang ini lebih palsu lagi, hanya tinggal gayanya saja, akan tetapi
hati-hati terhadap tangan kirinya!" kembali wanita itu berseru.
Makin
marahlah hati Kui Lok. Tadi, Lo-han-to yang dikuasainya dikatakan tidak asli,
kini Ngo-houw-toan-bun-to yang dibanggakan itu dikatakan tinggal gayanya saja,
bahkan lebih palsu lagi! Maka goloknya sampai mengeluarkan suara
berdesing-desing dan bersiutan ketika dia menyerang dengan dahsyat.
Anak itu
ternyata hebat sekali. Dengan lincah anak itu bergerak dengan sepasang kakinya
digeser ke sana-sini, melangkah ke depan belakang, kanan kiri dengan cara yang
aneh, tetapi semua sambaran sinar golok selalu mengenai tempat kosong. Kalau
Kui Lok sudah merasa yakin bahwa goloknya akan mengenai tubuh lawan, ternyata
kemudian bahwa yang diserangnya hanya bayangan saja dan anak itu sudah mengelak
dengan cepat dan tak terduga-duga.
Dalam
menghindarkan semua serangan-serangan, anak itu lebih mengandalkan gerakan
kakinya dari pada menangkis, sungguh pun kadang-kadang dia menangkis juga
dengan pedangnya. Agaknya dia seperti orang sedang berlatih, melatih kelincahan
atau melatih langkah-langkah kakinya menghadapi hujan serangan golok itu.
Kui Lok yang
memainkan goloknya sampai menjadi sangat heran dan penasaran karena telah tiga
puluh jurus dia menyerang, tapi sama sekali goloknya belum mampu mengenai tubuh
lawan, bahkan mencium ujung bajunya belum pernah!
Sementara itu,
tiga orang saudara seperguruan yang tadi mengatakan hendak menuntut balas atas
kematian sute mereka she Yap, sekarang telah mencabut pedang mereka dan
menyerang ke depan untuk membantu Kui Lok merobohkan anak itu. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring disusul berkelebatnya sinar merah
dan teguran suara halus wanita itu,
"Jangan
kalian berani mengganggu sute yang sedang berlatih!"
Sinar merah
itu bergulung-gulung menyambar ke arah tiga orang pemegang pedang itu. Mereka
terkejut bukan main melihat sinar yang panjang seperti seekor naga itu, dan
cepat mereka menggerakkan pedang untuk membacok putus sinar yang ternyata
adalah sehelai sabuk merah itu.
"Wuut-wuut-wuuttt...!"
Pedang itu bertemu dengan sinar merah dan otomatis sinar merah itu melibat tiga
batang pedang.
"Ouhhhh...!"
Tiga orang itu terkejut bukan main ketika tahu-tahu pedang mereka terlibat
sabuk merah dan ketika wanita itu menggerakkan tangan, sabuk itu menyendal dan
tiga batang pedang itu sudah terampas biar pun mereka tadi telah mengerahkan
tenaga untuk mempertahankan. Mereka hanya melongo melihat tiga batang pedang
mereka terbang ke atas terbelit sabuk merah dan beberapa kali tiga pedang itu
beterbangan di atas kepala wanita itu.
"Terimalah!"
Tiba-tiba wanita itu berseru dan ketika dia menggerakkan tangan, tiga batang
pedang yang tadi terbelit sabuk itu lantas meluncur ke depan, menuju ke arah
pemiliknya masing-masing!
Ketiga orang
itu terkejut bukan main dan berusaha untuk mengelak, akan tetapi lontaran
pedang dalam belitan sabuk merah itu cepat bukan main dan tahu-tahu
pedang-pedang itu telah menembus tubuh mereka, ada yang terkena dadanya, ada
pula yang tertembus perutnya. Mereka roboh, sejenak berkelojotan, kemudian
tewas!
Sebelum
mereka roboh, wanita cantik itu sudah tidak memperhatikan mereka lagi dan kini
sudah memperhatikan lagi sute-nya yang berlatih di bawah hujan sinar golok.
Ilmu golok dari Kui Liok memang hebat.
Meski pun
ilmu atau jurus Ngo-houw-toan-bun-to yang dimainkannya itu tidak asli, namun
karena sudah terlalu sering dilatihnya, maka memiliki daya serang yang hebat
dan lihai. Setiap serangan yang luput dari sasaran selalu disambung dengan
serangan lain, tusukan disambung tikaman, bacokan disusul bacokan membalik. Dan
sampai lima jurus lamanya anak itu dapat selalu menghindarkan diri. Akan tetapi
apa yang diperingatkan oleh wanita tadi tidak kunjung tiba, yaitu tangan kiri
Kui Liok.
Tadi wanita
itu sudah memperingatkan sute-nya agar berhati-hati terhadap tangan kiri si
pemegang golok itu, akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, tetap saja Kui
Liok belum pernah mempergunakan tangan kirinya. Hal ini sama sekali bukan
karena peringatan itu keliru, melainkan karena Kui Liok sengaja tidak mau
mempergunakan tangan kirinya yang belum apa-apa sudah diterka oleh wanita itu!
"Sute,
sekarang latihlah serangan pedangmu!" wanita yang semenjak tadi
memperhatikan jalannya pertandingan itu tiba-tiba berseru.
Anak itu tak
menjawab, melainkan mengubah gerakannya. Kini pedangnya mengeluarkan suara
berdengung yang nadanya naik turun, seperti suara orang bersenandung! Kui Liok
terkejut melihat pedang itu tahu-tahu telah berada di dekat lehernya.
"Tranggg...!"
Dia
menangkis dengan keras. Pedang terpental akan tetapi tahu-tahu telah hinggap
dekat pundaknya. Pundaknya tentu akan putus kalau pedang itu membabat turun,
maka cepat dia melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik sambil
bergulingan dan memainkan ilmu golok yang dinamakan Tee-tong-to (Ilmu Golok
Bergulingan). Tubuhnya bergulingan dan dari gulingan itu goloknya menyambar,
membabat ke arah kaki lawan. Kalau tadi dia bergulingan untuk menghindarkan
diri dari ancaman pedang, kini tubuhnya bergulingan mengejar lawan untuk balas
menyerang!
Namun,
dengan cekatan anak itu melompat dan tahu-tahu pedangnya telah menusuk dari
belakang ke arah tengkuk Kui Liok. Orang gemuk pendek ini merasa tengkuknya
dingin, cepat dia meloncat dan menyampok ke belakang. Akan tetapi, anak itu
menarik kembali pedangnya dan kini tahu-tahu pedang telah menodong lambung
lawan!
Kembali Kui
Liok menahan jeritnya dan ia cepat meloncat ke belakang sambil menangkis. Bulu
tengkuknya benar-benar meremang saking ngerinya menghadapi ilmu pedang yang
amat aneh ini. Telinganya terus mendengar bunyi pedang bersenandung dan tampak
sinar pedang putih bergulung-gulung, kemudian ujung pedang secara aneh
tiba-tiba saja sudah berada di sekitar tubuhnya, sudah menempel tinggal menusuk
saja!
Twa-sin-to Kui
Liok maklum bahwa meski pun yang dihadapinya itu masih kanak-kanak, akan tetapi
ternyata telah mempunyai kepandaian yang amat luar biasa. Maka dia cepat
menangkis pedang itu dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga sinkang menyedot
sehingga pedang dan golok melekat.
Saat itu
dipergunakannya untuk menggerakkan tangan kirinya, secepat kilat tangan itu
terbuka lantas menghantam ke arah dada anak itu. Itulah pukulan Ang-see-jiu
yang amat hebat. Pukulan beracun yang sudah dilatih dengan pasir merah beracun dan
yang sejak tadi tidak dipergunakan karena telah didahului oleh peringatan
wanita itu.
"Awas,
sute!" Wanita itu memperingatkan.
Akan tetapi
semenjak tadi anak itu agaknya memang tidak pernah melupakan peringatan
suci-nya. Melihat sinar merah dari telapak tangan kiri lawan, dia lalu membuka
mulut dan mengeluarkan bentakan nyaring.
"Puiiihhh!"
Dari mulut anak itu menyambar sinar putih ke arah tenggorokan Twa-sin-to Kui
Liok.
"Aughhhh...!"
Tubuh yang pendek gemuk itu langsung terjengkang, matanya terbelalak, di
tenggorokannya menancap sebatang jarum putih yang amblas sampai lenyap. Akan
tetapi Kui Liok masih dapat melanjutkan pukulan tangan kirinya ke arah dada
anak itu.
"Dessss...!"
Wanita itu
mendorong dari samping dan walau pun tangannya tidak sampai menyentuh tubuh Kui
Liok, namun angin pukulannya yang kuat membuat tubuh itu terpelanting roboh,
pukulan Ang-see-jiu tadi tidak sampai mengenai dada anak itu dan begitu roboh,
Kui Liok sudah tegang kaku dan tewas seketika!
Anak itu
menyimpan kembali pedangnya lantas memandang mayat Kui Liok. Ada sedikit peluh
pada dahinya dan suci-nya cepat menghampiri lalu menyusut peluh itu dengan sapu
tangannya yang halus dan berbau harum.
"Sute,
latihanmu berhasil dan baik sekali. Akan tetapi sayang, ketika engkau menyerang
dia dengan pek-ciam (jarum putih) tadi, sasarannya kurang tepat. Kalau
sasaranmu kau tujukan ke dahinya, tepat di antara kedua alisnya, tentu pukulan
Ang-see-jiu dari tangan kirinya itu tak dapat dilanjutkan. Karena kau memilih
tenggorokan sebagai sasaran, maka hampir saja engkau terkena pukulan. Harap
lain kali engkau lebih cermat lagi."
Anak itu
mengangguk. "Suci memang benar, dan tadi aku pun sudah berpikir demikian. Akan
tetapi aku merasa sangsi untuk menyerang antara sepasang alisnya, karena
kupikir bagian itu lebih keras. Dengan sinkang yang belum kuat seperti yang
kumiliki ini, aku khawatir jarumku tidak akan dapat menembus tulang kepalanya
dan tentu hal itu malah berbahaya sekali."
"Ah,
engkau kurang percaya kepada diri sendiri, sute. Sekarang engkau boleh
mencoba!" Dia lalu menggunakan kakinya mencokel pundak mayat Kui Liok dan
tiba-tiba mayat itu mencelat ke atas, berdiri dan seperti hendak menyerang anak
itu.
Anak itu
tiba-tiba membuka mulut dan mengeluarkan seruan. "Huuihhh...!"
Sinar putih
menyambar, kini ke arah dahi mayat itu yang segera roboh kembali. Anak itu
membungkuk dan memeriksa dahi yang ditembusi jarumnya dan dia tersenyum.
"Engkau
benar, suci. Jarum itu masuk hampir seluruhnya!"
"Nah,
engkau harus mempunyai rasa kepercayaan kepada diri sendiri, sute. Kepercayaan
kepada diri sendiri akan menambah kesanggupanmu dan menenangkan hatimu apa bila
engkau bertemu dengan lawan yang pandai. Akan tetapi jangan sekali-kali
kepercayaan kepada diri sendiri itu berbalik menjadi kesombongan tanpa
perhitungan. Sekarang cabut pedangmu. Tadi aku melihat ada beberapa gerakan
inti yang masih kurang tepat, maka sebaiknya kau perhatikan seranganku dan
lawanlah dengan pedangmu sebaik mungkin!" Tanpa memberi kesempatan
sute-nya untuk menjawab, wanita itu segera menggerakkan sabuknya.
"Wirrr...
suitttt...!" Sabuk itu melayang ke udara, bergulung-gulung dan menukik ke
bawah dan ujungnya sudah menotok ke arah ubun-ubun kepala sute-nya.
"Wessss...!"
Anak itu
tahu-tahu sudah mencabut pedang dan cepat menangkis dengan niat hendak membabat
sabuk itu. Namun sabuk lemas itu sudah bergerak lagi ke atas, seperti burung
terbang dan berlatihlah dua orang kakak beradik seperguruan itu dengan cepat
sekali.
Siong Bu
yang masih mendekam di balik semak-semak merasa silau, maka terpaksa dia
memejamkan matanya yang menjadi berair, karena kecepatan gerakan sinar
bergulung-gulung itu benar-benar amat hebat. Dia tidak dapat melihat lagi dua orang
itu, melainkan hanya dua sinar putih dan merah bergulung-gulung amat cepatnya.
Jantungnya seperti berhenti berdetik ketika dia mendengar suara bersuitan dan
angin menyambar sampai ke atas semak-semak itu dan ketika dia melihat ujung
semak-semak itu, daun-daun muda jatuh berhamburan seperti dibabat pisau tajam!
Tiba-tiba
saja terdengar bunyi melengking dari dalam hutan sebelah utara. Sinar putih dan
merah yang bergulung-gulung itu berhenti dan wanita itu telah berdiri tegak
bersama anak laki-laki, sambil menoleh ke utara. Terdengarlah suara nyaring
seorang pria,
"Maaf,
toanio. Saya hanyalah seorang utusan dari Jeng-hwa-pang, mohon menghadap toanio
untuk menyampaikan undangan dari ketua kami!"
Wanita itu
mencibirkan bibir lantas mendengus, "Merangkaklah ke sini!" katanya
dengan nada merendahkan.
Nampak sosok
bayangan berkelebat cepat dan seorang lelaki berusia empat puluh tahun tinggi
kurus berpakaian sederhana, di dada kirinya terhias setangkai bunga hijau
terbuat dari pada kertas dan lilin, membawa sebuah bungkusan yang besar,
bentuknya persegi, kurang lebih tiga puluh sentimeter setiap seginya.
Siong Bu
melihat betapa sebelum laki-laki ini muncul, wanita cantik itu telah mengenakan
sepasang kaus tangan yang warnanya sama dengan kulitnya sehingga sesudah
dipakai, sama sekali tidak kentara. Kini, wanita itu memandang pria yang
membawa bungkusan, lalu bertanya, "Selain menyerahkan undangan, engkau
disuruh apa lagi?"
Orang itu
menjura dengan hormat, "Hanya menyampaikan undangan ini lalu diharuskan
pergi agar jangan mengganggu toanio lebih lama."
"Hemm,
kalau begitu lemparkan undangan itu ke sini dan segera menggelindinglah
pergi!" bentaknya.
Orang itu
kemudian melontarkan bungkusan itu ke arah anak laki-laki tadi. Anak itu cepat
menggerakkan tangan hendak menyambut, akan tetapi dia didahului oleh suci-nya
yang meloncat dan menyambar bungkusan itu dengan kedua tangannya.
"Ehkh?
Kenapa, suci?" tanya anak itu, heran sekali melihat suci-nya berbuat
seperti itu.
"Bungkusan
ini pasti mengandung racun, sute."
"Ahhh,
keparat!" Anak itu menjadi marah dan begitu melihat di situ terdapat
sebuah batu besar sekali, sebesar perut kerbau bunting, dia lalu menyambarnya
dengan kedua tangan dan melontarkannya ke arah laki-laki yang sudah membalik
dan pergi itu.
"Sute,
jangan...!" Wanita itu masih sempat menepuk lengan sute-nya sehingga
lontaran itu menyeleweng. Akan tetapi tetap saja masih dapat melampaui
laki-laki tadi kemudian jatuh berdebuk tidak jauh di depannya, melesak dalam
sekali ke dalam tanah.
Laki-laki
itu terbelalak dan mukanya berubah pucat. Kalau dia tertimpa batu sebesar itu,
tentu akan remuk tubuhnya! Dia menoleh dengan ngeri, akan tetapi melihat anak
yang luar biasa itu tidak mengejarnya, dia cepat-cepat lari dari tempat itu.
"Suci,
mengapa pula engkau mencegah aku membunuh keparat curang itu?"
"Dia
hanyalah seorang utusan dan engkau tentu lebih tahu bahwa kita sama sekali
tidak boleh membunuh seorang utusan, sute. Bukan dia yang menaruh racun di
bungkusan ini, melainkan orang yang menyuruhnya. Hemm, Jeng-hwa-pangcu telah
mengirim undangan, agaknya dia tidak main-main lagi sekarang. Hendak kulihat sampai
di mana kelihaiannya!" Wanita ini lalu meletakkan bungkusan di atas batu
besar.
"Jangan
menyentuhnya, sute, dan kau lihat saja, jangan mendekat. Harap mundur lima
langkah dari sini."
Biar pun
alisnya berkerut, anak itu menurut juga, melangkah mundur dan melihat dengan
penuh perhatian. Juga Siong Bu menonton dengan jantung berdebar penuh
ketegangan. Sejak tadi dia sudah merasa ngeri melihat orang-orang yang dibunuh
itu, kini dia melihat hal lain yang lebih aneh sehingga membuat dia semakin
ketakutan.
Wanita
cantik itu memandang kepada sepasang telapak tangannya yang telah terbungkus
sarung tangan, lalu tersenyum mengejek, "Kau lihat, sute."
Dia lalu
menggunakan kedua tangannya meraba rumput-rumput di dekatnya dan rumput-rumput
itu seketika menjadi layu dan agak gosong seperti dibakar!
"Racun
yang dioleskan pada bungkusan ini saja sudah cukup untuk membuat kulit tangan
terbakar hebat."
Kemudian
dengan hati-hati sekali dia membuka tali bungkusan itu. Ternyata isinya adalah
sebuah doos merah. Dibukanya tutup doos merah dan hampir saja Siong Bu menjerit
bila dia tidak cepat-cepat mendekap mulutnya. Dari doos merah itu muncul seekor
ular yang tiba-tiba saja menyerang ke arah leher wanita itu!
"Capppp!"
Bagaikan
sepasang gunting yang amat tajam, dua jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri
wanita itu telah menangkap leher ular kemudian sekali mengerahkan tenaga, leher
ular itu pun putus!
"Hemmm,
kiranya hanya begini saja kepandaian orang-orang Jeng-hwa-pang!" Wanita
itu mengejek lantas dia menarik keluar sebuah doos yang berukuran lebih kecil
dari dalam doos besar itu. Doos ini pun tertutup.
"Suci,
hati-hati. Mereka itu terlalu curang!" Anak itu berseru.
Tadi dia
terkejut menyaksikan ular yang demikian ganasnya. Dia tahu bahwa ular merah
seperti itu sangat berbahaya karena bisanya dapat membunuh orang dengan sekali
gigit saja. Wanita itu menengok dan hanya tersenyum penuh kepercayaan kepada
diri sendiri, lalu tanpa ragu-ragu lagi tutup doos yang lebih kecil itu
dibukanya.
Tiba-tiba
nampak asap mengepul dari dalam doos itu dibarengi suara mendesis. Wanita itu
terkejut dan cepat sekali dia meloncat ke belakang, tepat pada saat terdengar
ledakan keras. Banyak sekali paku dan jarum yang menyambar ke empat penjuru dan
wanita yang sedang meloncat itu pun terserang sambaran paku dan jarum.
Akan tetapi,
dengan cekatan dua tangannya menyampok dan menangkap, sehingga pada waktu dia
meloncat turun, kedua tangannya penuh dengan jarum dan paku yang dapat
ditangkapnya tadi. Asap masih mengepul dan doos itu pecah, memperlihatkan
selembar kertas yang sebagian hangus.
Wanita
cantik itu lalu menghampiri batu dan melemparkan jarum dan paku yang beracun
itu ke dalam doos yang telah hangus dan pecah-pecah, lalu dia mengambil kertas
merah itu dan membaca huruf-huruf hitam yang tertulis di situ.
JENG HWA
PANG MENGUNDANG KIM HONG LIU-NIO UNTUK MEMBUAT PERHITUNGAN
Demikianlah
bunyi huruf-huruf besar yang tertulis di kertas merah. Wanita itu meremasnya
hancur dan biar pun mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang
matanya mengeluarkan sinar berapi karena marahnya. Sute-nya sudah mendekatinya,
terbelalak memandang ke arah jarum-jarum dan paku-paku yang mengeluarkan sinar
kehijauan itu.
"Sungguh
berbahaya...," katanya ngeri.
"Jeng-hwa-pang
memang terkenal dengan caranya yang kotor, suka bermain racun. Akan tetapi aku
akan membalas semua ini, sute. Memang aku sudah bersiap-siap sehingga aku
menggunakan sarung tangan. Betapa pun kebalnya tangan kita, kalau terkena racun
yang berada di kertas pembungkus itu, atau tergigit oleh ular merah tadi, apa
lagi racun hijau di paku dan jarum itu, tentu kita celaka. Racun hijau pada
puku dan jarum ini lebih lihai lagi, sute. Itulah racun jeng-hwa (bunga hijau)
yang menjadi keistimewaan mereka sehingga perkumpulan mereka pun memakai nama
Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)."
"Siapakah
mereka itu, suci?"
Wanita itu
menarik napas panjang. "Menurut penuturan subo, pendirinya adalah mendiang
Jeng-hwa Sian-jin, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang lihai dan selain ilmu
silatnya tinggi, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi, kakek itu sudah tewas dan
kini perkumpulannya dipegang dan dipimpin oleh muridnya yang ahli dalam soal
racun. Mereka bersarang di daerah perbatasan, di dekat tembok besar."
"Mengapa
perkumpulan itu memusuhi suci?"
Wanita itu
melepaskan sarung tangan yang melindunginya dari racun tadi. Sarung tangan itu
memang istimewa sekali, bukan hanya dapat melindungi kulit tangan dari racun,
akan tetapi juga segala macam racun yang tersentuh oleh sarung tangan itu
menjadi hilang dayanya, dan di samping ini, juga sarung tangan itu dapat
menahan bacokan senjata-senjata tajam.
Setelah
menyimpan sarung tangannya, wanita itu lalu menurunkan papan kayu salib dari
punggungnya, mengangkatnya tinggi-tinggi dan berkata, "Seperti juga halnya
lima orang tolol ini, Jeng-hwa-pang memusuhi aku karena ini."
Anak itu sudah
tahu akan maksud kayu salib yang ditulisi tiga huruf itu. Dia tahu bahwa tiga
huruf itu adalah tiga nama keturunan yang menjadi musuh besar subo mereka dan
suci-nya ini sudah bersumpah kepada subo mereka untuk membasmi semua orang yang
memiliki she Yap, Cia dan Tio. Untuk tugas inilah maka subo mereka menurunkan
seluruh kepandaiannya kepada suci-nya ini hingga suci-nya menjadi seorang
wanita yang bukan main saktinya.
"Suci,
apakah ketua Jeng-hwa-pang itu she Yap, Cia, ataukah Tio?"
"Bukan,
akan tetapi isterinya she Tio dan sembilan orang keluarga isterinya yang she
Tio sudah kubunuh semua. Itulah sebabnya dia memusuhi aku," jawab suci-nya
dengan sikap tak peduli.
Anak
laki-laki itu lalu memandang ke arah papan kayu salib dan melihat betapa
suci-nya menggunakan kuku jari telunjuknya yang panjang terpelihara rapi untuk
membuat guratan lima kali di bagian bawah papan salib itu. Itulah tanda bahwa
suci-nya sudah membunuh lima orang.
Setiap
guratan menandakan satu nyawa dan hanya mereka yang dibunuh karena urusan
permusuhan itu saja yang dicatat di papan kayu salib ini. Palang kiri untuk
korban she Tio, papan atas untuk yang she Cia dan papan kanan untuk she Yap,
ada pun papan bagian bawah untuk orang-orang she lainnya yang membela tiga she
itu kemudian terlibat dalam permusuhan ini.
Anak itu
melihat betapa yang banyak sekali coretannya justru papan bawah di bagian she
Tio lebih banyak dari papan bagian Cia dan she Yap. Akan tetapi di bagian papan
atas, untuk yang she Cia, baru ada dua guratan saja.
Anak itu
termenung. Dia selalu tertarik kalau membicarakan urusan permusuhan pribadi
subo-nya yang aneh itu, dan yang pembalasannya diwakili oleh suci-nya, sebab
subo-nya kini telah menjadi pikun dan lemah.
"Suci,
sudah berapa lamakah suci mulai melaksanakan perintah subo untuk membasmi
orang-orang dari tiga she itu?"
"Sudah
belasan tahun, sute, sejak aku berusia dua puluh tahun kurang."
"Dan
sampai kapan berakhirnya? Apakah selama hidup suci akan terus menerus mencari
orang-orang dari tiga she itu untuk kemudian dibunuh?" Anak itu merasa
betapa tugas ini benar-benar gila!
Wanita itu
menggeleng kepala. "Tugasku baru sempurna dan berakhir kalau musuh yang
sesungguhnya dari subo sudah dapat kubunuh. Mereka itu adalah Cia Bun Houw, Yap
In Hong, dan Tio Sun. Mereka bukanlah orang-orang lemah, melainkan
pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi aku sudah
bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh mereka bertiga. Oleh
karena itu, sekarang aku mengantarmu ke kota raja sambil hendak menyelidiki
mereka, sute."
"Aku
akan membantumu, suci."
Suci-nya
menggeleng kepala. "Engkau baik sekali, sute, dan biar pun usiamu baru
empat belas tahun, namun kepandaianmu sudah boleh diandalkan. Akan tetapi
mereka itu lihai sekali, terutama Cia Bun Houw itu. Subo pernah terluka pada
saat menghadapinya. Akan tetapi... aku telah mempelajari ilmu-ilmu khusus yang
diciptakan oleh subo, ilmu istimewa untuk menghadapi mereka bertiga. Aku tidak
takut."
Tiba-tiba
wanita itu lalu bersuit nyaring. Suaranya melengking bergema di seluruh hutan,
dan Siong Bu yang mengintai hampir saja terjengkang. Dia cepat-cepat menutupi
kedua telinganya dan menahan napas.
Terdengar
suara derap kaki kuda dan roda kereta, dan tidak lama kemudian nampaklah sebuah
kereta yang amat indah, ditarik oleh empat ekor kuda dan di belakang kereta itu
nampak belasan orang penunggang kuda, kesemuanya gagah perkasa, tinggi besar
dan berpakaian sebagai perwira-perwira. Mereka semua turun dari kuda dan
memberi hormat secara militer kepada anak itu, dengan berlutut sebelah kaki.
Anak itu
mengangkat tangan ke atas sebagai tanda menerima salut mereka dan wanita itu
lalu berkata, "Kalian antar kami sampai ke perbatasan, di sana harus
berganti kuda. Akan tetapi kita singgah lebih dulu di Istana Lembah Naga karena
aku ada urusan dengan para penghuninya."
Para perwira
itu mengangguk dan wanita tadi lalu memasuki kereta bersama sute-nya. Kereta
berderak-derak meninggalkan tempat itu diikuti oleh tujuh belas orang pengawal
yang membuang ludah ketika melihat mayat lima orang tadi.
Sesudah
mereka pergi, barulah Siong Bu berani bernapas. Akan tetapi jantungnya masih
berdebar tegang. Wanita itu mengatakan hendak singgah di Istana Lembah Naga! Ke
rumah pamannya!
Dia teringat
ketika dia mengintai ke kamar Sin Liong di dekat kandang kuda, ketika anak
monyet itu menangis di pangkuan bibinya dan dia teringat betapa bibinya
mengatakan bahwa Sin Liong adalah seorang she Cia, bahkan menyebutkan nama
ayahnya, yaitu Cia Bun Houw! Dan bukankah Cia Bun Houw ini merupakan musuh
utama dari wanita tadi? Siong Bu lalu menyelinap di antara semak-semak, segera
menuju pulang dengan jantung berdebar penuh ketegangan.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
Terimakasih banyak ya atas unggahannya komik KHO PING HOO
ReplyDelete