Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 24
DEMIKIANLAH,
pada suatu malam, ketika mereka menaruh perhatian, mereka mendengar jendela
kamar murid mereka terbuka perlahan kemudian mereka melihat berkelebatnya
bayangan murid mereka itu keluar meninggalkan kamarnya, lalu meninggalkan rumah
itu.
In Hong dan
Bun Houw langsung membayangi dari jauh dan dengan penuh keheranan mereka
melihat murid mereka itu memasuki sebuah hutan kecil di pinggir kota. Ketika
tiba di padang rumput yang diterangi bulan purnama, di situ mereka melihat
seorang laki-laki telah menanti kedatangan Sun Eng dan begitu mereka bertemu,
keduanya saling rangkul dan saling berciuman dengan penuh gelora nafsu!
"Ah,
kau datang juga... betapa aku sudah khawatir kau tidak dapat datang,"
terdengar pria itu berkata dan dengan hati mendongkol sekali Bun Houw dan In
Hong mengenal bahwa pria itu bukan lain adalah Auw-kongcu!
"Aku
tentu datang, kongcu, aku pun rindu sekali padamu."
"Ahhh,
Eng-moi, engkau memang manis, sayang," kata Auw-kongcu.
Kini
sepasang pendekar itu memandang dengan mata terbelatak ketika mereka melihat
betapa murid mereka mandah saja dirangkul dan direbahkan di atas rumput, lalu
digumuli pemuda itu dan bahkan tertawa cekikikan pada saat tangan pemuda itu
meraba-raba lalu mulai membukai pakaiannya!
"Keparat!"
In Hong memaki dan dia telah meloncat ke depan, tubuhnya melayang seperti
seekor burung garuda menyambar dan di lain saat tubuh Aw-kongcu sudah diangkat
dan dibantingnya, bagaikan membanting seekor anjing saja. Auw-kongcu berteriak
kaget dan kesakitan.
"Anjing
hina-dina!" kembali In Hong membentak ketika melihat muridnya dengan
pakaian setengah terbuka itu menatapnya dengan mata terbelalak. "Manusia
she Auw keparat, engkau memang sudah layak dibunuh!"
Akan tetapi
tiba-tiba Sun Eng menubruk dan dara ini sudah berdiri menghadang subo-nya
melindungi tubuh Aw-kongcu yang sudah merangkak bangun dengan muka ketakutan
itu. Dengan muka merah sekali karena malu, akan tetapi sepasang matanya
bersinar penuh keheranian Sun Eng menghadapi subo dan suhu-nya, lalu berkata dengan
suara lantang.
"Subo
tidak berhak membunuhnya! Subo tidak berhak memukulnya. Apakah kesalahan
Ang-kongcu terhadap subo maka subo menyerangnya?"
Hampir In
Hong tidak percaya mendengar pertanyaan itu. "Tidak berhak...? Dan dia...
dia dan kau..."
"Memang
aku telah menyerahkan diriku kepadanya! Aku telah menjadi... isterinya. Malah
sudah lima kali aku menyerahkan diriku kepada laki-laki yang kucinta. Apa
hubungannya ini dengan subo?" teriak Sun Eng menantang.
In Hong
merasa mukanya seperti ditampar oleh tangan yang tak nampak, juga Bun Houw
mengeluarkan seruan tertahan. Dara yang sejak kecil mereka pelihara, mereka
didik dan mereka sayang itu kini berdiri tegak, menentang mereka bahkan
berbicara dengan kasar, ber-aku dan tidak lagi menyebut teecu (murid) untuk
diri sendiri!
"Sun
Eng! Kau... kau...!" Saking marahnya, In Hong tak dapat melanjutkan
kata-katanya, dan tangannya menyambar, mengirim pukulan maut ke arah kepala
muridnya itu.
"Plakkk!"
Tangan Bun Houw menahan lengannya.
"Sabarlah,
Hong-moi, tak perlu kita menggunakan kekerasan."
In Hong
terengah-engah saking marahnya.
"Suhu
dan subo harus mengerti bahwa kami telah saling mencinta. Aku rela menyerahkan
diri dan kehormatanku kepada orang yang kucinta, tapi mengapa suhu dan subo
hendak menghalangi kami? Bahkan suhu dan subo sudah menolak pinangannya. Apakah
suhu dan subo hendak mengulangi sikap dan perbuatan ayah suhu yang menolak dan
tidak menyetujui perjodohan antara suhu dan subo yang saling mencinta?"
Ucapan-ucapan
itu seperti ujung-ujung pedang berkarat yang menusuk hati sepasang pendekar
itu. Wajah mereka menjadi pucat dan sejenak mereka tak mampu berkata-kata.
"Perbandinganmu
itu tidak tepat, Sun Eng!" Bun Houw menahan kemarahannya. "Kalau
engkau memilih pemuda yang tepat, kami tentu tidak akan mencampuri dan akan
setuju saja. Akan tetapi, pilihanmu keliru. Yang kau pllih adalah pemuda yang
berwatak busuk, seorang pemuda pemogoran, mata keranjang dan..."
"Suhu,
selera orang memang tidak sama. Suhu mencinta subo maka tentu menganggap subo
wanita yang paling baik di dunia ini, akan tetapi bagaimana pandangan ayah suhu
yang tidak menyetujui subo menjadi isteri suhu? Tentu berbeda antara selera
suhu dan ayah suhu, seperti juga selera antara aku dan suhu juga berbeda.
Bagiku, Auw-kongcu adalah pria yang paling baik di dunia." Mendengar ini,
sambil meringis menahan takut dan kaget, pemuda itu menggandeng tangan Sun Eng
yang tersenyum kepadanya.
"Hemmm,
pilihanmu yang kau lakukan dengan mata buta itu pun bukan soal yang terlalu
berat, akan tetapi engkau telah menyerahkan kehormatan diri di luar pernikahan
sah, apa hal itu patut dilakukan seorang gadis yang mengenal susila?"
tanya In Hong dengan sepasang mata bersinar-sinar.
"Subo,
bila aku menyerahkan kehormatan diriku kepada orang yang kucinta, itu tandanya
aku cinta kepadanya! Auw-kongcu menghendaki bukti dari cintaku, dan bukti yang
paling utama adalah penyerahan diri dan kehormatan. Maka aku menyerahkan,
karena memang aku cinta kepadanya. Kami saling mencinta, maka apa lagi
halangannya bagi kami untuk bermain cinta?"
"Bodoh!
Orang semacam dia ini mana bisa dipercaya? Engkau akan disia-siakan setelah
engkau dinodainya, akan dibuangnya setelah habis manis dan tinggal sepahnya.
Butakah engkau tidak melihat bahaya itu?" bentak In Hong.
"Memang
pendirian subo demikian, maka sampai kini pun subo tidak rela menyerahkan diri
kepada suhu. Itu tandanya subo kurang mencinta suhu. Akan tetapi aku mencinta
dan percaya kepada Auw-koko..., koko, bukankah engkau tidak akan pernah
menyia-nyiakan diriku, bukan?"
Auw-kongcu
merangkul. "Tentu saja tidak, sayang, aku bersumpah..."
Sungguh
kasihan sekali Sun Eng. Dara remaja yang telah dibutakan oleh nafsunya sendiri
itu dengan mudah tunduk dan menyerah, percaya akan bujukan manis seorang pria.
Dia tidak tahu bahwa pria semacam Auw-kongcu ini hanya mengutamakan pemuasan
birahi belaka.
Bagi pria
macam ini, seperti kebanyakan pria di dunia, cinta adalah hubungan kelamin,
cinta adalah pemuasan nafsu birahi! Jadi bagi mereka ini, bukti cinta adalah
penyerahan diri seorang gadis kepadanya! Kalau tidak mau menyerahkan diri,
berarti tidak cinta!
Betapa
banyaknya gadis-gadis yang mau menyerahkan diri sebelum resmi menjadi isteri,
sehingga mengandung dan membawa akibat-akibat yang amat menyedihkan. Tentu saja
ada pula pria yang bertanggung jawab, tetapi hal ini tidak banyak dan lebih
banyak yang melarikan atau menjauhkan diri karena memang cintanya hanya
terletak pada pemuasan nafstu birahi belaka. Dan gadis-gadis yang dungu itu
tidak mau membuka mata melihat kenyataan bahwa dalam hubungan di luar nikah
ini, yang terancam adalah fihak wanita. Terancam keadaan jasmani dan keadaan
rohaninya, terancam lahir batinnya. Tentu saja hal ini ada hubungannya dengan
kebudayaan masyarakat setempat.
Karena itu,
betapa pentingnya untuk mempelajari dengan sesungguhnya apa yang oleh kita
dinamakan cinta itu! Apakah itu yang dinamakan cinta kalau cinta hanya mengejar
pemuasan nafsu birahi belaka,? Dan yang amat menyedihkan, betapa pun kita
selubungi dengan berbagai istilah muluk, namun pada dasarnya banyak di antara
kita, juga para wanita, yang mempunyai anggapan bahwa hubungan kelamin adalah
tanda cinta! Itu saja!
Ini bukanlah
berarti bahwa kita harus menentang hubungan kelamin, bukan berarti kita
menganggap bahwa cinta menolak hubungan kelamin. Sama sekali bukan!
Kita TIDAK
BERPENDAPAT APA-APA, hanya mengajak kita semua untuk menyelami, untuk
menyelidiki secara mendalam akan apa yang dinamakan cinta oleh kita semua itu.
Cinta kasih tidak bersifat merusak, baik merusak badan mau pun batin. Maka
sesudah melakukan hubungan badan lalu meninggalkannya dan merusak batinnya,
jelas bahwa di situ sama sekali tidak terkandung cinta kasih, dan sepenuhnya
hanya terisi oleh nafsu birahi belaka. Mengapa orang-orang muda buta terhadap
hal yang gamblang ini?
Demikian
pula halnya dengan Sun Eng. Gadis ini percaya sepenuhnya akan bujuk rayu
Auw-kongcu, didorong oleh rangsangan serta dorongan nafsu birahinya sendiri,
kemudian menyerahkan diri karena Auw-kongcu menuntut penyerahan diri sebagai
bukti cintanya.
Bun Houw dan
In Hong merasa sedih bukan main, sedih dan marah. "Sun Eng, engkau kelak
akan menyesal! Bedebah ini menipumu, biar kubunuh dia!"
"Jangan
subo bergerak! Jika subo hendak membunuhnya, bunuhlah dulu aku! Dan kalau subo
membunuh kami berdua, itu hanya berarti bahwa subo merasa iri hati terhadap
kami!" kata Sun Eng.
Sampai
puyeng rasa kepala In Hong mendengar kalimat terakhir itu. Dia membelalakkan
mata, wajahnya berubah beringas dan Bun Houw melihat sinar maut di dalam
pandang mata kekasihnya. Cepat dia merangkulnya dan dengan marah dia berkata,
"Sun
Eng, mulai saat ini, detik ini, engkau bukan murid kami lagi dan kami juga
bukan guru-gurumu lagi! Biarlah kelak akan kupertanggung jawabkan hal ini
dengan roh ayahmu yang dahulu menitipkan engkau kepadaku. Mulai saat ini juga
segala perbuatanmu adalah menjadi tanggung jawabmu sendiri. Marilah,
Hong-moi!" kata Bun Houw dan dia setengah memaksa kekasihnya meninggalkan
hutan itu.
Sesudah tiba
di luar hutan, tanpa tertahankan lagi In Hong menangis tersedu-sedu! Bun Houw
merangkulnya, dan In Hong lalu menumpahkan semua rasa duka, penasaran dan marah
itu melalui air matanya yang membasahi baju di dada Bun Houw.
Bun Houw
merangkul sambil mengelus-elus rambut kepala kekasihnya menguras semua
perasaannya. Sesudah tangis itu reda, In Hong mengangkat mukanya yang kini
menjadi pucat dan basah air mata, memandang wajah Bun Houw.
"Houw-ko,
aku tahu betapa sedih dan kecewa hatimu... ahhh, Houw-koko yang malang, betapa
buruk nasib kita..."
Bun Houw
menunduk. Dalam keadaan berduka yang membutuhkan hiburan itu mereka menemukan
hiburan dalam diri masing-masing, dan tanpa mereka sengaja, kedua mulut itu
bertemu dalam ciuman yang amat mendalam, penuh kemesraan, penuh permohonan
untuk dihibur, untuk dilindungi, dan juga penuh kerinduan yang ditahan-tahan.
Malam itu
bulan purnama. Karena memang keduanya telah bertahun-tahun menanggung rindu
dendam yang sangat mendalam, yang mereka jaga dengan segala kekuatan batin
mereka, sekarang setelah mereka berpelukan dan berciuman di dalam cahaya bulan,
dan mungkin pula karena dipengaruhi peristiwa tadi, melihat murid mereka dan
kekasihnya saling menumpahkan rasa cinta mereka melalui hubungan badan, maka
pelukan mereka menjadi makin ketat dan ciuman mereka makin hangat.
Akhirnya
sambil terengah-engah In Hong melepaskan ciuman dan pelukannya, lalu terisak
melarikan diri pulang ke rumah, diikuti oleh Bun Houw yang napasnya juga agak
terengah dan seluruh tubuhnya panas dingin.
Mereka tiba
di dalam rumah, di ruangan dalam. Pintu dua buah kamar masing-masing masih
terbuka. Mereka saling pandang, lalu seperti ada daya tarik luar biasa,
keduanya saling tubruk, saling rangkul dan saling berciuman lagi. Akhirnya, Bun
Houw memondong kekasihnya itu melangkah menuju ke pintu kamarnya.
Akan tetapi
ketika tiba di depan pintunya, tiba-tiba In Hong meronta, melepaskan diri dan
melangkah mundur. Kembali mereka saling berpandangan dan dari pandang mata
mereka itu terpancar suara hati yang lebih jelas dari pada suara melalui
kata-kata. Bun Houw menatap wajah yang cantik itu, melihat sinar mata
kekasihnya yang harap-harap cemas dan bingung. Dia sadar lalu menunduk dan pada
saat itu keduanya sudah mengeluarkan kata-kata yang sama dalam saat yang sama
pula.
"Maafkan aku..."
"Maafkan
aku..."
Keduanya
saling pandang lagi, merasa lega sesudah saling minta maaf, kemudian Bun Houw
memegang kedua pundak kekasihnya, memandang dengan tatapan penuh kasih sayang,
lalu berbisik,
"Sudah
terlalu lama kita menanggung derita... bagaimana kalau kita... eh, menengok
ayah di Cin-ling-san...?" Tentu saja dengan ucapan ini Bun Houw
membayangkan harapannya bahwa ayahnya sekarang sudah tidak marah lagi dan akan
merestui perjodohan mereka setelah lewat sepuluh tahun lebih. Juga dia sudah
merasa rindu kepada ibunya.
Akan tetapi
In Hong mengerutkan alisnya. "Koko, selama ini, biar pun kita menanggung
rindu dan tertekan derita batin, namun kita telah kuat bertahan. Kalau... kalau
seandainya kita ke Cin-ling-san hanya untuk mendengar ayahmu masih menentang
kita, kehancuran hati yang lebih hebat tentu akan kita derita dan belum tentu
kita kuat bertahan seperti sekarang. Kenapa tidak menanti saatnya yang baik dan
kita menyerahkan diri saja pada kehendak Tuhan?"
Bun Houw
maklum betapa berat rasa hati kekasihnya untuk menghadap ayah bundanya setelah
ditolak sebagai mantu! Dia hanya mengangguk, menarik napas, mencium dahi In
Hong, kemudian membalikkan tubuh dan memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu
kamarnya, diikuti oleh pandang mata In Hong.
Wanita ini
berlinang air mata dan hatinya merasa kasihan sekali. Betapa besar keinginan
hatinya untuk menghibur hati Bun Houw, untuk melayaninya, untuk
menyenangkannya, untuk menyerahkan dirinya!
Tiba-tiba
dia teringat kepada Sun Eng dan dengan cepat dia pun memasuki kamarnya, merasa
ngeri terhadap bayangan pikirannya sendiri karena kini dia dapat merasakan apa
yang diperbuat oleh Sun Eng di dalam hutan tadi! Namun, dia mengerti benar
bahwa hal itu adalah tidak benar, oleh karena itu, sampai bagaimana pun dia
tidak akan melakukan apa yang diperbuat oleh Sun Eng!
Beberapa
bulan semenjak peristiwa di dalam hutan itu yang mengakibatkan Sun Eng tak
pernah kembali lagi ke rumah kedua orang gurunya, meninggalkan semua barang
serta pakaiannya sebab kekasihnya yang kaya raya itu membelikan sebanyaknya
pakaian baru untuknya, Bun Houw dan In Hong mendengar berita mengejutkan.
Mereka
mendengar bahwa Auw-kongcu kedapatan tewas di dalam hutan di mana dia dahulu
mengadakan pertemuan dengan Sun Eng dan menurut berita itu, pemuda Auw ini tewas
dalam keadaan yang sangat mengerikan karena leher serta mukanya
berlubang-lubang, berwarna kehijauan dan berbau wangi.
Tentu saja
suami isteri ini terkejut bukan main karena luka-luka di leher dan muka seperti
itu hanya dapat diakibatkan oleh senjata rahasia Siang-tok-swa (Pasir Beracun
Wangi), yaitu senjata rahasia dari In Hong yang sudah diajarkan pula kepada Sun
Eng! Mereka dapat menduga bahwa tentu Sun Eng yang sudah membunuh Auw-kongcu
itu. Mereka lalu menyelidiki dan tahulah mereka bahwa memang Sun Eng yang
membunuh pemuda itu karena mereka mendengar keterangan bahwa Auw-kongcu tidak
mau mengawini gadis itu.
Bun Houw dan
In Hong hanya dapat merasa berduka dan kasihan kepada murid mereka itu, akan
tetapi di samping perasaan duka dan kasihan, terdapat perasaan marah yang besar
terhadap murid yang dengan perbuatannya berarti juga menodakan nama mereka yang
menjadi gurunya. Biar pun mereka berdua sudah tidak mengakuinya sebagai murid,
namun baru penggunaan Siang-tok-swa ini saja sudah merupakan bukti langsung
bahwa gadis itu adalah murid mereka.
Apa lagi
ketika mereka mendengar berita bahwa kini setelah terlepas dari Auw-kongcu, Sun
Eng bergaul dengan segala macam pemuda bangsawan mata keranjang yang kaya raya
dan hidup berfoya-foya, terkenal sebagai seorang gadis yang mempunyai banyak
pacar, hati sepasang pendekar ini menjadi semakin marah. Mereka memutuskan
untuk tidak mau memusingkan lagi soal Sun Eng dan mencoba untuk melupakan bekas
murid itu dengan tak pernah membicarakannya satu sama lain dan juga mengambil
keputusan untuk tidak menceritakan tentang diri gadis itu kepada siapa pun
juga.
Demikianlah,
ketika Sun Eng tiba-tiba muncul di waktu sepasang pendekar ini bersama sepasang
pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berada dalam penjara, dan gadis itu
hendak menolong mereka, tentu saja Bun Houw dan In Hong menjadi marah lantas
mengusir bekas murid itu. Dan peristiwa itu tentu saja memaksa mereka berdua
untuk menceritakan tentang diri bekas murid itu kepada Yap Kun Liong dan
isterinya.
"Tidak
disangka perempuan hina itu muncul di sini, sungguh hanya untuk membikin kami
berdua merasa malu dan penasaran!" kata In Hong dengan gemas, menutup
penuturan Bun Houw yang kini telah menjadi suaminya.
Yap Kun
Liong mendengarkan penuturan itu dan mengerutkan alisnya, berulang kali dia
menarik napas panjang. "Ahh, anak itu patut dikasihani..."
"Tapi,
Liong-ko, dia tak berakhlak, tak tahu malu, merusak nama kami!" In Hong
berkata marah.
"Itulah,
kalian hanya mengingat nama kalian saja, mengingat kepentingan kalian sendiri
dan tidak pernah mengingat kebutuhan anak itu. Memang harus diakui bahwa anak
itu lemah menghadapi nafsunya sendiri, akan tetapi jahatkah hal itu? Ataukah
hal itu justru merupakan hal yang patut dikasihani, hal yang tidak terlepas
dari pada pendidikan dan lingkungan? Kalian masih terlalu muda untuk mendidik,
mungkin juga dia terlalu dimanja. Dia tidak jahat, buktinya, biar pun kalian
telah membencinya, dia masih ingat budi, masih berani menempuh bahaya untuk
menolong kalian. Hal ini saja membuktikan bahwa anak itu bukan orang yang tak
ingat budi, bukan orang yang jahat. Dia hanya menjadi korban salah didik, salah
asuhan sungguh pun kalian berdua tidak insyaf akan kesalahan kalian yang tidak
disengaja."
Mendengar
ini, In Hong dan Bun Houw tidak membantah lagi karena mereka juga dapat melihat
kebenaran dalam ucapan Yap Kun Liong itu. Akan tetapi tentu saja In Hong tidak
dapat menerima kesalahannya secara rela, maka secara diam-diam dia masih
penasaran dan masih belum lenyap rasa bencinya kepada Sun Eng.
Sementara
itu, di dalam gedung tempat tinggal Ciong-taijin, jaksa kota Po-teng di mana
Ma-ciangkun bermalam, yaitu pembesar yang menjadi sahabat Lee-ciangkun, yang
sudah membantu Ma Kit Su dalam menjaga para tahanan itu, datang beberapa orang
tamu. Kedatangan mereka itu secara rahasia, tidak diketahui orang lain kecuali
tuan rumah yang menyambut mereka dengan penuh hormat.
Tamu ini
adalah Lee Siang atau Lee-ciangkun dari kota raja, Kim Hong Liu-nio, dan nenek
Hek-hiat Mo-li. Ciong-taijin sendiri sampai merasa ngeri dan seram ketika dia
berjumpa dengan nenek muka hitam yang sangat tua itu, dan memandang dengan
penuh curiga kepada nenek itu, kemudian memandang dengan sinar mata penuh tanda
tanya kepada sahabatnya dari kota raja itu.
Di samping
ketiga orang ini, masih ada belasan orang tinggi besar, dan mereka ini adalah
orang-orang yang menjadi pengikut Hek-hiat Mo-li, yang datang dari utara dan
merupakan jagoan-jagoan dari utara yang oleh Raja Sabutai diberikan kepada
gurunya supaya dapat membantu gurunya menghadapi musuh-musuhnya. Belasan orang
ini diterima oleh para pembantu Ciong-taijin di tempat tersendiri dan dijamu
oleh mereka.
Bagaimanakah
Hek-hiat Mo-li bisa muncul di Po-teng? Seperti kita ketahui, penangkapan atas
diri keempat orang pendekar itu adalah pelaksanaan siasat yang dilakukan oleh
Lee Siang yang berdaya upaya untuk menyelamatkan kekasihnya dari ancaman
hukuman mati oleh guru kekasihnya itu, yaitu waktu tiga bulan yang diberikan
kepada Kim Hong Liu-nio untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun
Houw dan Cia Giok Keng, hidup atau mati.
Maka setelah
mereka mendengar berita bahwa siasat itu telah dilaksanakan dengan hasil baik,
Kim Hong Liu-nio cepat menghadap gurunya dan melaporkan bahwa empat orang musuh
besar itu telah ditawan dan kini sedang menuju ke kota raja.
"Mengingat
lihainya mereka, sebaiknya kalau subo sendiri yang turun tangan membunuh mereka
yang sudah ditawan dalam kerangkeng dan sedang dikawal menuju ke kota
raja," kata Kim Hong Liu-nio.
Nenek itu
terkekeh girang. "Bagus, begitu baru engkau muridku yang baik!"
Raja Sabutai
juga merasa girang dan raja ini kemudian memilih tiga belas orang jagoan di
antara para pengawal pribadinya dan memerintahkan mereka mengawal serta
membantu gurunya yang hendak menewaskan musuh-musuh besar yang lihai itu.
Dengan cepat
mereka pun berangkat menjemput Lee-ciangkun, kemudian bersama-sama menuju ke
selatan untuk menyambut tawanan itu. Kini kebetulan mereka bertemu dengan
rombongan tawanan yang sedang berhenti di Po-teng, karena itu Lee Siang lalu
langsung membawa rombongannya itu ke gedung Ciong-taijin. Mereka berempat lalu
mengadakan perundingan rahasia.
"Ciong-taijin,
empat orang tawanan itu adalah orang-orang yang amat lihai dan berbahaya
sekali. Sri Baginda sendiri sudah memberi perintah rahasia kepadaku bahwa
mereka itu harus dapat dibunuh secepat mungkin, karena kalau mereka sampai
lolos, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin pemberontak yang amat membahayakan
keamanan negara. Mengingat akan lihainya mereka, maka kami menunjuk locianpwe
ini untuk melaksanakan perintah rahasia kaisar itu, dibantu oleh murid beliau
ini." Dia memperkenalkan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio kepada Jaksa
Ciong.
Oleh karena
menganggap bahwa nenek dan muridnya yang cantik itu adalah pelaksana-pelaksana
dari perintah rahasia kaisar, maka tentu saja Ciong-taijin memandang kepada
mereka dengan penuh hormat dan juga takut karena memang wajah dan sikap nenek
itu amat menakutkan.
Sambil duduk
di atas bangku dengan tegak dan kedua lengannya disilangkan di depan dada,
mukanya seperti topeng yang sama sekali tidak pernah bergerak, nenek itu tanpa
memandang kepada Ciong-taijin berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti
oleh pembesar itu. Setelah berkata-kata agak lama, nenek itu diam dan muridnya
yang cantik lalu berkata sambil memandang kepada tuan rumah.
"Ciong-taijin,
guruku baru berkata bahwa untuk melaksanakan perintah kaisar membunuh empat
orang itu tidaklah begitu mudah kalau tidak memperoleh bantuan taijin. Maka
subo mengusulkan untuk membakar penjara di mana empat orang itu terkurung. Hal
ini untuk mencegah agar mereka jangan sampai lolos, karena kalau sampal lolos, tentu
kaisar akan marah dan taijin juga ikut bertanggung jawab."
Mendengar
ini, wajah pembesar itu lantas berubah pucat dan keringat dingin membasahi
lehernya. "Akan tetapi... membakar penjara...? Lalu... bagaimana dengan
para tahanan yang lain? Tentu akan jatuh korban, mereka akan terbakar
hidup-hidup!"
Agaknya
untuk mendengarkan omongan pembesar itu, Hek-hiat Mo-li tidak memerlukan
terjemahan muridnya. Memang sesungguhnya dia juga pandai bicara dalam bahasa
Han, akan tetapi dasar wataknya agaknya aneh, dia terlalu memandang rendah
terhadap para pembesar sehingga tidak mau bicara secara langsung kepada
pembesar Ciong itu. Kini mendengar ucapan Ciong-taijin, dia cepat bicara dalam
bahasanya sendiri yang kemudian disalin pula oleh muridnya.
"Menurut
subo, tidak mengapa jika sampai jatuh beberapa orang korban karena bukankah
mereka itu orang-orang berdosa yang layak mati? Juga, yang dibakar hanyalah
sekeliling ruangan di mana keempat orang tahanan itu berada, jadi tidak akan
membakar seluruh penjara, karena itu, andai kata ada orang tahanan yang ikut
tewas, kami rasa tidak akan begitu banyak jumlahnya."
Akhirnya
Ciong-taijin terpaksa menyetujui juga dan menyerahkan semua pelaksanaannya
kepada Lee-ciangkun.
"Jangan
khawatir, Ciong-taijin, saya yang bertanggung jawab akal hal ini!" kata
Lee Siang dengan girang, karena kini terbuka harapan besar baginya untuk dapat
memiliki Kim Hong Liu-nio secara resmi dan keselamatan kekasihnya itu tidak
akan terancam lagi.
Siang hari
itu juga mereka sudah melakukan persiapan. Tanpa diketahui orang, secara
rahasia, ruangan penjara di mana empat orang pendekar itu dikurung ditimbuni
kayu-kayu dan bahan bakar lainnya, dan dari ruangan itu hanya ada satu jurusan
saja terbuka, yaitu di pintu yang akan dijaga ketat oleh Hek-hiat Mo-li dan
orang-orang Mongol yang sudah mempersiapkan segalanya untuk mencegah empat
orang pendekar itu keluar dari tempat tahanan dan akhirnya dapat mati terbakar
di sebelah dalam.
Tidak ada
orang tahu bahwa diam-diam ada dua orang yang mengikuti semua kesibukan itu
dari jauh. Dua orang yang melakukan kegiatan secara terpisah ini bukan lain
adalah Sun Eng dan Lie Seng.
Walau pun
sudah diusir oleh suhu dan subo-nya, akan tetapi Sun Eng yang benar-benar
mengkhawatirkan keselamatan kedua orang gurunya itu tidak pergi benar-benar,
namun berkeliaran di sekitar tempat itu, di kota dan akhirnya kembali lagi ke
dekat penjara. Dia melihat kesibukan penuh rahasia itu, melihat pula belasan
orang tinggi besar yang meski pun mengenakan pakaian penjaga penjara namun
gerak-geriknya mencurigakan. Selain mereka itu semua tinggi besar dan memiliki
bentuk muka asing, juga gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka adalah
orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Sun Eng
merasa makin gelisah. Dia melihat seorang komandan jaga yang nampak lelah dan
kurang tidur, siang hari itu keluar dari lingkungan penjara, meloncat ke atas
kudanya dan agaknya hendak pulang, karena di pintu penjara dia memesan kepada
para penjaga agar berhati-hati dan menyatakan bahwa dia hendak beristirahat dan
pulang sebentar.
Ketika
komandan jaga ini melarikan kudanya, tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba seorang
wanita muda menyeberang jalan dengan tak terduga-duga. Komandan itu terkejut
sekali, berusaha menahan namun sudah terlambat karena kaki depan kudanya sudah
menerjang wanita itu yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah. Komandan
itu menghentikan kudanya dan lari menghampiri.
Wanita itu
masih muda dan cantik sekali, dan kini terlentang pingsan, pakaiannya agak
tersingkap sehingga memperlihatkan sebuah betis yang berkulit putih mulus!
Wanita itu
mengeluh, lirih, merintih dengan mata masih terpejam, "Aauhhhh...
tolonglah aku..."
Komandan itu
menelan ludahnya. Ketika melihat wanita itu mengeluh dan menggeliat, dia
menjadi terpesona, kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang lain,
dia lalu mengangkat tubuh yang setengah pingsan itu, segera membawanya ke atas
kuda dan melarikan kudanya, bukan pulang ke rumahnya melainkan menuju ke tepi
kota di mana terdapat sebuah pondok kosong, pondok ini adalah pondok tempat dia
bersenang-senang dengan kawan-kawannya, jauh dari rumah dan isterinya!
Ketika
komandan itu membaringkan tubuh yang hangat dan menggairahkan ketika berada
dalam pelukannya tadi ke atas dipan, wanita itu kembali mengeluh dan mencoba
untuk duduk.
"Auuuh,
kakiku...," keluhnya.
"Mengapa
kakimu, nona? Sakitkah? Coba kuperiksa." Komandan itu menghampiri lantas
duduk di atas pembaringan.
Nona itu
tidak membantah, segera melonjorkan kaki kirinya. Sang komandan yang mata
keranjang itu lalu menyingkapkan celana kaki kiri, dan terus membukanya hingga
ke lutut. Kembali dia menelan ludah melihat sebuah kaki yang bentuknya indah
dan kulitnya putih halus dan hangat. Diusapnya kaki itu seperti orang
memeriksa, akan tetapi usapannya itu makin kurang ajar, merupakan belaian dari
tangannya yang gemetar.
"Aduh,
sakit di situ... di bawah lutut...!" Wanita cantik itu mengeluh lagi.
Menduga
bahwa lutut itu terkilir, sang komandan lantas mengurutnya dan menaruh obat,
kemudian dibalutnya, "Tulangnya tidak patah, hanya terkilir, nona. Dalam
waktu sehari saja akan sembuh kembali. Kau mengapa lari-lari menyeberang jalan
sehingga tertabrak oleh kuda?"
Nona itu
mengerling tajam, kemudian tersenyum malu-malu. "Aku... aku memang ingin
melihatmu, ciangkun. Engkau begitu sering lewat dengan kudamu, dan aku... aku
kagum melihat engkau begini gagah..."
Hampir
komandan yang usianya sudah empat puluh tahun ini tidak percaya dengan apa yang
didengarnya. Matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. "Benarkah, nona?
Dan setelah sekarang kita berhadapan, engkau mau apa?" tanyanya nakal,
penuh pancingan dan bujukan, kemudian dia hendak merangkul.
Akan tetapi
nona itu mencegahnya dengan kedua tangannya. "Ahhh, kakiku masih sakit
sekali, ciangkun. Nanti kalau sudah sembuh, tentu boleh..."
"Boleh
apa...?"
Wanita itu
tersenyum malu, mengerling tajam seperti kilat, "Ihhh, engkau tentu
mengerti sendiri. Sekarang, dipakai bergerak saja kakiku sakit, mari kita
omong-omong saja dulu. Kalau tidak salah, ciangkun bekerja di penjara sana,
bukan?"
"Benar,
aku seorang di antara komandan penjara!" komandan itu menjawab bangga.
"Pantas
pakaianmu begitu mentereng! Aku sudah menduga bahwa engkau tentu seorang
perwira tinggi. Aku sering lewat dekat penjara hanya untuk dapat melihatmu,
ciangkun."
"He-he-he,
benarkah?" Komandan itu menyeringai sambil menelan ludah, kemudian dia
mendekatkan hidungnya untuk mencium.
Wanita itu
memalingkan mukanya, memberikan pipinya yang langsung dikecup dengan bernafsu
oleh sang komandan, "Engkau manis, he-he-he, engkau cantik manis!"
Wanita itu
mendorong dada komandan itu dengan kedua tangannya, dengan gerakan halus,
"Sabarlah, ciangkun, kakiku tidak dapat digerakkan. Biarlah nanti... ehh,
beberapa hari ini aku melihat kesibukan di dalam penjara, ada apakah? Apakah
ada hubungannya dengan kereta kerangkeng di mana terdapat empat orang penjahat
itu?" Secara sambil lalu wanita itu bertanya.
"Ha-ha-ha,
rahasia manis, rahasia besar yang hanya diketahui oleh orang-orang penting
macam aku ini. Tak boleh kuceritakan kepada siapa pun..."
Wanita itu
cemberut lantas berusaha turun dari pembaringan, mukanya membayangkan
kekecewaan dan kemarahan.
"Ehh,
engkau mau ke mana?"
"Biarlah
aku pergi. Biar pun engkau gagah dan tampan menarik, akan tetapi engkau tidak
percaya kepadaku! Aku begini percaya kepadamu, mau kau bawa ke pondok ini, akan
tetapi engkau masih menganggap aku orang asing yang tak boleh dipercaya. Untuk
apa persahabatan berat sebelah ini dilanjutkan? Biarkan aku pergi!" Wanita
itu terpincang-pincang hendak pergi.
"Ehh-ehh,
nanti dulu... sayang, jangan marah. Aku hanya main-main. Siapakah namamu,
manis?"
"Namaku
Ang Bwee Hwa."
"Ang
Bwee Hwa (Bunga Bwee Merah)? Heh-heh, nama yang bagus, sebagus orangnya. Dan
aku bernama Ciok Kwan."
"Apa
artinya perkenalan ini kalau kau tidak percaya..."
"Siapa
bilang tidak percaya? Aku percaya padamu seratus prosen, manis."
"Kenapa
kau tidak mau menceritakan rahasia orang tawanan itu?"
"Ssstttt,
jangan keras-keras, aku takut terdengar orang. Dengar, mereka itu orang-orang
penting dan berbahaya sekali sehingga sri baginda kaisar sendiri berkenan
mengeluarkan perintah rahasia untuk membunuh mereka di sini..."
"Ohhh...?"
Wanita itu terkejut dan sang komandan tersenyum karena tidak heran melihat
seorang wanita lemah terkejut mendengar tentang pembunuhan.
"Mengapa?"
"Aku
sendiri tidak tahu, hanya menurut perintah atasanku, kami harus bersiap, dan
karena empat orang itu sangat lihai, maka pelaksanaan pembunuhan itu akan
dilakukan dengan membakar ruangan tahanan di mana mereka dikurung."
"Ahhh...!"
kembali wanita itu terkejut dan membelalakkan mata.
"Dan
untuk menjaga agar mereka tidak dapat lolos, kota raja telah mengirim jagoan
yang mengerikan. Engkau tentu akan takut bila melihatnya, dia seorang nenek
bermuka hitam seperti iblis, bersama seorang muridnya yang cantik sekali akan
tetapi kabarnya murid itu pun lihai bukan main. Selain itu, masih ada belasan
orang jagoan yang mengawal dan membantu mereka."
"Ihhh,
mengerikan sekali. Kapan pembakaran itu akan dilaksanakan?"
"Sekarang
juga, setelah lewat senja ini, untung aku sudah bebas tugas, karena tugasku
hanya menjaga sampai sore ini, lalu diganti oleh petugas-petugas dari kota raja
itu... eh, ada apa?" Komandan itu terkejut karena tiba-tiba berubahlah
sikap wanita cantik itu. Tadi kelihatan begitu lemah ketakutan dan menderita
nyeri, akan tetapi kini wajah yang manis itu kelihatan keras dan pandang
matanya berkilat.
Akan tetapi
wanita cantik yang bukan lain adalah Sun Eng itu kini sudah meloncat turun dari
pembaringan. Ketika komandan Ciok itu mengulur tangan hendak meraih, tiba-tiba
Sun Eng menampar dengan tangan kirinya, dengan kecepatan seperti kilat
menyambar. Komandan Ciok hanya sempat menjerit satu kali lantas roboh dengan
kepala retak-retak dan tewas seketika!
Dengan
jantung berdebar tegang penuh kegelisahan mendengar berita itu, Sun Eng lalu
berlari secepatnya menuju ke penjara. Senja telah mendatang dan cuaca mulai
gelap. Dia khawatir kalau-kalau datangnya terlambat, maka dia mengerahkan
seluruh kepandaiannya berlari cepat.
Sementara
itu, di luar dan di dalam penjara terjadi kesibukan-kesibukan ketika Kim Hong
Liu-nio sendiri bersama Lee Siang menyusun pasukan untuk menjaga dan mengeroyok
empat orang pendekar yang hendak dibunuh itu. Juga Hek-hiat Mo-li bersama tiga
belas orang pembantunya telah siap di pintu depan. Lampu-lampu sengaja belum
dipasang oleh para penjaga sehingga keadaan di sana mulai gelap dan
remang-remang. Para penjaga telah diganti dengan tenaga-tenaga baru yang
pilihan.
Di dalam
kegelapan senja yang mulai menyelimuti bumi itu mendadak terdengar teriakan
melengking, teriakan dari seorang wanita dengan suara yang dikeluarkan melalui
tenaga khikang sehingga terdengar menembus cuaca remang-remang itu.
"Suhuuuu...!
Suboooo...! Keluarlah cepat, penjara hendak dibakar! Suhu dan subo sudah
terjebak oleh musuh!"
Dan dari
pintu depan penjara itu, muncullah seorang wanita yang bukan lain adalah Sun
Eng. Para penjaga menjadi gempar dan cepat mereka menerjang dan mengurung, akan
tetapi dengan Siang-tok-swa, pasir beracun harum yang digenggamnya, Sun Eng
segera menyambut mereka sehingga dua orang penjaga memekik lantas roboh
menutupi muka mereka. Berbareng dengan itu, Sun Eng telah mengelebatkan
pedangnya dan roboh pula dua orang penjaga lain.
Keadaan
menjadi makin geger, dan kini para penjaga mengurung rapat, belasan batang
senjata ditujukan ke arah bayangan wanita yang mengamuk itu. Namun Sun Eng
tidak menjadi gentar, pedangnya digerakkan dengan dahsyat dan yang nampak hanya
sinarnya saja bergulung-gulung. Akhirnya, empat orang pengeroyok kehilangan
senjata mereka, ada yang patah, ada pula yang terlempar entah ke mana!
"Suhuuuu...!
Suboooo...! Keluarlah sebelum terlambat!" kembali Sun Eng berteriak sambil
mengamuk dan amukannya membuat para pengeroyoknya menjadi gentar juga. Melihat
ini, Kim Hong Liu-nio menjadi marah.
"Dari
mana datangnya bocah yang bosan hidup?!" bentaknya dan dengan gerakan yang
dahsyat dan cepat sekali murid Hek-hiat Mo-li ini telah meloncat dan menyerang
Sun Eng dengan tangan kirinya. Sebelum tangan kiri mengenai sasaran, sudah
menyambar hawa panas dan terdengar suara berkerincingnya gelang-gelang emas di
pergelangan tangan itu.
Sun Eng
terkejut menyaksikan serangan yang dia tahu sangat ampuh ini, maka cepat dia
mengelebatkan pedangnya dan menangkis ke arah pergelangan tangan yang bergelang
itu untuk membacoknya buntung.
"Trikkk...!"
Sun Eng
terkejut bukan kepalang karena wanita cantik yang berpakaian indah itu berani
menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan pada saat tangan itu bertemu
dengan pedangnya, mucrat bunga api dan telapak tangannya terasa panas! Tahulah
dia bahwa dia menghadapi seorang lawan tangguh yang tangannya terlindung benda
kebal, maka dia sudah memutar pedangnya dan mengirim serangan bertubi-tubi ke
arah lawan yang lihai itu.
Namun,
dengan lincah dan ringannya, Kim Hong Liu-nio mengelak dan kadang-kadang
menangkis dengan tangannya yang terlindung oleh sarung tangan tipis itu.
"Suhuuu...!
Subooo...! Lekas keluar...!"
Akan tetapi
Sun Eng segera menahan teriakannya karena pada saat itu ada sinar merah
menyambar ke arah matanya. Dia cepat-cepat mengelak mundur sambil mengelebatkan
pedangnya, namun sinar merah itu tidak takut kepada pedangnya dan ternyata itu
adalah sehelai sabuk merah yang kini langsung menotok ke arah lehernya. Dia
terkejut, cepat miringkan tubuh, akan tetapi tetap saja pundaknya kena tertotok
ujung sabuk yang biar pun kehilangan sasaran leher, namun masih amat kuat
sehingga Sun Eng terhuyung ke belakang.
"Cepppp!"
Pada waktu
itu, dari belakang menyambar tusukan tombak dan serangan yang dilakukan selagi
tubuh Sun Eng terhuyung ini tidak mampu ditangkis atau ditolak oleh dara itu
yang hanya mampu membuang diri ke samping sehingga tetap saja belakang pundak
kirinya tertusuk tombak.
Darah
mengucur keluar dan Sun Eng menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat, terus
memutar pedang dan mengamuk. Akan tetapi sinar merah dari sabuk di tangan Kim
Hong Liu-nio menahan semua gerakannya, membuatnya tidak berdaya dan kembali dia
yang kini terdesak dan terkurung oleh para penjaga yang mendapat hati kembali
melihat betapa Kim Hong Liu-nio dapat menguasai amukan wanita muda itu.
Betapa pun
lihainya Sun Eng yang telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua
ilmu yang pernah dipelajarinya dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, akan tetapi
karena memang tingkatnya kalah tinggi oleh Kim Hong Liu-nio, apa lagi karena
dia sudah terluka dan dikeroyok oleh banyak penjaga, akhirnya kembali gadis itu
harus terluka oleh bacokan golok yang merobek celana berikut kulit paha
kanannya, membuat gerakannya makin kacau dan pakaiannya penuh dengan darah.
Akan tetapi, seperti singa betina dia mengamuk terus dan setiap ada kesempatan,
tentu dia berteriak agar suhu dan subo-nya segera melarikan diri!
"Perempuan
sial!" Kim Hong Liu-nio marah karena dia khawatir kalau-kalau empat orang
tawanan itu benar-benar dapat meloloskan diri oleh teriakan-teriakan itu. Maka
dia segera melengking nyaring dan tiba-tiba ada cahaya api meluncur ke arah
dahi Sun Eng. Itulah senjata rahasia berupa hio menyala yang amat hebat.
Sun Eng
terkejut dan membuang diri ke belakang, akan tetapi tiba-tiba kaki kirinya
terlibat ujung sabuk merah dan di lain saat dia sudah roboh terjengkang karena
sabuk itu ditarik oleh Kim Hong Liu-nio. Melihat robohnya gadis ini, dua orang
penjaga menubruk dengan golok mereka dan Sun Eng sudah tak berdaya lagi untuk
mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia membuka mata lebar-lebar, menyambut
maut dengan mata terbuka!
"Tranggg-tranggg...!"
Pandang mata
Sun Eng silau akibat berpijarnya bunga api dan kedua orang penjaga itu bersama
golok mereka terjengkang ke kanan kiri, lantas tubuhnya disambar orang yang
memiliki tangan kiri kuat bukan main sehingga sekali tarik saja dia sudah
bangkit berdiri kembali. Ketika dia melirik, ternyata yang menolongnya adalah
seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap dan berwajah gagah. Pemuda itu bukan
lain adalah Lie Seng!
Seperti kita
ketahui, Lie Seng juga selalu membayangi keadaan ibunya, ayahnya dan dua orang
paman dan bibinya itu, dan dia selalu mengamati keadaan penjara di mana empat
orang itu ditawan. Dia pun terheran-heran melihat kesibukan para penjaga, tidak
tahu apa yang akan terjadi.
Ketika dia
melihat ada wanita mengamuk dan dikeroyok, terutama pada waktu wanita itu
berteriak-teriak menyebut suhu dan subo ke dalam, dia sama tidak mengerti dan
tidak tahu siapa wanita itu, siapa pula yang disebut suhu dan subo. Tentu saja
dia tidak pernah menduga bahwa yang disebut suhu dan subo oleh wanita cantik
itu adalah paman dan bibinya. Juga dia tidak tahu bahwa ayah tiri dan ibu
kandungnya tidak pernah mempunyai murid seperti ini, maka Lie Seng menjadi
bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Akan tetapi
dia merasa kagum akan kegagahan wanita itu dan baru setelah dia melihat gerakan
wanita itu, dia menjadi terkejut. Dia mengenal dasar gerakan Thai-kek Sin-kun
dalam langkah-langkah wanita itu dan hal ini berarti bahwa wanita ini memang
masih ada hubungan perguruan dengan keluarganya! Maka melihat wanita itu
terluka dan terancam bahaya maut, dia lalu meloncat turun tangan dan
menolongnya, juga ingin tahu apa yang dimaksudkan oleh wanita itu ketika
berteriak-teriak ke dalam.
Melihat
munculnya seorang pemuda gagah perkasa yang dengan sekali berkelebat dan sekali
tangkis langsung merobohkan dua orang pembantunya, Kim Hong Liu-nio menjadi
marah bukan main.
"Tarr-tarrr-tarrr!"
Tiga kali sinar merah sabuknya menyambar, melakukan totokan ke tiga jalan darah
maut.
Akan tetapi
dengan tenangnya Lie Seng mengangkat lengan menangkis dan setiap kali
ditangkis, sinar merah sabuk itu terpental, dan untuk yang terakhir kalinya
hampir saja Lie Seng berhasil menangkap ujung sabuk, akan tetapi dengan
sentakan halus ujung sabuk itu melejit dan terlepas lagi dari pegangan Lie Seng
bagaikan seekor ular bernyawa saja! Keduanya menjadi terkejut dan maklum akan
kelihaian lawan masing-masing.
"Terima
kasih, aku berhutang nyawa padamu!" kata Sun Eng dengan halus dan wanita
ini sudah bangkit lagi dengan pedang di tangan, menyambut serbuan tiga orang
pengeroyok dari samping.
Lie Seng
juga menggerakkan kaki dan tangan, merobohkan dua orang pengeroyok lain. Kedua
orang muda ini segera dikurung dan dikeroyok, akan tetapi Lie Seng menyambut
mereka dengan seenaknya dan masih sempat bertanya-tanya kepada wanita gagah
yang ditolongnya itu.
"Siapa
yang kau sebut suhu dan subo-mu?"
"Cia
Bun Houw dan Yap In Hong!"
Lie Seng
terkejut. Ternyata wanita muda ini adalah murid paman bibinya! Dia sungguh
merasa terheran-heran, akan tetapi karena dia tidak pernah mendengar tentang
riwayat paman dan bibinya yang telah menghilang selama belasan tahun, maka dia
pun percaya akan hal ini.
"Apa
artinya teriakanmu bahwa mereka terjebak dan tempat ini akan dibakar?"
"Memang
mau dibakar. Lihat di sana itu mereka sudah mulai membakar. Celaka, lekas minta
suhu dan subo keluar!" teriak Sun Eng.
Melihat ini,
Lie Seng terkejut sekali. Benar saja, di sebelah kiri ruangan penjara di mana
ibunya dan yang lain-lain dikurung itu mulai berkobar api yang amat besar,
tanda bahwa api itu bukan sembarangan kebakaran, melainkan kebakaran yang
memang sudah diatur dengan diberi bahan bakar dan minyak.
"Ibu...!
Ayah...! Paman dan bibi...! Lekas keluar, ruangan itu dibakar orang!" Dia
berteriak dan karena Lie Seng mengerahkan khikang-nya, maka suaranya terdengar
amat nyaring.
Sekarang
giliran Sun Eng yang kaget setengah mati mendengar bahwa pemuda ini masih
keluarga dari empat orang pendekar yang ditawan, dan menyebut paman dan bibi
kepada suhu dan subo-nya!
Sementara
itu, di dalam ruangan penjara itu, Bun Houw dan In Hong sama sekali tidak
mempedulikan teriakan-teriakan Sun Eng tadi. Bahkan ketika Yap Kun Liong
menyatakan keheranan dan kecurigaannya, Bun Houw berkata, "Harap Liong-ko
jangan menghiraukan anak durhaka itu."
Ketika di
luar terdengar ribut-ribut, empat orang pendekar ini hanya mendengarkan dan
karena memang mereka tidak ingin memberontak, maka mereka diam saja. Biar pun
ada golongan yang hendak menolong mereka lolos, mereka tidak akan mau
meloloskan diri karena sebagai orang-orang gagah mereka hendak memperlihatkan
kepada kaisar bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak seperti yang
difitnahkan orang terhadap mereka. Akan tetapi, sesudah mereka berempat
mendengar suara Lie Seng itu, mereka terkejut sekali.
"Celaka,
kita benar-benar telah terjebak. Jadi penangkapan ini benar-benar hanya tipuan
belaka dari musuh-musuh yang menghendaki kematian kita!" kata Yap Kun
Liong. "Hayo kita loloskan diri dan bantu Lie Seng yang agaknya
terkepung!"
Mereka cepat
mengerahkan sinkang dan karena keempatnya adalah pendekar-pendekar sakti yang
mempunyai kepandaian tinggi, maka begitu mereka mengerahkan sinkang dan
menggerakkan kedua tangan, belenggu-belenggu di tangan mereka itu lantas
patah-patah semua sehingga terdengar suara pletak-pletok.
Yap Kun
Liong sedikit membantu isterinya karena di antara mereka berempat, hanya Cia
Giok Keng yang tidak begitu kuat sinkang-nya. Sesudah terbebas dari belenggu,
mereka berempat lalu menerjang pintu ruji baja itu dengan pengerahan tenaga.
Karena pintu itu kuat bukan main, setelah empat kali menerjangnya, barulah
pintu itu jebol.
"Awas
senjata gelap!" Kun Liong berteriak dan mereka berempat cepat mengelak
sambil menangkis anak panah yang datang berhamburan seperti hujan.
Mereka
meloncat keluar dan melihat serombongan orang yang dipimpin Hek-hiat Mo-li dan
Kim Hong Liu-nio. Wanita cantik ini ternyata telah bergabung dengan subo-nya
untuk membantu subo-nya membunuh empat orang musuh besar itu!
Kini
mengertilah empat orang pendekar itu mengapa mereka ditangkap. Kiranya semua
itu adalah tipuan belaka dan di balik semua itu berdiri musuh besar mereka ini!
Teringat mereka akan cerita dari mendiang Hwa-i Sin-kai dan mereka mengerti
bahwa tentu fitnah ini dilaksanakan oleh Panglima Lee Siang yang tergila-gila
kepada Kim Hong Liu-nio yang juga telah menjebak sampai tewasnya Tio Sun.
"Ah,
kiranya engkau iblis betina yang mengatur semua ini!" In Hong berteriak
marah ketika melihat musuh besarnya itu.
"Heh-heh-heh,
senang sekali melihat kalian akan mampus semua di tanganku, heh-heh!"
Hek-hiat Mo-li tertawa.
Kim Hong
Liu-nio cepat mengeluarkan aba-aba dalam bahasa Mongol. Tiga belas orang Mongol
itu berbaris rapi dan menghadang sambil memasang kuda-kuda, tangan mereka
memegang golok besar dan perisai. Ada pun di belakang mereka masih berdiri
puluhan orang prajurit yang dikerahkan oleh Panglima Lee untuk membantu kekasihnya.
Jelaslah
bagi empat orang pendekar itu bahwa mereka tidak mungkin dapat lolos begitu
saja dan jalan satu-satunya hanyalah membuka jalan berdarah. Di belakang mereka
ada ruangan yang mulai terbakar, di depan mereka menjaga nenek iblis itu bersama
muridnya dengan dibantu begitu banyak prajurit.
Kembali Kim
Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba dan empat orang pendekar itu terpaksa harus
bergerak cepat, mengelak dan menangkis sebab kembali datang hujan anak panah.
Kun Liong selalu melindungi isterinya, sedangkan Bun Houw dan In Hong tidak
khawatir karena dengan Thian-te Sin-ciang mereka memperoleh kekebalan sehingga
kedua lengan mereka berani menangkis anak-anak panah itu.
Dan pada
saat itu pula, Hek-hiat Mo-li, Kim Hong Liu-nio beserta tiga belas orang Mongol
itu sudah menerjang dengan sangat hebatnya, menyerang empat orang pendekar yang
tidak bersenjata itu. Maka terjadilah perkelahian yang amat seru dan
mati-matian di mana empat orang pendekar itu mengamuk untuk menyelamatkan diri
mereka.
Sementara
itu, sesudah Kim Hong Liu-nio membantu gurunya untuk menghadapi empat orang
musuh mereka yang amat lihai, pimpinan para prajurit penjaga yang mengeroyok
Lie Seng dan Sun Eng diambil alih oleh panglima Lee Siang sendiri. Panglima ini
berteriak marah,
"Kalian
berani memberontak terhadap pasukan pemerintah? Hayo menyerahlah sebelum
menerima hukuman berat!"
Akan tetapi
Sun Eng yang juga marah sekali dan tidak mempedulikan luka-lukanya itu
menerjangnya sambil berteriak, "Engkau hanya mempergunakan nama pemerintah
untuk menipu dan mencelakakan orang!"
Pedang di
tangan Sun Eng menusuk dengan cepat. Lee Siang cepat menangkis dengan
pedangnya. Akan tetapi begitu pedangnya tertangkis, dengan putaran tangannya
wanita yang sudah luka-luka itu dapat meneruskan pedang yang tertangkis itu
menjadi sabetan yang menyerempet pundak Lee Siang.
"Ahhh!"
Lee Siang berteriak kesakitan kemudian bersama empat orang pengawalnya dia
menubruk ke depan.
Lie Seng
hendak melindungi Sun Eng, namun dia sendiri sedang dikepung oleh banyak
prajurit sehingga dia terpaksa mengamuk menggunakan kaki dan tangannya,
melempar-lemparkan serta merobohkan banyak orang yang mengepungnya bagaikan
serombongan semut.
Sebetulnya,
tingkat kepandaian Sun Eng masih jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian Lee
Siang dan beberapa orang pengawalnya. Akan tetapi gadis ini sudah luka-luka dan
banyak mengeluarkan darah, maka gerakannya menjadi lemah dan tenaganya juga
telah banyak berkurang. Sesudah dia berhasil membunuh dua orang pengeroyok
lagi, akhirnya dia terdesak hebat sekali.
Lie Seng
juga terkepung ketat dan sibuk sekali menghadapi para pengeroyoknya. Melihat
ini, Sun Eng kemudian berseru, "Taihiap, kau larilah cepat, biar aku
mencegah mereka menghalangimu! Cepat sebelum terlambat!"
Sun Eng
mengerahkan tenaga terakhir untuk membuka jalan mendekati Lie Seng, tanpa
mempedulikan luka baru di pangkal lengan kiri yang mengucurkan banyak darah.
Melihat keadaan gadis itu yang pakaiannya penuh berlepotan darah, bahkan dari
luka-lukanya itu mengucur banyak darah dan mukanya pucat sekali, Lie Seng
menjadi terkejut, kagum dan juga terharu.
"Kau
menyuruh aku lari? Dan kau sendiri?" tanyanya sambil menendang roboh
seorang pengeroyok.
"Aku...?
Biarlah, aku girang sekali dapat membalas budimu dan budi suhu serta subo! Kau
larilah... selamat jalan...!" Sun Eng berkata dan karena bicara ini maka
dia menjadi kurang waspada.
"Nona,
awas...!" Lie Seng berteriak akan tetapi terlambat, tusukan pedang dari
Lee Siang itu mengenai punggung Sun Eng.
Gadis ini
menggeliat miringkan tubuhnya, dan walau pun dengan jalan itu pedang lawan
tidak menembus punggungnya, akan tetapi tetap saja punggungnya terluka parah
dan dia roboh terguling.
"Keparat
curang!" Lie Seng berteriak marah dan menjadi beringas, cepat menubruk ke
depan dan melancarkan pukulan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah Lee
Siang.
Panglima ini
mencoba untuk mengelak, akan tetapi dia kalah cepat sehingga pukulan itu menyambar
pelipisnya. Terdengar suara keras karena kepala panglima ini retak-retak dan
tubuhnya roboh ke atas tanah, tewas seketika!
Lie Seng
menyambar tubuh Sun Eng dan mengamuk, membuka jalan berdarah. Ketika dia
melihat betapa empat orang pendekar dari dalam penjara sudah menerjang keluar,
hatinya lega dan dia pun segera meloncat, merobohkan setiap orang penghalang,
sambil memondong tubuh Sun Eng yang pingsan dan berlumuran darah itu, terus
melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu. Dia merasa yakin bahwa
orang-orang seperti ibunya, ayah tirinya, paman serta bibinya itu pasti akan
sanggup meloloskan diri dari kepungan musuh.
Dugaan Lie
Seng tadi memang tidak berlebihan. Tingkat ilmu kepandaian empat orang pendekar
itu sudah tinggi sekali, terutama sekali Yap Kun Liong, Cia Bun Houw,dan Yap In
Hong. Seorang demi seorang, ketiga belas pengawal Mongol yang diandalkan
sebagai pembantu-pembantu Hek-hiat Mo-li sendiri bersama Kim Hong Liu-nio,
terdesak mundur dan mundur terus, apa lagi para pengawal penjaga, setiap kali
empat orang pendekat itu bergerak, tentu ada yang terjungkal!
Hal ini sama
sekali tidak pernah dapat disangka oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio,
yang sudah merasa yakin akan dapat membunuh empat orang itu. Dan suasana
menjadi tambah geger ketika ruangan itu terbakar hebat. Akan tetapi, empat
orang itu telah keluar dari ruangan dan kini mengamuk di depan penjara.
Terdengar
jerit mengerikan dari mulut Kim Hong Liu-nio pada saat dia melihat kekasihnya
telah menggeletak tewas dengan kepala pecah! Dia menubruk kekasihnya dan
menangis, tidak mempedulikan lagi kepada empat orang musuhnya.
Mundurnya
Kim Hong Liu-nio dari pertempuran ini membuat Hek-hiat Mo-li makin lemah dan
akhirnya empat orang pendekar itu dapat meloloskan diri dari kepungan dan
secepat kilat mereka lenyap dari tempat itu menggunakan ginkang dengan
loncatan-loncatan jauh. Hek-hiat Mo-li menyumpah-nyumpah dan malam itu juga
nenek ini pergi meninggalkan kota itu, kembali ke utara dengan wajah muram,
diikuti oleh muridnya yang terus-menerus menangis di sepanjang jalan!
"Sudah,
apa perlunya menangis lagi? Engkau kini sudah bukan perawan lagi, dan dia sudah
mampus. Di dunia ini masih banyak laki-laki, mengapa kau tangisi seorang
laki-laki yang sudah mampus?" Hek-hiat Mo-li membentak.
Bentakan ini
malah membuat Kim Hong Liu-nio menangis makin sedih sehingga gurunya menjadi
makin marah dan meninggalkannya. Kim Hong Liu-nio mengikuti gurunya dengan
terisak-isak, di dalam hati bersumpah untuk mencari jalan membunuh keluarga pendekar
yang telah menewaskan kekasihnya itu!
Dendam,
sakit hati, kemarahan dan kebencian meracuni kehidupan manusia. Dari mana
timbulnya dendam yang melahirkan kebencian ini? Dendam-mendendam yang
sebetulnya hanya merupakan rangkaian akibat dari tindakan-tindakan kekerasan,
permusuhan serta kebendan itu pasti selalu timbul karena pementingan diri
sendiri, karena merasa bahwa kesenangan dirinya terganggu oleh orang atau
golongan lain.
Jadi
jelaslah bahwa di mana ada pengagungan si aku, di sana pastilah timbul tindakan
kekerasan yang dianggap sebagai tindakan pembelaan si aku atau pengejaran
cita-cita dan kesenangan untuk si aku. Mengejar kesenangan seperti yang
dicita-citakan untuk diri sendiri tak dapat tidak tentu menimbulkan tindakan
kekerasan terhadap siapa saja yang dianggap merintangi tercapainya kesenangan
yang dicita-citakan itu. Dan semua cita-cita adalah bayangan kesenangan yang
diharapkan akan diperoleh, baik kesenangan untuk diri sendiri atau untuk
keluargaNya, kelompokNya, bangsaNya dan lain-lain yang semuanya hanya merupakan
perluasan dan pembesaran dari pada si aku juga.
Dan
bagaimana terjadinya si aku, baik dalam keadaan tipis mau pun tebal, dalam
batin kita? Si aku diciptakan oleh pikiran yang menimbulkan pengalaman dan
ingatan tentang yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, yang enak dan
tidak enak. Pikiran mengenang pengalaman-pengalaman itu, membayangkan semua itu
sehingga timbullah keinginan untuk mengulang yang enak dan membuang yang tidak
enak.
Begitu
pikiran bekerja mengenangkan itu semua, si aku pun muncullah. Si aku sebagai
pemikir, si aku sebagai yang ingin mengulang, si aku yang ingin menghindarkan
yang tidak enak. Makin lama si aku ini makin menebal dan akhirnya manusia
menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri yang selalu ingin menikmati yang
dianggap menyenangkan dan menjauhi yang dianggap tidak menyenangkan. Dan di
dalam pergulatan ini terjadilah konflik-konflik di dalam batin yang mencetus
keluar menjadi konflik antara manusia karena masing-masing hendak memperebutkan
kesenangan bagi dirinya sendiri, dan kalau perlu menyingkirkan orang lain yang
menjadi penghalang, dengan kekerasan tentu saja!
Oleh karena
kenyataan itu, maka timbullah pernyataan yang harus kita ajukan kepada diri
kita sendiri, yaitu: Dapatkah kita terbebas dari pikiran yang selalu
mengenangkan yang enak-enak dan yang tidak enak-enak sehingga tidak timbul si
aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan dan karenanya menimbulkan konflik
dan kekerasan? Pertanyaan ini penting sekali bagi kehidupan kita dan sudah
selayaknya kalau diajukan oleh setiap orang manusia hidup kepada dirinya
sendiri! Kalau sudah begitu, barulah hidup ini mempunyai arti, bukan hanya
menjadi ajang kesengsaraan dan penderitaan yang timbul dari konfilk dan
permusuhan setiap hari.
Melihat
keadaan Sun Eng yang mandi darah, Lie Seng menjadi gelisah bukan main. Dia
melarikan Sun Eng yang pingsan itu jauh meninggalkan Po-teng dan memasuki
daerah pegunungan yang sunyi, karena khawatir kalau-kalau ada pasukan yang
mengejarnya, padahal dia membutuhkan tempat sunyi untuk dapat menolong gadis
yang penuh luka itu.
Fajar telah
menyingsing ketika akhirnya dia menghentikan larinya dan dia berada di atas
puncak bukit yang lengang, di padang rumput yang luas dengan pohon-pohon tua di
sana sini. Sinar matahari pagi menyinari wajah cantik manis yang pucat itu.
Lie Seng cepat
menurunkan tubuh itu ke atas tanah bertilamkan rumput hijau di bawah pohon
besar, lalu memeriksa keadaan gadis itu. Tubuhnya penuh luka, pada punggung,
pundak dan paha. Cepat Lie Seng menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan
darah yang masih menetes-netes.
Kemudian dia
pergi mencari sumber air yang bening, mengambil air dengan daun dan mencuci
luka-luka yang parah itu, terutama di paha dan punggung. Untuk ini terpaksa dia
merobek celana di bagian paha dan baju di punggung. Dia tidak lagi ingat bahwa
matanya melihat kulit paha yang putih mulus dan kulit punggung yang amat halus,
melainkan sibuk mencuci luka itu penuh perhatian.
Untung bahwa
luka-luka itu diakibatkan oleh senjata yang tidak beracun, pikirnya. Dengan
mencuci bagian-bagian yang terluka itu, tentu saja jari-jari tangannya harus
menyentuh dan mengusap kulit halus mulus itu, namun hal ini sama sekali tidak
disadari olehnya.
Memang
demikianlah! Selama pikiran tidak mengenang dan membayangkan apa-apa, selama
pikiran kosong tidak sibuk dengan ingatan-ingatan masa lalu, dengan
bayangan-bayangan kenikmatan dan kesenangan, maka segala sesuatu adalah bersih
dan wajar.
Sungguh pun
kita melihat manusia dengan kelamin lain dalam keadaan telanjang bulat
umpamanya, bila pikiran ini tidak diisi dengan bayangan-bayangan kotor, maka
keadaan telanjang dari manusia lain itu sama sekali tidak menimbulkan apa-apa,
seperti kalau kita melihat ketelanjangan seekor kucing saja. Akan tetapi,
begitu pikiran kita terisi dengan bayangan-bayangan yang muncul dari kenangan,
bayangan-bayangan yang kita anggap menyenangkan, mendatangkan nikmat, maka
mulailah nafsu bangkit, baik itu merupakan nafsu birahi, nafsu amarah, dan
segala macam nafsu lagi.
Jelaslah
bahwa nafsu-nafsu itu diciptakan oleh pikiran yang mengenangkan segala yang
enak-enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan sebaliknya. Jadi pikiran
yang mengingat-ingat inilah sumber dari segala konflik batin yang akhirnya
pasti akan tercetus keluar dan menjadi konflik lahir antara manusia.
Sun Eng
mengeluh lirih kemudian merintih. Kini barulah lega hati Lie Seng karena hal
ini menandakan bahwa dia sudah berhasil menyelamatkan dara itu. Setelah menaruh
obat bubuk pada luka-luka itu dan membalutnya, dia lalu mengangkat tubuh bagian
atas dari Sun Eng dengan memangkunya dan memberinya minum air jernih.
"Aahhh...!"
Kembali Sun Eng mengeluh setelah minum beberapa teguk air dan membuka matanya.
Melihat
betapa dia dipangku oleh seorang pemuda tampan dan gagah, sepasang mata yang
jeli itu terbelalak, akan tetapi dia segera teringat bahwa pemuda ini adalah
pemuda perkasa yang telah membantunya menghadapi pengeroyokan pasukan saat dia
berusaha menyelamatkan suhu dan subo-nya. Sungguh aneh sekali. Mengapa sekarang
pemuda ini memangkunya dan memandangnya demikian mesra?
"Apakah...
apakah aku sudah mati?" dia bertanya dengan suara berbisik karena merasa
tegang dan takut. Membayangkan bahwa dia sudah mati dalam usia semuda itu,
hatinya merasa ngeri.
Semenjak
tadi, sesudah dia berhasil mengobati dara itu sehingga siuman, Lie Seng mulai
memperhatikan wajah gadis yang dipangkunya itu dan dia terpesona. Bagi dia,
wajah itu sedemikian cantik jelitanya, sedemikian lembut hingga sekaligus
mendatangkan perasaan suka dan iba di dalam hatinya.
Rasanya
belum pernah dia berjumpa dengan seorang gadis seperti ini, apa lagi tadi dia
pun melihat betapa gadis ini telah berusaha menyelamatkan keluarganya dengan
taruhan nyawa. Hal ini saja sudah membuat dia merasa herhutang budi, kagum dan
suka.
Dia seperti
tenggelam ketika memandangi wajah dari gadis yang dirangkunya itu, maka ketika
melihat mata dan bibir yang manis itu mengajukan pertanyaan seperti itu, dia
pun tersenyum. Hatinya girang karena dia yakin bahwa gadis itu akan selamat.
"Jangan
khawatir nona. Engkau sudah terhindar dari bahaya dan luka-lukamu tentu akan
sembuh."
"Luka-luka...?"
Sun Eng seperti baru teringat dan merasa terkejut.
Tadi dia
tidak merasa apa-apa, hanya lemas dan terasa demikian nikmat rebah di atas
pangkuan pemuda itu yang merangkul pundak dan menyangga tubuhnya. Kini,
diingatkan akan luka-luka, tiba-tiba saja dia tersentak dan ingin duduk, akan
tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, terutama sekali punggungnya.
"Aduhhhh...
punggungku..." Dia menggeliat.
Lie Seng
cepat membantunya duduk. "Maaf, aku... aku lupa dan menyentuh punggungmu
yang terluka. Sebaiknya engkau duduk di atas rumput ini. Nah, begitu lebih
enak, bukan? Engkau menderita banyak luka, nona, terutama yang agak parah
adalah luka-luka pada paha, pundak dan punggung."
Sun Eng
meraba paha dan pundaknya, melihat betapa pakaiannya di bagian luka-luka itu
robek dan lukanya telah diobati dan dibalut. Dia mengangkat muka memandang
pemuda yang duduk di depannya itu dan mendadak wajahnya berubah merah sekali,
jantungnya berdebar tegang.
"Kau...
kau yang mengobati luka-lukaku...?" tanyanya dan kedua matanya memandang
penuh selidik.
Lie Seng
mengangguk. "Bisa berbahaya kalau tidak cepat dicuci dan diobati. Maafkan
aku yang telah lancang..."
"Maafkan?
Ahhh, engkau sudah menolongku, menyelamatkan nyawaku, mengobatiku dan masih
minta maaf? Engkau tentu seorang gagah perkasa yang sakti maka engkau dapat
menyelamatkan aku dari kepungan begitu banyak lawan tangguh. Taihiap, aku
berhutang nyawa padamu. Siapakah engkau?"
"Aku
she Lie, bernama Seng. Engkau tak perlu bersikap sungkan padaku karena menurut
pengakuanmu, engkau adalah murid dari Paman Cia Bun Houw, sedangkan dia adalah
pamanku, karena dia adik kandung ibuku yang juga ikut tertawan bersama dengan
paman dan bibi. Maka, kalau engkau murid mereka, berarti kita masih ada
hubungan dan bukan orang lain."
"Ahhh...!"
Sun Eng terbelalak dan wajahnya agak berubah, tidak lagi merah seperti tadi,
melainkan agak kepucatan.
"Mengapa?
Apakah luka-luka itu amat menyiksamu...?" Lie Seng mendekat dan pandang
matanya penuh iba.
Melihat ini,
Sun Eng menggelengkan kepalanya, menunduk dan memejamkan matanya, berusaha
mengusir perasaan nyeri yang menikam hatinya. Teringat dia betapa suhu dan
subo-nya amat membencinya, bahkan tidak sudi ketika dia berusaha menolong
mereka.
Dan pemuda
perkasa yang sudah menyelamatkan nyawanya ini, adalah keponakan dari suhu-nya!
Dan hubungan antara dia dengan kedua gurunya telah putus, kelak pemuda ini
tentu akan mendengar tentang dia, dan suhu serta subo-nya tentu akan bercerita
banyak tentang dia!
Hal ini
mendatangkan rasa nyeri di jantungnya, serasa tertusuk pedang berkarat. Dia tak
akan ada harganya lagi dalam pandang mata pemuda ini. Pandang mata yang
sekarang demikian penuh dengan kehalusan, iba dan mesra, tentu akan berubah
menjadi marah, jijik dan benci.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment