Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 30
Sin Liong
berjungkir balik ketika turun ke atas tanah, akan tetapi dia melihat betapa Bi
Cu sudah ditolong oleh Han Houw yang tadi dengan cekatan telah menyambut tubuh
dara itu dengan tangkas. Sin Liong merasa bersyukur, akan tetapi betapa kaget
hatinya ketika dia melihat Han Houw menangkap kedua lengan dara itu dan
ditelikungnya ke belakang.
"Houw-ko...
apa yang kau lakukan itu...?!" bentaknya.
Para anggota
pasukan langsung mengurungnya dengan senjata ditodongkan, akan tetapi Han Houw
membentak mereka, menyuruh mereka itu mundur. Kim Hong Liu-nio hanya memandang
dengan senyum dingin, agaknya wanita ini sengaja membiarkan saja segala yang
dilakukan oleh sute-nya yang juga merupakan junjungannya.
"Pangeran,
sebaiknya kita bunuh saja bocah keparat ini!" kata Kim Hong Liu-nio
perlahan sambil memandang kepada Sin Liong. Semenjak Han Houw menjadi pangeran
di dalam istana Kerajaan Beng, suci ini menyebut pangeran terutama sekali di
tempat umum.
Sambil
tersenyum Han Houw menoleh kepada perempuan cantik itu. "Ehh, suci, apa
kau lupa bahwa dia itu adik angkatku yang tercinta? Siapa yang berani
membunuhnya akan berhadapan dengan aku sendiri! Bukankah begitu, Liong-te?
Bukankah kita sudah saling bersumpah sebagai kakak beradik?"
"Memang
benar, Houw-ko, akan tetapi sikapmu ini sungguh tidak dapat dinamakan sikap
seorang kakak angkat yang baik. Hayo kau lepaskan Bi Cu."
"Nona
ini? Ha-ha, dia ini cantik dan gagah pula, pantas kalau engkau jatuh cinta
padanya, Liong-te..."
"Jangan
bicara yang tidak-tidak!" Sin Liong langsung memotong dan wajahnya berubah
merah sekali. Ada pun Bi Cu meronta-ronta hendak melepaskan kedua tangannya,
akan tetapi tangan yang memegang kedua pergelangan tangannya itu terlalu kuat
baginya.
"Ha-ha,
engkau masih seperti dulu, Liong-te, kokoh kuat seperti batu karang, dingin
beku seperti es di musim salju. Akan tetapi sekali api cinta membakar hatimu,
engkau segera berkobar bagaikan lautan api. Ha-ha-ha! Liong-te, aku terpaksa
menawan dia ini supaya engkau tidak melakukan kenekatan yang bukan-bukan. Jika
engkau menyerah baik-baik, maka aku tidak akan mengganggu dia ini."
Sin Liong
mengerutkan alisnya. Dia memang suka terhadap Han Houw dan dia percaya kepada
pangeran ini, akan tetapi dia juga tahu bahwa pangeran ini mempunyai watak aneh
luar biasa dan kalau sudah hendak membunuh orang, agaknya sama seperti kalau
membunuh ayam saja.
"Kau
berjanji akan membebaskan dia?"
"Aku
berjanji, asal engkau menyerah dan engkau penuhi pula permintaanku yang
patut."
"Permintaanmu
yang patut?" Sin Liong tersenyum mengejek.
"Benar-benar
patut dan sudah semestinya. Akan kukatakan kepadamu nanti, akan tetapi agar
tetap aman, engkau menyerah. Suci, totok dia dan Sin Liong, jika engkau
melawan, maka nona ini akan kubunuh lebih dulu!"
Kim Hong
Liu-nio tersenyum mengejek. "Apa sukarnya untuk merobohkan setan cilik
ini, pangeran?" Sesudah berkata demikian, wanita itu menghampiri Sin Liong
lantas tangan kirinya bergerak cepat sekali.
Kalau Sin
Liong mau, tentu saja dia akan dapat mengelak atau menangkis, akan tetapi dia
melihat sinar mata dari Han Houw dan dia tidak berani berkutik. Dia tahu betul
bahwa sekali dia melawan, sekali pukul saja Han Houw akan mampu membunuh Bi Cu!
Maka dia menyimpan tenaganya dan membiarkan dirinya ditotok. Begitu dua jari
tangan Kim Hong Liu-nio mengenai tubuhnya, maka robohlah Sin Liong dalam
keadaan lumpuh, tak mampu menggerakkan kaki tangannya.
"Ha-ha-ha,
mari kita bicara baik-baik dalam rumah, Liong-te. Ringkus dia dan belenggu
baik-baik, juga nona ini!"
Tiba-tiba Bi
Cu merasa pundaknya ditekan dan dia pun mengeluh lirih, lalu terguling dan
lumpuh karena dia telah ditotok pula oleh Han Houw. Para prajurit cepat
mengikat kedua kaki tangan Sin Liong dan Bi Cu, mengikat kedua tangan ke belakang
tubuh, kemudian beramai-ramai mereka menggotong kedua orang tawanan itu
memasuki sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah nelayan itu,
karena ini adalah rumah kepala dusun itu.
Atas
perintah Han Houw, Bi Cu yang dibelenggu kaki tangannya itu dibawa ke dalam
sebuah kamar dan direbahkan ke atas pembaringan, sedangkan Sin Liong didudukkan
di atas sebuah bangku ruangan luar, di mana terdapat sebuah meja dan Han Houw
duduk di atas kursi di belakang meja itu dengan lagak bagai seorang hakim yang
hendak mengadili seorang pesakitan.
Pangeran ini
lalu melepaskan topinya karena hawa dalam rumah itu agak panas, bahkan juga
melepaskan baju bulunya dan memakai pakaian biasa dari sutera tipis sehingga
dia kelihatan lebih tampan. Sambil tersenyum dia lalu memandang kepada Sin
Liong, lantas memberi isyarat dengan tangan agar para pengawal yang menjaga di
ruangan itu pergi semua.
Tanpa
diminta, Kim Hong Liu-nio yang tadinya duduk pula di sudut, mengangkat pundak
kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Wanita ini maklum pula bahwa sang sute
yang menjadi junjungannya itu ingin berbicara berdua saja dengan tawanannya,
maka sebelum sute itu minta dia pergi, dia telah mendahuluinya meninggalkan
ruangan. Meski pun Ceng Han Houw seorang pangeran yang sudah sepantasnya
memerintah dia, namun dia selalu merasa tidak enak kalau diperintah pangeran
yang menjadi sute-nya ini, apa lagi di depan para prajurit atau orang-orang
lain.
Sin Liong
masih dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Jika dia menghendaki, agaknya dia
akan mampu membebaskan diri dari totokan itu, apa lagi dari belenggu yang
baginya tidak banyak berarti itu.
Akan tetapi
Sin Liong bukanlah orang yang bodoh untuk bertindak ceroboh. Dia pun tahu bahwa
keselamatan Bi Cu terancam bahaya, maka dia berpura-pura tidak berdaya sambil
memikirkan bagaimana cara sebaiknya untuk menolong Bi Cu dan pergi membebaskan
diri dari Han Houw dan pasukannya. Untuk melawan dengan kekerasan, amat
berbahaya bagi keselamatan Bi Cu. Dia sendiri tidak takut menghadapi Han Houw,
Kim Hong Liu-nio dan pasukannya, akan tetapi bagaimana dengan Bi Cu? Apa
artinya dia dapat lolos kalau dara itu tertawan!
Han Houw
kini tertawa dengan sikapnya yang khas, tertawa dan tersenyum lepas hingga
wajahnya semakin menarik dan tampan. Sepasang matanya yang tajam itu memandang
wajah Sin Liong ketika dia tertawa.
"Ha-ha-ha,
sungguh tak kuduga kita akan saling berhadapan seperti ini, kau terbelenggu
seperti seorang musuh! Rasanya bagai mimpi saja, atau seperti sedang main
sandiwara!" Kembali pangeran itu tertawa seperti orang yang merasa amat
geli melihat peristiwa yang lucu.
"Hemm,
aku sendiri juga merasa sangat heran, Houw-ko, kenapa engkau melakukan hal
seperti ini kepadaku setelah dahulu engkau mengajakku untuk bersembahyang dan
saling bersumpah menjadi kakak dan adik angkat," Sin Liong berkata dengan
suara dan sikap dingin.
Han Houw
mengangkat alis, membelalakkan mata dan mengembangkan dua lengannya. "Aih,
kenapa engkau malah menyalahkan aku, Liong-te? Aku selalu baik kepadamu, akan
tetapi pada suatu waktu yang lalu engkau bahkan pergi meninggalkan aku tanpa
pamit! Kemudian engkau juga merendahkan namaku dengan menjadi seorang pelayan
restoran di kota raja. Adik angkatku menjadi pelayan restoran, bukankah itu
berarti engkau hendak menyeret namaku ke dalam lumpur? Bukan itu saja, malah
keluarga Cia, termasuk ayah kandungmu, Cia Bun Houw itu, semua menjadi
pemberontak, melawan pemerintah dan membunuh banyak orangnya pemerintah
sehingga tentu saja sebagai keluarga dari Cia Bun Houw itu engkau ikut
terseret! Dan sesudah engkau dikepung dan nyaris tenggelam akulah yang menolongmu!
Nah, katakan salah siapa semua ini?"
Sin Liong
tahu akan kelihaian kakak angkatnya ini memutar lidah, maka dia merasa tidak
perlu untuk menanggapi.
"Sudahlah,
Houw-ko, sekarang katakan apa kehendakmu setelah engkau menawan kami
berdua?" Dia tahu bahwa tentu Han Houw ingin minta dia melakukan sesuatu
yang amat penting bagi pangeran itu, dan sebagai sandera atau cara untuk
memaksanya maka Bi Cu ditawan.
"Hemm,
agaknya engkau tergesa-gesa ingin melihat dara itu bebas, Liong-te! Ah, sebagai
kakak angkatmu, aku berhak pula mengetahui apakah dia itu patut menjadi calon
iparku? Memang dia cantik manis, akan tetapi aku mendengar bahwa dia itu
berjuluk Kim-gan Yan-cu dan menjadi pemimpin para pengemis! Engkau memilih
seorang wanita pengemis untuk menjadi jodohmu? Ahh, apakah tidak ada wanita
lain di dunia ini, Liong-te? Biar pun dia cantik manis, akan tetapi..."
"Sudahlah,
Houw-ko, aku tidak mau berbantahan lagi. Dia bukan apa-apaku, dan karena bukan
apa-apa itulah maka aku tidak ingin dia celaka karena aku. Kau bebaskan dia dan
mari kita bicara baik-baik."
"Ha-ha-ha,
engkau cinta padanya! Benar, aku dapat melihat ini! Sungguh heran, padahal
kalau engkau menginginkan seorang isteri, aku dapat memilihkan salah seorang di
antara puteri-puteri istana yang cantik-cantik. Akan tetapi kata orang, cinta
memang buta! Dan karena engkau mencinta gadis itulah maka dia kutawan, karena
hendak kutukar dengan sesuatu darimu."
"Lekas
kau katakan, apakah kehendakmu, Pangeran Ceng Han Houw?!" bentak Sin Liong
marah.
Pangeran itu
mengerutkan alisnya mendengar sebutan itu. "Liong-te, apa engkau sudah
melupakan dan hendak melanggar sumpah kita bahwa kita telah mengangkat saudara?
Seorang gagah tidak akan melanggar janji dan sumpahnya sendiri!"
"Baikiah,
Houw-ko, nah, lekas katakan, apakah kehendakmu sebenarnya?"
"Liong-te,
kita adalah kakak dan adik angkat, maka sepatutnya harus duka sama dipikul dan
suka sama dinikmati. Bukankah begitu? Nah, aku sangat tertarik akan
kepandaianmu yang amat hebat itu, Liong-te. Maka, aku minta agar engkau suka
menceritakan semua rahasia kepandaianmu itu, sebab menurut pengakuanmu, engkau
adalah murid Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kepandaianmu malah melebihi tingkat
kepandaian Ouwyang Bu Sek, ini menurut penuturan Lam-hai Sam-lo. Nah, sekarang
ceritakan terus terang kepadaku, dari mana engkau memperoleh kepandaian hebat
itu? Kuharap engkau bersikap jujur!"
Sin Liong
mengerutkan kedua alisnya. Tentu saja dalam keadaan biasa dia tidak akan mau
membuka rahasia ini. Akan tetapi dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu tergantung
dari pertanyaan ini agaknya, maka dia menjadi bimbang.
"Dan
engkau akan membebaskan gadis itu kalau aku menceritakannya kepadamu?"
"Tergantung
dari sikapmu, Liong-te. Kalau engkau jujur, tentu saja akan kubebaskan dia. Aku
tidak begitu gila untuk mengganggu gadis yang kau cinta."
Sin Liong
marah mendengar ini, akan tetapi dia merasa tak perlu untuk berbantah tentang
hal itu. "Baiklah, aku percaya bahwa engkau masih memiliki kegagahan untuk
memegang janjimu."
Dulu pada
saat melakukan perjalanan bersama pangeran itu, Sin Liong pernah bercerita
bahwa dia dibimbing ilmu silat oleh Ouwyang Bu Sek, suheng-nya itu, dan bahwa
dia tak pernah bertemu dengan gurunya yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, akan
tetapi dia tak pernah memberi penjelasan lebih jauh tentang cara dia
mempelajari ilmu-ilmu yang aneh itu. Dia tahu bahwa pangeran itu amat tertarik,
bahkan sudah menyatakan ingin berguru kepada manusia dewa yang disebut Bu Beng
Hud-couw namun belum pernah dilihatnya sendiri itu, dan kini pangeran itu minta
penjelasan.
"Seperti
yang telah kuceritakan kepadamu dahulu, Houw-ko, aku mempelajari ilmu silat di
bawah bimbingan dan petunjuk suheng Ouwyang Bu Sek. Sebetulnya dialah guruku,
akan tetapi dia tidak mau disebut guru, minta disebut suheng karena katanya aku
sebetulnya juga murid Bu Beng Hud-couw seperti dia! Akan tetapi, seperti telah
kuceritakan padamu, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu atau
melihat suhu Bu Beng Hud-couw itu."
"Hemm...!"
Han Houw mengerutkan alisnya karena merasa tidak puas dengan keterangan yang
memang pernah didengarnya ini. "Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Ouwyang
Bu Sek tidak mau disebut guru, dan kenyataannya, kepandaianmu lebih tinggi dari
pada dia. Sebagai sute-nya, apa lagi muridnya, tidak mungkin kepandaianmu dapat
melampaui dia. Ceritakan terus terang, Liong-te."
Sin Liong
menarik napas panjang. Tak mungkin dia menyembunyikan lagi. Pangeran ini
terlampau cerdik, dan Bi Cu berada di tangannya. "Baiklah, Houw-ko.
Sesungguhnya hal ini merupakan rahasia, akan tetapi apa boleh buat, kepadamu
akan kuceritakan dengan terus terang. Suheng Ouwyang Bu Sek memiliki simpanan
kitab-kitab dari suhu Bu Beng Hud-couw dan aku sudah mempelajari kitab-kitab
itu, sedangkan suheng yang sudah tua tidak mau mempelajarinya, akan tetapi
tentu saja aku mempelajarinya atas petunjuk dan bimbingannya."
"Ahhh...!
Begitukah?" teriak Han Houw dengan girang. "Di mana adanya
kitab-kitab itu?"
"Kitab-kitab
itu telah dibakar oleh suheng."
"Ahhh...!
Akan tetapi Ouwyang Bu Sek tentu masih menyimpan kitab-kitab lain atau minta
kitab-kitab lain dari suhu-nya yang sangat luar biasa itu! Liong-te, sekarang
engkau harus membawaku kepada Ouwyang Bu Sek dan membujuknya supaya dia suka
menerimaku sebagai muridnya atau sute-nya, mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng
Hud-couw!"
Sin Liong
terkejut bukan main, kemudian menggeleng kepalanya. "Hal itu tidak
mungkin, Houw-ko!"
Wajah yang
tampan itu menjadi muram. "Liong-te, engkau lupa bahwa aku adalah kakak
angkatmu sendiri? Dan engkau tidak ingin membantuku untuk memenuhi cita-citaku,
yaitu menjadi jagoan nomor satu di dunia ini?"
"Bukan
begitu, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak berani, karena suheng sudah memesan agar
jangan bicara dengan orang lain tentang suhu dan kitab-kitab itu."
"Akan
tetapi aku bukan orang lain! Aku adalah kakak angkatmu!"
"Houw-ko,
kau mintalah yang lain akan tetapi jangan itu. Bagaimana kalau sampai suheng
marah kepadaku?"
"Aku
hanya ingin mewarisi ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, mengapa dia akan marah?
Dan engkau akan membantuku hingga berhasil, hingga mau menerimaku dan
memintakan ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, engkau harus membantuku!"
"Eh,
apa maksudmu?" Sin Liong memandang tajam melihat sikap keras dan suara
penuh ancaman itu.
"Mari
kau lihat sendiri!" Han Houw lalu mengangkat tubuh Sin Liong, dibawanya
masuk ke dalam kamar di mana terdapat Bi Cu yang masih terlentang dalam keadaan
terbelenggu kaki tangannya.
Dara itu
memandang dengan mata terbelalak pada saat melihat Han Houw membawa Sin Liong
masuk kemudian membelenggu kedua tangan Sin Liong pada tiang yang berada di
dalam kamar itu. Gadis itu masih dalam keadaan setengah lumpuh oleh totokan
sehingga hanya dapat menggerakkan tubuhnya sedikit saja, ada pun kedua
pergelangan tangannya masih dibelenggu ke belakang punggungnya, demikian pula
kedua pergelangan kakinya telah dibelenggu, sedangkan sepatunya telah dicopot
dari kedua kakinya.
"Houw-ko,
apa yang hendak kau lakukan ini?" tanya Sin Liong dengan wajah mengandung
kekhawatiran.
Han Houw
tersenyum dan menengok ke arah pembaringan di mana tubuh Bi Cu rebah
terlentang. "Kau tentu tidak ingin melihat dia terganggu, bukan?"
"Maksudmu?!"
Sin Liong membentak.
"Berjanjilah
bahwa engkau hendak membantuku sampai aku diterima oleh Ouwyang Bu Sek!"
"Sejak
tadi sudah kukatakan bahwa hal itu tak mungkin dapat kulakukan!" kata Sin
Liong memancing, untuk melihat apa yang akan dilakukan pangeran itu kalau dia
menolak.
"Kalau
engkau menolak, maka terpaksa engkau akan melihat dia ini kuperkosa di depan
matamu!"
Sin Liong
terbelalak. "Tidak, tak mungkin engkau mau melakukan itu! Aku tidak
percaya, hanya gertak kosong belaka!"
"Gertak
kosong, ya? Nah, kau boleh lihat!"
Pangeran itu
dengan tersenyum lalu melangkah menghampiri pembaringan di mana Bi Cu rebah
terlentang dengan kedua mata terbelalak dan muka pucat. Kemudian setelah dekat,
dengan cepat tangannya meraih ke arah dada Bi Cu.
Dara ini
menjerit kemudian menggulingkan tubuhnya. Biar pun tubuhnya masih setengah
lumpuh, tapi rasa takut mendatangkan tenaga tambahan dan tubuhnya dapat
bergulingan menelungkup sehingga cengkeraman Han Houw kini mengenai leher
bajunya.
"Breeetttt...!"
Sekali
renggut saja baju Bi Cu sudah terobek berikut pakaian dalamnya sehingga nampak
punggungnya yang telanjang, putih mulus.
"Jangan...!
Houw-ko, jangan...! Aku menerima permintaanmu!" Sin Liong berseru.
Sekali
renggut saja, kedua tangannya telah terlepas dari belenggu, demikian pula kedua
kakinya. Akan tetapi, Han Houw juga sudah menubruk Bi Cu dan menaruh
cengkeraman tangannya ke arah ubun-ubun kepala dara itu.
"Kau
maju, dia mati!" katanya tenang.
Diam-diam
pangeran ini terkejut dan kagum sekali melihat betapa pemuda itu sekaligus
dapat membebaskan totokan dan juga dapat mematahkan belenggu kaki tangannya.
Sin Liong tersentak kaget dan berdiri tak bergerak.
"Aku
sudah berjanji kepadamu maka kau lepaskan gadis itu, Houw-ko!"
"Tidak,
engkau harus bersumpah dulu bahwa engkau akan berusaha sampai aku berhasil
diterima oleh Ouwyang Bu Sek menjadi muridnya."
"Baiklah,
aku bersumpah untuk berusaha sampai engkau diterima menjadi muridnya dan
sekarang kau lepaskan dia."
"Demi
nama baik ayah dan ibu kandungmu!" Pangeran itu menyambung.
Sin Liong
merasa penasaran sekali. Pangeran itu tidak percaya kepadanya!
"Baik,
demi nama baik ayah dan ibu kandungku!"
Han Houw
tertawa girang dan turun dari atas pembaringan. "Terima kasih, Liong-te.
Aku memang sudah yakin engkau akan memenuhi permintaanku!"
"Dan
sekarang, kau bebaskan dia!"
Han Houw
bertepuk tangan dan muncullah lima orang pengawal. "Carikan pakaian untuk
nona ini. Cepat!"
Lima orang
pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Tak lama kemudian mereka telah
datang kembali membawa pakaian yang diminta itu, kemudian mereka keluar lagi.
"Nah,
kau boleh bebaskan dia dan memberi pakaian ini untuk kekasihmu itu, Liong-te.
Aku menanti di luar."
Setelah
berkata demikian. Han Houw tersenyum dan melangkah keluar dari dalam kamar,
sengaja menutupkan daun pintu dan membiarkan Sin Liong berdua saja dengan Bi Cu
di dalam kamar itu.
Bi Cu tadi
mendengarkan semua percakapan itu, akan tetapi dia tidak tahu betapa Sin Liong
telah membikin putus semua belenggu kaki tangannya. Kini, dia merasa betapa Sin
Liong melepaskan ikatan kedua tangan dan kakinya dan tiba-tiba dia merasa jalan
betapa jalan darahnya mengalir kembali dengan normal sehingga dia dapat
menggerakkan kaki tangannya. Bi Cu tidak tahu bahwa ketika melepaskan ikatan
kedua pergelangan tangan tadi, seperti tidak sengaja jari tangan Sin Liong
menekan punggung dan membebaskan totokan yang membuat Bi Cu lumpuh.
"Apa
yang kau janjikan tadi, Sin Liong?" Bi Cu berbisik ketika dia sudah lepas
dari ikatan.
Kini dia
telah memakai baju yang diberikan oleh Han Houw tadi. Hanya bajunya saja yang
dipakainya, karena celananya sendiri tidak ikut terobek. Dia tidak peduli
betapa pakaian dalamnya juga ikut robek, dan dia hanya menutupi tubuhnya dengan
baju itu yang cukup tebal, baju seorang wanita petani yang kuat.
"Tidak
apa-apa, Bi Cu. Engkau sudah bebas maka cepatlah engkau pergi jauh-jauh dari
tempat ini."
"Dan
kau?"
"Aku
tidak dapat ikut pergi."
"Kalau
begitu aku tidak mau! Kita berdua mengalami mala petaka, kita senasib, mana
mungkin sekarang aku harus menyelamatkan diri sendiri dan pergi meninggalkan
engkau di tangan mereka yang jahat? Tidak, kita harus lari berdua, atau mati
berdua. Mari kau ikut lari bersamaku!" Bi Cu menengok ke arah jendela dan
memegang tangan Sin Liong hendak ditariknya untuk diajak lari.
"Engkau
tidak mungkin bisa melarikan diri seperti itu, Bi Cu. Tempat ini sudah
terkurung oleh pasukan. Engkau harus mengambil jalan dari pintu dan pergi
biasa. Mereka tak akan mengganggumu karena sudah berjanji kepadaku."
"Tapi..."
Bi Cu membantah dan dia meloncat ke tepi jendela, membuka daun jendela dan
memandang keluar. Benar saja, di sana berdiri deretan pasukan yang berbaris
rapi dan ketat, dengan senjata di tangan.
"Ihhhh...!"
Dia menjerit lirih dan menutupkan kembali daun jendela. "Kau benar, banyak
pasukan menjaga di sana."
"Sudahlah,
Bi Cu, kau pergilah, mari kuantar keluar. Kita harus berpisah di sini sekarang,
berpisah sementara. Aku harus ikut dengan mereka."
"Tapi..."
Bi Cu kini memegang kedua tangan Sin Liong dan memandang wajah pemuda itu.
"Kapan kita dapat saling jumpa kembali...?"
Sin Liong
tersenyum. "Kita pasti berjumpa kembali kelak. Nah, sekarang kau pergilah
dan hati-hatilah, Bi Cu, jangan bertualang dengan para pengemis itu, dan juga
jangan mencari permusuhan karena di dunia ini banyak orang jahat yang lihai
sekali. Mari kuantar kau keluar."
Mereka lalu
melangkah keluar, dan ternyata Han Houw sudah menunggu di luar. Melihat
pangeran ini, sepasang mata Bi Cu bersinar penuh kemarahan dan dua pipinya
menjadi merah. Han Houw tersenyum, lalu menjura dengan lembut.
"Nona,
harap engkau suka maafkan segala yang telah terjadi tadi, percayalah bahwa aku
tetap menghormatmu sebagai kekasih adik angkatku..."
"Houw-ko!
Hentikan ucapan seperti itu!" Sin Liong berseru marah.
Pangeran itu
hanya tersenyum, lantas mengantar mereka keluar sampai di depan rumah, baru Bi
Cu melihat bahwa di sana banyak sekali prajurit yang sudah mengepung rumah itu
sehingga kalau menggunakan kekerasan untuk melarikan diri jelas amat sukar.
"Nah,
pergilah engkau, Bi Cu dan selamat jalan," kata Sin Liong sambil melirik
ke arah Kim Hong Liu-nio yang berdiri di samping.
"Tapi...
tapi engkau...," Bi Cu berkata lirih.
"Jangan
hiraukan aku, kita kelak akan saling jumpa kembali. Selamat jalan."
"Ha-ha-ha,
perpisahan antara dua orang yang diam-diam sudah saling mencinta, betapa
mengharukan!" kata Han Houw.
Hampir saja
Sin Liong lupa diri dan sepasang tangannya sudah terkepal. Dia mendengar
gerakan di sebelah kiri maka tahulah dia bahwa Kim Hong Liu-nio juga sudah siap
untuk menerjang apa bila dia menyerang sang pangeran.
"Houw-ko,
engkau harus berjanji lebih dulu bahwa engkau dan anak buahmu tidak akan
mengganggu Bi Cu, kalau engkau tidak mau berjanji, sampai bagaimana pun aku
tidak akan membawamu kepada Ouwyang Bu Sek!"
Melihat
sikap pemuda ini kemudian mendengar suaranya yang keras serta mengandung
ancaman, Han Houw lalu tersenyum dan berkata, mengangkat tangan kanannya dengan
penuh lagak, "Baik, aku berjanji bahwa aku dan anak-anak buahku tak akan
mengganggu nona ini." Suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua
prajurit. Barulah lega hati Sin Liong mendengar ini.
"Nah,
pergilah, Bi Cu."
Nona itu
nampak ragu-ragu, memandang kepada Sin Liong dengan khawatir, kemudian dia
mengangguk dan berlari dari sana melewat jalan di mana berbaris pasukan di
kanan kirinya. Setelah jauh, sebelum membelok, dia berhenti dan menengok,
melihat Sin Liong masih berdiri mengikutinya dengan pandangan matanya, dan di
sebelah Sin Liong berdiri pangeran itu dan wanita cantik yang amat lihai itu.
Kemudian dia melanjutkan larinya dan membelok di tikungan jalan, lalu lenyap
dari pandang mata Sin Liong yang menarik napas panjang karena hatinya merasa
lega. Yang paling penting adalah keselamatan Bi Cu dan setelah dara itu bebas,
barulah hatinya lega.
"Nah,
kapan kita berangkat ke selatan?" tanyanya kepada Han Houw.
"Besok
pagi-pagi, aku harus membereskan urusan di kota raja dulu dan berunding dengan
suci."
Sin Liong
tidak peduli lagi. Dia lalu memasuki kamar untuk beristirahat dan mencari jalan
bagaimana sebaiknya menghadapi Ouwyang Bu Sek, karena dia sudah berjanji dan
dia harus berhasil membuat Han Houw diterima sebagai murid suheng-nya itu.
***************
Memang,
semenjak para thaikam tidak lagi berkuasa di kota raja dan terutama di istana,
yaitu semenjak Kaisar Ceng Tung kembali menduduki tahta kerajaan, keadaan di
istana tidaklah seburuk ketika para thaikam masih merajalela. Akan tetapi,
setelah Kaisar Ceng Hwa menduduki tahta kerajaan, para thaikam kecil yang
tadinya hanya bertugas sebagai pelayan-pelayan di dalam istana, terutama di
dalam bagian-bagian di mana tinggal para puteri, mulai beraksi mendekati raja
muda itu. Kaisar Ceng Hwa memang masih hijau dan mudah tergelincir oleh sikap
dan kata-kata yang manis menjilat-jilat.
Kim Hong
Liu-nio yang dianggap sebagai seorang wanita yang berjasa besar di istana,
sudah menyelamatkan Kaisar Ceng Hwa ketika masih menjadi pangeran, kini
merupakan seorang tokoh yang amat disegani dan juga dihormati di istana. Bahkan
wanita ini, seperti juga Pangeran Ceng Han Houw, memperoleh kekuasaan istimewa
untuk memasuki istana setiap waktu, bahkan diperbolehkan pula untuk menghadap
kaisar tanpa dipanggil!
Kesempatan
ini sekarang dipergunakan sebaiknya oleh Kim Hong Liu-nio. Seperti telah diketahui,
wanita yang usianya sudah tiga puluh lima tahun itu akhirnya jatuh cinta kepada
seorang pria yang tadinya selalu dipandang rendah. Dia jatuh cinta kepada
Panglima Lee Siang, bahkan dengan suka rela sudah menyerahkan diri, menyerahkan
kehormatannya kepada pria yang dicinta itu. Akan tetapi, seperti yang sudah
diceritakan di bagian depan, kekasihnya itu, Panglima Lee Siang, tidak dapat
lama menjadi pria pertama yang berada dalam pelukannya. Lee Siang tewas di
tangan Lie Seng!
Sejak saat
itulah, bukan saja Kim Hong Liu-nio mendendam sakit hati yang amat besar kepada
keluarga Cin-ling-pai, yang tadinya hanya ditentangnya karena dia diperintah
oleh gurunya. Kini dia sendiri mempunyai dendam pribadi atas kematian
kekasihnya.
Di samping
dendam ini, juga ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatinya. Kalau dahulu dia
bersikap dingin dan membenci pria, semenjak ia menyerahkan dirinya kepada Lee
Siang, semenjak dia menikmati belaian dan pencurahan kasih sayang seorang pria,
sesudah dia merasakan permainan cinta antara dia dengan Lee Siang, wataknya
kini ternyata sudah berubah sama sekali.
Sikap dan
pandang matanya pada kaum pria telah mengalami perubahan besar, terutama
terhadap pria-pria muda dan tampan, dan di dalam sinar mata itu terkandung
gairah nafsu yang amat besar! Wanita ini merasa amat tersiksa oleh gairah yang
mendesak-desak ini, membuat dirinya selalu kehausan, haus akan belaian dan
kasih sayang seorang laki-laki!
Padahal, apa
bila melihat kenyataan betapa tadinya wanita ini hanya merupakan seorang dayang
di kerajaan kecil pimpinan Raja Sabutai, sekarang sudah menjadi seorang wanita
terhormat di istana Kerajaan Beng yang sangat besar, hidup terhormat dan mulia,
segala kehendaknya tentu terlaksana, tentu semua orang condong mengatakan bahwa
dia telah mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup! Akan tetapi nyatanya
tidaklah demikian keadaannya!
Memang
merupakan kenyataan seperti terbukti dari catatan sejarah jaman dahulu sampai
keadaan hidup di dalam masyarakat modern sekarang ini, bahwa manusia selalu
menilai kebahagiaan hidup manusia dengan ukuran harta benda, kedudukan, nama
besar, dan lain-lain nilai yang dianggap menyenangkan jasmani dan perasaan
belaka. Sudah menjadi pendapat umum yang sudah diterima bahwa orang yang
berhasil mengumpulkan harta benda disebut maju, mulia, senang, bahagia dan
sebagainya.
Kalau
seorang mengatakan bahwa si Polan sekarang sudah maju, sudah mulia hidupnya,
sudah senang, dan sebagainya, tidak salah lagi bahwa yang dimaksudkannya itu
adalah bahwa si Polan telah berhasil mengumpulkan harta benda, telah menjadi
kaya raya, atau disebut sudah makmur hidupnya! Bahkan perkumpulan-perkumpulan,
baik perkumpulan sosial, budaya, politik, agama sekali pun, disebut maju apa
bila gedungnya bertambah gagah. Pendeknya, semua penilaian diukur dari dasar
harta benda!
Akan tetapi
benarkah kenyataannya demikian, yaitu bahwa manusia akan hidup bahagia bila
sudah berhasil mengumpulkan banyak harta benda? Berbahagiakah manusia kalau
sudah mempunyai kedudukan tinggi? Berbahagiakah manusia kalau sudah memperoleh
kekuasaan besar atas manusia-manusia lain, bila sudah tenar namanya, dan
sebagainya lagi itu? Bila kita mau membuka mata melihat kenyataannya dan tidak
secara membuta mengikuti serta menerima saja anggapan dan pendapat umum yang sudah
lapuk dan berkarat itu, kita akan melihat keadaan yang sama sekali tidak
demikian!
Memang harus
diakui bahwa semua kemuliaan duniawi itu, kedudukan, kekuasaan, harta benda,
nama besar, dapat mendatangkan kesenangan, tapi setiap kesenangan itu selalu tak
terpisahkan dari kesusahan. Demikian pula semua itu jika dianggap sebagai
sumber kesenangan, maka kenyataannya menjadi pula sumber kesusahan!
Ada yang
mengatakan tidak mungkin! Marilah kita melihat kenyataannya! Harta benda,
kedudukan, nama tenar, dan sebagainya itu hanya nampaknya saja menyenangkan
bagi yang belum memilikinya. Akan tetapi bagi yang telah memilikinya,
kesenangannya sudah hambar dan tidak terasa lagi. Bila yang belum memilikinya
hanya membayangkan segi senangnya saja, maka yang memilikinya telah bosan
dengan segi senangnya, merasakan pula secara langsung segi kebalikannya, yaitu
segi susahnya.
Misalnya
yang mempunyai harta bisa saja sewaktu-waktu kehilangan hartanya itu, yang
berkedudukan kehilangan kedudukannya, yang namanya tenar kehilangan
ketenarannya, dan membayangkan semua kehilangan ini saja sudah merupakan
siksaan batin terhadap si pemilik. Hal ini tentu saja tidak dapat dirasakan
oleh mereka yang belum memilikinya, namun akan terasa kebenarannya oleh mereka
yang telah memilikinya. Memiliki sesuatu itu, yang nampaknya menyenangkan,
merupakan ikatan, sehingga yang memiliki selalu akan menjaga miliknya itu,
karena hanya yang memiliki saja yang akan dapat kehilangan!
Apakah
dengan kenyataan ini, lalu kita harus menyingkirkan semua milik itu, menolak
harta benda, kedudukan, ketenaran dan sebagainya? Tentu saja tidak! Melainkan
kita harus mengerti dan sadar bahwa semua itu hanya merupakan semacam pakaian
saja bagi manusia, bukan merupakan keperluan mutlak bagi kehidupan! Sadar dan
mengerti pula dengan membuka mata memandang penuh kewaspadaan bahwa semua itu,
kalau sampai menjadi ikatan di mana kita melekatkan batin, akan berbalik
menjadi siksaan karena menimbulkan rasa takut akan kehilangan, menimbulkan duka
kalau semua itu sampai terlepas dari tangan kita!
Pengertian
inilah yang akan membebaskan kita dari ikatan, sehingga sungguh pun kita
memiliki harta benda, memiliki kedudukan, atau memiliki nama yang tenar, kita
tak akan mabok, tidak akan terikat, mengerti bahwa semua itu hanyalah sesuatu
yang tidak abadi, sesuatu yang fana, yang sekali waktu dapat saja terlepas dari
kita.
Pengertian
ini yang membebaskan, sehingga kita tidak terikat oleh semua itu, tidak lagi
semua yang dianggap sumber kesenangan itu berakar dalam hati sanubari kita.
Karena, kalau sampai berakar segala sumber kesenangan itu dalam batin kita,
kemudian suatu waktu semua itu dicabut, maka akar-akarnya akan tercabut dan
membuat batin kita terluka dan berdarah sehingga timbuilah duka!
Tak mungkin
ada kebahagiaan tanpa adanya kebebasan! Bebas bukan berarti kita lalu menjadi
apatis, menjadi lemah, menjadi pessimis, atau menjadi pemurung yang putus asa.
Sama sekali bukan! Bebas berarti tidak terikat oleh apa pun juga! Tentu saja
yang dimaksudkan adalah ikatan batin! Sekali kita terikat, maka muncullah duka.
Kita bisa
saja menjadi seorang berharta, bisa saja menjadi seorang berkedudukan tinggi,
menjadi seorang yang tenar namanya. Namun semua itu kita punyai tanpa kita
miliki, atau lebih jelas kita mempunyai semua itu hanya lahir belaka, tidak
mendalam menjadi ikatan batin.
Apakah kita
dapat membebaskan diri seperti ini? Jawabannya hanya dapat ditemukan di dalam penghayatan,
karena jawaban tanpa penghayatan di dalam hidup kita sehari-hari hanya akan
menjadi teori kosong belaka, menjadi bahan perdebatan untuk menonjolkan diri
sebagai orang yang sok tahu!
Hemm...
pusing, kan? Semua gara-gara nafsu Kim Hong Liu-nio mendadak jadi gede!
Kim Hong
Liu-nio memang sangat cerdik. Dia tahu bahwa dia sudah memiliki kedudukan yang
tinggi dan terhormat, sebab itu dia pun tidak mau merendahkan diri menuruti
gairah rangsangan nafsu yang dibangkitkan oleh mendiang Panglima Lee Siang dan
kemudian dipelihara dan dipupuk oleh pikirannya sendiri yang menghidupkan
kembali kenikmatan itu melalui kenang-kenangan. Dia dapat menahan diri dan
menanti saat yang baik.
Kemudian,
sesudah melihat kelemahan kaisar muda yang tampan itu, wanita ini berlaku amat
cerdik dan mulailah dia mendekati kaisar dan mempergunakan kecantikannya untuk
memikat kaisar muda itu melalui lirikan matanya yang jeli, senyuman bibirnya
yang merah merekah, dan melalui suaranya yang merdu merayu!
Pada jaman
itu, kehidupan kaum bangsawan, dan terutama sekali kaisar, pada umumnya memang
tidak terpisahkan dari kehidupan bersenang-senang, terutama sekali kehidupan
sex bagi kaum prianya. Bagi kaum pria bangsawan ini, kaum wanita dianggap
sebagai benda hidup yang kedudukannya hanya sebagai penghibur kaum pria,
sebagai hal yang selain menjadi sumber kesenangan juga menjadi sumber
kebanggaan.
Pada jaman
itu, agaknya kaum wanita menyadari dan menerima saja kedudukan itu, dan pada
sebagian kaum wanita, yang terpenting bagi mereka hanyalah mendapatkan suami
yang berkedudukan tinggi atau pun yang kaya raya! Bagi sebagian besar di antara
kaum wanita di jaman itu, lebih baik menjadi isteri muda yang ke sekian belas
atau ke sekian puluh dari seorang pria tua bangsawan atau hartawan dari pada
menjadi isteri tunggal seorang pria muda yang miskin tanpa kedudukan! Inilah
sebabnya mengapa kaum pria tua yang bangsawan atau hartawan, sangat mudahnya
mempunyai koleksi kaum wanita yang menjadi isteri-isteri mudanya, menjadi
pelayan-pelayan yang setia, dan setiap waktu bisa saja memperpanjang deretan
bini muda!
Terutama
sekali kaisar! Bagi hampir semua wanita pada jaman itu, menjadi selir kaisar
merupakan anugerah seperti bintang jatuh dari langit! Bahkan menjadi dayang
saja sudah merupakan kehormatan besar yang diimpikan oleh hampir setiap orang
dara!
Ini adalah
akibat dari pemujaan yang melampaui batas terhadap sang kaisar, sehingga setiap
orang ibu menggambarkan kehebatan kaisar serta kehidupan di istana itu kepada
puteri-puterinya sejak mereka masih kecil, menjejalkan kesenangan-kesenangan
yang tak mungkin dapat mereka rasakan, seperti kesenangan-kesenangan di dalam
sorga saja, ke dalam kepala-kepala kecil itu sehingga tentu saja bagi anak-anak
perempuan itu semakin dewasa makin menariklah gambaran tentang kehidupan yang
sangat mulia itu.
Dari dalam
kamar-kamar indah mewah istana kaisar inilah lantas mengalir perkembangan
kehidupan sex yang lalu dijadikan kitab-kitab ilmu senggama dan tersebar luas
hingga ke seluruh dunia!
Kaisar Ceng
Hwa pun tak terkecuali. Dia menjadi kaisar dalam usia sembilan belas tahun,
sedang menginjak usia remaja yang berkembang sehingga dia begitu mudah
diperhamba oleh kesenangan-kesenangan sex yang seolah-olah didorong-dorongkan
kepadanya oleh para pejilat dalam istana. Bahkan ibunya sendiri, ibu suri,
mendatangkan guru-guru yang khusus bertugas mengajarkan hal-hal mengenai
hubungan pria dan wanita kepada kaisar muda ini, dan beberapa orang wanita muda
yang cantik dan berpengalaman dipilih untuk mengajarkan hal-hal itu dalam
praktek kepada sang kaisar muda.
Hal seperti
ini bukan merupakan dongeng, melainkan merupakan kenyataan yang tercatat di
dalam sejarah. Demikianlah, tidak mengherankan bila dalam waktu singkat saja
Kaisar Ceng Hwa, seperti juga para kaisar ratusan bahkan ribuan tahun
sebelumnya, telah jatuh menjadi seorang hamba nafsu birahinya sendiri! Mulailah
dia mencari-cari, memilih-milih di antara para puteri dayang-dayang dan
dara-dara yang cantik jelita untuk mengisi harem istana, untuk secara bergilir
atau berkelompok menghiburnya, melayaninya, baik di taman mau pun di dalam
kamar tidurnya.
Kemudian
muncullah Kim Hong Liu-nio! Pada suatu senja, seorang pengawal melaporkan
kepada kaisar bahwa wanita ini mohon menghadap. Ketika itu kaisar sedang
bersenang-senang di dalam taman dengan ditemani oleh lima orang selirnya yang
paling disukanya. Kaisar itu duduk di pinggir kolam ikan, memberi makan
ikan-ikan emas, dibantu oleh dua orang selirnya sedangkan yang tiga orang
lainnya memainkan alat musik yang-khim dan suling, melagukan nada-nada merdu
dari lagu yang romantis sehingga suasana menjadi romantis sekali.
Mendengar
bahwa Kim Hong Liu-nio minta menghadap, kaisar cepat-cepat memberi tahu kepada
para pengawal agar wanita perkasa itu langsung saja memasuki taman, dan dia
melepaskan rangkulannya pada dua orang selirnya, bahkan memberi isyarat kepada
selir lain untuk menghentikan permainan mereka.
Lima orang
selir itu sudah mengenal pula siapa adanya Kim Hong Liu-nio, maka mereka pun
duduk dengan tenang dan hormat karena mereka tahu bahwa wanita ini mempunyai
kedudukan yang tinggi dan terhormat, dikenal sebagai penyelamat nyawa kaisar!
Biasanya
kaisar melihat Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita yang gagah perkasa, yang
menimbulkan kagum dan hormat. Belum pernah selama ini dia menggambarkan Kim
Hong Liu-nio sebagai seorang wanita dengan daya tarik kewanitaannya, namun
sebagai seorang pendekar wanita yang serba keras dan kokoh kuat di balik
kecantikannya. Akan tetapi ketika itu dia belum begitu matang dalam
penilaiannya terhadap wanita dan sudah lama dia tidak berjumpa dengan wanita
itu.
Maka kini,
ketika memandang Kim Hong Liu-nio memasuki pintu taman dan melangkah
menghampiri tempat itu, sepasang matanya yang telah terbiasa menilai wanita,
sekarang memandang penuh perhatian dan penilaian! Bukan hanya wajah yang cantik
segar dihias rambut yang disanggul tinggi itu, melainkan juga pandang matanya
menurun ke leher, ke arah dada yang membusung angkuh, kepada tubuh yang tegak
namun tinggi semampai, pinggang yang amat ramping dan pinggul yang membesar,
kemudian langkah yang begitu tegap namun mengandung kelembutan dan daya tarik
yang menjanjikan kemesraan.
Kaisar muda
itu tertegun dan kagum! Kiranya Kim Hong Liu-nio ini bukanlah seorang yang
seperti yang digambarkan semula, seorang wanita penyembelih musuh yang kejam dan
berdarah dingin, melainkan di samping itu juga seorang wanita cantik yang
mempunyai kecantikan, kelembutan dan kehangatan dengan bentuk tubuh yang
menggairahkan!
Begitu
menghadap, Kim Hong Liu-nio segera memberi hormat, berlutut kemudian berkata,
"Perkenankan hamba membicarakan sesuatu dengan paduka tanpa didengar oleh
orang lain."
Kaisar Ceng
Hwa tersenyum sambil matanya tidak pernah meninggalkan wajah dan tubuh wanita
yang sedang berlutut di hadapannya itu. Nampak leher yang berkulit putih mulus
dan berbentuk panjang seperti leher angsa yang jenjang. Lalu dia memberi
isyarat kepada para selirnya untuk meninggalkan taman.
Para selir
itu tidak berani membantah, dengan sikap hormat mereka segera meninggalkan
taman, sambil berlari-lari kecil dengan langkah seperti penari-penari yang
lemah gemulai, meninggalkan bau semerbak harum.
Kini mereka
tinggal berdua saja. Para pengawal hanya menjaga di sebelah luar taman, sama
sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengganggu kaisar.
"Nah,
sekarang kita hanya berdua saja di sini, lihiap. Apa yang hendak kau
bicarakan?" Kaisar berkata halus.
"Ampunkan
hamba yang berani minta untuk berbicara empat mata dengan paduka, akan tetapi
karena yang hamba hendak bicarakan ini mengenai para pemberontak yang amat
berbahaya, maka sangat tidak baik apa bila sampai terdengar orang lain. Hamba
hendak membicarakan mengenai empat orang pemberontak yang berhasil lolos itu,
sri baginda, yaitu pemberontak Cia Bun Houw, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, dan
Yap In Hong."
"Oohh,
tentang mereka?" Kaisar yang muda itu tidak begitu tertarik.
Tentu saja
dia sudah mendengar tentang adanya para pemberontak yang kabarnya telah melawan
pasukan kerajaan, membunuh banyak pasukan termasuk Panglima Lee Siang. Akan
tetapi dia yang setiap harinya hanya bersenang-senang, mana sempat memikirkan
soal pemberontakan kecil yang lebih patut disebut pengacau-pengacau itu saja?
Apa bila yang memberontak itu merupakan pasukan besar, tentu saja persoalannya
menjadi lain.
Dia lebih
tertarik untuk memandang ke arah dada yang menonjolkan dua bukit tertutup baju
sutera dari wanita di depannya itu, dan ketika wanita itu bicara sambil
menengadah, dia melihat wajah cantik dengan bibir yang amat manis
bergerak-gerak terbuka, kadang-kadang sedikit memperlihatkan sebelah dalam
mulut kecil yang merah. Hatinya tergerak dan darahnya bergolak.
Kim Hong Liu-nio
dapat melihat keadaan kaisar yang muda dan tampan itu. Wanita ini melihat
kesempatan baik sekali, maka dia lalu menangis dalam keadaaan masih berlutut,
kemudian tanpa dapat dilihat kaisar saking cepatnya, dia telah melonggarkan
bagian atas tubuhnya sehingga dari atas kaisar yang duduk itu dapat melihat
melalui celah-celah baju itu sedikit bagian dari dadanya, lereng dua buah bukit
yang membusung.
"Ahh,
kenapa kau menangis, lihiap?" Kaisar itu kaget juga karena sama sekali tak
pernah dia dapat membayangkan bahwa wanita yang gagah perkasa ini dapat
menangis! Makin kelihatanlah sifat kewanitaan pendekar wanita ini, apa lagi
melihat celah baju bagian atas itu.
"Hamba...
hamba teringat akan kematian tunangan hamba, Panglima Lee Siang di tangan para
pemberontak itu, sri baginda... maafkan hamba... hamba merasa berduka karena
kini hamba menderita kesepian yang menyesak di dada..."
Kaisar Ceng
Hwa memang sudah mendengar dari para pengawal penyelidik akan adanya hubungan
antara wanita perkasa ini dengan Panglima Lee Siang, dia tahu bahwa ada main
antara mereka berdua, akan tetapi mendengar pengakuan wanita itu, dia pura-pura
kaget dan bertanya,
"Ahh,
jadi engkau telah menjadi isteri mendiang Lee-ciangkun?"
Wajah Kim
Hong Liu-nio menjadi kemerahan, terutama sekali kedua pipinya. Sama sekali
bukan karena malu atau jengah, namun akibat pengerahan sinkang-nya yang
mendorong darah lebih banyak naik ke mukanya dan hal ini hanya dapat dilakukan
oleh orang yang telah memiliki kepandaian tinggi.
"Belum,
sri baginda... hamba belum menikah, akan tetapi dia sudah menjanjikan hal itu
kepada hamba..." Walau pun matanya masih agak basah air mata, namun dia
tersenyum malu-malu dan sepasang mata itu mengerling tajam.
Melihat ini,
kaisar muda itu makin tertarik. "Sudahlah, jangan kau menangis, lihiap,
dan kau ke sinilah, duduklah di sini agar lebih enak kita bicara."
Jantung Kim
Hong Liu-nio berdebar keras, bukan karena takut melainkan karena tegang gembira
melihat ada tanda-tanda usahanya menarik perhatian kaisar itu berhasil agaknya!
"Hamba...
hamba mana berani...?"
"Aku
yang memerintahkan, mengapa tidak berani? Ke sinilah!"
"Ba...
baik, sri baginda..." Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri, memberi hormat dan
dengan kedua kaki jelas kelihatan gemetar dia melangkah maju ke depan kaisar,
sampai dekat sekali.
Kaisar
memegang tangan wanita itu lantas menariknya duduk di atas bangku bertilamkan
kasur dan beludru lembut itu. Kaisar merasa betapa tangan itu selain gemetar,
juga amat hangat dan mengeluarkan getaran yang sangat terasa sampai ke seluruh
lengannya. Dia makin tertarik, apa lagi mencium bau harum yang keluar dari
tubuh wanita itu.
"Hemmm,
engkau sungguh cantik, lihiap...," bisik kaisar.
"Aihhhh...
sri baginda..." Kim Hong Liu-nio mengeluh dan menunduk, nampak takut-takut
seperti seekor kelinci dalam dekapan harimau.
Kaisar makin
tertarik, dia meraih dan merangkul, kemudian memaksa wanita itu menoleh
kepadanya dan mencium mulut Kim Hong Liu-nio. Beberapa lamanya kaisar
menciumnya, kemudian kaisar melepaskan ciumannya dan matanya terbelalak. Selama
dia mengenal wanita, belum pernah dia merasakan ciuman sehebat itu! Bukan saja
wanita ini membalas ciumannya dengan penuh api menggelora, malah dia juga
merasakan getaran yang amat menggoncangkan jantungnya.
Tanpa banyak
cakap lagi, sri baginda kaisar bangkit dan menggandeng tangan wanita itu,
diajak meninggalkan taman dan langsung masuk ke dalam kamar. Para selir yang
melihat ini saling pandang dan diam-diam mereka pun merasa heran kenapa kaisar
kini bersikap demikian mesra terhadap pendekar wanita itu! Namun, tentu saja
tidak ada seorang di antara mereka berani membuka mulut, bahkan lalu berlutut
membiarkan mereka berdua lewat. Para pengawal yang terdiri dari orang-orang
kebiri sebab mereka adalah pengawal-pengawal di bagian keputren itu juga
menunduk saja dengan sikap tegak.
Mulai saat
itu, kaisar yang muda itu mengangkat Kim Hong Liu-nio sebagai kekasihnya yang
baru dan dari wanita ini dia memperoleh pengalaman yang amat hebat dan belum
pernah dia dapatkan dari wanita lain. Memang, dengan tenaga sinkang-nya yang
sangat kuat, mudah saja bagi Kim Hong Liu-nio untuk mempermainkan kaisar muda
itu sehingga menjadi tergila-gila kepadanya, walau pun usianya sudah tiga puluh
lima tahun dan jauh lebih tua dibandingkan dengan para selir yang usianya belum
ada dua puluh tahun itu.
Dan semenjak
hari itu pula Kim Hong Liu-nio memperoleh ijin dari kaisar untuk memimpin
pasukan-pasukan pilihan, untuk mengejar dan mencari musuh-musuhnya, yaitu
keluarga Cia dan Yap yang menjadi buronan itu. Bahkan dia segera menyebar
mata-mata untuk menyelidiki di mana mereka itu bersembunyi.
Untuk
memperkuat dirinya karena dia tahu bahwa semua musuh-musuhnya itu memiliki
kepandaian tinggi, Kim Hong Liu-nio segera mendatangkan gurunya, Hek-hiat
Mo-li, yang kemudian menanti di kota raja dan siap untuk turun tangan kalau
tempat sembunyi para pemberontak itu sudah dapat ditemukan.
Memang
kekuasaan inilah yang diinginkan oleh Kim Hong Liu-nio. Dia pun tidak berambisi
untuk memikat kaisar untuk selamanya. Dia tahu bahwa kaisar masih amat muda dan
dia sendiri sudah jauh lebih tua sehingga tak mungkin dia akan dapat terus
mempertahankan kaisar dalam pelukannya.
Karena itu,
sesudah dia berhasil mendapatkan kepercayaan kaisar dan diberi kekuasaan
menggunakan pasukan untuk menghadapi para musuh yang dicap pemberontak itu, dia
sudah merasa puas dan hanya kadang-kadang saja dia memenuhi panggilan kaisar
dan melayaninya. Tapi wanita ini lebih banyak pergi keluar kota raja sehingga
akhirnya kaisar kembali kepada para selirnya yang muda-muda dan hal ini tentu
saja menggirangkan hati para selir muda itu.
Di dalam
keluarga kaisar terdapat seorang pangeran, yaitu kakak tiri dari kaisar muda
itu. Pangeran ini sudah berusia hampir tiga puluh tahun, bernama Pangeran Hung
Chih dan dia amat populer di antara para menteri-menteri tua yang setia.
Pangeran ini merupakan calon kaisar ke dua setelah Ceng Hwa, dan memang
dibandingkan dengan kaisar muda itu, dia lebih menaruh perhatian terhadap
pemerintahan.
Pangeran
Hung Chih inilah yang didukung oleh para menteri tua yang merasa tidak setuju
ketika pemerintah memusuhi keluarga Cia di Cin-ling-pai. Mereka tahu bahwa
keluarga itu sejak dahulu adalah keluarga pendekar-pendekar yang setia kepada
kaisar. Mereka tahu benar bahwa keluarga itu dimusuhi gara-gara Kim Hong
Liu-nio yang berhasil memikat kaisar, padahal wanita itu adalah seorang
kepercayaan raja liar Sabutai!
Dengan jujur
dan halus Pangeran Hung Chih sendiri yang mendekati kaisar yang menjadi adik
tirinya itu dan memperingatkan kaisar agar tidak terlalu memberi kebebasan
kepada Kim Hong Liu-nio yang mungkin saja menjadi mata-mata Raja Sabutai dan
kelak hanya akan merugikan kerajaan sendiri.
"Ahhh,
dia adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, bahkan dahulu pernah
menyelamatkan nyawaku, mana mungkin dia mempunyai niat buruk? Lagi pula, dia
minta pasukan untuk menangkap para pemberontak yang telah melawan pasukan
kerajaan dan telah membunuh Lee-ciangkun, bukankah hal itu baik sekali?"
demikian antara lain kaisar membantah.
Pangeran
Hung Chih tidak berani mendesak. Betapa pun juga, peringatan dari pangeran ini
telah membuat kaisar lebih berhati-hati dan kini jarang dia memanggil wanita
itu untuk melayani dia bermain asmara.
Pagi yang
cerah indah di lereng Bukit Bwee-hoa-san. Bukit ini, sesuai dengan namanya,
penuh dengan bunga Bwee yang sedang mekar karena musim semi telah menjelang
tiba. Memang amat sedap dipandang dan terasa nyaman di hati melihat bunga-bunga
mekar di lereng yang subur dan berhawa sejuk itu, dengan ratusan ekor kupu-kupu
beterbangan di sekitar bunga-bunga, mengepak-ngepakkan sayapnya yang beraneka
warna itu dengan sibuknya. Di antara kupu-kupu yang memiliki warna bermacam-macam
ini nampak pula beberapa ekor lebah yang gerakannya amat gesit terbang menyusup
di antara daun-daun dan bunga sibuk mencari atau mengumpulkan madu.
Ada dua buah
pondok kecil di lereng yang sunyi itu, agak terlindung oleh pohon-pohon besar
di tepi hutan. Dua pondok kecil inilah yang menjadi tempat tinggal sementara,
atau tempat persembunyian dari dua pasang suami isteri kakak beradik, yaitu Yap
Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong!
Sejak mereka
melarikan diri dari penjara kota Po-teng di mana mereka ditawan, empat orang
pendekar ini melarikan diri dan tinggal berpindah-pindah dari satu ke lain
tempat sembunyi karena mereka maklum bahwa mereka terus dikejar-kejar pasukan
pemerintah. Akhirnya, mereka tiba di lereng Bukit Bwee-hoa-san ini dan
bersembunyi di tempat sunyi ini.
Sudah dua
bulan mereka tinggal di tempat ini, dan mereka, terutama sekali Yap In Hong,
merasa khawatir dengan keadaan mereka sebagai buronan itu karena kini nyonya
muda ini sudah mengandung lima bulan! Seperti telah diceritakan di bagian
depan, walau pun sudah belasan tahun dia melarikan diri bersama Cia Bun Houw
dan sudah dianggap isteri pendekar itu, namun karena belum mendapat restu dari
orang tua, kedua orang pendekar ini selalu tinggal terpisah, yaitu tidak pernah
berkumpul sebadan seperti layaknya suami isteri.
Kemudian,
sesudah lewat belasan tahun menahan derita ini, mereka menghadap ketua
Cin-ling-pai ayah Cia Bun Houw dan mendapatkan restu dari kakek Cia Keng Hong
yang telah menginsyafi kesalahannya dan merasa menyesal bahwa dengan kekerasan
hatinya dia telah menyiksa batin puteranya sendiri dan mantunya.
Barulah
mereka menjadi suami isteri dalam arti yang sebenarnya, dan baru sekarang Yap
In Hong mengandung untuk pertama kalinya. Namun, dalam keadaan mengandung dia
kini harus menjadi buronan, gara-gara fitnah yang dijatuhkan oleh Lee Siang
yang hendak memenuhi permintaan Kim Hong Liu-nio, kekasihnya!
Pada pagi
hari yang cerah itu, seperti biasa pendekar Yap Kun Liong dan pendekar Cia Bun
Houw sedang bekerja di ladang sayur mereka tak jauh dari kedua pondok mereka
itu. Untuk menghindarkan terlalu banyak hubungan dengan orang lain, kedua orang
pendekar ini menanam sendiri berbagai macam sayur untuk kebutuhan makan
sehari-hari mereka, sehingga mereka tidak perlu sering berbelanja ke bawah
bukit, dan cukup hanya sebulan sekali saja berbelanja beras, bumbu, teh serta
beberapa keperluan lain. Untuk lauk pauk cukup dengan tanaman sayur mereka
sendiri dan daging binatang yang dapat mereka tangkap di dalam hutan-hutan di
sekitar tempat itu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment