Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 40
SUARANYA
penuh tantangan bahkan mengandung ejekan, karena hanya dengan mengejek dan
menertawakan pangeran yang menjadi musuh besar Lie Seng dan keluarganya inilah
yang dapat merupakan hiburan satu-satunya pada saat-saat terakhir dari
hidupnya.
"Keparat!"
Ceng Han Houw membentak dan dia mulai menempelkan obor bernyala itu ke telapak
kaki kanan Sun Eng.
Tubuh Sun
Eng tersentak kaget, matanya terbelalak serta mulutnya terbuka, akan tetapi dia
menahan jeritnya. Asap yang mengeluarkan bau kulit terbakar mengepul, lantas
tanpa dapat dihindari lagi Sun Eng menggerak-gerakkan kaki kanannya yang
menderita nyeri luar biasa itu.
"Kau
masih belum mau mengaku juga?" Pangeran itu menarik obornya.
Akan tetapi
rasa nyeri masih tidak berkurang, kiut-miut rasanya, menyusup ke bawah kulit
dan menjalar sampai ke ubun-ubun kepala. Keringat yang besar-besar keluar dari
muka dan leher Sun Eng. Dia menggigit bibir dan menggeleng kepala,
memukul-mukulkan kaki kanan ke atas pembaringan.
"Sun
Eng, jika kaki kirimu juga kubakar, maka engkau tak akan dapat menahan
nyerinya. Bakaran ke dua lebih nyeri lagi, maka sebaiknya engkau mengaku dan
mengembalikan surat itu. Tidak akan ada faedahnya bila engkau berkeras kepala,
pula surat itu tidak ada gunanya bagimu."
Dalam
menderita kesakitan hebat, Sun Eng masih mencari hiburan, biar pun hanya dapat
memukul musuh Lie Seng yang menyiksanya ini dengan kata-kata, "Memang
bagiku tak ada gunanya, akan tetapi bagi sri baginda kaisar tentu berguna
sekali!"
"Apa?!"
Wajah Han Houw menjadi pucat sekali. "Kau... kau tentu tidak akan
memberikan surat itu kepada kaisar! Engkau akan mampus lebih dulu sebelum
sempat menyerahkan surat itu kepada... ehh, kepada siapa surat itu kau serahkan
tadi? Hayo kau mengaku! Di mana surat itu?" Suara pangeran itu gemetar.
Diam-diam
Sun Eng tersenyum. Pangeran itu sangat ketakutan! Akan tetapi dia terpaksa
menggigit bibirnya lagi karena kini pangeran itu menyentuh telapak kaki kirinya
dengan api obor.
"Ahhh...!"
Sun Eng kembali tersentak, kepalanya terangkat ke atas dan mulutnya terbuka
karena dia tidak mampu menahan rasa nyeri yang luar biasa itu. Matanya
terbelalak dan biar pun dia masih mampu menahan sehingga tidak sampai
menjerit-jerit, akan tetapi dari kerongkongannya keluar suara aneh, terengah-engah
dan mukanya penuh dengan peluh yang memercik ke sana-sini karena kepalanya dan
tubuhnya bergoyang-goyang. Bau kulit terbakar makin keras.
"Mengakulah!
Siapa menerima surat itu?" Han Houw menghardik dan orang yang merasa
gelisah ketakutan ini menjadi semakin bengis.
Akan tetapi
Sun Eng hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras. Rasa nyeri amat menusuk,
dan sesudah secara bergantian Han Houw menyentuh telapak kaki kanan dan kiri
dengan api, Sun Eng tidak kuat bertahan kemudian terkulai pingsan.
Han Houw
menghentikan penyiksaannya dan memadamkan obor, menghentak-hentakkan kedua
kakinya dan berjalan hilir-mudik di dalam kamar itu, kedua alisnya berkerut dan
dia kelihatan bingung sekali. Lalu dia bertepuk tangan, memerintahkan pelayan
yang muncul untuk memanggil para pembantunya.
Muncullah
Hai-liong-ong Phang Tek beserta dua orang Mongol yang masih berada di situ.
Tiga orang itu memandang kepada tubuh Sun Eng yang kini rebah menelungkup dalam
keadaan pingsan dan kedua telapak kakinya yang tadinya putih kemerahan itu kini
hitam melepuh, lalu mereka kembali memandang kepada sang pangeran.
"Celaka...!"
Ceng Han Houw mengeluh. "Perempuan rendah itu tidak mau mengaku, akan
tetapi dia memberi gambaran bahwa surat itu hendak disampaikan kepada kaisar!"
"Ahhh...!"
Wajah tiga orang ini pun menjadi pucat dan saling pandang dengan bingung.
"Saat
ini tentu belum sampai ke tangan kaisar, tidak mungkin malam hari ada yang
dapat menyampaikan surat itu kepada kaisar. Akan tetapi kalau sampai besok... ahh,
kita harus tahu di mana disembunyikan surat itu, atau kepada siapa surat itu
diserahkan. Dia keras kepala, tidak mau mengaku...!" Han Houw menuding ke
arah kedua kaki wanita itu. "Maka kalian kupanggil untuk merundingkan
urusan ini. Bagaimana baiknya?"
"Satu-satunya
jalan, dia harus dipaksa untuk mengaku agar kita dapat bergerak malam ini juga
dan mencegah surat itu terjatuh ke tangan kaisar!" kata orang Mongol yang
lebih muda, yang berusia empat puluh tahun dan bermata tajam namun mengandung
kelicikan dan juga wajahnya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang hitam
dan sangat lebat, kasar seperti kawat-kawat baja.
Ada sesuatu
pada sinar matanya yang membuat Hai-liong-ong sendiri bergidik. Orang ini kejam
bukan main, pikir orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu, sungguh pun dia
sendiri bukanlah orang yang baik atau tidak kejam.
"Dia
keras kepala, dan sampai pingsan dia sama sekali tidak mau mengaku," kata
Han Houw dengan sikap kehabisan akal.
"Paduka
serahkan kepada hamba, dan hamba akan memaksa dia membuka mulut!" kata
orang Mongol itu.
"Baiklah.
Memang itu jalan yang terutama sekali. Apa bila engkau bisa menundukkannya dan
memaksanya mengaku, itu baik sekali. Kalau tidak, siksa dia sampai mampus!"
kata sang pangeran penuh geram.
"Lebih
baik jangan sampai dia mati dahulu, mungkin dia masih dapat berguna untuk kita,
pangeran. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kalau paduka menahan kemarahan
dan bersikap teliti," Hai-liong-ong memperhatikan.
"Pendapat
itu benar sekali, pangeran," sambung orang Mongol yang lebih tua.
"Wanita itu adalah satu-satunya orang yang dapat memungkinkan kita
memperoleh kembali surat itu, maka tidak semestinya kalau cepat-cepat dibunuh.
Boleh disiksa dan dipaksa mengaku, akan tetapi jangan sampai mati."
Ceng Han
Houw mengangguk-angguk. "Memang aku terburu nafsu mengingat betapa dia
telah mempermainkan aku, menipuku, malah mengkhianatiku dan membuat aku
terancam bahaya begini hebat. Kau bawalah dia dan usahakan sekuatmu agar dia
mau mengaku!" katanya kepada orang Mongol brewok itu.
"Harap
paduka tidak perlu khawatir, hamba tahu bagaimana harus memperlakukan wanita
yang bandel!" Orang Mongol itu tersenyum lebar, kemudian menghampiri
pembaringan dan memondong tubuh yang pingsan itu. Sinar matanya berkilat ketika
dia mencium bau sedap dari leher Sun Eng dan melihat tonjolan dada yang padat
di balik baju dan yang tampak membusung akibat kedua lengan wanita itu
ditelikung ke belakang punggung. Dia lalu melangkah dari dalam kamar itu sambil
tersenyum dingin penuh kekejaman.
Sekarang Han
Houw berunding dengan orang Mongol tua dan Hai-liong-ong Phang Tek. "Apa
bila Gaulanu tidak berhasil memaksa wanita itu mengaku, sebaiknya malam ini
juga, atau selambat-lambatnya besok pagi-pagi benar, sebelum surat itu jatuh ke
tangan kaisar, paduka meninggalkan kota raja dan mengungsi ke utara sambil
melihat perkembangannya kelak. Terlalu berbahaya kalau paduka berada di sini.
Hamba akan mengawal paduka."
Hai-liong-ong
Phang Tek menggelengkan kepalanya. "Hamba tidak setuju dengan usul itu,
Pangeran. Andai kata benar surat itu jatuh ke tangan kaisar, paduka tak perlu
gentar atau pun tergesa-gesa pergi, karena kepergian yang tergesa-gesa tanpa
pamit itu bahkan akan menambah kecurigaan, seolah-olah paduka telah mengaku
salah. Hamba kira, sri baginda kaisar tidak akan begitu mudah percaya laporan
seorang wanita rendahan atau orang yang diberinya surat itu. Tentu sri baginda
kaisar akan lebih mempercayai paduka dan andai kata pula kaisar menaruh curiga,
tentu beliau akan bertanya dulu kepada paduka dan tidak akan melakukan tindakan
ceroboh, mengingat bahwa paduka adalah saudara tiri!"
Han Houw
mengangguk-angguk, dapat merasakan kebenaran pendapat ini. "Akan tetapi,
bagaimana jika beliau memanggilku kemudian memeriksaku, bertanya tentang surat
dari ayahanda Sabutai itu?" Akhirnya dia bimbang lagi dan di dalam
suaranya membayangkan kegelisahan.
"Harap
paduka tak perlu khawatir. Banyak sekali alasan yang dapat paduka pergunakan.
Misalnya, menyangkal bahwa surat itu merupakan surat asli dari ayahanda paduka
Raja Sabutai. Siapa yang dapat memastikan bahwa surat itu asli? Paduka dapat
mengatakan bahwa paduka memiliki banyak musuh di dunia kang-ouw dan mungkin
surat itu adalah surat palsu yang sengaja dibuat oleh musuh paduka untuk
mengadu domba."
"Ahh,
itu bagus sekali! Akal itu dapat dipakai, dan memang baik sekali! Engkau
sungguh bijaksana, Phang-enghiong!" Sebutan itu menjadi bersifat
menghormat dan wajah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu berseri.
"Bukan
hanya itu saja, pangeran. Andai kata kaisar menaruh curiga, masih banyak waktu
bagi paduka untuk bertindak waspada dan karena banyak teman-teman kang-ouw yang
membantu paduka, maka apa sulitnya bagi paduka untuk menyembunyikan diri di
sekitar sini tanpa harus melarikan diri ke utara? Dengan demikian baik atau
buruknya akibat dari perbuatan selir paduka yang telah berkhianat itu, tetap
saja gerakan paduka akan dapat dilanjutkan dengan baik!"
"Bagus!
Wah, engkau akan kuangkat menjadi penasehat negara bila gerakanku
berhasil!" teriak sang pangeran dengan girang.
Mereka lalu
berunding terus dengan asyik sambil makan minum karena setelah menerima
petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehat dari Hai-liong-ong Si Raja Naga Laut itu,
kini sang pangeran tidak lagi segelisah tadi.
Sementara
itu, di dalam kamar lain, juga di dalam istana pangeran itu akan tetapi jauh di
belakang, terjadi peristiwa lain yang mengerikan. Dengan berbagai cara, dengan
bujukan dan berpura-pura mengajak Sun Eng bersekutu, sampai kepada
ancaman-ancaman yang paling menakutkan, orang Mongol yang bernama Gaulanu itu
berusaha untuk membuat agar Sun Eng mau mengaku di mana surat itu disembunyikan
atau kepada siapa surat itu diserahkannya. Namun semua bujukan itu tidak
dijawab oleh Sun Eng yang sudah sadar.
"Nona,
engkau adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik," demikian Gaulanu
mencoba kembali dengan lemah lembut, dengan suaranya yang agak kaku dan
berlogat asing, "dan percayalah, aku, Gaulanu bukan orang yang tidak dapat
mengagumi wanita muda dan cantik. Aku kasihan kepadamu, nona. Aku diperintahkan
oleh pangeran untuk menyiksa, bahkan membunuhmu bila mana engkau tidak mau
mengaku. Kenapa engkau berkeras kepala, nona? Mengakulah dan aku bersumpah
untuk menyelamatkanmu."
"Aku
tidak tahu...!" Sun Eng berkata singkat.
"Nona,
kau tahu, kalau engkau menurut, aku bahkan akan mohon kepada pangeran agar
engkau suka menjadi selirku. Kubawa engkau ke utara dan engkau akan hidup
bahagia... hemmm, aku suka sekali kepadamu, nona."
"Tutup
mulutmu dan kalau mau bunuh, lakukanlah!" Sun Eng menantang marah.
Habislah
kesabaran Gaulanu, dan dia pun menyeringai, wajahnya yang penuh brewok itu
nampak menyeramkan sekali. "Perempuan tidak tahu diri! Tahukah engkau,
siksaan apa yang paling hebat bagi seorang wanita? Engkau pernah diperkosa? Ya?
Pernah? Nah, aku akan memperkosamu, mempermainkanmu sesuka hatiku apa bila
engkau tidak mau mengaku!"
Sun Eng
memejamkan mata. Dia tahu apa artinya itu. Semenjak tadi dia memang sudah
memperhitungkan kemungkinan itu. Tidak, dia akan menahan segala siksaan,
termasuk perkosaan. Bukankah dia sudah membiarkan dirinya diperkosa
berkali-kali oleh pangeran itu? Dia sudah kepalang berkorban, maka biarlah dia
akan diapakan juga, akhirnya toh akan mati! Mati demi Lie Seng!
"Aku
tak peduli!" bentaknya.
Wajah
brewokan itu menyeringai. "Ha, kau kira hanya diperkosa satu kali saja?
Hemmm, kau tidak tahu laki-laki apa Gaulanu ini. Aku akan memperkosamu sampai
engkau tidak kuat bertahan lagi! Dan bila aku kewalahan, akan kupanggilkan
pengawal-pengawal yang paling kuat untuk meggantikan aku, bergilir sampai
engkau mati, ya, tidak akan berhenti sampai engkau tidak kuat!"
Akan tetapi
Sun Eng sudah nekat, sudah menganggap dirinya mati dan dia memejamkan matanya
tanpa mau menjawab lagi.
"Brettttt...!"
Sun Eng
hanya memejamkan mata lebih keras lagi pada waktu merasa betapa bajunya
dirobek-robek, kemudian celananya juga. Tubuhnya hanya menggeliat sedikit
ketika dia merasa betapa tangan dan muka brewok itu menjelajahi tubuhnya dengan
belaian yang amat kasar.
Selanjutnya,
dengan seluruh kekuatan yang ada, Sun Eng mematikan perasaannya dan dia rebah
terlentang dengan mata terpejam dan lemas seperti sudah menjadi mayat! Dia
tidak merasa apa-apa lagi.
Entah berapa
lamanya orang Mongol kasar itu mempermainkan tubuhnya. Dia tidak tahu, dia
tidak peduli lagi, yang dipermainkan seakan-akan bukan tubuhnya lagi,
perasaannya sudah mati dan dia matikan pada saat itu. Dia bahkan seperti dalam
keadaan terlupa apa yang sedang terjadi atas dirinya, sampai mendadak pipinya
ditampar keras, membuatnya sadar dan pipinya terasa panas.
"Plakkk!"
Tamparan ini disambung sumpah serapah dari mulut Gaulanu.
"Phuihh,
perempuan hina, perempuan rendah, mayat hidup! Lebih baik bercinta dengan mayat
dari pada dengan perempuan macammu!" Dia melompat turun dari pembaringan,
mengenakan pakaian lalu meninggalkan kamar itu sambil berkata, "Lihat saja
sampai di mana engkau dapat bertahan! Walau pun engkau seperti mayat, akan
tetapi mayat yang cantik sehingga tentu banyak di antara mereka yang suka,
ha-ha-ha!"
Gaulanu
keluar dari dalam kamar, akan tetapi tidak lama terdengar langkah orang. Sun
Eng tidak mau menengok melainkan memejamkan mata dan mematikan rasa. Memang dia
sudah tahu apa yang akan terjadi dan benar saja.
Ada
tangan-tangan dan muka seperti srigala kelaparan menggerayanginya dan melakukan
hal-hal yang sama sekali tak dirasakannya lagi. Bahkan dia tidak melihat siapa
orangnya. Hal ini berulang-ulang terus. Tubuhnya sakit-sakit, lelah bukan main,
lemas dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi!
Ketika air
yang disiramkan ke kepalanya membuat Sun Eng siuman, dia mendengar suara
Gaulanu memaki-maki, "Bedebah! Iblis betina! Benar-benar tidak mau
mengaku. Biarkan dia begitu dan ikat pula kakinya, hanya lepaskan ikatan
kakinya jika masih ada pengawal yang mau... ha-ha-ha, perempuan seperti dia
tidak akan mati kalau hanya ditiduri! Tetapi jaga, jangan sampai dia terlepas,
dan... awas pula, jangan sampai dia mati. Pangeran menghendaki dia tetap
hidup!"
Gaulanu
meninggalkan kamar itu, kemudian Sun Eng menjadi permainan tangan-tangan jahil
dan cabul, akan tetapi kembali dia sudah terlelap ke dalam keadaan tidak sadar.
Malam makin
larut dan suasana menjadi sunyi sekali. Kesunyian yang mengerikan kalau orang
melihat keadaan di dalam kamar di mana Sun Eng bagaikan seekor domba yang
direjang oleh banyak srigala buas! Bahkan lebih buas dari pada srigala, karena
binatang buas apa pun juga di dunia ini membunuh mangsanya untuk dimakan,
karena kebutuhan perut dan kebutuhan hidup, juga membunuh tanpa ada rasa benci.
Sebaliknya, manusia dapat melakukan perbuatan yang lebih kejam dari pada
pembunuhan.
Tengah malam
telah lewat. Di dalam kamar tahanan itu Sun Eng masih terlentang di atas
pembaringan dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya kini sudah tidak ada lagi
pengawal yang bergairah untuk memperkosa dirinya. Mungkin karena belasan orang
pengawal yang sedang bertugas jaga itu sudah mendapatkan giliran semua.
Kini mereka
makan minum sambil menggunakan perut dan dada Sun Eng sebagai tempat menaruh
mangkok dan cawan arak! Kadang kala mereka memaksa mulut Sun Eng untuk dijejali
daging atau dituangi arak, sampai Sun Eng terbatuk-batuk.
Muka wanita
yang cantik itu kini sudah matang biru bekas tamparan, bekas gigitan dan
belaian-belaian kasar. Para pengawal masih saja makan minum sambil tertawa-tawa
dan bersenda-gurau. Tentu saja Sun Eng yang menjadi sumber dan bahan gurauan
mereka yang kotor.
Sun Eng
tidak mendengar semua itu, dia dalam keadaan hampir tidak sadar. Yang terasa
olehnya hanyalah rasa nyeri yang luar biasa, yang datang bertalu-talu bersama
detaknya jantung, bersama denyutnya darah. Setiap denyut darah mendatangkan
rasa nyeri yang terasa menusuk-nusuk. Akan tetapi dia tidak mau mengeluh,
bahkan makin mencurahkan perhatiannya kepada denyut darah yang bertalu-talu dan
membawa perasaan nyeri yang sukar dilukiskan itu.
Rasa nyeri
itu pun secara aneh tidak terasa lagi olehnya. Yang ada hanya rasa nyaman!
Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini apa bila tidak merasakannya
sendiri. Inikah perasaan tubuh yang telah mati? Nyaman dan tidak ada rasa
apa-apa, seperti nikmatnya keheningan?
Pangeran
Ceng Han Houw sudah menerima laporan dari Gaulanu bahwa Sun Eng tetap tidak mau
mengaku walau pun telah diperkosa secara bergantian, penderitaan yang tiada
taranya bagi seorang wanita.
"Dia
itu iblis, bukan manusia, pangeran! Kalau manusia, tentu dia sudah menyerah dan
mengaku! Kalau tidak ingat akan pesan paduka agar jangan dia sampai mati, tentu
akan hamba bunuh dia. Dia itu iblis, sungguh!"
Han Houw
merasa heran mengapa ada perasaan marah dan tidak sedap di dalam hatinya ketika
mendengar betapa Sun Eng diperkosa bergantian dan kini dalam keadaan terhina
dan setengah mati. Akan tetapi juga ada perasaan kagum terhadap wanita itu.
Seorang
wanita yang selain cantik manis, amat pandai dalam seni bermain cinta, seorang
wanita yang penuh keberanian, cerdik bukan main, serta masih ditambah lagi
berhati baja dan amat setia, entah kepada siapa kesetiaannya itu ditujukan.
Sayang, sungguh sayang sekali, kesetiaan dan cintanya itu bukan ditujukan
kepada dia. Mendapatkan cinta kasih seorang wanita seperti itu sungguh
beruntung sekali!
Dengan hati
kesal dia lantas menggerakkan tangan. "Sudahlah, engkau harus mengepalai
penjagaan malam ini supaya jangan sampai dia lolos. Dan ini, kau minumkan
kepadanya! Paksakan agar dia menghabiskan sebotol ini."
Gaulanu
menerima botol kecil berisi cairan biru itu, lalu tersenyum menyeringai.
"Dia akan mati seketika, pangeran? Mengapa tidak mempergunakan ini
saja?" Dia mengacungkan tinjunya.
Sepasang
mata pangeran itu menyambar dan Gaulanu cepat membungkuk.
"Mohon
maaf, mohon ampun... bukan maksud hamba main-main..."
"Aku
tahu," kata pangeran itu kesal. "Engkau tentu heran mengapa aku
bersusah payah mempergunakan racun untuk membunuhnya. Akan tetapi racun ini
baru membunuhnya dalam waktu tiga hari, dan pukulanmu akan mematikan seketika.
Mengerti sekarang?"
Gaulanu
mengangguk-angguk kemudian mengundurkan diri. Dengan kesal Han Houw lalu
menyuruh kedua orang pembantunya yang lain meninggalkannya, lalu memanggil
semua selir yang lain sehingga dia pun dapat melupakan kekecewaan hatinya
terhadap Sun Eng dengan membenamkan diri dalam peluk rayu para selirnya yang
muda-muda dan cantik-cantik.
***************
Hal ini
tidaklah mengherankan karena tiga sosok bayangan itu adalah bayangan dari tiga
orang pendekar sakti, terutama sekali dua orang di antara mereka, pasangan pria
dan wanita yang tampan dan cantik, adalah sepasang suami isteri pendekar yang
untuk jaman itu sukar ditemui tandingannya. Mereka itu adalah Lie Seng, Cia Bun
Houw dan Yap In Hong!
Seperti kita
ketahui, Lie Seng menjadi gelisah sekali pada saat kekasihnya, atau isterinya
yang belum dikawininya secara sah, Sun Eng, pergi meninggalkannya tanpa pamit,
hanya meninggalkan surat yang membuat hatinya menjadi sangat gelisah karena
kekasihnya itu hendak mendekati Pangeran Ceng Han Houw dan kalau perlu
membunuhnya!
Lie Seng
tahu betapa lihainya pangeran itu dan tahu pula bahwa kekasihnya itu sengaja
hendak berkorban diri untuk menolong keluarga Cin-ling-pai dan hatinya menjadi
semakin gelisah ketika dia mencari-cari kekasihnya itu tanpa hasil. Dia mencari
sampai ke kota raja, akan tetapi tidak mendengar di mana adanya Sun Eng.
Tentu saja
dia tidak tahu bahwa Sun Eng pergi bersama pangeran itu, ada pun dia sendiri
telah lebih dahulu ke kota raja sehingga pada saat dia melakukan penyelidikan
ke istana Pangeran Ceng Han Houw, pangeran itu tidak ada, demikian pula tidak
ada didengarnya keterangan tentang kekasihnya.
Dalam
keadaan bingung ini Lie Seng segera kembali ke selatan lalu dia mencari Cia Bun
Houw dan Yap In Hong, dua orang guru dari Sun Eng untuk membantunya. Juga untuk
minta pertanggungan jawab mereka karena dia anggap bahwa mereka itulah yang
menjadi sebab sehingga terjadinya semua ini! Kalau mereka tidak mempengaruhi
ibunya sehingga tidak menyetujui dia berjodoh dengan Sun Eng, tentu sekarang
Sun Eng sudah menjadi isterinya dengan sah dan tidak akan terjadi Sun Eng
melakukan perbuatan nekat seperti itu!
Akhirnya dia
dapat menemukan suami isteri pendekar sakti ini, juga ibu kandungnya dan Yap
Kun Liong, di kota Bun-cou. Dia sudah menduga bahwa empat orang yang menjadi
buronan itu tentu bersembunyi di Bun-cou, tempat di mana dulu Cia Bun Houw dan
Yap In Hong bersembunyi, di mana mereka mengambil Sun Eng sebagai murid pula.
Ketika Lie
Seng memperlihatkan surat peninggalan Sun Eng, semua pendekar itu merasa
terkejut dan juga terharu. Demikian besar cinta kasih Sun Eng kepada Lie Seng
sehingga untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng kini hendak melakukan
perbuatan nekat yang sangat berbahaya dan mempertaruhkan nyawanya untuk
menolong keluarga Cin-ling-pai.
"Saya
tahu bahwa dia melakukan hal ini karena merasa rendah diri, karena menjadi
isteri saya tanpa persetujuan keluarga, juga tidak secara sah! Kini dia hendak
mengorbankan dirinya demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai! Paman Bun Houw,
bagaimanakah kalau sudah begini? Apakah saya harus turun tangan sendiri di kota
raja tanpa ada bantuan sedikit pun dari paman berdua bibi yang menjadi
guru-guru dari Sun Eng, bahkan yang sedikit banyak ikut bertanggung jawab atas
kejadian ini?"
Cia Bun Houw
saling pandang dengan isterinya. Memang mereka pun menyadari bahwa mereka
berdua telah mencegah keponakan ini menikah dengan Sun Eng. Akan tetapi hal itu
mereka lakukan dengan penuh kesadaran bahwa Sun Eng memang tidak pantas untuk
menjadi isteri keponakan mereka itu. Kini di dalam hati mereka tidak lagi
membenci Sun Eng, bahkan merasa kasihan. Maka, mendengar penuturan Lie Seng,
mereka merasa tak enak sekali.
"Lie
Seng, biarlah aku menemanimu untuk pergi mencari Sun Eng di kota raja, dan
kalau memang benar dia di sana dan terancam bahaya, kita berdua akan
menyelamatkannya," kata Bun Houw dengan tenang.
"Aku
pun akan ikut pergi," kata In Hong, juga dengan tenang.
Nyonya yang
usianya sudah tiga puluh lima tahun ini merasa tidak enak sekali. Watak
pendekarnya bangkit maka dia pun merasa betapa dia ikut mendesak bekas muridnya
itu terdorong oleh rasa bencinya, dan kini, mendengar betapa bekas muridnya itu
melakukan tindakan nekat demi menolong dia sekeluarga dengan taruhan nyawa, dia
harus turut pula bertindak dan tak mungkin dia mendiamkannya saja. Karena
itulah maka dia serta merta, tanpa keraguan lagi, menyatakan keinginannya
hendak ikut pergi.
Mendengar
penuturan puteranya tentang gadis yang ditolaknya untuk menjadi mantunya itu,
sejak tadi Cia Giok Keng, ibu Lie Seng, termenung dan tidak dapat berkata apa
pun. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Dia memang merasa terharu mendengar
gadis itu dengan nekat melakukan usaha untuk menyelamatkan mereka berempat,
seolah-olah memasuki gua harimau, dan dia merasa berterima kasih sekali. Akan
tetapi, di lain sudut hatinya, tetap terdapat perasaan tidak rela bila
puteranya itu berjodoh dengan wanita yang pernah melakukan penyelewengan
seperti yang sudah didengarnya dari adiknya dan adik iparnya. Dia terlalu
mencintai puteranya untuk membiarkan puteranya ini menikah dengan seorang
wanita yang rendah budi dan hina!
Seperti
itulah macamnya cinta yang berada dalam batin kita! Kita menganggap bahwa
perasaan seperti itu adalah cinta kasih yang murni, cinta terhadap anak yang
diwujudkan dengan keinginan melihat anak itu berbahagia sesuai dengan keinginan
kita! Kita selalu ingin mengatur kehidupan anak kita menurut selera kita,
menurut pendapat kita, menurut pandangan kita. Kita merasa yakin bahwa anak
kita akan berbahagia bila mana dia itu menurut kehendak kita melakukan ini,
tidak melakukan itu.
Kita ingin
mengatur anak kita sejak masih kecil, membentuknya seperti kita membentuk
boneka dari lilin atau lempung. Tanpa kita sadari sendiri, kita telah menyiksa
anak-anak kita sendiri dengan bentukan-bentukan itu. Kita ingin melihat anak
kita yang masih kecil itu bersikap sopan santun, baik, cerdik, pintar, tahu
aturan, pendiam dan sebagainya lagi, pendek kata, kita ingin melihat anak kita
supaya menjadi anak teladan seperti yang kita cita-citakan dan gambarkan.
Oleh karena
itu, sejak dia masih kecil, kita tekan dan didik dia supaya cocok dengan bentuk
gambaran kita. Kita lupa, tidak sadar bahwa semua ini sama sekali bukanlah
tindakan cinta kasih, sama sekali bukan terdorong oleh cinta kita kepada anak
kita itu, melainkan terdorong oleh cinta kepada diri sendiri! Kita ingin
mempergunakan anak kita sendiri sebagai jembatan untuk menikmati kesenangan
berupa kebanggaan! Kitalah yang akan berbangga melihat anak kita begini dan
begitu sesuai dengan kehendak kita! Kita akan senang sekali! Sama sekali kita
tidak peduli apakah anak itu pun senang bersikap yang kita gariskan itu.
Sudah tentu
saja dia tidak senang! Setiap orang anak ingin bebas, ingin bergembira-ria,
ingin berloncatan, berteriak-teriak, bermain-main sesuka hatinya, bersama
kawan-kawan sebaya. Tidak ada seorang pun anak kecil yang normal akan merasa
suka menjadi anak teladan seperti yang digariskan oleh orang tua, duduk diam
seperti patung di hadapan orang-orang tua yang sedang mengobrol, duduk dengan
sopan, berbicara lemah lembut, tertawa pun diatur, bernyanyi apa bila disuruh
nyanyi seperti yang sudah diajarkan oleh orang tua di rumah sehingga
orang-orang tua lain akan merasa kagum! Tidak mungkin seorang anak suka
bersikap seperti itu. Dia ingin bebas gembira. Tetapi apa daya, orang tua yang
amat mencintanya itu mengajarkan lain, menghendaki lain.
Bukan hanya
kepada anak kita yang masih kecil kita ingin mengatur, ingin membentuk, ingin
agar anak itu hidup sesuai dengan kehendak kita, menurutkan garis yang kita
buat untuk anak itu. Bahkan setelah anak itu dewasa sekali pun, selama kita
masih mampu menguasai anak kita, maka kita akan selalu menjadikan anak kita
sebagai jembatan untuk memperoleh kebanggaan dan kesenangan.
Semua ini
mungkin tidak kita rasakan lagi, tidak kita insyafi lagi karena kita tidak
sadar akan kenyataan hidup ini. Kita akan menganggap, bahwa semua itu kita
lakukan demi cinta kita kepada anak kita itu! Inilah alasan yang paling kuat,
merupakan alasan kuno dan tradisional yang dipakai oleh kita orang-orang tua
yang selalu merasa benar dalam hal apa pun juga!
Bahkan jika
anak kita sudah dewasa, dalam menentukan jodoh pun kita selalu mau ikut campur,
berdiri paling depan untuk melakukan pemilihan, untuk menerima atau menolak
pilihan anak kita berdasarkan penilaian kita, pendapat kita, selera kita
sendiri. Pendapat dan selera anak kita, semenjak dia kecil, tidak kita
perhatikan! Kita selalu menganggap bahwa selera dan keinginan anak kita itu
salah belaka.
Semua sikap
hidup ini mesti kita amati, mesti kita pandang sejujurnya, mesti kita sadari.
Kita sudah tidak merasa keliru lagi karena kita sendiri pun diperlakukan
demikian oleh orang tua kita semenjak kita masih kecil. Setiap orang tua akan
senang sekali kalau anaknya menjadi seorang anak penurut dan setiap orang tua
akan membenci anak yang tidak penurut, maka kita pun melanjutkan saja tradisi
ini, sikap yang sudah mendarah daging selama ribuan tahun ini.
Maka, perlu
kita mengenal diri sendiri, meneliti diri sendiri. SESUNGGUHNYAKAH KITA
MENCINTA ANAK KITA? Ataukah yang kita namakan cinta itu sebenarnya bukan lain
adalah cinta terhadap diri sendiri, atau keinginan kita untuk memperoleh
kesenangan, kepuasan, kebanggaan melalui anak-anak kita itu? Sehingga kalau
anak kita menurut dan menyenangkan hati kita, kita bilang cinta dan
memuji-mujinya, sebaliknya kalau dia tidak menurut kita dan menyusahkan hati
kita maka kita lalu membencinya, kita mengutuk dan memakinya sebagai anak tidak
berbakti, anak durhaka, dan sebagainya lagi? Mungkinkah ada cinta bila mana
kita masih mementingkan diri sendiri, mencari kesenangan untuk diri sendiri?
Nah, marilah
para orang tua, kita mawas diri, kita membuka lebar mata kita, melihat yang
palsu sebagai yang palsu tanpa mempedulikan apa kata tradisi dan apa kata
pendapat umum! Karena urusan ini merupakan urusan kita sendiri, kita dengan
anak kita, tak ada hubungannya sama sekali dengan pandangan si A, si B, atau si
Umum sekali pun!
Dan kalau
kita benar-benar mencinta anak kita, kita akan berhenti memperlakukan dia
sebagai jembatan untuk mencari kepuasan bagi diri kita. Dan cinta kasih yang
demikian ini akan menciptakan tindakan-tindakannya sendiri, dan cinta kasih
sudah merupakan pendidikan yang terutama.
***************
Semenjak
dahulu, ketika Lie Seng datang bersama Sun Eng lalu timbul keributan, secara
diam-diam Yap Kun Liong sudah merasa kasihan terhadap Sun Eng dan diam-diam dia
melihat kesalahan yang tidak disadari dari isterinya, dari Cia Bun Houw dan Yap
In Hong, sikap mereka yang tidak semestinya terhadap Lie Seng dan Sun Eng.
Oleh karena
itu, melihat kesediaan suami isteri pendekar itu untuk pergi ke kota raja dan
menolong Sun Eng dari ancaman bahaya maut, dia segera berkata, "Memang
tepat sekali apa bila kalian berdua menemani Seng-ji (anak Seng) pergi ke kota
raja menolong murid kalian itu, sebab kota raja adalah tempat yang amat
berbahaya dan untuk dapat menolong murid kalian dari tangan Pangeran Ceng Han
How, agaknya hanya kalian berdua yang akan sanggup. Biarlah kami berdua menjaga
serta melindungi anak kalian Kong Liang di sini."
Demikianlah,
Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu pergi bersama Lie Seng, melakukan perjalanan
secepatnya ke kota raja. Akan tetapi ternyata mereka datang terlambat karena
tepat pada malam hari mereka menyusup ke istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng
telah mengalami penyiksaan yang luar biasa hebatnya.
Baru lewat
tengah malam tiga orang pendekar ini mendapat kesempatan untuk memasuki istana
itu. In Hong yang memiliki gerakan bagaikan seekor burung rajawali itu menerkam
seorang peronda di dekat taman, menotoknya hingga peronda itu sama sekaii tak
mampu bergerak mau pun bersuara.
"Cepat
kau katakan di mana adanya wanita bernama Sun Eng!" Lie Seng berbisik
sambil mengancam penjaga itu dengan cengkeraman pada tengkuknya.
Jari-jari
tangan Lie Seng dibuat keras seperti baja sehingga penjaga itu ketakutan bukan
main. Ketika totokan pada lehernya dibuka dan dia dapat bersuara, dia menjawab
dengan tubuh menggigil dan suara gemetar.
"Di...
di... kamar tahanan... di belakang..."
"Hayo
antar kami!" Lie Seng berbisik lagi, jantungnya berdebar tegang.
Dia tadi
bertanya secara sembarangan saja karena tidak tahu harus mencari Sun Eng di
mana. Dia telah mencari keterangan sebelum mereka menyusup ke dalam istana itu,
dan dari keterangan yang diperolehnya dia pun mendengar bahwa Pangeran Ceng Han
Houw mempunyai seorang selir baru, akan tetapi sumber keterangan itu tidak
menyebut nama.
Karena itu,
sesudah mengajukan pertanyaan secara untung-untungan itu dan mendengar bahwa
Sun Eng telah berada di kamar tahanan, dia terkejut dan juga girang. Akhirnya
dia memperoleh berita tentang Sun Eng, meski pun berita itu amat menggelisahkan
hatinya.
Ketika
akhirnya mereka bertiga tiba di tempat tahanan, lalu mengintai dari balik
jendela, hampir saja Lie Seng menjerit. Dilihatnya tubuh Sun Eng telanjang
bulat terlentang seperti telah mati, dan seorang Mongol brewok bersama para
pengawal yang jumlahnya sebelas orang sedang duduk makan minum di situ sambil
bersenda-gurau. Senda-gurau mereka itu kotor sekali dan semua ditujukan pada
tubuh Sun Eng yang dijadikan semacam meja tempat menaruh mangkok dan cawan.
"Ngekkk!"
Sekali saja
menggerakkan tangannya, tawanan itu telah dibunuh Lie Seng! Penjaga yang
menjadi tawanan itu tewas tanpa sempat mengeluarkan suara dan kini, bagaikan
seekor singa kelaparan, Lie Seng telah menerjang masuk melalui pintu dengan
kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya lagi.
Cia Bun Houw
dan Yap In Hong amat terkejut melihat kecerobohan Lie Seng, akan tetapi mereka
berdua dapat mengerti alangkah hancur hati Lie Seng menyaksikan kekasihnya
diperlakukan seperti itu. Mereka sendiri pun merasa kasihan sekali melihat
bekas murid itu, dan mereka pun ikut menyerbu, bahkan Bun Houw sudah mencabut
pedangnya yang mengeluarkan sinar keemasan sebab itu adalah Hong-cu-kiam,
pedangnya yang tipis dan biasanya digulung seperti sabuk pinggang.
Lie Seng
mengamuk dahsyat. Begitu masuk, sekali bergerak dia sudah membikin pecah kepala
dua orang pengawal yang hanya sempat terbelalak saja kemudian roboh dengan
kepala pecah terkena hantaman kedua tangan Lie Seng. Yap In Hong menendang
roboh dua orang pengawal dan cepat sekali Bun Houw menerjang orang Mongol yang
kelihatan tangguh itu.
Orang Mongol
itu, Gaulanu, sudah meloncat berdiri dan menghunus goloknya, memutar golok
dengan garang. Akan tetapi tiba-tiba saja ada cahaya emas menyambar. Dia cepat
menangkis dengan goloknya sambil menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke
arah perut penyerangnya.
Bun Houw
cepat mengerahkan tenaganya ketika melihat golok itu menangkis pedangnya.
Terdengar bunyi nyaring lantas golok itu patah. Pada saat tangan yang
mencengkeram perutnya itu tiba, sinar emas menyambar dan lengan itu buntung
sebatas siku!
Gaulanu
mengeluarkan teriakan panjang. Akan tetapi Lie Seng sudah menubruknya dan
menghantam dada orang ini dengan penuh kebencian, oleh karena orang inilah yang
tadi mengeluarkan kata-kata menghina sekali kepada Sun Eng. Dia tahu atau dapat
menduga bahwa agaknya orang ini yang memimpin para pengawal menghina Sun Eng,
karena itu pukulannya dilakukan dengan sekuat tenaga, mempergunakan tenaga
Thian-te Sin-ciang, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.
"Desss...!"
Tubuh
Gaulanu terjengkang, dari mulutnya menyembur darah segar kemudian dia pun
terbanting dan tewas dengan tulang-tulang iga patah-patah.
"Eng-moi...!"
Lie Seng sudah menubruk kekasihnya, melihat wajah yang matang biru itu, tubuh
yang lunglai dan kain tilam yang berceceran darah. Dia lalu cepat menggulung
tilam itu menutupi tubuh telanjang dari leher ke kaki, menggoyang-goyang pundak
kekasihnya, memanggil-manggil namanya. Akan tetapi Sun Eng baru saja dicekoki
cairan biru beracun dan dia masih pingsan.
Sementara
itu, beberapa orang pengawal telah berteriak-teriak, akan tetapi segera mereka
dirobohkan oleh Yap In Hong dan Cia Bun Houw. Dalam waktu singkat, semua
pengawal yang berada di situ, mereka yang tadi mempermainkan tubuh Sun Eng dan
memperkosa wanita ini secara bergantian dan kasar tanpa mengenal belas kasihan
sedikit pun juga, kini telah roboh malang melintang menjadi mayat!
"Lie
Seng, cepat kita pergi dari sini! Dukung dia dan bawa lari, kami
melindungi!" kata Cia Bun Houw kepada keponakannya itu. Lie Seng segera
memondong tubuh Sun Eng yang terbungkus kain tilam, lalu meloncatlah pemuda itu
keluar kamar.
Benar saja,
teriakan-terlakan dari para pengawal sebelum tewas tadi telah mendatangkan
pengawal-pengawal lain, akan tetapi sekali ada cahaya emas berkelebat, maka
tiga orang terdepan roboh ada pun yang lain menjadi terkejut sekali. Apa lagi
karena mereka hanya melihat bayangan tiga orang yang tak dapat mereka lihat
dengan jelas, karena selain tiga orang itu memadamkan semua lampu yang ada dengan
pukulan-pukulan jarak jauh, juga gerakan mereka seperti terbang cepatnya, sukar
diikuti pandangan mata. Hanya dengan beberapa lompatan saja, tiga orang yang
melarikan tawanan itu sudah menghilang ke dalam kegelapan malam.
"Kejar...!"
"Pukul
tanda bahaya!"
Sebagian
dari pada mereka melakukan pengejaran, dan ada pula yang memukul tanda bahaya,
dan keadaan di dalam istana itu menjadi kacau dan hiruk-pikuk. Pangeran Ceng
Han Houw yang sedang tidur pulas kelelahan sesudah menghibur diri dan hatinya
yang kecewa itu dengan para selirnya, terbangun dan cepat dia berpakaian lalu
berlari keluar. Dia bertemu dengan Hai-liong-ong dan orang Mongol tua.
"Celaka,
ada orang yang sudah melarikan tawanan dan semua penjaganya dibunuh!" kata
Hai-liong-ong yang kemudian turut melakukan pengejaran, menyusul para pengawal
yang telah lebih dulu mengejar. Akan tetapi dia hanya dapat menyusul para
pengawal, ada pun bayangan tiga orang itu sudah lenyap dan tidak lagi diketahui
ke arah mana mereka itu lari.
Tentu saja
Pangeran Ceng Han Houw menjadi amat marah dan dia cepat memerintahkan para
pengawalnya supaya terus mencari ke seluruh kota raja. Dia merasa benar-benar
dipermainkan. Dia, yang menganggap diri sendiri paling pandai, paling lihai,
kini didatangi tiga orang yang sudah membunuhi para pengawalnya dan melarikan
tawanan tanpa dia dapat mencegahnya, bahkan mengetahui siapa mereka pun tidak
karena tak ada seorang pun di antara para pengawalnya yang berhasil melihat
ketiga orang yang mereka katakan bergerak seperti setan itu!
Tentu saja
lenyapnya Sun Eng itu membuat dia khawatir sekali karena surat dari Raja
Sabutai itu belum dapat diketahui berada di mana. Akan tetapi hatinya agak
terhibur kalau dia teringat bahwa wanita itu telah dicekoki racun dan dalam
waktu tiga hari akan mati.
Sementara
itu, dengan mempergunakan ilmu kepandaian mereka, tidak berapa sulit bagi
ketiga orang pendekar sakti itu untuk lolos dari kota raja membawa Sun Eng yang
masih belum sadar juga. Akhirnya, menjelang pagi, mereka berhenti di dalam
sebuah kuil tua di luar kota, di tepi sebuah hutan di sebelah selatan kota
raja.
Setelah
memeriksa keadaan Sun Eng, secara diam-diam Yap In Hong mengutuk di dalam
hatinya. Sebagai seorang wanita, dia lebih dapat mengetahui apa yang telah dialami
oleh Sun Eng, dia dapat menduga dan membayangkannya, dan dia bergidik
membayangkan kekejaman yang melampaui batas itu.
Lie Seng
terlampau berduka untuk dapat mengerti benar apa yang telah terjadi pada diri
kekasihnya, biar pun dia dapat menduga bahwa Sun Eng tentu telah mengalami
siksaan luar biasa dan bukan tidak mungkin mengalami perkosaan.
Yap In Hong
membersihkan tubuh Sun Eng, lalu pergi mencari pakaian pada penduduk dusun di
sebelah selatan hutan itu, kemudian mereka bertiga lalu mempergunakan tenaga
sakti mereka untuk mengobati luka-luka dalam tubuh Sun Eng hingga akhirnya
wanita itu mengeluh siuman.
Begitu
siuman, Sun Eng langsung mengeluarkan rintihan seperti orang menangis. Semua
orang menjadi terharu melihat dan mendengar ini, bahkan Lie Seng cepat
merangkulnya dan ikut menangis.
"Eng-moi...
ahhh, Eng-moi... mengapa kau lakukan semua ini...?" Dia meratap di dekat
telinga kekasihnya.
Mendengar
suara ini, sepasang mata itu bergerak perlahan, lalu terbuka. Sejenak mata itu
kosong sebab kesadarannya masih belum sepenuhnya, akan tetapi perlahan-lahan
melirik ke sana-sini hingga akhirnya pandang mata itu berhenti pada wajah Lie
Seng yang berada di atasnya.
Kemudian,
seperti digerakkan oleh sesuatu, sepasang mata yang agak membengkak dan kebiruan
bekas pukulan itu terbelalak, bibir itu bergerak-gerak, akan tetapi agaknya
sukar mengeluarkan suara, kemudian sepasang mata itu menjadi basah dan
butiran-butiran air mata berjatuhan keluar! Sun Eng telah mengenali Lie Seng.
"Eng-moi...!
Kau sudah selamat...!" Lie Seng berbisik penuh keharuan dan kasih sayang
mendalam.
"Lie
Seng koko... kau... kau..."
"Aku
berada di sini, Eng-moi, dan kau dan aku tidak akan berpisah lagi!" kata
pula Lie Seng dengan suara gemetar.
"Koko...!"
Sekarang Sun Eng yang mulai teringat akan segala yang telah dialaminya, dan
melihat bahwa dia belum mati bahkan bertemu dengan Lie Seng dalam keadaan
seperti sekarang ini, langsung menjerit dengan jantung rasanya bagaikan
disayat-sayat! Lie Seng merangkulnya, mendekapnya, menghiburnya, akan tetapi
Sun Eng menangis terisak-isak.
"Sun
Eng, sudahlah, kuatkan hatimu. Betapa pun juga, semuanya itu sudah berlalu dan
sekarang engkau sudah aman bersama kami..." Yap In Hong yang keras hati
itu pun tak dapat menahan runtuhnya air matanya dan dia memegang tangan bekas
muridnya itu. Teringat dia betapa semenjak kecil Sun Eng ikut dengan dia dan
betapa sudah sering dia tertawa gembira oleh kelincahan anak itu.
Sun Eng
menahan isaknya, lalu dengan muka basah dia pun menoleh ke arah subo-nya,
kemudian memandang wajah suhu-nya. "Subo... suhu... mengapa subo dan
suhu... mau pula... menyelamatkan aku...?"
Bun Houw
menelan ludah sebelum menjawab karena dia melihat isterinya tidak mampu
menjawab pertanyaan itu. "Mengapa, Sun Eng?" Dia mencoba tersenyum.
"Ingat, engkau adalah murid kami, bukan? Dan engkau adalah isteri Lie Seng
keponakanku. Tentu saja kami datang menolongmu dari tangan orang-orang jahat
itu."
"Suhu...
subo... tidak benci kepadaku... dan menyetujui perjodohan antara aku dan koko
Lie Seng...?"
"Sudahlah,
Sun Eng, lupakan hal-hal yang telah lalu. Sekarang kami tahu betapa engkau
seorang anak baik dan saling mencinta dengan Lie Seng. Tentu saja kami
menyetujui...," kata Yap In Hong.
"Dan
kami tidak membencimu, Sun Eng."
Sun Eng
terisak, lalu menggunakan kedua tangannya menutupi mukanya.
"Akan
tetapi... tiada gunanya... tiada gunanya..."
"Apa
maksudmu, Eng-moi? Percayalah, ibu sendiri tidak akan menghalangi kita menikah!
Aku tanggung..."
Akan tetapi
Sun Eng menangis semakin mengguguk, maka Yap In Hong memberi isyarat kepada Lie
Seng untuk membiarkan dahulu wanita itu, biar menangis untuk menuangkan semua
perasaannya dan tidak boleh diajak bicara tentang perjodohan yang ternyata amat
menyinggung perasaannya itu.
Memang benar
sekali pendapat In Hong ini. Setelah dia dibiarkan menangis mengguguk beberapa
lamanya, akhirnya tangisnya pun mereda dan dia mulai merintih karena seluruh
tubuhnya terasa nyeri-nyeri, terutama sekali dua kakinya yang luka-luka bekas
kebakar. Yap In Hong sudah mulai memberi obat luka kebakar, dicampur minyak
lantas ditutupkan pada luka-luka itu dan dibalut. Obat itu amat manjur, karena
rasa nyeri itu segera tertutup oleh rasa dingin yang melegakan hati.
"Subo,
terima kasih...," kata Sun Eng lirih sambil memandang subo-nya yang sejak
dulu dianggapnya seperti ibu sendiri.
In Hong
tersenyum, teringat betapa dahulu di waktu masih kecilnya sering sekali Sun Eng
mengucapkan kata-kata itu. Ahh, betapa buta manusia apa bila sedang dipengaruhi
oleh kemarahan dan kebencian. Segala kebaikan orang yang sudah ribuan kali
dilakukan akan lenyap begitu saja oleh satu perbuatan yang menyusahkan. Kini,
sesudah tiada lagi benci dalam hati In Hong, baru nampak olehnya betapa selama
menjadi muridnya, sebenarnya Sun Eng amat baik kepadanya!
Memang
demikian! Mengapa kita begitu terbiasa sejak kecil untuk menyimpan segala hal
yang terjadi di masa lalu? Mengapa kita selalu mengingat-ingat perbuatan orang
lain yang merugikan kita sehingga menimbulkan kebencian? Mengapa kita tidak mau
menghapus semua itu, semua ingatan tentang hal-hal yang terjadi pada masa lalu,
menguburnya dan tidak pernah membongkarnya lagi, akan tetapi menujukan seluruh
pandangan mata kita, seluruh hati dan pikiran kita, seluruh keadaan diri kita
lahir batin kepada apa yang terjadi SAAT INI saja?
Mengapa
kehidupan kita saat demi saat begitu tergantung kepada apa yang telah terjadi
di masa lalu, yang mempengaruhi setiap gerak-gerik kita, setiap sikap kita
terhadap orang lain? Kenapa kita harus menilai setiap orang lain dari
perbuatan-perbuatannya yang lalu? Apakah keadaan manusia itu dapat ditentukan
dari satu kali perbuatannya di masa lalu?
Mengapa ada
benci di dalam hati kita? Mengapa kita mengotori diri sendiri dengan segala
macam kebencian, permusuhan, rasa iri hati dan sebagainya itu? Mengapa kita
tidak mau mendobrak dan memberontak terhadap semua ikatan masa lalu itu dan
hidup BARU saat demi saat? Semua pertanyaan ini kiranya teramat penting untuk
kita renungkan dan kita ajukan kepada diri sendiri!
Melihat
betapa keadaan kekasihnya telah agak normal kembali, Lie Seng lalu menyiapkan
bubur yang tadi sudah dimasak oleh In Hong, sesuap demi sesuap ke mulut
kekasihnya. Sun Eng menerimanya seperti anak kecil, dengan pandangan mata tak
lepas dari wajah kekasihnya, dengan mata yang masih berlinang air mata, akan
tetapi dia tidak terisak lagi.
Sesudah Sun
Eng selesai makan, dan Lie Seng bersama paman dan bibinya juga sudah makan
pagi, barulah Lie Seng berkata, "Eng-moi, maukah engkau sekarang
menceritakan segalanya kepadaku?"
Sun Eng
mengangguk, lalu dengan suara tenang, karena memang hal ini sudah dipikirkan
sejak tadi, dia bercerita secara singkat, "Koko, sebelumnya kau maafkanlah
aku sebesar-besarnya bahwa aku sudah membuatmu banyak pusing dan berduka. Aku
merasa sakit hati terhadap pangeran terkutuk itu setelah apa yang terjadi pada
keluarga enci Mei Lan. Maka aku lalu menggunakan akal sehingga akhirnya aku
berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ceng Han Houw sebagai... sebagai
selirnya." Dia berhenti dan menatap wajah Lie Seng, akan tetapi wajah itu
biasa saja karena memang sedikit banyak Lie Seng sudah menduga tentang hal itu.
"Akhirnya
aku berhasil mendapatkan rahasianya. Ternyata pangeran itu bercita-cita untuk
menggulingkan kedudukan sri baginda kaisar dan merampas tahta kerajaan."
"Ahh...?"
Tiga orang itu berseru kaget dengan berbareng, tidak menyangka bahwa ke situ
jalannya cerita yang akan mereka dengar.
Sun Eng lalu
menceritakan tentang kedatangan Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol
utusan dari Raja Sabutai yang membawa surat berisi rencana persekutuan antara
Pangeran Ceng Han Houw dan Raja Sabutai, rencana penyerbuan mereka untuk
merebut tahta kerajaan.
"Aku
melihat kesempatan baik sekali, maka aku lalu melarikan surat itu berikut
laporanku tentang fitnah yang dijatuhkan atas diri suhu dan subo, atas diri Yap
Kun Liong locianpwe dan ibumu, koko. Semua itu lantas kularikan dan kuserahkan
kepada Menteri Liang yang sebelumnya telah kuselidiki dan kutahu sebagai
seorang menteri yang amat setia kepada kaisar. Aku menyerahkan itu dan mohon
kepadanya agar secepatnya dilaporkan kepada kaisar. Sesudah itu aku bermaksud
melarikan diri dari kota raja... akan tetapi... pangeran terkutuk itu
menangkapku dan... dan aku disiksanya... disuruh mengaku di mana adanya
surat-surat itu, akan tetapi sampai mati pun aku tidak sudi mengaku... biar
mereka siksa aku, biar mereka bunuh aku..."
"Ah,
muridku, engkau telah berjasa untuk kerajaan! Engkau sungguh mengagumkan, tidak
mengecewakan menjadi murid kami!" Cia Bun Houw berseru kagum dan girang,
sekaligus juga bangga bahwa wanita ini adalah muridnya.
"Suhu
terlalu memuji. Aku hanya seorang durhaka..."
"Eng-moi,
jangan bicarakan hal itu lagi. Engkau sudah dimaafkan, dan engkau pun harus
memaafkan kami. Sekarang tidak ada apa-apa lagi, engkau akan menjadi isteriku
yang sah..."
Sepasang
mata yang agak biru karena pukulan itu terbelalak, seolah-olah dia tak percaya
akan apa yang baru didengarnya, kemudian dia menggelengkan kepalanya
keras-keras. "Tidak mungkin, koko... tidak mungkin... aku... aku terlalu
hina dan rendah untukmu..."
"Eng-moi,
apakah engkau masih tetap tidak dapat melupakan sikap keluargaku yang lalu?
Apakah engkau tetap bersakit hati dan tidak mau memaafkan?" Lie Seng
memohon, "Aku mintakan maaf kepadamu untuk sikap ibuku yang lalu,
Eng-moi,"
"Dan
kami pun mengharapkan maafmu, muridku!" kata Yap In Hong.
"Ahhh,
tidak... jangan salah sangka! Suhu dan subo, sikap suhu serta subo terhadapku
memang sudah sepantasnya, aku bukan sakit hati kalau aku berkata bahwa aku...
terlalu rendah dan hina bagimu, koko... lebih-lebih sekarang..."
"Bagiku,
sekarang engkau makin agung, moi-moi, aku makin mencintamu..."
"Tidak!
Jangan lupa, koko, aku sudah menyerahkan diriku kepada pangeran terkutuk itu,
membiarkan dia mempermainkan diriku sebagai selirnya, bahkan aku sudah
melayaninya sebagai selir terkasih selama hampir dua bulan..."
"Cukup!
Aku tidak peduli dengan itu semua! Sekali waktu aku akan berhadapan dengan
keparat itu. Aku tidak menyalahkan engkau, Eng-moi. Engkau melakukan hal itu
karena engkau ingin mengorek rahasianya, dan engkau melakukan semua itu dengan
perasaan tersiksa, demi menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Aku tahu benar
akan hal itu!"
Wajah itu
memandang dengan pucat lantas sepasang matanya meredup. "Koko, hal itu
bukan apa-apa bagimu? Ahhh... tapi aku... aku telah mereka siksa... tahukah
engkau apa yang dilakukan pangeran itu? Dia menyerahkan aku kepada Mongol
brewok dan belasan anak buah pengawal, dan... dan mereka itu... mereka itu
memperkosaku secara biadab, berganti-ganti sampai aku pingsan..."
"Jahanam
mereka! Mereka semua telah kubunuh!" Lie Seng mengepal tinju dan matanya
berubah merah.
"Nah,
engkau tahu sekarang betapa diriku semakin kotor, koko. Aku tidak berharga
sedikit pun juga lagi bagimu, aku... aku..."
"Jangan
bicarakan lagi hal itu, Eng-moi. Aku tetap mencintamu. Dengar... jangan sampai
engkau tidak percaya padaku, jangan memandangku seperti itu... aku mencintamu,
bukan mencinta tubuhmu saja, aku akan tetap mencintamu biar pun engkau menjadi
bagaimana pun juga!"
"Koko...!"
Sun Eng menjerit, Lie Seng merangkul dan mereka berdua bertangisan. Yap In Hong
dan Cia Bun Houw saling pandang lantas mata mereka juga basah. Belum pernah
mereka menyaksikan cinta kasih antara pria dan wanita seperti kedua orang ini!
Perasaan
hati Sun Eng seperti diremas-remas rasanya. Tadinya dia telah bertekat untuk
mengorbankan diri bagi keluarga Lie Seng dan dia pun akan mati dengan hati
tenteram, karena dia sudah melakukan sesuatu, berkorban bagi pria yang sangat
dicinta dan yang amat mencintanya. Dia tidak akan menyesal mati, atau bahkan
kalau sampai ditinggalkan oleh Lie Seng sekali pun. Akan tetapi, ternyata cinta
kasih Lie Seng tetap kepadanya, biar pun dia sudah menyerahkan tubuhnya kepada
Pangeran Ceng Han Houw, walau pun dia telah diperkosa begitu banyak orang
secara amat menghina!
Dia menjadi
serba salah sekarang! Mana mungkin dia hidup di samping Lie Seng kalau ada
kenangan seperti itu? Dia bisa menjadi gila. Mengapa dia melakukan kegilaan
semua itu? Memang berhasil, akan tetapi Lie Seng... tetap mencintanya dan akan
merana.
"Koko...!"
Dia hanya dapat mengeluh.
Dengan
hati-hati mereka membawa pergi Sun Eng yang belum mampu berjalan sendiri karena
sepasang telapak kakinya terluka berat. Mereka hanya melakukan perjalanan bila
malam saja, sedangkan di waktu siang mereka bersembunyi. Mereka takut
kalau-kalau akan tersusul oleh orang-orang yang mengejar mereka, yaitu anak
buah Pangeran Ceng Han Houw. Bukan takut melawan, melainkan karena mereka harus
melindungi Sun Eng yang masih luka dan lemah, maka tidak baik kalau menghadapi
lawan-lawan tangguh.
Tiga hari
kemudian, mereka bersembunyi di lereng gunung kecil, dalam sebuah goa yang
cukup lebar. Keadaan Sun Eng sungguh mengkhawatirkan dan suami isteri pendekar
itu merasa heran sekali. Mereka merasa yakin bahwa wanita bekas murid mereka
itu tidak menderita luka di dalam tubuh lagi, akan tetapi kenapa kini menjadi
semakin parah? Dan pada mukanya terbayang sinar kebiruan seperti orang
keracunan!
Lie Seng
sangat gelisah, berlutut di samping Sun Eng yang direbahkan di atas lantai goa
bertilamkan daun-daun kering yang mereka kumpulkan, "Eng-moi, engkau
kenapakah?"
"Koko...,"
dan Sun Eng tersenyum, "Hari ini adalah yang terakhir... aku...
melihatmu..."
"Eng-moi...!"
"Sun
Eng, apa artinya ucapanmu ini?!" Yap In Hong juga berseru kaget.
Mereka
bertiga kemudian merubung Sun Eng yang kelihatan semakin payah, napasnya
terengah-engah dan kadang-kadang menyeringai seperti sedang menahan rasa nyeri
di ulu hatinya yang ditekannya dengan tangan.
"Hari...
hari ini... aku akan mati... aku girang sekali..."
"Eng-moi...!"
"Aku
girang karena berarti engkau akan bebas, koko. Aku tidak lagi membebanimu. Aku
tidak patut kau cinta... aku kotor dan hina..."
"Eng-moi,
ahhh, Eng-moi, jangan kau menyiksaku dengan kata-katamu itu..."
"Sun
Eng, apa maksudmu bahwa hari ini engkau akan mati?" Cia Bun Houw juga
turut bertanya sambil memandang tajam. "Apakah engkau keracunan?"
Sun Eng
mengangguk. "Mereka telah mencekoki aku dengan racun cairan biru dan...
dan Mongol brewok itu bilang... aku akan mati tiga hari kemudian..."
"Eng-moi...!"
Lie Seng berteriak dan menangislah laki-laki gagah perkasa ini.
"Sun
Eng, mengapa engkau tidak mengatakan kepada kami kemarin dulu?" Yap In
Hong menegur dan wanita sakti ini meletakkan tangannya pada ulu hati muridnya,
akan tetapi diam-diam dia terkejut sekali karena perasaan tangannya langsung
bertemu dengan hawa yang amat dingin!
"Memang
kusengaja... aku tidak layak hidup lagi... hanya menyusahkan dan menyeret Lie
Seng koko ke pecomberan saja... aku harus mati akan tetapi aku... aku puas mati
dalam pelukanmu, koko..."
"Eng-moi...!"
Lie Seng cepat merangkulnya sambil menangis. "Paman, bibi... tolonglah...,
tolonglah...!"
Bun Houw dan
In Hong memeriksa nadi serta pernapasan Sun Eng, akan tetapi mereka hanya
menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Racun ini hebat sekali,
hawanya dingin tanda bahwa racun ini dari macam yang paling jahat. Apa lagi
sekarang, andai kata kemarin dulu pun sulit untuk menyembuhkan bila tidak
mendapatkan obat pemunahnya..."
"Koko,
jangan berduka. Aku memang lebih senang mati... jika hidup di sampingmu, aku...
aku akan selalu menyesal... aku bisa gila mengingat pengalamanku... koko, kau
jangan berduka, kudoakan kau hidup bahagia... aku... aku..." Sun Eng
terkulai dan pingsan.
Tiga orang
pendekar itu berdaya upaya, akan tetapi Sun Eng tetap tidak sadar sampai
menjelang tengah hari dia menghembuskan napas terakhir dalam pangkuan dan
pelukan Lie Seng. Pemuda ini sudah kehabisan tangis, hanya termenung saja
sambil memangku jenazah Sun Eng. Baru setelah dibujuk-bujuk oleh Cia Bun Houw
dan Yap In Hong, dia mau melepaskan jenazah itu untuk dikubur di lereng bukit
itu.
Setelah
pemakaman selesai dan jenazah dalam peti sederhana yang mereka peroleh dari
dusun di luar hutan itu mereka timbuni tanah, Lie Seng duduk bersila di depan
makam, tidak bergerak seperti patung. Wajahnya pucat sekali dan pandang matanya
kosong.
"Seng-ji,
sudahlah, mari kita tinggalkan tempat ini," Cia Bun Houw berkata dengan
suara membujuk.
"Benar
pamanmu, Lie Seng. Mari kita pergi," Yap In Hong menyambung.
"Tiada
gunanya dipikirkan lagi. Sun Eng sudah tidak ada, sudah mendahului kita."
"Pergilah
kalian, paman beserta bibi. Tidak tahukah kalian bahwa seluruh kebahagiaanku,
hidupku, segala-galanya, berada bersama Sun Eng? Biarkan aku sendiri disini
dengannya dan jangan ganggu aku lagi... jangan ganggu aku lagi...!"
Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara setengah berteriak.
Cia Bun Houw
dan isterinya saling pandang, kemudian menarik napas panjang. Sejenak mereka
memandang kepada pemuda yang duduk bersila di atas tanah itu, kemudian Cia Bun
Houw memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pergi meninggalkan Lie Seng.
Setelah jauh dari tempat yang menjadi makam Sun Eng itu, Cia Bun Houw baru
berkata kepada isterinya.
"Biarkan
dia sendiri. Dalam keadaan seperti itu, sukarlah untuk menghiburnya. Aku hanya
khawatir bahwa kedukaan akibat kehilangan kekasihnya itu akan membuat dia
membenci keluarganya, karena jalan pikirannya tentu mengingat bahwa
perjodohannya dengan Sun Eng sudah ditolak keluarganya, bahkan Sun Eng pun
mengalami kematian karena hendak membela keluarganya."
Apakah yang kau maksudkan keluarganya
adalah kita berdua, Kun Liong koko dan enci Giok Keng?" Yap In Hong
menegaskan. Suaminya mengangguk sambil menarik napas panjang.
"Dia
sudah dewasa, biarkan dia mempertimbangkan semua itu. Dia harus sadar bahwa
kita semua melakukan segalanya itu demi kebaikannya, dan andai kata hal itu
salah, apa boleh buat karena kita menolak karena mengingat akan kepentingan Lie
Seng."
Cia Bun Houw
menarik napas panjang, kemudian berkata, "Isteriku, sekarang kita harus
menyelidiki ke kota raja. Tidak mungkin apa yang sudah dilakukan oleh murid
kita itu kita diamkan saja. Mendiang Sun Eng sudah memberi contoh kepada kita.
Memang, dalam keadaan terfitnah seperti ini, kita tidak boleh lalu diam saja
dan hanya bisa melarikan diri menjadi buronan. Kita tak boleh membiarkan saja
dunia mengecap kita sebagai keluarga pemberontak, sehingga kelak anak kita pun
dicap anak pemberontak! Kita harus berjuang membela diri, menerangkan duduknya
perkara kepada fihak kerajaan. Dan sekarang hal itu telah dipelopori oleh Sun
Eng. Kita harus menyelidiki kepada Menteri Liang itu, apakah surat-surat dari
Sun Eng itu sudah disampaikan kepada kaisar dan bagaimana kemudian keputusan
kaisar terhadap keluarga kita dan terhadap pangeran yang hendak berkhianat
terhadap kerajaan itu."
Yap In Hong
mengangguk. "Dan andai kata usaha Sun Eng gagal sehingga segala jerih
payahnya yang sudah dikorbankan sampai kepada nyawanya itu hanya sia-sia, maka
kita akan pergi menyerbu istana pangeran jahanam itu dan membunuhnya!"
"Aku
pun berpikir demikian, sungguh pun hal itu bukan merupakan pekerjaan mudah.
Mari kita pergi!"
Sepasang
suami isteri pendekar sakti itu lalu kembali ke kota raja, mempergunakan ilmu
mereka yang tinggi sehingga mereka dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan
pada senja hari mereka sudah tiba di kota raja. Dengan mudah mereka menyelinap
memasuki kota raja tanpa diketahui oleh para penjaga.
Malam sudah
tiba ketika suami isteri pendekar ini diterima oleh para pengawal di depan
istana Menteri Liang. Karena maklum bahwa nama mereka sudah banyak dikenal
orang akibat fitnah pemberontakan itu, maka Cia Bun Houw tidak mau
memperkenalkan nama mereka, hanya berkata,
"Harap
sampaikan kepada Liang-taijin bahwa kami adalah sahabat-sahabat wanita yang
pada beberapa malam yang lalu datang menghadap, dan kami mohon menghadap
Liang-taijin karena urusan penting sekali."
Mendengar
ini, komandan jaga lalu bergegas melaporkan ke dalam, karena dia maklum bahwa
wanita berbaju hitam yang datang menghadap menteri beberapa malam yang lalu
adalah seorang yang amat penting serta membawa berita yang amat besar dan
rahasia pula. Dan memang benar dugaannya, begitu Menteri Liang mendengar
pelaporan itu, dia segera berkata, "Cepat persilakan mereka masuk ke
ruangan tamu. Jaga supaya jangan sampai ada orang luar yang tahu akan
kedatangan mereka!"
Cia Bun Houw
dan Yap In Hong dipersilakan masuk dan diantar ke ruangan tamu. Di situ mereka
baru ditinggalkan dan dipersilakan menanti sebentar, sedangkan para pengawal
menjaga di luar. Cia Bun Houw dan isterinya yang ditinggal berdua saja di dalam
kamar tunggu yang luas itu saling pandang, bersikap tenang karena mereka tidak
khawatir akan sesuatu.
Tak lama
kemudian, pintu dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang
lebih enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar, berwajah lembut namun berwibawa,
dan gerak-geriknya halus pada waktu dia memasuki kamar itu. Bun Houw dan In
Hong cepat bangkit berdiri dan memandang, kemudian mereka cepat menjura dengan
sikap hormat.
"Apakah
kami berdua berhadapan dengan Menteri Liang yang terhormat?" Cia Bun Houw
bertanya.
Pria tua itu
memandang dengan penuh kagum, sebab dia dapat melihat bahwa dua orang tamunya
itu bukanlah orang-orang sembarangan, walau pun pakaian mereka sederhana saja.
"Benar, dan benarkah ji-wi masih sahabat dari lihiap yang memberikan surat-surat
kepada kami...?"
"Betul,
taijin. Bahkan terus terang saja, kami berdua adalah guru-guru mendiang Sun Eng
itu."
"Mendiang...?
Ahh, aku mendengar bahwa dia telah dapat lolos dilarikan teman-temannya dari
istana Pangeran Ceng Han Houw..."
"Benar,
kamilah yang melarikannya namun kami terlambat dan dia keracunan, siang tadi
dia meninggal dunia," kata Yap In Hong.
"Ahhh...!"
"Justru
karena kematiannya maka kami datang menghadap paduka, taijin. Murid kami itu
telah berkorban untuk keselamatan keluarga Cin-ling-pai dan untuk keselamatan
kerajaan yang terancam pemberontakan. Maka, kami ingin mendengar keterangan
paduka tentang perkembangan usaha mendiang murid kami itu. Semoga usahanya yang
gagah dan yang telah dilakukan dengan korban nyawanya itu tidak akan sia-sia
belaka."
"Duduklah,
taihiap, lihiap. Duduklah dan marilah kita bicara baik-baik. Sudah tentu begitu
menerima laporan dari nona Sun Eng itu, aku cepat-cepat pergi, menghubungi
Pangeran Hung Chih dan bersama beliau, pagi-pagi tadi kami sudah pergi
menghadap kaisar. Terus terang saja, sri baginda kaisar sendiri dan kami para
pejabat yang telah lama mengabdi kepada kerajaan ini, tahu belaka bahwa
keluarga Cin-ling-pai, sejak mendiang Cia Keng Hong taihiap, adalah orang-orang
gagah yang setia kepada negara, maka sri baginda dan kami semua sudah dapat
menduga bahwa berita tentang pemberontakan mereka hanya fitnah belaka. Maka
pelaporan nona Sun Eng itu kami percaya sepenuhnya, dan barulah sri baginda
kaisar maklum alangkah jahatnya mereka yang menjatuhkan fitnah itu, yang
ternyata hanya ditujukan untuk melemahkan kerajaan di samping urusan pribadi
mereka sendiri yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Oleh karena itu, sri
baginda kaisar sudah memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk... ehh,
nanti dulu, sebelum saya melanjutkan penuturan rahasia istana ini, harus kami
ketahui siapa sebenarnya lihiap dan taihiap? Biar pun ji-wi sudah mengaku
sebagai guru-guru nona Sun Eng, akan tetapi hal itu belum menjelaskan siapa
ji-wi."
"Liang-taijin,
nama kami tentu telah taijin kenal baik. Saya bernama Cia Bun Houw dan dia ini
isteri saya, Yap In Hong."
"Ahhh...!"
Sepasang mata tua itu terbelalak dan wajah yang lembut itu berseri-seri.
"Kami
adalah dua orang di antara mereka yang dinamakan pemberontak dan buronan itu,
taijin," sambung Yap In Hong.
Pembesar itu
tertawa kemudian bangkit berdiri, memandang dengan kagum, lalu menjura. Tentu
saja suami isteri pendekar itu cepat membalas.
"Ahh,
mengapa aku begitu bodoh? Tentu saja! Aku sudah banyak mendengar nama ji-wi
enghiong yang dulu pernah berjasa terhadap negara ketika menghadapi
pemberontakan Sabutai! Juga nama besar pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng
bukanlah nama asing bagi kami. Dan ji-wi berdua bersama mereka dituduh
pemberontak! Betapa jahatnya! Duduklah, taihiap dan lihiap dan dengarkan
penuturanku."
Menteri
Liang lalu menceritakan keadaan di istana pada waktu itu, betapa kaisar tadinya
menaruh kepercayaan kepada Pangeran Ceng Han Houw dari utara yang oleh mendiang
ayahanda kaisar sekarang juga diakui sebagai puteranya dan juga kepercayaan
kaisar terhadap Kim Hong Liu-nio karena selain wanita itu menjadi suci dari
Pangeran Ceng Han Houw, juga wanita itu pernah menyelamatkan kaisar tua dari
penyerangan Pangeran Ceng Su Liat yang memberontak.
"Sungguh
tidak kami sangka bahwa mereka itu mempergunakan kekuasaan kaisar untuk
menyerang Cin-ling-pai yang menjadi musuh utama dari Kim Hong Liu-nio yang
hendak membalaskan sakit hati gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li. Ahhh, mereka itu
sudah mengatur segala-galanya, dan secara diam-diam bersekutu dengan Raja
Sabutai, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak."
"Lalu
apa yang telah dilakukan oleh istana untuk menanggulangi bahaya ini,
taijin?" tanya Cia Bun Houw.
"Sri
baginda sudah membaca semua laporan mendiang nona Sun Eng dan beliau sudah
memberi kekuasaan penuh kepada Pangeran Hung Chih untuk bertindak terhadap kaum
pemberontak. Pertama-tama kaisar memerintahkan supaya tuduhan terhadap diri
keluarga Cin-ling-pai dicabut. Maka mulai saat itu, keluarga Cin-ling-pai sudah
bukan pemberontak atau buronan lagi dan hal ini oleh Pangeran Hung Chih akan
diumumkan kepada seluruh kepala daerah."
Cia Bun Houw
dan Yap In Hong saling pandang dengan girang sekali dan mereka segera bangkit
berdiri, kemudian menjura dengan hormat. "Sungguh kami merasa gembira
sekali dan banyak terima kasih atas bantuan paduka, juga bantuan Pangeran Hung
Chih dan kemurahan sri baginda kaisar."
"Seyogianya
kalau ji-wi berterima kasih kepada Sun Eng..." Menteri Liang menghentikan
kata-katanya karena melihat wajah suami isteri itu tiba-tiba nampak berduka
sekali, maka disambungnya segera, "Marilah ji-wi kami antar untuk menemui
Pangeran Hung Chih agar dapat bicara lebih jelas lagi, dan mungkin sekali
beliau hendak mohon bantuan ji-wi untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang
selain sangat lihai, juga mempunyai banyak teman-teman yang memiliki ilmu
tinggi. Apa lagi karena sri baginda menghendaki supaya Pangeran Hung Chih
menggunakan jalan yang halus agar jangan sampai terjadi perang saudara yang
akan menggelisahkan rakyat."
Malam itu
juga Cia Bun Houw dan isterinya diajak oleh Menteri Liang pergi menghadap
Pangeran Hung Chih di istananya. Seperti juga Menteri Liang, pangeran ini
menyambut suami isteri pendekar ini dengan girang sekali.
Suami isteri
ini lalu mendengar dari pangeran yang pada saat itu merupakan orang yang amat
berpengaruh di dalam istana, bahwa memang betul Pangeran Hung Chih ini hendak
menggunakan jalan halus untuk menanggulangi Pangeran Ceng Han Houw.
"Semua
gerak-geriknya telah diawasi dan walau pun tidak ada teguran langsung dari sri
baginda kaisar, akan tetapi Ceng Han Houw yang telah kehilangan surat penting
itu tentu akan bersikap hati-hati dan agaknya dia hendak melanjutkan
cita-citanya untuk menjadi jago silat nomor satu di dunia. Melalui kang-ouw ini
dia akan menghimpun kekuatan. Oleh karena itu, kami harap bantuan keluarga
Cin-ling-pai untuk menentangnya di lapangan itu. Jangan sampai golongan sesat
di bawah pimpinannya akan menguasai dunia persilatan, dalam urusan ini tentu
saja ji-wi lebih mengerti bagaimana menanggulanginya dari pada kami. Kami tidak
ingin mempergunakan kekuatan pasukan kalau tidak perlu sekali, agar jangan
sampai menggelisahkan rakyat."
"Harap
paduka jangan khawatir. Setelah hamba sekeluarga dibebaskan dari tuduhan dan
dapat bergerak dengan leluasa, tidak menjadi buronan pemerintah lagi, kami
tentu akan dapat serentak bangkit kemudian menentang Kim Hong Liu-nio dan
Pangeran Ceng Han Houw," jawab Cia Bun Houw.
"Asal
saja hal itu jangan dilakukan di kota raja," kata Pangeran Hung Chih.
"Karena kalau para orang gagah menentangnya di kota raja, mau tak mau
istana harus turun tangan dan dengan demikian berarti istana secara langsung
menanganinya. Karena itu sebaiknya ji-wi mengajak semua orang gagah untuk
waspada dan turun tangan menentangnya kalau dia beraksi di luar kota
raja."
Sesudah
saling bertukar pikiran dan menerima jamuan penghormatan yang diadakan oleh
Pangeran Hung Chih, malam itu juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu
meninggalkan kota raja. Mereka ingin cepat-cepat pergi ke Bun-cou untuk
menyampaikan berita yang ada dua macam itu kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok
Keng. Dua macam berita duka dan berita gembira. Berita duka tentang tewasnya
Sun Eng dan keadaan Lie Seng yang tenggelam dalam kedukaan besar, dan berita
gembira mengenai dibebaskannya keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan memberontak.
***************
Sampai dua
hari dua malam Lie Seng duduk bersila di depan makam Sun Eng itu, tidak pernah
dia meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang timbul di dalam hatinya untuk duduk
terus di tempat itu sampai mati! Makin dikenang segala kebaikan Sun Eng, juga
segala pengorbanannya, makin tertusuk rasa hatinya dan berkali-kali dia
menangis seperti anak kecil di tempat yang sunyi itu.
Wajahnya
sudah pucat sekali dan tubuhnya kurus dan lemah, pandang matanya kosong dan
sayu, pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan. Keadaan pemuda ini sungguh
amat menyedihkan. Dia telah putus asa, tidak melihat lagi sinar dalam
kehidupannya yang dianggapnya gelap pekat tanpa harapan. Semangat serta gairah
hidupnya sudah lenyap terbawa pergi oleh Sun Eng.
Pada hari ke
tiga, sejak semalam Lie Seng duduk bersila dengan mata dipejamkan dan berada
dalam keadaan semedhi yang gelap. Dia tidak tahu betapa sejak tadi ada seorang
hwesio tua menghampirinya, kemudian memandang kepada makam baru itu dan berdiri
di depannya, kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepala, kadang-kadang
menggeleng-geleng, menarik napas panjang. Sampai lama hwesio tua itu berdiri di
sana, memandang dengan sinar matanya yang lembut, wajahnya yang sangat tenang
dan mengandung seri kebahagiaan.
Hwesio itu
berjubah kuning. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, kepalanya yang tak
berambut itu terlindung topi hwesio, tangan kirinya memegang tasbih dan
pakaiannya amat sederhana dan kasar. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi
wibawa dan sikapnya yang agung.
"Omitohud...
mengapa ada orang merusak diri sendiri seperti ini? Membunuh diri secara
perlahan-lahan dengan membiarkan gelombang duka menyeretnya berlarut-larut...!
Orang muda, apakah dengan membiarkan gelombang duka menghanyutkanmu ini
kemudian kau mengharapkan yang mati akan dapat bangkit kembali?"
Suara itu
amat halus dan karena dikeluarkan dengan penuh perasaan maka mengandung getaran
kuat dan mampu menembus dinding semedhi, menyentuh kesadaran Lie Seng. Pemuda
ini membuka mata dan mengangkat muka memandang hwesio tua itu, kemudian alisnya
berkerut.
"Hwesio,
pergilah, tak perlu kau berkhotbah di sini!" katanya dengan marah.
Tidak
biasanya Lie Seng bersikap seperti ini, akan tetapi dia tidak peduli apa pun
juga lagi. Dia sudah lupa diri, yang teringat hanyalah kedukaannya dan ini
membuat dia kasar dan tidak bersahabat kepada siapa pun juga.
Hwesio tua
itu tersenyum akan tetapi pandangan matanya penuh rasa iba. "Orang muda,
pinceng tidak berkhotbah, pinceng justru merasa kasihan padamu, maka pinceng
hendak mengingatkan bahwa tindakanmu yang terbuai oleh duka ini sungguh tidak
tepat. Berduka atas kematian seseorang merupakan suatu kebodohan, dan tindakan
menyeleweng dari pada kebenaran."
Pandang mata
Lie Seng berapi karena marahnya ketika dia menatap wajah yang ramah itu. Dengan
suara berat bernada kesal dia menjawab, "Bicara memang enak saja! Engkau
tidak merasakan, karena itu engkau mudah saja mencela! Aku sudah kehilangan
cahaya hidupku, kehilangan semua kebahagiaan dan harapan, maka perlu apa aku
mempedulikan diri sendiri? Kalau aku harus mati, akan kuterima dengan rela!
Pergilah, hwesio!"
Akan tetapi
hwesio tua itu malah duduk bersila di hadapan Lie Seng, sikapnya tetap halus
dan ramah. "Omitohud... kegelapan kini menguasai batinmu, orang muda.
Engkau bilang bahwa pinceng tidak merasakan maka mudah mencela? Wahai orang
muda, siapakah di dunia ini yang tak pernah mengalami kematian seseorang yang
dikasihinya? Orang muda, barang kali engkau belum pernah mendengar dongeng
tentang Sang Buddha pada waktu menghadapi kematian, dan kalau engkau sudah
pernah mendengarnya, biarlah dongeng ini menjadi penyadar bagimu. Seorang
wanita kematian anak tunggalnya. Siapa pun tahu bahwa cinta kasih seorang ibu
terhadap anak tunggalnya adalah cinta kasih yang paling murni di antara segala
macam cinta kasih di dunia ini. Maka berdukalah wanita itu dan dia pun pergi
menghadap Sang Buddha, lalu memohon kepada Buddha untuk menghidupkan kembali
anak tunggalnya. Dengan tenang Sang Buddha lalu menyuruh wanita itu supaya
meminta segenggam gandum dari sebuah keluarga yang belum pernah kematian,
karena hanya itulah obat yang dapat menghidupkan anaknya yang sudah mati. Ibu
itu berkelana, akan tetapi biar pun dia akan pergi mengelilingi dunia, di mana
ada keluarga yang belum pernah kematian anggota keluarganya? Akhirnya dia
kembali kepada Sang Buddha dan insaf. Kematian adalah suatu hal yang wajar
dalam kehidupan. Ada hidup tentu ada mati. Mengapa kematian harus didukakan
benar? Bukankah kita semua akhirnya akan mati pula? Engkau dan pinceng pun
tidak akan terluput dari kematian. Mengapa kini ada yang mati lantas engkau
menyiksa diri dengan kedukaan? Apakah kedukaanmu itu akan dapat menghidupkannya
kembali, orang muda?"
Perlahan-lahan
ada sisa-sisa air mata menetes dari kedua mata Lie Seng. Tentu saja, dia pernah
mendengar tentang cerita itu. Anehnya, kini keluar dari mulut hwesio itu,
dengan suaranya yang halus lembut, cerita itu memiliki pengaruh yang lain,
menembus sampai ke dasar hatinya dan membuat dia melihat kenyataan itu.
"Losuhu...
losuhu tidak tahu orang yang mati ini adalah kekasih saya, isteri saya... saya
bukan seorang cengeng, losuhu sudah biasa menghadapi kematian, akan tetapi dia
ini... ahh, semasa hidupnya menderita demikian banyak kepahitan, dan selagi
saya berusaha untuk membuatnya bahagia... dia sudah mengambil jalan pendek, dia
mengorbankan diri demi keluarga saya, demi kerajaan... ahh, betapa tidak akan
hancur hatiku, losuhu...?"
Hwesio tua
itu mendengarkan dengan tenang dan sabar sampai Lie Seng berhenti bicara dan
menunduk, memejamkan mata. Kemudian terdengar lagi suara hwesio itu, suaranya
lantang namun lembut sekali. "Orang muda, pandanglah baik-baik dan
sadarilah. Lihatlah dengan waspada, siapakah yang sedang kau tangisi itu?
Siapakah yang kau kasihani itu? Di balik semua keteranganmu tadi, bukankah
sebetulnya engkau hanya menangisi dirimu sendiri, engkau mengasihani dirimu
sendiri?"
Lie Seng
mengerutkan kedua alisnya, termenung sejenak lantas terkejut bukan kepalang.
Dia mengangkat muka memandang kepada hwesio tua itu dengan mata terbelalak
marah. "Berani kau menuduhku seperti itu...?"
"Tenang
dan pandang sajalah, pandang dengan waspada dan jujur...," hwesio itu
berkata sambil menggerakkan tangan. Sikapnya yang lembut halus itu seolah-olah
membuyarkan kemarahan Lie Seng.
Orang muda
ini duduk termenung, memandang kepada diri sendiri kemudian jantungnya berdebar
tak karuan. Dia melihat, mula-mula secara samar-samar saja, akan tetapi makin
lama menjadi semakin jelas dan timbullah keraguan besar. Benarkah dia berduka
karena kasihan kepada Sun Eng? Ataukah tidak lebih condong karena kasihan pada
diri sendiri? Dia tidak dapat menjawab. Dia bingung sekali dan kembali dia
memandang kakek itu.
"Losuhu,
mohon petunjuk...," akhirnya dia berkata.
"Orang
muda, bukan maksud pinceng untuk mencelamu, namun untuk menyadarkanmu. Engkau
sendiri tadi menceritakan betapa di dalam hidupnya kekasihmu menderita banyak
kepahitan. Sekarang dia sudah meninggal, bukankah berarti dia setidaknya
terbebas dari pada semua kepahitan-kepahitan itu? Maka, dengan alasan apa lagi
engkau merasa iba kepadanya? Yang jelas, engkau menangis serta berduka karena
merasa iba diri, karena engkau merasa kehilangan, karena engkau ditinggalkan
dan merasa kesunyian. Tidakkah demikian?"
Lie Seng
mengangguk-angguk, tak dapat membantah kebenaran kata-kata itu. Sekarang nampak
nyata olehnya. Sun Eng hidup dalam keadaan sengsara karena menderita batin yang
hebat. Sun Eng selalu menyesalkan penyelewengannya, yang membuatnya merasa
rendah diri dan tak berharga menjadi isterinya. Apa lagi keluarga Cin-ling-pai
menolaknya!
Kemudian,
untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng sudah berkorban dan sungguh pun
usahanya berhasil baik, namun dirinya sudah mengalami penghinaan yang membuat
dia merasa dirinya menjadi semakin kotor! Apa bila Sun Eng tidak mati, sudah
pasti Sun Eng akan semakin menderita karena merasa semakin tidak berharga
baginya.
Bukankah
kematian itu bahkan merupakan jalan keluar yang paling baik bagi Sun Eng?
Mengapa dia harus menangisinya? Apakah dia ingin melihat Sun Eng tetap hidup
dalam keadaan menderita batin yang hebat itu?
"Duka
tidak dapat dihilangkan melalui hiburan, juga tak dapat dihilangkan melalui
pelarian, orang muda. Yang penting kita membuka mata melihat kenyataan, jangan
membiarkan duka sampai membutakan mata batin. Penglihatan yang terang dengan
pengamatan yang waspada akan mendatangkan pengertian, dan hanya pengertian
mendalam yang disertai kesadaran yang akan meniadakan duka yang tiada guna dan
melemahkan lahir batin itu."
Untuk kurang
lebih setengah jam lamanya Lie Seng mendengarkan suara kakek itu, suara yang
lembut dan tenang, yang mendatangkan ketenangan dalam hatinya, yang membuat
hatinya menjadi ringan dan lapang, yang membuat dia mulai berani memandang
makam Sun Eng tanpa kepedihan hati. Akhirnya dia pun menjadi sadar benar-benar
akan semua tindakannya yang hanya menurutkan kata hati dan perasaan yang
terdorong oleh iba diri belaka. Dan tiba-tiba saja dia melihat masa depan yang
cerah tanpa Sun Eng, yaitu masa depan menjadi seperti kakek ini, yang hidup
bebas dalam arti yang seluas-luasnya. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut
di depan kakek itu.
"Losuhu,
perkenankanlah teecu turut bersamamu mempelajari hidup dan masuk menjadi hwesio
di kuil yang losuhu pimpin."
Hwesio tua
itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Orang muda, pinceng melihat bahwa
engkau bukanlah orang muda sembarangan, namun seorang muda yang tentu memiliki
ilmu kepandaian silat yang tinggi, bukan? Pinceng sendiri bukan ahli silat,
namun pinceng dapat mengenali orang pandai. Siapakah namamu dan dari keluarga
manakah engkau, orang muda?"
"Teecu
bernama Lie Seng, ibu teecu adalah puteri dari mendiang kongkong Cia Keng Hong
ketua Cin-ling-pai."
"Omitohud...
sudah pinceng duga. Ternyata engkau adalah cucu pendekar sakti itu, dan
sekarang engkau ingin menjadi hwesio? Ah, bukankah itu hanya merupakan pelarian
saja bagimu, untuk menghibur hatimu yang sedang berduka dan putus asa? Masuk
menjadi hwesio bukan hal yang main-main dan hanya untuk pelarian belaka,
sicu."
"Teecu
melihat masa depan yang gelap, suhu. Teecu penuh dendam dan sakit hati, kalau
teecu melanjutkan hidup ini seperti biasa, tidak dapat dihindarkan lagi teecu
tentu akan mengakibatkan kekerasaan dan banjir darah karena teecu tentu akan
mengamuk untuk membalas kematian kekasih teecu."
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Pinceng sudah melihat hal itu, oleh karena itulah maka
pinceng berusaha menyadarkanmu. Kalau memang masuk menjadi hwesio itu timbul
dari tekadmu sendiri, karena kesadaranmu, maka terserah kepadamu. Pinceng
memimpin Kuil Hok-seng-tong di kaki bukit sana. Marilah, sicu."
Lie Seng
bangkit dan setelah sekali lagi meraba-raba makam Sun Eng dan mengucapkan
selamat tinggal kepada kekasihnya itu, kini dengan hati ringan dan lapang, maka
dia pun bangkit dan mengikuti hwesio tua itu turun gunung. Beberapa bulan
kemudian, Lie Seng telah mencukur rambutnya dan berpakaian jubah lebar, menjadi
hwesio yang secara tekun menekuni hidup dan kebatinan di dalam Kuil
Hok-seng-tong di bukit sunyi sebelah selatan kota raja itu!
Alangkah
banyaknya di antara kita yang seperti Lie Seng itu! Melarikan diri sendiri dari
kenyataan hidup! Melarikan diri dari kepahitan hidup! Lantas mengejar-ngejar
kemanisan hidup! Padahal, pelarian dari yang pahit dan pengejaran yang manis
itu tak ada bedanya sama sekali.
Melarikan
diri dari yang pahit lalu berlindung kepada sesuatu itu berarti juga mengejar
kemanisan yang diharapkan akan bisa didapatkan dari tempat berlindung itu. Dan
selama pengejaran akan sesuatu yang dianggap manis dan menyenangkan ini
terjadi, maka kita akan terus menerus terseret ke dalam lingkaran setan yang
tiada habisnya.
Pelarian
tidak akan melenyapkan duka, pelarian tak akan melenyapkan kegelisahan dan rasa
takut. Mungkin saja dapat mendatangkan hiburan sesaat, tetapi duka itu, rasa
takut itu, tidak akan lenyap, hanya untuk sementara waktu terselubung saja oleh
hiburan yang didatangkan oleh pelarian. Setiap saat akan muncul kembali!
Kita semua
mengenal apa penyesalan itu, apa kekecewaan itu, dan apa rasa takut serta
kedukaan itu. Mengapa kita selalu harus mencari hiburan di mana kita dapat
berlindung untuk melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak itu? Mengapa kita
tidak pernah berani menghadapi semua itu, menghadapi mereka di waktu mereka itu
timbul, menghadapinya dengan langsung, memandangnya kemudian menanggulanginya
di saat mereka muncul sehingga mereka itu akan lenyap di saat itu juga dan tak
akan pernah muncul kembali?
Penanggulangan
ini bukanlah berarti mengusahakan supaya mereka lenyap, sama sekali bukan.
Melainkan menghadapi duka pada saat duka itu menyerang kita, memandang dan
menyelaminya secara langsung, mengenal luar dalam apa sesungguhnya duka itu!
Tetapi sayang, kita selalu ingin senang, maka begitu timbul sesuatu yang tidak
menyenangkan menurut anggapan kita, kita lalu melarikan diri.
***************
"Bi
Cu...!"
Teriakan Sin
Liong ini nyaring sekali karena memang dia kaget bukan main saat melihat betapa
tubuh Bi Cu juga melayang dan meluncur turun. Sama sekali tidak disangkanya
bahwa dara itu akan melakukan perbuatan senekat itu, menyusul dia terjatuh ke
dalam jurang dengan meloncat. Apa bila dia sendiri yang terjatuh, tentu dia
akan mencari akal untuk dapat terhindar dari ancaman maut, akan tetapi kini Bi
Cu juga turut jatuh, maka seketika dia menjadi nanar dicekik rasa khawatir yang
hebat.
Dia tadi
terjatuh dalam keadaan terjengkang, maka tubuhnya terlentang. sedangkan Bi Cu
yang meloncat itu menelungkup. Cepat Sin Liong menyambar tangan kiri Bi Cu dan
dia berhasil menangkap pergelangan lengan kiri dara itu. Lalu dia merangkul
pinggang Bi Cu dengan erat. Bi Cu juga merangkul sambil memejamkan mata karena
ngeri.
"Sin
Liong...!" isaknya.
Biar pun
maklum bahwa mereka melayang ke dalam jurang yang seolah-olah tanpa dasar
saking dalamnya, dan bahwa tubuh mereka tentu akan hancur lebur kalau menimpa
dasar jurang, namun Sin Liong tak mau kehilangan semangat dan kesadarannya.
Selagi masih hidup dia harus berdaya upaya menyelamatkan diri!
Dengan amat
cepat kedua tangannya merenggut kancing baju di depan tubuhnya. Untung pinggang
Bi Cu demikian ramping sehingga walau pun lengan kanannya sudah melingkari
pinggang itu, tangan kanannya masih mampu mencapai depan bajunya. Sekali
renggut, maka terlepaslah semua kancing bajunya dan kini dia memegangi kedua
ujung baju yang terbuka itu dengan kedua tangannya, dibentangkan seperti sayap.
Usahanya berhasil! Dia merasakan ada tekanan dari bawah seakan-akan luncuran
mereka berdua agak tertahan sedikit, tidak lagi selaju tadi, sementara bajunya
yang dibentangkan itu mengembang dan menangkap angin.
"Bi Cu,
cepat buka bajumu... kembangkan bajumu seperti ini... seperti layar...!"
teriaknya.
Bi Cu
menghentikan isaknya. Mula-mula dia tidak mengerti kenapa dia disuruh membuka
bajunya. Akan tetapi ketika dia memberanikan hati membuka mata dan melihat apa
yang dilakukan Sin Liong, dia cepat menggerakkan kedua tangannya, dengan
jari-jari gemetar dia merenggut bajunya. Segera dia merobek bajunya itu dan
pada lain saat dia pun telah memegangi ujung kanan kiri bajunya yang
dibentangkan.
Kembali ada
tenaga menahan dari bawah sesudah baju itu dapat menangkap angin dan
mengembang. Luncuran mereka tertahan dan tidak secepat tadi, akan tetapi tentu
saja kedua layar itu tidak cukup kuat untuk menahan dan tubuh mereka masih
terus meluncur ke bawah.
Sambil
merangkul pinggang Bi Cu, Sin Liong miringkan tubuhnya lantas memandang ke
bawah. Hampir pingsan dia karena pening ketika melihat bawah yang demikian
dalamnya, akan tetapi dia menggoyang kepala mengusir kepeningan dan rasa ngeri.
Dia melihat ada sebatang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu. Pohon yang
cukup besar. Itulah yang akan menolong kita, pikirnya. Kalau gagal mereka tentu
akan tewas!
Dia segera
mengerahkan tenaganya, menggerakkan kakinya sehingga tubuhnya bersama tubuh Bi
Cu melayang agak mendekat dengan tebing. Pohon itu bagai melayang ke atas,
makin lama semakin besar mendekati mereka. Memang berbahaya sekali. Kalau
terlalu dekat dengan tebing tubuh mereka meluncur, membentur batu tebing
sedikit saja, tentu mereka akan tewas sebelum tiba di dasar jurang.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment