Wednesday, September 5, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Lembah Naga Jilid 40



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo    
     Serial Pendekar Lembah Naga
                Jilid 40


SUARANYA penuh tantangan bahkan mengandung ejekan, karena hanya dengan mengejek dan menertawakan pangeran yang menjadi musuh besar Lie Seng dan keluarganya inilah yang dapat merupakan hiburan satu-satunya pada saat-saat terakhir dari hidupnya.

"Keparat!" Ceng Han Houw membentak dan dia mulai menempelkan obor bernyala itu ke telapak kaki kanan Sun Eng.

Tubuh Sun Eng tersentak kaget, matanya terbelalak serta mulutnya terbuka, akan tetapi dia menahan jeritnya. Asap yang mengeluarkan bau kulit terbakar mengepul, lantas tanpa dapat dihindari lagi Sun Eng menggerak-gerakkan kaki kanannya yang menderita nyeri luar biasa itu.

"Kau masih belum mau mengaku juga?" Pangeran itu menarik obornya.

Akan tetapi rasa nyeri masih tidak berkurang, kiut-miut rasanya, menyusup ke bawah kulit dan menjalar sampai ke ubun-ubun kepala. Keringat yang besar-besar keluar dari muka dan leher Sun Eng. Dia menggigit bibir dan menggeleng kepala, memukul-mukulkan kaki kanan ke atas pembaringan.

"Sun Eng, jika kaki kirimu juga kubakar, maka engkau tak akan dapat menahan nyerinya. Bakaran ke dua lebih nyeri lagi, maka sebaiknya engkau mengaku dan mengembalikan surat itu. Tidak akan ada faedahnya bila engkau berkeras kepala, pula surat itu tidak ada gunanya bagimu."

Dalam menderita kesakitan hebat, Sun Eng masih mencari hiburan, biar pun hanya dapat memukul musuh Lie Seng yang menyiksanya ini dengan kata-kata, "Memang bagiku tak ada gunanya, akan tetapi bagi sri baginda kaisar tentu berguna sekali!"

"Apa?!" Wajah Han Houw menjadi pucat sekali. "Kau... kau tentu tidak akan memberikan surat itu kepada kaisar! Engkau akan mampus lebih dulu sebelum sempat menyerahkan surat itu kepada... ehh, kepada siapa surat itu kau serahkan tadi? Hayo kau mengaku! Di mana surat itu?" Suara pangeran itu gemetar.

Diam-diam Sun Eng tersenyum. Pangeran itu sangat ketakutan! Akan tetapi dia terpaksa menggigit bibirnya lagi karena kini pangeran itu menyentuh telapak kaki kirinya dengan api obor.

"Ahhh...!" Sun Eng kembali tersentak, kepalanya terangkat ke atas dan mulutnya terbuka karena dia tidak mampu menahan rasa nyeri yang luar biasa itu. Matanya terbelalak dan biar pun dia masih mampu menahan sehingga tidak sampai menjerit-jerit, akan tetapi dari kerongkongannya keluar suara aneh, terengah-engah dan mukanya penuh dengan peluh yang memercik ke sana-sini karena kepalanya dan tubuhnya bergoyang-goyang. Bau kulit terbakar makin keras.

"Mengakulah! Siapa menerima surat itu?" Han Houw menghardik dan orang yang merasa gelisah ketakutan ini menjadi semakin bengis.

Akan tetapi Sun Eng hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras. Rasa nyeri amat menusuk, dan sesudah secara bergantian Han Houw menyentuh telapak kaki kanan dan kiri dengan api, Sun Eng tidak kuat bertahan kemudian terkulai pingsan.

Han Houw menghentikan penyiksaannya dan memadamkan obor, menghentak-hentakkan kedua kakinya dan berjalan hilir-mudik di dalam kamar itu, kedua alisnya berkerut dan dia kelihatan bingung sekali. Lalu dia bertepuk tangan, memerintahkan pelayan yang muncul untuk memanggil para pembantunya.

Muncullah Hai-liong-ong Phang Tek beserta dua orang Mongol yang masih berada di situ. Tiga orang itu memandang kepada tubuh Sun Eng yang kini rebah menelungkup dalam keadaan pingsan dan kedua telapak kakinya yang tadinya putih kemerahan itu kini hitam melepuh, lalu mereka kembali memandang kepada sang pangeran.

"Celaka...!" Ceng Han Houw mengeluh. "Perempuan rendah itu tidak mau mengaku, akan tetapi dia memberi gambaran bahwa surat itu hendak disampaikan kepada kaisar!"

"Ahhh...!" Wajah tiga orang ini pun menjadi pucat dan saling pandang dengan bingung.

"Saat ini tentu belum sampai ke tangan kaisar, tidak mungkin malam hari ada yang dapat menyampaikan surat itu kepada kaisar. Akan tetapi kalau sampai besok... ahh, kita harus tahu di mana disembunyikan surat itu, atau kepada siapa surat itu diserahkan. Dia keras kepala, tidak mau mengaku...!" Han Houw menuding ke arah kedua kaki wanita itu. "Maka kalian kupanggil untuk merundingkan urusan ini. Bagaimana baiknya?"

"Satu-satunya jalan, dia harus dipaksa untuk mengaku agar kita dapat bergerak malam ini juga dan mencegah surat itu terjatuh ke tangan kaisar!" kata orang Mongol yang lebih muda, yang berusia empat puluh tahun dan bermata tajam namun mengandung kelicikan dan juga wajahnya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang hitam dan sangat lebat, kasar seperti kawat-kawat baja.

Ada sesuatu pada sinar matanya yang membuat Hai-liong-ong sendiri bergidik. Orang ini kejam bukan main, pikir orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu, sungguh pun dia sendiri bukanlah orang yang baik atau tidak kejam.

"Dia keras kepala, dan sampai pingsan dia sama sekali tidak mau mengaku," kata Han Houw dengan sikap kehabisan akal.

"Paduka serahkan kepada hamba, dan hamba akan memaksa dia membuka mulut!" kata orang Mongol itu.

"Baiklah. Memang itu jalan yang terutama sekali. Apa bila engkau bisa menundukkannya dan memaksanya mengaku, itu baik sekali. Kalau tidak, siksa dia sampai mampus!" kata sang pangeran penuh geram.

"Lebih baik jangan sampai dia mati dahulu, mungkin dia masih dapat berguna untuk kita, pangeran. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kalau paduka menahan kemarahan dan bersikap teliti," Hai-liong-ong memperhatikan.

"Pendapat itu benar sekali, pangeran," sambung orang Mongol yang lebih tua. "Wanita itu adalah satu-satunya orang yang dapat memungkinkan kita memperoleh kembali surat itu, maka tidak semestinya kalau cepat-cepat dibunuh. Boleh disiksa dan dipaksa mengaku, akan tetapi jangan sampai mati."

Ceng Han Houw mengangguk-angguk. "Memang aku terburu nafsu mengingat betapa dia telah mempermainkan aku, menipuku, malah mengkhianatiku dan membuat aku terancam bahaya begini hebat. Kau bawalah dia dan usahakan sekuatmu agar dia mau mengaku!" katanya kepada orang Mongol brewok itu.

"Harap paduka tidak perlu khawatir, hamba tahu bagaimana harus memperlakukan wanita yang bandel!" Orang Mongol itu tersenyum lebar, kemudian menghampiri pembaringan dan memondong tubuh yang pingsan itu. Sinar matanya berkilat ketika dia mencium bau sedap dari leher Sun Eng dan melihat tonjolan dada yang padat di balik baju dan yang tampak membusung akibat kedua lengan wanita itu ditelikung ke belakang punggung. Dia lalu melangkah dari dalam kamar itu sambil tersenyum dingin penuh kekejaman.

Sekarang Han Houw berunding dengan orang Mongol tua dan Hai-liong-ong Phang Tek. "Apa bila Gaulanu tidak berhasil memaksa wanita itu mengaku, sebaiknya malam ini juga, atau selambat-lambatnya besok pagi-pagi benar, sebelum surat itu jatuh ke tangan kaisar, paduka meninggalkan kota raja dan mengungsi ke utara sambil melihat perkembangannya kelak. Terlalu berbahaya kalau paduka berada di sini. Hamba akan mengawal paduka."

Hai-liong-ong Phang Tek menggelengkan kepalanya. "Hamba tidak setuju dengan usul itu, Pangeran. Andai kata benar surat itu jatuh ke tangan kaisar, paduka tak perlu gentar atau pun tergesa-gesa pergi, karena kepergian yang tergesa-gesa tanpa pamit itu bahkan akan menambah kecurigaan, seolah-olah paduka telah mengaku salah. Hamba kira, sri baginda kaisar tidak akan begitu mudah percaya laporan seorang wanita rendahan atau orang yang diberinya surat itu. Tentu sri baginda kaisar akan lebih mempercayai paduka dan andai kata pula kaisar menaruh curiga, tentu beliau akan bertanya dulu kepada paduka dan tidak akan melakukan tindakan ceroboh, mengingat bahwa paduka adalah saudara tiri!"

Han Houw mengangguk-angguk, dapat merasakan kebenaran pendapat ini. "Akan tetapi, bagaimana jika beliau memanggilku kemudian memeriksaku, bertanya tentang surat dari ayahanda Sabutai itu?" Akhirnya dia bimbang lagi dan di dalam suaranya membayangkan kegelisahan.

"Harap paduka tak perlu khawatir. Banyak sekali alasan yang dapat paduka pergunakan. Misalnya, menyangkal bahwa surat itu merupakan surat asli dari ayahanda paduka Raja Sabutai. Siapa yang dapat memastikan bahwa surat itu asli? Paduka dapat mengatakan bahwa paduka memiliki banyak musuh di dunia kang-ouw dan mungkin surat itu adalah surat palsu yang sengaja dibuat oleh musuh paduka untuk mengadu domba."

"Ahh, itu bagus sekali! Akal itu dapat dipakai, dan memang baik sekali! Engkau sungguh bijaksana, Phang-enghiong!" Sebutan itu menjadi bersifat menghormat dan wajah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu berseri.

"Bukan hanya itu saja, pangeran. Andai kata kaisar menaruh curiga, masih banyak waktu bagi paduka untuk bertindak waspada dan karena banyak teman-teman kang-ouw yang membantu paduka, maka apa sulitnya bagi paduka untuk menyembunyikan diri di sekitar sini tanpa harus melarikan diri ke utara? Dengan demikian baik atau buruknya akibat dari perbuatan selir paduka yang telah berkhianat itu, tetap saja gerakan paduka akan dapat dilanjutkan dengan baik!"

"Bagus! Wah, engkau akan kuangkat menjadi penasehat negara bila gerakanku berhasil!" teriak sang pangeran dengan girang.

Mereka lalu berunding terus dengan asyik sambil makan minum karena setelah menerima petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehat dari Hai-liong-ong Si Raja Naga Laut itu, kini sang pangeran tidak lagi segelisah tadi.

Sementara itu, di dalam kamar lain, juga di dalam istana pangeran itu akan tetapi jauh di belakang, terjadi peristiwa lain yang mengerikan. Dengan berbagai cara, dengan bujukan dan berpura-pura mengajak Sun Eng bersekutu, sampai kepada ancaman-ancaman yang paling menakutkan, orang Mongol yang bernama Gaulanu itu berusaha untuk membuat agar Sun Eng mau mengaku di mana surat itu disembunyikan atau kepada siapa surat itu diserahkannya. Namun semua bujukan itu tidak dijawab oleh Sun Eng yang sudah sadar.

"Nona, engkau adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik," demikian Gaulanu mencoba kembali dengan lemah lembut, dengan suaranya yang agak kaku dan berlogat asing, "dan percayalah, aku, Gaulanu bukan orang yang tidak dapat mengagumi wanita muda dan cantik. Aku kasihan kepadamu, nona. Aku diperintahkan oleh pangeran untuk menyiksa, bahkan membunuhmu bila mana engkau tidak mau mengaku. Kenapa engkau berkeras kepala, nona? Mengakulah dan aku bersumpah untuk menyelamatkanmu."

"Aku tidak tahu...!" Sun Eng berkata singkat.

"Nona, kau tahu, kalau engkau menurut, aku bahkan akan mohon kepada pangeran agar engkau suka menjadi selirku. Kubawa engkau ke utara dan engkau akan hidup bahagia... hemmm, aku suka sekali kepadamu, nona."

"Tutup mulutmu dan kalau mau bunuh, lakukanlah!" Sun Eng menantang marah.

Habislah kesabaran Gaulanu, dan dia pun menyeringai, wajahnya yang penuh brewok itu nampak menyeramkan sekali. "Perempuan tidak tahu diri! Tahukah engkau, siksaan apa yang paling hebat bagi seorang wanita? Engkau pernah diperkosa? Ya? Pernah? Nah, aku akan memperkosamu, mempermainkanmu sesuka hatiku apa bila engkau tidak mau mengaku!"

Sun Eng memejamkan mata. Dia tahu apa artinya itu. Semenjak tadi dia memang sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Tidak, dia akan menahan segala siksaan, termasuk perkosaan. Bukankah dia sudah membiarkan dirinya diperkosa berkali-kali oleh pangeran itu? Dia sudah kepalang berkorban, maka biarlah dia akan diapakan juga, akhirnya toh akan mati! Mati demi Lie Seng!

"Aku tak peduli!" bentaknya.

Wajah brewokan itu menyeringai. "Ha, kau kira hanya diperkosa satu kali saja? Hemmm, kau tidak tahu laki-laki apa Gaulanu ini. Aku akan memperkosamu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi! Dan bila aku kewalahan, akan kupanggilkan pengawal-pengawal yang paling kuat untuk meggantikan aku, bergilir sampai engkau mati, ya, tidak akan berhenti sampai engkau tidak kuat!"

Akan tetapi Sun Eng sudah nekat, sudah menganggap dirinya mati dan dia memejamkan matanya tanpa mau menjawab lagi.

"Brettttt...!"

Sun Eng hanya memejamkan mata lebih keras lagi pada waktu merasa betapa bajunya dirobek-robek, kemudian celananya juga. Tubuhnya hanya menggeliat sedikit ketika dia merasa betapa tangan dan muka brewok itu menjelajahi tubuhnya dengan belaian yang amat kasar.

Selanjutnya, dengan seluruh kekuatan yang ada, Sun Eng mematikan perasaannya dan dia rebah terlentang dengan mata terpejam dan lemas seperti sudah menjadi mayat! Dia tidak merasa apa-apa lagi.

Entah berapa lamanya orang Mongol kasar itu mempermainkan tubuhnya. Dia tidak tahu, dia tidak peduli lagi, yang dipermainkan seakan-akan bukan tubuhnya lagi, perasaannya sudah mati dan dia matikan pada saat itu. Dia bahkan seperti dalam keadaan terlupa apa yang sedang terjadi atas dirinya, sampai mendadak pipinya ditampar keras, membuatnya sadar dan pipinya terasa panas.

"Plakkk!" Tamparan ini disambung sumpah serapah dari mulut Gaulanu.

"Phuihh, perempuan hina, perempuan rendah, mayat hidup! Lebih baik bercinta dengan mayat dari pada dengan perempuan macammu!" Dia melompat turun dari pembaringan, mengenakan pakaian lalu meninggalkan kamar itu sambil berkata, "Lihat saja sampai di mana engkau dapat bertahan! Walau pun engkau seperti mayat, akan tetapi mayat yang cantik sehingga tentu banyak di antara mereka yang suka, ha-ha-ha!"

Gaulanu keluar dari dalam kamar, akan tetapi tidak lama terdengar langkah orang. Sun Eng tidak mau menengok melainkan memejamkan mata dan mematikan rasa. Memang dia sudah tahu apa yang akan terjadi dan benar saja.

Ada tangan-tangan dan muka seperti srigala kelaparan menggerayanginya dan melakukan hal-hal yang sama sekali tak dirasakannya lagi. Bahkan dia tidak melihat siapa orangnya. Hal ini berulang-ulang terus. Tubuhnya sakit-sakit, lelah bukan main, lemas dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi!

Ketika air yang disiramkan ke kepalanya membuat Sun Eng siuman, dia mendengar suara Gaulanu memaki-maki, "Bedebah! Iblis betina! Benar-benar tidak mau mengaku. Biarkan dia begitu dan ikat pula kakinya, hanya lepaskan ikatan kakinya jika masih ada pengawal yang mau... ha-ha-ha, perempuan seperti dia tidak akan mati kalau hanya ditiduri! Tetapi jaga, jangan sampai dia terlepas, dan... awas pula, jangan sampai dia mati. Pangeran menghendaki dia tetap hidup!"

Gaulanu meninggalkan kamar itu, kemudian Sun Eng menjadi permainan tangan-tangan jahil dan cabul, akan tetapi kembali dia sudah terlelap ke dalam keadaan tidak sadar.

Malam makin larut dan suasana menjadi sunyi sekali. Kesunyian yang mengerikan kalau orang melihat keadaan di dalam kamar di mana Sun Eng bagaikan seekor domba yang direjang oleh banyak srigala buas! Bahkan lebih buas dari pada srigala, karena binatang buas apa pun juga di dunia ini membunuh mangsanya untuk dimakan, karena kebutuhan perut dan kebutuhan hidup, juga membunuh tanpa ada rasa benci. Sebaliknya, manusia dapat melakukan perbuatan yang lebih kejam dari pada pembunuhan.

Tengah malam telah lewat. Di dalam kamar tahanan itu Sun Eng masih terlentang di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya kini sudah tidak ada lagi pengawal yang bergairah untuk memperkosa dirinya. Mungkin karena belasan orang pengawal yang sedang bertugas jaga itu sudah mendapatkan giliran semua.

Kini mereka makan minum sambil menggunakan perut dan dada Sun Eng sebagai tempat menaruh mangkok dan cawan arak! Kadang kala mereka memaksa mulut Sun Eng untuk dijejali daging atau dituangi arak, sampai Sun Eng terbatuk-batuk.

Muka wanita yang cantik itu kini sudah matang biru bekas tamparan, bekas gigitan dan belaian-belaian kasar. Para pengawal masih saja makan minum sambil tertawa-tawa dan bersenda-gurau. Tentu saja Sun Eng yang menjadi sumber dan bahan gurauan mereka yang kotor.

Sun Eng tidak mendengar semua itu, dia dalam keadaan hampir tidak sadar. Yang terasa olehnya hanyalah rasa nyeri yang luar biasa, yang datang bertalu-talu bersama detaknya jantung, bersama denyutnya darah. Setiap denyut darah mendatangkan rasa nyeri yang terasa menusuk-nusuk. Akan tetapi dia tidak mau mengeluh, bahkan makin mencurahkan perhatiannya kepada denyut darah yang bertalu-talu dan membawa perasaan nyeri yang sukar dilukiskan itu.

Rasa nyeri itu pun secara aneh tidak terasa lagi olehnya. Yang ada hanya rasa nyaman! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini apa bila tidak merasakannya sendiri. Inikah perasaan tubuh yang telah mati? Nyaman dan tidak ada rasa apa-apa, seperti nikmatnya keheningan?

Pangeran Ceng Han Houw sudah menerima laporan dari Gaulanu bahwa Sun Eng tetap tidak mau mengaku walau pun telah diperkosa secara bergantian, penderitaan yang tiada taranya bagi seorang wanita.

"Dia itu iblis, bukan manusia, pangeran! Kalau manusia, tentu dia sudah menyerah dan mengaku! Kalau tidak ingat akan pesan paduka agar jangan dia sampai mati, tentu akan hamba bunuh dia. Dia itu iblis, sungguh!"

Han Houw merasa heran mengapa ada perasaan marah dan tidak sedap di dalam hatinya ketika mendengar betapa Sun Eng diperkosa bergantian dan kini dalam keadaan terhina dan setengah mati. Akan tetapi juga ada perasaan kagum terhadap wanita itu.

Seorang wanita yang selain cantik manis, amat pandai dalam seni bermain cinta, seorang wanita yang penuh keberanian, cerdik bukan main, serta masih ditambah lagi berhati baja dan amat setia, entah kepada siapa kesetiaannya itu ditujukan. Sayang, sungguh sayang sekali, kesetiaan dan cintanya itu bukan ditujukan kepada dia. Mendapatkan cinta kasih seorang wanita seperti itu sungguh beruntung sekali!

Dengan hati kesal dia lantas menggerakkan tangan. "Sudahlah, engkau harus mengepalai penjagaan malam ini supaya jangan sampai dia lolos. Dan ini, kau minumkan kepadanya! Paksakan agar dia menghabiskan sebotol ini."

Gaulanu menerima botol kecil berisi cairan biru itu, lalu tersenyum menyeringai. "Dia akan mati seketika, pangeran? Mengapa tidak mempergunakan ini saja?" Dia mengacungkan tinjunya.

Sepasang mata pangeran itu menyambar dan Gaulanu cepat membungkuk.

"Mohon maaf, mohon ampun... bukan maksud hamba main-main..."

"Aku tahu," kata pangeran itu kesal. "Engkau tentu heran mengapa aku bersusah payah mempergunakan racun untuk membunuhnya. Akan tetapi racun ini baru membunuhnya dalam waktu tiga hari, dan pukulanmu akan mematikan seketika. Mengerti sekarang?"

Gaulanu mengangguk-angguk kemudian mengundurkan diri. Dengan kesal Han Houw lalu menyuruh kedua orang pembantunya yang lain meninggalkannya, lalu memanggil semua selir yang lain sehingga dia pun dapat melupakan kekecewaan hatinya terhadap Sun Eng dengan membenamkan diri dalam peluk rayu para selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik.


                 ***************


 Tiga bayangan yang gerakannya gesit dan cepat bagai bayangan setan saja berkelebatan di sekitar istana Pangeran Ceng Han How. Istana itu terjaga ketat oleh para pengawal, namun gerakan tiga sosok tubuh itu benar-benar hebat luar biasa, amat sukar diikuti oleh pandangan mata sehingga tiga sosok bayangan itu berhasil memasuki taman bunga, di samping istana tanpa diketahui seorang pun pengawal.

Hal ini tidaklah mengherankan karena tiga sosok bayangan itu adalah bayangan dari tiga orang pendekar sakti, terutama sekali dua orang di antara mereka, pasangan pria dan wanita yang tampan dan cantik, adalah sepasang suami isteri pendekar yang untuk jaman itu sukar ditemui tandingannya. Mereka itu adalah Lie Seng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong!

Seperti kita ketahui, Lie Seng menjadi gelisah sekali pada saat kekasihnya, atau isterinya yang belum dikawininya secara sah, Sun Eng, pergi meninggalkannya tanpa pamit, hanya meninggalkan surat yang membuat hatinya menjadi sangat gelisah karena kekasihnya itu hendak mendekati Pangeran Ceng Han Houw dan kalau perlu membunuhnya!

Lie Seng tahu betapa lihainya pangeran itu dan tahu pula bahwa kekasihnya itu sengaja hendak berkorban diri untuk menolong keluarga Cin-ling-pai dan hatinya menjadi semakin gelisah ketika dia mencari-cari kekasihnya itu tanpa hasil. Dia mencari sampai ke kota raja, akan tetapi tidak mendengar di mana adanya Sun Eng.

Tentu saja dia tidak tahu bahwa Sun Eng pergi bersama pangeran itu, ada pun dia sendiri telah lebih dahulu ke kota raja sehingga pada saat dia melakukan penyelidikan ke istana Pangeran Ceng Han Houw, pangeran itu tidak ada, demikian pula tidak ada didengarnya keterangan tentang kekasihnya.

Dalam keadaan bingung ini Lie Seng segera kembali ke selatan lalu dia mencari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dua orang guru dari Sun Eng untuk membantunya. Juga untuk minta pertanggungan jawab mereka karena dia anggap bahwa mereka itulah yang menjadi sebab sehingga terjadinya semua ini! Kalau mereka tidak mempengaruhi ibunya sehingga tidak menyetujui dia berjodoh dengan Sun Eng, tentu sekarang Sun Eng sudah menjadi isterinya dengan sah dan tidak akan terjadi Sun Eng melakukan perbuatan nekat seperti itu!

Akhirnya dia dapat menemukan suami isteri pendekar sakti ini, juga ibu kandungnya dan Yap Kun Liong, di kota Bun-cou. Dia sudah menduga bahwa empat orang yang menjadi buronan itu tentu bersembunyi di Bun-cou, tempat di mana dulu Cia Bun Houw dan Yap In Hong bersembunyi, di mana mereka mengambil Sun Eng sebagai murid pula.

Ketika Lie Seng memperlihatkan surat peninggalan Sun Eng, semua pendekar itu merasa terkejut dan juga terharu. Demikian besar cinta kasih Sun Eng kepada Lie Seng sehingga untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng kini hendak melakukan perbuatan nekat yang sangat berbahaya dan mempertaruhkan nyawanya untuk menolong keluarga Cin-ling-pai.

"Saya tahu bahwa dia melakukan hal ini karena merasa rendah diri, karena menjadi isteri saya tanpa persetujuan keluarga, juga tidak secara sah! Kini dia hendak mengorbankan dirinya demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai! Paman Bun Houw, bagaimanakah kalau sudah begini? Apakah saya harus turun tangan sendiri di kota raja tanpa ada bantuan sedikit pun dari paman berdua bibi yang menjadi guru-guru dari Sun Eng, bahkan yang sedikit banyak ikut bertanggung jawab atas kejadian ini?"

Cia Bun Houw saling pandang dengan isterinya. Memang mereka pun menyadari bahwa mereka berdua telah mencegah keponakan ini menikah dengan Sun Eng. Akan tetapi hal itu mereka lakukan dengan penuh kesadaran bahwa Sun Eng memang tidak pantas untuk menjadi isteri keponakan mereka itu. Kini di dalam hati mereka tidak lagi membenci Sun Eng, bahkan merasa kasihan. Maka, mendengar penuturan Lie Seng, mereka merasa tak enak sekali.

"Lie Seng, biarlah aku menemanimu untuk pergi mencari Sun Eng di kota raja, dan kalau memang benar dia di sana dan terancam bahaya, kita berdua akan menyelamatkannya," kata Bun Houw dengan tenang.

"Aku pun akan ikut pergi," kata In Hong, juga dengan tenang.

Nyonya yang usianya sudah tiga puluh lima tahun ini merasa tidak enak sekali. Watak pendekarnya bangkit maka dia pun merasa betapa dia ikut mendesak bekas muridnya itu terdorong oleh rasa bencinya, dan kini, mendengar betapa bekas muridnya itu melakukan tindakan nekat demi menolong dia sekeluarga dengan taruhan nyawa, dia harus turut pula bertindak dan tak mungkin dia mendiamkannya saja. Karena itulah maka dia serta merta, tanpa keraguan lagi, menyatakan keinginannya hendak ikut pergi.

Mendengar penuturan puteranya tentang gadis yang ditolaknya untuk menjadi mantunya itu, sejak tadi Cia Giok Keng, ibu Lie Seng, termenung dan tidak dapat berkata apa pun. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Dia memang merasa terharu mendengar gadis itu dengan nekat melakukan usaha untuk menyelamatkan mereka berempat, seolah-olah memasuki gua harimau, dan dia merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi, di lain sudut hatinya, tetap terdapat perasaan tidak rela bila puteranya itu berjodoh dengan wanita yang pernah melakukan penyelewengan seperti yang sudah didengarnya dari adiknya dan adik iparnya. Dia terlalu mencintai puteranya untuk membiarkan puteranya ini menikah dengan seorang wanita yang rendah budi dan hina!

Seperti itulah macamnya cinta yang berada dalam batin kita! Kita menganggap bahwa perasaan seperti itu adalah cinta kasih yang murni, cinta terhadap anak yang diwujudkan dengan keinginan melihat anak itu berbahagia sesuai dengan keinginan kita! Kita selalu ingin mengatur kehidupan anak kita menurut selera kita, menurut pendapat kita, menurut pandangan kita. Kita merasa yakin bahwa anak kita akan berbahagia bila mana dia itu menurut kehendak kita melakukan ini, tidak melakukan itu.

Kita ingin mengatur anak kita sejak masih kecil, membentuknya seperti kita membentuk boneka dari lilin atau lempung. Tanpa kita sadari sendiri, kita telah menyiksa anak-anak kita sendiri dengan bentukan-bentukan itu. Kita ingin melihat anak kita yang masih kecil itu bersikap sopan santun, baik, cerdik, pintar, tahu aturan, pendiam dan sebagainya lagi, pendek kata, kita ingin melihat anak kita supaya menjadi anak teladan seperti yang kita cita-citakan dan gambarkan.

Oleh karena itu, sejak dia masih kecil, kita tekan dan didik dia supaya cocok dengan bentuk gambaran kita. Kita lupa, tidak sadar bahwa semua ini sama sekali bukanlah tindakan cinta kasih, sama sekali bukan terdorong oleh cinta kita kepada anak kita itu, melainkan terdorong oleh cinta kepada diri sendiri! Kita ingin mempergunakan anak kita sendiri sebagai jembatan untuk menikmati kesenangan berupa kebanggaan! Kitalah yang akan berbangga melihat anak kita begini dan begitu sesuai dengan kehendak kita! Kita akan senang sekali! Sama sekali kita tidak peduli apakah anak itu pun senang bersikap yang kita gariskan itu.

Sudah tentu saja dia tidak senang! Setiap orang anak ingin bebas, ingin bergembira-ria, ingin berloncatan, berteriak-teriak, bermain-main sesuka hatinya, bersama kawan-kawan sebaya. Tidak ada seorang pun anak kecil yang normal akan merasa suka menjadi anak teladan seperti yang digariskan oleh orang tua, duduk diam seperti patung di hadapan orang-orang tua yang sedang mengobrol, duduk dengan sopan, berbicara lemah lembut, tertawa pun diatur, bernyanyi apa bila disuruh nyanyi seperti yang sudah diajarkan oleh orang tua di rumah sehingga orang-orang tua lain akan merasa kagum! Tidak mungkin seorang anak suka bersikap seperti itu. Dia ingin bebas gembira. Tetapi apa daya, orang tua yang amat mencintanya itu mengajarkan lain, menghendaki lain.

Bukan hanya kepada anak kita yang masih kecil kita ingin mengatur, ingin membentuk, ingin agar anak itu hidup sesuai dengan kehendak kita, menurutkan garis yang kita buat untuk anak itu. Bahkan setelah anak itu dewasa sekali pun, selama kita masih mampu menguasai anak kita, maka kita akan selalu menjadikan anak kita sebagai jembatan untuk memperoleh kebanggaan dan kesenangan.

Semua ini mungkin tidak kita rasakan lagi, tidak kita insyafi lagi karena kita tidak sadar akan kenyataan hidup ini. Kita akan menganggap, bahwa semua itu kita lakukan demi cinta kita kepada anak kita itu! Inilah alasan yang paling kuat, merupakan alasan kuno dan tradisional yang dipakai oleh kita orang-orang tua yang selalu merasa benar dalam hal apa pun juga!

Bahkan jika anak kita sudah dewasa, dalam menentukan jodoh pun kita selalu mau ikut campur, berdiri paling depan untuk melakukan pemilihan, untuk menerima atau menolak pilihan anak kita berdasarkan penilaian kita, pendapat kita, selera kita sendiri. Pendapat dan selera anak kita, semenjak dia kecil, tidak kita perhatikan! Kita selalu menganggap bahwa selera dan keinginan anak kita itu salah belaka.

Semua sikap hidup ini mesti kita amati, mesti kita pandang sejujurnya, mesti kita sadari. Kita sudah tidak merasa keliru lagi karena kita sendiri pun diperlakukan demikian oleh orang tua kita semenjak kita masih kecil. Setiap orang tua akan senang sekali kalau anaknya menjadi seorang anak penurut dan setiap orang tua akan membenci anak yang tidak penurut, maka kita pun melanjutkan saja tradisi ini, sikap yang sudah mendarah daging selama ribuan tahun ini.

Maka, perlu kita mengenal diri sendiri, meneliti diri sendiri. SESUNGGUHNYAKAH KITA MENCINTA ANAK KITA? Ataukah yang kita namakan cinta itu sebenarnya bukan lain adalah cinta terhadap diri sendiri, atau keinginan kita untuk memperoleh kesenangan, kepuasan, kebanggaan melalui anak-anak kita itu? Sehingga kalau anak kita menurut dan menyenangkan hati kita, kita bilang cinta dan memuji-mujinya, sebaliknya kalau dia tidak menurut kita dan menyusahkan hati kita maka kita lalu membencinya, kita mengutuk dan memakinya sebagai anak tidak berbakti, anak durhaka, dan sebagainya lagi? Mungkinkah ada cinta bila mana kita masih mementingkan diri sendiri, mencari kesenangan untuk diri sendiri?

Nah, marilah para orang tua, kita mawas diri, kita membuka lebar mata kita, melihat yang palsu sebagai yang palsu tanpa mempedulikan apa kata tradisi dan apa kata pendapat umum! Karena urusan ini merupakan urusan kita sendiri, kita dengan anak kita, tak ada hubungannya sama sekali dengan pandangan si A, si B, atau si Umum sekali pun!

Dan kalau kita benar-benar mencinta anak kita, kita akan berhenti memperlakukan dia sebagai jembatan untuk mencari kepuasan bagi diri kita. Dan cinta kasih yang demikian ini akan menciptakan tindakan-tindakannya sendiri, dan cinta kasih sudah merupakan pendidikan yang terutama.


                 ***************

Semenjak dahulu, ketika Lie Seng datang bersama Sun Eng lalu timbul keributan, secara diam-diam Yap Kun Liong sudah merasa kasihan terhadap Sun Eng dan diam-diam dia melihat kesalahan yang tidak disadari dari isterinya, dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, sikap mereka yang tidak semestinya terhadap Lie Seng dan Sun Eng.

Oleh karena itu, melihat kesediaan suami isteri pendekar itu untuk pergi ke kota raja dan menolong Sun Eng dari ancaman bahaya maut, dia segera berkata, "Memang tepat sekali apa bila kalian berdua menemani Seng-ji (anak Seng) pergi ke kota raja menolong murid kalian itu, sebab kota raja adalah tempat yang amat berbahaya dan untuk dapat menolong murid kalian dari tangan Pangeran Ceng Han How, agaknya hanya kalian berdua yang akan sanggup. Biarlah kami berdua menjaga serta melindungi anak kalian Kong Liang di sini."

Demikianlah, Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu pergi bersama Lie Seng, melakukan perjalanan secepatnya ke kota raja. Akan tetapi ternyata mereka datang terlambat karena tepat pada malam hari mereka menyusup ke istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng telah mengalami penyiksaan yang luar biasa hebatnya.

Baru lewat tengah malam tiga orang pendekar ini mendapat kesempatan untuk memasuki istana itu. In Hong yang memiliki gerakan bagaikan seekor burung rajawali itu menerkam seorang peronda di dekat taman, menotoknya hingga peronda itu sama sekaii tak mampu bergerak mau pun bersuara.

"Cepat kau katakan di mana adanya wanita bernama Sun Eng!" Lie Seng berbisik sambil mengancam penjaga itu dengan cengkeraman pada tengkuknya.

Jari-jari tangan Lie Seng dibuat keras seperti baja sehingga penjaga itu ketakutan bukan main. Ketika totokan pada lehernya dibuka dan dia dapat bersuara, dia menjawab dengan tubuh menggigil dan suara gemetar.

"Di... di... kamar tahanan... di belakang..."

"Hayo antar kami!" Lie Seng berbisik lagi, jantungnya berdebar tegang.

Dia tadi bertanya secara sembarangan saja karena tidak tahu harus mencari Sun Eng di mana. Dia telah mencari keterangan sebelum mereka menyusup ke dalam istana itu, dan dari keterangan yang diperolehnya dia pun mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw mempunyai seorang selir baru, akan tetapi sumber keterangan itu tidak menyebut nama.

Karena itu, sesudah mengajukan pertanyaan secara untung-untungan itu dan mendengar bahwa Sun Eng telah berada di kamar tahanan, dia terkejut dan juga girang. Akhirnya dia memperoleh berita tentang Sun Eng, meski pun berita itu amat menggelisahkan hatinya.

Ketika akhirnya mereka bertiga tiba di tempat tahanan, lalu mengintai dari balik jendela, hampir saja Lie Seng menjerit. Dilihatnya tubuh Sun Eng telanjang bulat terlentang seperti telah mati, dan seorang Mongol brewok bersama para pengawal yang jumlahnya sebelas orang sedang duduk makan minum di situ sambil bersenda-gurau. Senda-gurau mereka itu kotor sekali dan semua ditujukan pada tubuh Sun Eng yang dijadikan semacam meja tempat menaruh mangkok dan cawan.

"Ngekkk!"

Sekali saja menggerakkan tangannya, tawanan itu telah dibunuh Lie Seng! Penjaga yang menjadi tawanan itu tewas tanpa sempat mengeluarkan suara dan kini, bagaikan seekor singa kelaparan, Lie Seng telah menerjang masuk melalui pintu dengan kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya lagi.

Cia Bun Houw dan Yap In Hong amat terkejut melihat kecerobohan Lie Seng, akan tetapi mereka berdua dapat mengerti alangkah hancur hati Lie Seng menyaksikan kekasihnya diperlakukan seperti itu. Mereka sendiri pun merasa kasihan sekali melihat bekas murid itu, dan mereka pun ikut menyerbu, bahkan Bun Houw sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar keemasan sebab itu adalah Hong-cu-kiam, pedangnya yang tipis dan biasanya digulung seperti sabuk pinggang.

Lie Seng mengamuk dahsyat. Begitu masuk, sekali bergerak dia sudah membikin pecah kepala dua orang pengawal yang hanya sempat terbelalak saja kemudian roboh dengan kepala pecah terkena hantaman kedua tangan Lie Seng. Yap In Hong menendang roboh dua orang pengawal dan cepat sekali Bun Houw menerjang orang Mongol yang kelihatan tangguh itu.

Orang Mongol itu, Gaulanu, sudah meloncat berdiri dan menghunus goloknya, memutar golok dengan garang. Akan tetapi tiba-tiba saja ada cahaya emas menyambar. Dia cepat menangkis dengan goloknya sambil menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut penyerangnya.

Bun Houw cepat mengerahkan tenaganya ketika melihat golok itu menangkis pedangnya. Terdengar bunyi nyaring lantas golok itu patah. Pada saat tangan yang mencengkeram perutnya itu tiba, sinar emas menyambar dan lengan itu buntung sebatas siku!

Gaulanu mengeluarkan teriakan panjang. Akan tetapi Lie Seng sudah menubruknya dan menghantam dada orang ini dengan penuh kebencian, oleh karena orang inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata menghina sekali kepada Sun Eng. Dia tahu atau dapat menduga bahwa agaknya orang ini yang memimpin para pengawal menghina Sun Eng, karena itu pukulannya dilakukan dengan sekuat tenaga, mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.

"Desss...!"

Tubuh Gaulanu terjengkang, dari mulutnya menyembur darah segar kemudian dia pun terbanting dan tewas dengan tulang-tulang iga patah-patah.

"Eng-moi...!" Lie Seng sudah menubruk kekasihnya, melihat wajah yang matang biru itu, tubuh yang lunglai dan kain tilam yang berceceran darah. Dia lalu cepat menggulung tilam itu menutupi tubuh telanjang dari leher ke kaki, menggoyang-goyang pundak kekasihnya, memanggil-manggil namanya. Akan tetapi Sun Eng baru saja dicekoki cairan biru beracun dan dia masih pingsan.

Sementara itu, beberapa orang pengawal telah berteriak-teriak, akan tetapi segera mereka dirobohkan oleh Yap In Hong dan Cia Bun Houw. Dalam waktu singkat, semua pengawal yang berada di situ, mereka yang tadi mempermainkan tubuh Sun Eng dan memperkosa wanita ini secara bergantian dan kasar tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun juga, kini telah roboh malang melintang menjadi mayat!

"Lie Seng, cepat kita pergi dari sini! Dukung dia dan bawa lari, kami melindungi!" kata Cia Bun Houw kepada keponakannya itu. Lie Seng segera memondong tubuh Sun Eng yang terbungkus kain tilam, lalu meloncatlah pemuda itu keluar kamar.

Benar saja, teriakan-terlakan dari para pengawal sebelum tewas tadi telah mendatangkan pengawal-pengawal lain, akan tetapi sekali ada cahaya emas berkelebat, maka tiga orang terdepan roboh ada pun yang lain menjadi terkejut sekali. Apa lagi karena mereka hanya melihat bayangan tiga orang yang tak dapat mereka lihat dengan jelas, karena selain tiga orang itu memadamkan semua lampu yang ada dengan pukulan-pukulan jarak jauh, juga gerakan mereka seperti terbang cepatnya, sukar diikuti pandangan mata. Hanya dengan beberapa lompatan saja, tiga orang yang melarikan tawanan itu sudah menghilang ke dalam kegelapan malam.

"Kejar...!"

"Pukul tanda bahaya!"

Sebagian dari pada mereka melakukan pengejaran, dan ada pula yang memukul tanda bahaya, dan keadaan di dalam istana itu menjadi kacau dan hiruk-pikuk. Pangeran Ceng Han Houw yang sedang tidur pulas kelelahan sesudah menghibur diri dan hatinya yang kecewa itu dengan para selirnya, terbangun dan cepat dia berpakaian lalu berlari keluar. Dia bertemu dengan Hai-liong-ong dan orang Mongol tua.

"Celaka, ada orang yang sudah melarikan tawanan dan semua penjaganya dibunuh!" kata Hai-liong-ong yang kemudian turut melakukan pengejaran, menyusul para pengawal yang telah lebih dulu mengejar. Akan tetapi dia hanya dapat menyusul para pengawal, ada pun bayangan tiga orang itu sudah lenyap dan tidak lagi diketahui ke arah mana mereka itu lari.

Tentu saja Pangeran Ceng Han Houw menjadi amat marah dan dia cepat memerintahkan para pengawalnya supaya terus mencari ke seluruh kota raja. Dia merasa benar-benar dipermainkan. Dia, yang menganggap diri sendiri paling pandai, paling lihai, kini didatangi tiga orang yang sudah membunuhi para pengawalnya dan melarikan tawanan tanpa dia dapat mencegahnya, bahkan mengetahui siapa mereka pun tidak karena tak ada seorang pun di antara para pengawalnya yang berhasil melihat ketiga orang yang mereka katakan bergerak seperti setan itu!

Tentu saja lenyapnya Sun Eng itu membuat dia khawatir sekali karena surat dari Raja Sabutai itu belum dapat diketahui berada di mana. Akan tetapi hatinya agak terhibur kalau dia teringat bahwa wanita itu telah dicekoki racun dan dalam waktu tiga hari akan mati.

Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu kepandaian mereka, tidak berapa sulit bagi ketiga orang pendekar sakti itu untuk lolos dari kota raja membawa Sun Eng yang masih belum sadar juga. Akhirnya, menjelang pagi, mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar kota, di tepi sebuah hutan di sebelah selatan kota raja.

Setelah memeriksa keadaan Sun Eng, secara diam-diam Yap In Hong mengutuk di dalam hatinya. Sebagai seorang wanita, dia lebih dapat mengetahui apa yang telah dialami oleh Sun Eng, dia dapat menduga dan membayangkannya, dan dia bergidik membayangkan kekejaman yang melampaui batas itu.

Lie Seng terlampau berduka untuk dapat mengerti benar apa yang telah terjadi pada diri kekasihnya, biar pun dia dapat menduga bahwa Sun Eng tentu telah mengalami siksaan luar biasa dan bukan tidak mungkin mengalami perkosaan.

Yap In Hong membersihkan tubuh Sun Eng, lalu pergi mencari pakaian pada penduduk dusun di sebelah selatan hutan itu, kemudian mereka bertiga lalu mempergunakan tenaga sakti mereka untuk mengobati luka-luka dalam tubuh Sun Eng hingga akhirnya wanita itu mengeluh siuman.

Begitu siuman, Sun Eng langsung mengeluarkan rintihan seperti orang menangis. Semua orang menjadi terharu melihat dan mendengar ini, bahkan Lie Seng cepat merangkulnya dan ikut menangis.

"Eng-moi... ahhh, Eng-moi... mengapa kau lakukan semua ini...?" Dia meratap di dekat telinga kekasihnya.

Mendengar suara ini, sepasang mata itu bergerak perlahan, lalu terbuka. Sejenak mata itu kosong sebab kesadarannya masih belum sepenuhnya, akan tetapi perlahan-lahan melirik ke sana-sini hingga akhirnya pandang mata itu berhenti pada wajah Lie Seng yang berada di atasnya.

Kemudian, seperti digerakkan oleh sesuatu, sepasang mata yang agak membengkak dan kebiruan bekas pukulan itu terbelalak, bibir itu bergerak-gerak, akan tetapi agaknya sukar mengeluarkan suara, kemudian sepasang mata itu menjadi basah dan butiran-butiran air mata berjatuhan keluar! Sun Eng telah mengenali Lie Seng.

"Eng-moi...! Kau sudah selamat...!" Lie Seng berbisik penuh keharuan dan kasih sayang mendalam.

"Lie Seng koko... kau... kau..."

"Aku berada di sini, Eng-moi, dan kau dan aku tidak akan berpisah lagi!" kata pula Lie Seng dengan suara gemetar.

"Koko...!" Sekarang Sun Eng yang mulai teringat akan segala yang telah dialaminya, dan melihat bahwa dia belum mati bahkan bertemu dengan Lie Seng dalam keadaan seperti sekarang ini, langsung menjerit dengan jantung rasanya bagaikan disayat-sayat! Lie Seng merangkulnya, mendekapnya, menghiburnya, akan tetapi Sun Eng menangis terisak-isak.

"Sun Eng, sudahlah, kuatkan hatimu. Betapa pun juga, semuanya itu sudah berlalu dan sekarang engkau sudah aman bersama kami..." Yap In Hong yang keras hati itu pun tak dapat menahan runtuhnya air matanya dan dia memegang tangan bekas muridnya itu. Teringat dia betapa semenjak kecil Sun Eng ikut dengan dia dan betapa sudah sering dia tertawa gembira oleh kelincahan anak itu.

Sun Eng menahan isaknya, lalu dengan muka basah dia pun menoleh ke arah subo-nya, kemudian memandang wajah suhu-nya. "Subo... suhu... mengapa subo dan suhu... mau pula... menyelamatkan aku...?"

Bun Houw menelan ludah sebelum menjawab karena dia melihat isterinya tidak mampu menjawab pertanyaan itu. "Mengapa, Sun Eng?" Dia mencoba tersenyum. "Ingat, engkau adalah murid kami, bukan? Dan engkau adalah isteri Lie Seng keponakanku. Tentu saja kami datang menolongmu dari tangan orang-orang jahat itu."

"Suhu... subo... tidak benci kepadaku... dan menyetujui perjodohan antara aku dan koko Lie Seng...?"

"Sudahlah, Sun Eng, lupakan hal-hal yang telah lalu. Sekarang kami tahu betapa engkau seorang anak baik dan saling mencinta dengan Lie Seng. Tentu saja kami menyetujui...," kata Yap In Hong.

"Dan kami tidak membencimu, Sun Eng."

Sun Eng terisak, lalu menggunakan kedua tangannya menutupi mukanya.

"Akan tetapi... tiada gunanya... tiada gunanya..."

"Apa maksudmu, Eng-moi? Percayalah, ibu sendiri tidak akan menghalangi kita menikah! Aku tanggung..."

Akan tetapi Sun Eng menangis semakin mengguguk, maka Yap In Hong memberi isyarat kepada Lie Seng untuk membiarkan dahulu wanita itu, biar menangis untuk menuangkan semua perasaannya dan tidak boleh diajak bicara tentang perjodohan yang ternyata amat menyinggung perasaannya itu.

Memang benar sekali pendapat In Hong ini. Setelah dia dibiarkan menangis mengguguk beberapa lamanya, akhirnya tangisnya pun mereda dan dia mulai merintih karena seluruh tubuhnya terasa nyeri-nyeri, terutama sekali dua kakinya yang luka-luka bekas kebakar. Yap In Hong sudah mulai memberi obat luka kebakar, dicampur minyak lantas ditutupkan pada luka-luka itu dan dibalut. Obat itu amat manjur, karena rasa nyeri itu segera tertutup oleh rasa dingin yang melegakan hati.

"Subo, terima kasih...," kata Sun Eng lirih sambil memandang subo-nya yang sejak dulu dianggapnya seperti ibu sendiri.

In Hong tersenyum, teringat betapa dahulu di waktu masih kecilnya sering sekali Sun Eng mengucapkan kata-kata itu. Ahh, betapa buta manusia apa bila sedang dipengaruhi oleh kemarahan dan kebencian. Segala kebaikan orang yang sudah ribuan kali dilakukan akan lenyap begitu saja oleh satu perbuatan yang menyusahkan. Kini, sesudah tiada lagi benci dalam hati In Hong, baru nampak olehnya betapa selama menjadi muridnya, sebenarnya Sun Eng amat baik kepadanya!

Memang demikian! Mengapa kita begitu terbiasa sejak kecil untuk menyimpan segala hal yang terjadi di masa lalu? Mengapa kita selalu mengingat-ingat perbuatan orang lain yang merugikan kita sehingga menimbulkan kebencian? Mengapa kita tidak mau menghapus semua itu, semua ingatan tentang hal-hal yang terjadi pada masa lalu, menguburnya dan tidak pernah membongkarnya lagi, akan tetapi menujukan seluruh pandangan mata kita, seluruh hati dan pikiran kita, seluruh keadaan diri kita lahir batin kepada apa yang terjadi SAAT INI saja?

Mengapa kehidupan kita saat demi saat begitu tergantung kepada apa yang telah terjadi di masa lalu, yang mempengaruhi setiap gerak-gerik kita, setiap sikap kita terhadap orang lain? Kenapa kita harus menilai setiap orang lain dari perbuatan-perbuatannya yang lalu? Apakah keadaan manusia itu dapat ditentukan dari satu kali perbuatannya di masa lalu?

Mengapa ada benci di dalam hati kita? Mengapa kita mengotori diri sendiri dengan segala macam kebencian, permusuhan, rasa iri hati dan sebagainya itu? Mengapa kita tidak mau mendobrak dan memberontak terhadap semua ikatan masa lalu itu dan hidup BARU saat demi saat? Semua pertanyaan ini kiranya teramat penting untuk kita renungkan dan kita ajukan kepada diri sendiri!

Melihat betapa keadaan kekasihnya telah agak normal kembali, Lie Seng lalu menyiapkan bubur yang tadi sudah dimasak oleh In Hong, sesuap demi sesuap ke mulut kekasihnya. Sun Eng menerimanya seperti anak kecil, dengan pandangan mata tak lepas dari wajah kekasihnya, dengan mata yang masih berlinang air mata, akan tetapi dia tidak terisak lagi.

Sesudah Sun Eng selesai makan, dan Lie Seng bersama paman dan bibinya juga sudah makan pagi, barulah Lie Seng berkata, "Eng-moi, maukah engkau sekarang menceritakan segalanya kepadaku?"

Sun Eng mengangguk, lalu dengan suara tenang, karena memang hal ini sudah dipikirkan sejak tadi, dia bercerita secara singkat, "Koko, sebelumnya kau maafkanlah aku sebesar-besarnya bahwa aku sudah membuatmu banyak pusing dan berduka. Aku merasa sakit hati terhadap pangeran terkutuk itu setelah apa yang terjadi pada keluarga enci Mei Lan. Maka aku lalu menggunakan akal sehingga akhirnya aku berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ceng Han Houw sebagai... sebagai selirnya." Dia berhenti dan menatap wajah Lie Seng, akan tetapi wajah itu biasa saja karena memang sedikit banyak Lie Seng sudah menduga tentang hal itu.

"Akhirnya aku berhasil mendapatkan rahasianya. Ternyata pangeran itu bercita-cita untuk menggulingkan kedudukan sri baginda kaisar dan merampas tahta kerajaan."

"Ahh...?" Tiga orang itu berseru kaget dengan berbareng, tidak menyangka bahwa ke situ jalannya cerita yang akan mereka dengar.

Sun Eng lalu menceritakan tentang kedatangan Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol utusan dari Raja Sabutai yang membawa surat berisi rencana persekutuan antara Pangeran Ceng Han Houw dan Raja Sabutai, rencana penyerbuan mereka untuk merebut tahta kerajaan.

"Aku melihat kesempatan baik sekali, maka aku lalu melarikan surat itu berikut laporanku tentang fitnah yang dijatuhkan atas diri suhu dan subo, atas diri Yap Kun Liong locianpwe dan ibumu, koko. Semua itu lantas kularikan dan kuserahkan kepada Menteri Liang yang sebelumnya telah kuselidiki dan kutahu sebagai seorang menteri yang amat setia kepada kaisar. Aku menyerahkan itu dan mohon kepadanya agar secepatnya dilaporkan kepada kaisar. Sesudah itu aku bermaksud melarikan diri dari kota raja... akan tetapi... pangeran terkutuk itu menangkapku dan... dan aku disiksanya... disuruh mengaku di mana adanya surat-surat itu, akan tetapi sampai mati pun aku tidak sudi mengaku... biar mereka siksa aku, biar mereka bunuh aku..."

"Ah, muridku, engkau telah berjasa untuk kerajaan! Engkau sungguh mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi murid kami!" Cia Bun Houw berseru kagum dan girang, sekaligus juga bangga bahwa wanita ini adalah muridnya.

"Suhu terlalu memuji. Aku hanya seorang durhaka..."

"Eng-moi, jangan bicarakan hal itu lagi. Engkau sudah dimaafkan, dan engkau pun harus memaafkan kami. Sekarang tidak ada apa-apa lagi, engkau akan menjadi isteriku yang sah..."


cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum


Sepasang mata yang agak biru karena pukulan itu terbelalak, seolah-olah dia tak percaya akan apa yang baru didengarnya, kemudian dia menggelengkan kepalanya keras-keras. "Tidak mungkin, koko... tidak mungkin... aku... aku terlalu hina dan rendah untukmu..."


"Eng-moi, apakah engkau masih tetap tidak dapat melupakan sikap keluargaku yang lalu? Apakah engkau tetap bersakit hati dan tidak mau memaafkan?" Lie Seng memohon, "Aku mintakan maaf kepadamu untuk sikap ibuku yang lalu, Eng-moi,"

"Dan kami pun mengharapkan maafmu, muridku!" kata Yap In Hong.

"Ahhh, tidak... jangan salah sangka! Suhu dan subo, sikap suhu serta subo terhadapku memang sudah sepantasnya, aku bukan sakit hati kalau aku berkata bahwa aku... terlalu rendah dan hina bagimu, koko... lebih-lebih sekarang..."

"Bagiku, sekarang engkau makin agung, moi-moi, aku makin mencintamu..."

"Tidak! Jangan lupa, koko, aku sudah menyerahkan diriku kepada pangeran terkutuk itu, membiarkan dia mempermainkan diriku sebagai selirnya, bahkan aku sudah melayaninya sebagai selir terkasih selama hampir dua bulan..."

"Cukup! Aku tidak peduli dengan itu semua! Sekali waktu aku akan berhadapan dengan keparat itu. Aku tidak menyalahkan engkau, Eng-moi. Engkau melakukan hal itu karena engkau ingin mengorek rahasianya, dan engkau melakukan semua itu dengan perasaan tersiksa, demi menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Aku tahu benar akan hal itu!"

Wajah itu memandang dengan pucat lantas sepasang matanya meredup. "Koko, hal itu bukan apa-apa bagimu? Ahhh... tapi aku... aku telah mereka siksa... tahukah engkau apa yang dilakukan pangeran itu? Dia menyerahkan aku kepada Mongol brewok dan belasan anak buah pengawal, dan... dan mereka itu... mereka itu memperkosaku secara biadab, berganti-ganti sampai aku pingsan..."

"Jahanam mereka! Mereka semua telah kubunuh!" Lie Seng mengepal tinju dan matanya berubah merah.

"Nah, engkau tahu sekarang betapa diriku semakin kotor, koko. Aku tidak berharga sedikit pun juga lagi bagimu, aku... aku..."

"Jangan bicarakan lagi hal itu, Eng-moi. Aku tetap mencintamu. Dengar... jangan sampai engkau tidak percaya padaku, jangan memandangku seperti itu... aku mencintamu, bukan mencinta tubuhmu saja, aku akan tetap mencintamu biar pun engkau menjadi bagaimana pun juga!"

"Koko...!" Sun Eng menjerit, Lie Seng merangkul dan mereka berdua bertangisan. Yap In Hong dan Cia Bun Houw saling pandang lantas mata mereka juga basah. Belum pernah mereka menyaksikan cinta kasih antara pria dan wanita seperti kedua orang ini!

Perasaan hati Sun Eng seperti diremas-remas rasanya. Tadinya dia telah bertekat untuk mengorbankan diri bagi keluarga Lie Seng dan dia pun akan mati dengan hati tenteram, karena dia sudah melakukan sesuatu, berkorban bagi pria yang sangat dicinta dan yang amat mencintanya. Dia tidak akan menyesal mati, atau bahkan kalau sampai ditinggalkan oleh Lie Seng sekali pun. Akan tetapi, ternyata cinta kasih Lie Seng tetap kepadanya, biar pun dia sudah menyerahkan tubuhnya kepada Pangeran Ceng Han Houw, walau pun dia telah diperkosa begitu banyak orang secara amat menghina!

Dia menjadi serba salah sekarang! Mana mungkin dia hidup di samping Lie Seng kalau ada kenangan seperti itu? Dia bisa menjadi gila. Mengapa dia melakukan kegilaan semua itu? Memang berhasil, akan tetapi Lie Seng... tetap mencintanya dan akan merana.

"Koko...!" Dia hanya dapat mengeluh.

Dengan hati-hati mereka membawa pergi Sun Eng yang belum mampu berjalan sendiri karena sepasang telapak kakinya terluka berat. Mereka hanya melakukan perjalanan bila malam saja, sedangkan di waktu siang mereka bersembunyi. Mereka takut kalau-kalau akan tersusul oleh orang-orang yang mengejar mereka, yaitu anak buah Pangeran Ceng Han Houw. Bukan takut melawan, melainkan karena mereka harus melindungi Sun Eng yang masih luka dan lemah, maka tidak baik kalau menghadapi lawan-lawan tangguh.

Tiga hari kemudian, mereka bersembunyi di lereng gunung kecil, dalam sebuah goa yang cukup lebar. Keadaan Sun Eng sungguh mengkhawatirkan dan suami isteri pendekar itu merasa heran sekali. Mereka merasa yakin bahwa wanita bekas murid mereka itu tidak menderita luka di dalam tubuh lagi, akan tetapi kenapa kini menjadi semakin parah? Dan pada mukanya terbayang sinar kebiruan seperti orang keracunan!

Lie Seng sangat gelisah, berlutut di samping Sun Eng yang direbahkan di atas lantai goa bertilamkan daun-daun kering yang mereka kumpulkan, "Eng-moi, engkau kenapakah?"

"Koko...," dan Sun Eng tersenyum, "Hari ini adalah yang terakhir... aku... melihatmu..."

"Eng-moi...!"

"Sun Eng, apa artinya ucapanmu ini?!" Yap In Hong juga berseru kaget.

Mereka bertiga kemudian merubung Sun Eng yang kelihatan semakin payah, napasnya terengah-engah dan kadang-kadang menyeringai seperti sedang menahan rasa nyeri di ulu hatinya yang ditekannya dengan tangan.

"Hari... hari ini... aku akan mati... aku girang sekali..."

"Eng-moi...!"

"Aku girang karena berarti engkau akan bebas, koko. Aku tidak lagi membebanimu. Aku tidak patut kau cinta... aku kotor dan hina..."

"Eng-moi, ahhh, Eng-moi, jangan kau menyiksaku dengan kata-katamu itu..."

"Sun Eng, apa maksudmu bahwa hari ini engkau akan mati?" Cia Bun Houw juga turut bertanya sambil memandang tajam. "Apakah engkau keracunan?"

Sun Eng mengangguk. "Mereka telah mencekoki aku dengan racun cairan biru dan... dan Mongol brewok itu bilang... aku akan mati tiga hari kemudian..."

"Eng-moi...!" Lie Seng berteriak dan menangislah laki-laki gagah perkasa ini.

"Sun Eng, mengapa engkau tidak mengatakan kepada kami kemarin dulu?" Yap In Hong menegur dan wanita sakti ini meletakkan tangannya pada ulu hati muridnya, akan tetapi diam-diam dia terkejut sekali karena perasaan tangannya langsung bertemu dengan hawa yang amat dingin!

"Memang kusengaja... aku tidak layak hidup lagi... hanya menyusahkan dan menyeret Lie Seng koko ke pecomberan saja... aku harus mati akan tetapi aku... aku puas mati dalam pelukanmu, koko..."

"Eng-moi...!" Lie Seng cepat merangkulnya sambil menangis. "Paman, bibi... tolonglah..., tolonglah...!"

Bun Houw dan In Hong memeriksa nadi serta pernapasan Sun Eng, akan tetapi mereka hanya menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Racun ini hebat sekali, hawanya dingin tanda bahwa racun ini dari macam yang paling jahat. Apa lagi sekarang, andai kata kemarin dulu pun sulit untuk menyembuhkan bila tidak mendapatkan obat pemunahnya..."

"Koko, jangan berduka. Aku memang lebih senang mati... jika hidup di sampingmu, aku... aku akan selalu menyesal... aku bisa gila mengingat pengalamanku... koko, kau jangan berduka, kudoakan kau hidup bahagia... aku... aku..." Sun Eng terkulai dan pingsan.

Tiga orang pendekar itu berdaya upaya, akan tetapi Sun Eng tetap tidak sadar sampai menjelang tengah hari dia menghembuskan napas terakhir dalam pangkuan dan pelukan Lie Seng. Pemuda ini sudah kehabisan tangis, hanya termenung saja sambil memangku jenazah Sun Eng. Baru setelah dibujuk-bujuk oleh Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dia mau melepaskan jenazah itu untuk dikubur di lereng bukit itu.

Setelah pemakaman selesai dan jenazah dalam peti sederhana yang mereka peroleh dari dusun di luar hutan itu mereka timbuni tanah, Lie Seng duduk bersila di depan makam, tidak bergerak seperti patung. Wajahnya pucat sekali dan pandang matanya kosong.

"Seng-ji, sudahlah, mari kita tinggalkan tempat ini," Cia Bun Houw berkata dengan suara membujuk.

"Benar pamanmu, Lie Seng. Mari kita pergi," Yap In Hong menyambung.

"Tiada gunanya dipikirkan lagi. Sun Eng sudah tidak ada, sudah mendahului kita."

"Pergilah kalian, paman beserta bibi. Tidak tahukah kalian bahwa seluruh kebahagiaanku, hidupku, segala-galanya, berada bersama Sun Eng? Biarkan aku sendiri disini dengannya dan jangan ganggu aku lagi... jangan ganggu aku lagi...!" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara setengah berteriak.

Cia Bun Houw dan isterinya saling pandang, kemudian menarik napas panjang. Sejenak mereka memandang kepada pemuda yang duduk bersila di atas tanah itu, kemudian Cia Bun Houw memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pergi meninggalkan Lie Seng. Setelah jauh dari tempat yang menjadi makam Sun Eng itu, Cia Bun Houw baru berkata kepada isterinya.

"Biarkan dia sendiri. Dalam keadaan seperti itu, sukarlah untuk menghiburnya. Aku hanya khawatir bahwa kedukaan akibat kehilangan kekasihnya itu akan membuat dia membenci keluarganya, karena jalan pikirannya tentu mengingat bahwa perjodohannya dengan Sun Eng sudah ditolak keluarganya, bahkan Sun Eng pun mengalami kematian karena hendak membela keluarganya."

Apakah yang kau maksudkan keluarganya adalah kita berdua, Kun Liong koko dan enci Giok Keng?" Yap In Hong menegaskan. Suaminya mengangguk sambil menarik napas panjang.

"Dia sudah dewasa, biarkan dia mempertimbangkan semua itu. Dia harus sadar bahwa kita semua melakukan segalanya itu demi kebaikannya, dan andai kata hal itu salah, apa boleh buat karena kita menolak karena mengingat akan kepentingan Lie Seng."

Cia Bun Houw menarik napas panjang, kemudian berkata, "Isteriku, sekarang kita harus menyelidiki ke kota raja. Tidak mungkin apa yang sudah dilakukan oleh murid kita itu kita diamkan saja. Mendiang Sun Eng sudah memberi contoh kepada kita. Memang, dalam keadaan terfitnah seperti ini, kita tidak boleh lalu diam saja dan hanya bisa melarikan diri menjadi buronan. Kita tak boleh membiarkan saja dunia mengecap kita sebagai keluarga pemberontak, sehingga kelak anak kita pun dicap anak pemberontak! Kita harus berjuang membela diri, menerangkan duduknya perkara kepada fihak kerajaan. Dan sekarang hal itu telah dipelopori oleh Sun Eng. Kita harus menyelidiki kepada Menteri Liang itu, apakah surat-surat dari Sun Eng itu sudah disampaikan kepada kaisar dan bagaimana kemudian keputusan kaisar terhadap keluarga kita dan terhadap pangeran yang hendak berkhianat terhadap kerajaan itu."

Yap In Hong mengangguk. "Dan andai kata usaha Sun Eng gagal sehingga segala jerih payahnya yang sudah dikorbankan sampai kepada nyawanya itu hanya sia-sia, maka kita akan pergi menyerbu istana pangeran jahanam itu dan membunuhnya!"

"Aku pun berpikir demikian, sungguh pun hal itu bukan merupakan pekerjaan mudah. Mari kita pergi!"

Sepasang suami isteri pendekar sakti itu lalu kembali ke kota raja, mempergunakan ilmu mereka yang tinggi sehingga mereka dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan pada senja hari mereka sudah tiba di kota raja. Dengan mudah mereka menyelinap memasuki kota raja tanpa diketahui oleh para penjaga.

Malam sudah tiba ketika suami isteri pendekar ini diterima oleh para pengawal di depan istana Menteri Liang. Karena maklum bahwa nama mereka sudah banyak dikenal orang akibat fitnah pemberontakan itu, maka Cia Bun Houw tidak mau memperkenalkan nama mereka, hanya berkata,

"Harap sampaikan kepada Liang-taijin bahwa kami adalah sahabat-sahabat wanita yang pada beberapa malam yang lalu datang menghadap, dan kami mohon menghadap Liang-taijin karena urusan penting sekali."

Mendengar ini, komandan jaga lalu bergegas melaporkan ke dalam, karena dia maklum bahwa wanita berbaju hitam yang datang menghadap menteri beberapa malam yang lalu adalah seorang yang amat penting serta membawa berita yang amat besar dan rahasia pula. Dan memang benar dugaannya, begitu Menteri Liang mendengar pelaporan itu, dia segera berkata, "Cepat persilakan mereka masuk ke ruangan tamu. Jaga supaya jangan sampai ada orang luar yang tahu akan kedatangan mereka!"

Cia Bun Houw dan Yap In Hong dipersilakan masuk dan diantar ke ruangan tamu. Di situ mereka baru ditinggalkan dan dipersilakan menanti sebentar, sedangkan para pengawal menjaga di luar. Cia Bun Houw dan isterinya yang ditinggal berdua saja di dalam kamar tunggu yang luas itu saling pandang, bersikap tenang karena mereka tidak khawatir akan sesuatu.

Tak lama kemudian, pintu dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar, berwajah lembut namun berwibawa, dan gerak-geriknya halus pada waktu dia memasuki kamar itu. Bun Houw dan In Hong cepat bangkit berdiri dan memandang, kemudian mereka cepat menjura dengan sikap hormat.

"Apakah kami berdua berhadapan dengan Menteri Liang yang terhormat?" Cia Bun Houw bertanya.

Pria tua itu memandang dengan penuh kagum, sebab dia dapat melihat bahwa dua orang tamunya itu bukanlah orang-orang sembarangan, walau pun pakaian mereka sederhana saja. "Benar, dan benarkah ji-wi masih sahabat dari lihiap yang memberikan surat-surat kepada kami...?"

"Betul, taijin. Bahkan terus terang saja, kami berdua adalah guru-guru mendiang Sun Eng itu."

"Mendiang...? Ahh, aku mendengar bahwa dia telah dapat lolos dilarikan teman-temannya dari istana Pangeran Ceng Han Houw..."

"Benar, kamilah yang melarikannya namun kami terlambat dan dia keracunan, siang tadi dia meninggal dunia," kata Yap In Hong.

"Ahhh...!"

"Justru karena kematiannya maka kami datang menghadap paduka, taijin. Murid kami itu telah berkorban untuk keselamatan keluarga Cin-ling-pai dan untuk keselamatan kerajaan yang terancam pemberontakan. Maka, kami ingin mendengar keterangan paduka tentang perkembangan usaha mendiang murid kami itu. Semoga usahanya yang gagah dan yang telah dilakukan dengan korban nyawanya itu tidak akan sia-sia belaka."

"Duduklah, taihiap, lihiap. Duduklah dan marilah kita bicara baik-baik. Sudah tentu begitu menerima laporan dari nona Sun Eng itu, aku cepat-cepat pergi, menghubungi Pangeran Hung Chih dan bersama beliau, pagi-pagi tadi kami sudah pergi menghadap kaisar. Terus terang saja, sri baginda kaisar sendiri dan kami para pejabat yang telah lama mengabdi kepada kerajaan ini, tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai, sejak mendiang Cia Keng Hong taihiap, adalah orang-orang gagah yang setia kepada negara, maka sri baginda dan kami semua sudah dapat menduga bahwa berita tentang pemberontakan mereka hanya fitnah belaka. Maka pelaporan nona Sun Eng itu kami percaya sepenuhnya, dan barulah sri baginda kaisar maklum alangkah jahatnya mereka yang menjatuhkan fitnah itu, yang ternyata hanya ditujukan untuk melemahkan kerajaan di samping urusan pribadi mereka sendiri yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Oleh karena itu, sri baginda kaisar sudah memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk... ehh, nanti dulu, sebelum saya melanjutkan penuturan rahasia istana ini, harus kami ketahui siapa sebenarnya lihiap dan taihiap? Biar pun ji-wi sudah mengaku sebagai guru-guru nona Sun Eng, akan tetapi hal itu belum menjelaskan siapa ji-wi."

"Liang-taijin, nama kami tentu telah taijin kenal baik. Saya bernama Cia Bun Houw dan dia ini isteri saya, Yap In Hong."

"Ahhh...!" Sepasang mata tua itu terbelalak dan wajah yang lembut itu berseri-seri.

"Kami adalah dua orang di antara mereka yang dinamakan pemberontak dan buronan itu, taijin," sambung Yap In Hong.

Pembesar itu tertawa kemudian bangkit berdiri, memandang dengan kagum, lalu menjura. Tentu saja suami isteri pendekar itu cepat membalas.

"Ahh, mengapa aku begitu bodoh? Tentu saja! Aku sudah banyak mendengar nama ji-wi enghiong yang dulu pernah berjasa terhadap negara ketika menghadapi pemberontakan Sabutai! Juga nama besar pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng bukanlah nama asing bagi kami. Dan ji-wi berdua bersama mereka dituduh pemberontak! Betapa jahatnya! Duduklah, taihiap dan lihiap dan dengarkan penuturanku."

Menteri Liang lalu menceritakan keadaan di istana pada waktu itu, betapa kaisar tadinya menaruh kepercayaan kepada Pangeran Ceng Han Houw dari utara yang oleh mendiang ayahanda kaisar sekarang juga diakui sebagai puteranya dan juga kepercayaan kaisar terhadap Kim Hong Liu-nio karena selain wanita itu menjadi suci dari Pangeran Ceng Han Houw, juga wanita itu pernah menyelamatkan kaisar tua dari penyerangan Pangeran Ceng Su Liat yang memberontak.

"Sungguh tidak kami sangka bahwa mereka itu mempergunakan kekuasaan kaisar untuk menyerang Cin-ling-pai yang menjadi musuh utama dari Kim Hong Liu-nio yang hendak membalaskan sakit hati gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li. Ahhh, mereka itu sudah mengatur segala-galanya, dan secara diam-diam bersekutu dengan Raja Sabutai, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak."

"Lalu apa yang telah dilakukan oleh istana untuk menanggulangi bahaya ini, taijin?" tanya Cia Bun Houw.

"Sri baginda sudah membaca semua laporan mendiang nona Sun Eng dan beliau sudah memberi kekuasaan penuh kepada Pangeran Hung Chih untuk bertindak terhadap kaum pemberontak. Pertama-tama kaisar memerintahkan supaya tuduhan terhadap diri keluarga Cin-ling-pai dicabut. Maka mulai saat itu, keluarga Cin-ling-pai sudah bukan pemberontak atau buronan lagi dan hal ini oleh Pangeran Hung Chih akan diumumkan kepada seluruh kepala daerah."

Cia Bun Houw dan Yap In Hong saling pandang dengan girang sekali dan mereka segera bangkit berdiri, kemudian menjura dengan hormat. "Sungguh kami merasa gembira sekali dan banyak terima kasih atas bantuan paduka, juga bantuan Pangeran Hung Chih dan kemurahan sri baginda kaisar."

"Seyogianya kalau ji-wi berterima kasih kepada Sun Eng..." Menteri Liang menghentikan kata-katanya karena melihat wajah suami isteri itu tiba-tiba nampak berduka sekali, maka disambungnya segera, "Marilah ji-wi kami antar untuk menemui Pangeran Hung Chih agar dapat bicara lebih jelas lagi, dan mungkin sekali beliau hendak mohon bantuan ji-wi untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang selain sangat lihai, juga mempunyai banyak teman-teman yang memiliki ilmu tinggi. Apa lagi karena sri baginda menghendaki supaya Pangeran Hung Chih menggunakan jalan yang halus agar jangan sampai terjadi perang saudara yang akan menggelisahkan rakyat."

Malam itu juga Cia Bun Houw dan isterinya diajak oleh Menteri Liang pergi menghadap Pangeran Hung Chih di istananya. Seperti juga Menteri Liang, pangeran ini menyambut suami isteri pendekar ini dengan girang sekali.

Suami isteri ini lalu mendengar dari pangeran yang pada saat itu merupakan orang yang amat berpengaruh di dalam istana, bahwa memang betul Pangeran Hung Chih ini hendak menggunakan jalan halus untuk menanggulangi Pangeran Ceng Han Houw.

"Semua gerak-geriknya telah diawasi dan walau pun tidak ada teguran langsung dari sri baginda kaisar, akan tetapi Ceng Han Houw yang telah kehilangan surat penting itu tentu akan bersikap hati-hati dan agaknya dia hendak melanjutkan cita-citanya untuk menjadi jago silat nomor satu di dunia. Melalui kang-ouw ini dia akan menghimpun kekuatan. Oleh karena itu, kami harap bantuan keluarga Cin-ling-pai untuk menentangnya di lapangan itu. Jangan sampai golongan sesat di bawah pimpinannya akan menguasai dunia persilatan, dalam urusan ini tentu saja ji-wi lebih mengerti bagaimana menanggulanginya dari pada kami. Kami tidak ingin mempergunakan kekuatan pasukan kalau tidak perlu sekali, agar jangan sampai menggelisahkan rakyat."

"Harap paduka jangan khawatir. Setelah hamba sekeluarga dibebaskan dari tuduhan dan dapat bergerak dengan leluasa, tidak menjadi buronan pemerintah lagi, kami tentu akan dapat serentak bangkit kemudian menentang Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han Houw," jawab Cia Bun Houw.

"Asal saja hal itu jangan dilakukan di kota raja," kata Pangeran Hung Chih. "Karena kalau para orang gagah menentangnya di kota raja, mau tak mau istana harus turun tangan dan dengan demikian berarti istana secara langsung menanganinya. Karena itu sebaiknya ji-wi mengajak semua orang gagah untuk waspada dan turun tangan menentangnya kalau dia beraksi di luar kota raja."

Sesudah saling bertukar pikiran dan menerima jamuan penghormatan yang diadakan oleh Pangeran Hung Chih, malam itu juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu meninggalkan kota raja. Mereka ingin cepat-cepat pergi ke Bun-cou untuk menyampaikan berita yang ada dua macam itu kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Dua macam berita duka dan berita gembira. Berita duka tentang tewasnya Sun Eng dan keadaan Lie Seng yang tenggelam dalam kedukaan besar, dan berita gembira mengenai dibebaskannya keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan memberontak.


                 ***************


Sampai dua hari dua malam Lie Seng duduk bersila di depan makam Sun Eng itu, tidak pernah dia meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang timbul di dalam hatinya untuk duduk terus di tempat itu sampai mati! Makin dikenang segala kebaikan Sun Eng, juga segala pengorbanannya, makin tertusuk rasa hatinya dan berkali-kali dia menangis seperti anak kecil di tempat yang sunyi itu.

Wajahnya sudah pucat sekali dan tubuhnya kurus dan lemah, pandang matanya kosong dan sayu, pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan. Keadaan pemuda ini sungguh amat menyedihkan. Dia telah putus asa, tidak melihat lagi sinar dalam kehidupannya yang dianggapnya gelap pekat tanpa harapan. Semangat serta gairah hidupnya sudah lenyap terbawa pergi oleh Sun Eng.

Pada hari ke tiga, sejak semalam Lie Seng duduk bersila dengan mata dipejamkan dan berada dalam keadaan semedhi yang gelap. Dia tidak tahu betapa sejak tadi ada seorang hwesio tua menghampirinya, kemudian memandang kepada makam baru itu dan berdiri di depannya, kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepala, kadang-kadang menggeleng-geleng, menarik napas panjang. Sampai lama hwesio tua itu berdiri di sana, memandang dengan sinar matanya yang lembut, wajahnya yang sangat tenang dan mengandung seri kebahagiaan.

Hwesio itu berjubah kuning. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, kepalanya yang tak berambut itu terlindung topi hwesio, tangan kirinya memegang tasbih dan pakaiannya amat sederhana dan kasar. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi wibawa dan sikapnya yang agung.

"Omitohud... mengapa ada orang merusak diri sendiri seperti ini? Membunuh diri secara perlahan-lahan dengan membiarkan gelombang duka menyeretnya berlarut-larut...! Orang muda, apakah dengan membiarkan gelombang duka menghanyutkanmu ini kemudian kau mengharapkan yang mati akan dapat bangkit kembali?"

Suara itu amat halus dan karena dikeluarkan dengan penuh perasaan maka mengandung getaran kuat dan mampu menembus dinding semedhi, menyentuh kesadaran Lie Seng. Pemuda ini membuka mata dan mengangkat muka memandang hwesio tua itu, kemudian alisnya berkerut.

"Hwesio, pergilah, tak perlu kau berkhotbah di sini!" katanya dengan marah.

Tidak biasanya Lie Seng bersikap seperti ini, akan tetapi dia tidak peduli apa pun juga lagi. Dia sudah lupa diri, yang teringat hanyalah kedukaannya dan ini membuat dia kasar dan tidak bersahabat kepada siapa pun juga.

Hwesio tua itu tersenyum akan tetapi pandangan matanya penuh rasa iba. "Orang muda, pinceng tidak berkhotbah, pinceng justru merasa kasihan padamu, maka pinceng hendak mengingatkan bahwa tindakanmu yang terbuai oleh duka ini sungguh tidak tepat. Berduka atas kematian seseorang merupakan suatu kebodohan, dan tindakan menyeleweng dari pada kebenaran."

Pandang mata Lie Seng berapi karena marahnya ketika dia menatap wajah yang ramah itu. Dengan suara berat bernada kesal dia menjawab, "Bicara memang enak saja! Engkau tidak merasakan, karena itu engkau mudah saja mencela! Aku sudah kehilangan cahaya hidupku, kehilangan semua kebahagiaan dan harapan, maka perlu apa aku mempedulikan diri sendiri? Kalau aku harus mati, akan kuterima dengan rela! Pergilah, hwesio!"

Akan tetapi hwesio tua itu malah duduk bersila di hadapan Lie Seng, sikapnya tetap halus dan ramah. "Omitohud... kegelapan kini menguasai batinmu, orang muda. Engkau bilang bahwa pinceng tidak merasakan maka mudah mencela? Wahai orang muda, siapakah di dunia ini yang tak pernah mengalami kematian seseorang yang dikasihinya? Orang muda, barang kali engkau belum pernah mendengar dongeng tentang Sang Buddha pada waktu menghadapi kematian, dan kalau engkau sudah pernah mendengarnya, biarlah dongeng ini menjadi penyadar bagimu. Seorang wanita kematian anak tunggalnya. Siapa pun tahu bahwa cinta kasih seorang ibu terhadap anak tunggalnya adalah cinta kasih yang paling murni di antara segala macam cinta kasih di dunia ini. Maka berdukalah wanita itu dan dia pun pergi menghadap Sang Buddha, lalu memohon kepada Buddha untuk menghidupkan kembali anak tunggalnya. Dengan tenang Sang Buddha lalu menyuruh wanita itu supaya meminta segenggam gandum dari sebuah keluarga yang belum pernah kematian, karena hanya itulah obat yang dapat menghidupkan anaknya yang sudah mati. Ibu itu berkelana, akan tetapi biar pun dia akan pergi mengelilingi dunia, di mana ada keluarga yang belum pernah kematian anggota keluarganya? Akhirnya dia kembali kepada Sang Buddha dan insaf. Kematian adalah suatu hal yang wajar dalam kehidupan. Ada hidup tentu ada mati. Mengapa kematian harus didukakan benar? Bukankah kita semua akhirnya akan mati pula? Engkau dan pinceng pun tidak akan terluput dari kematian. Mengapa kini ada yang mati lantas engkau menyiksa diri dengan kedukaan? Apakah kedukaanmu itu akan dapat menghidupkannya kembali, orang muda?"

Perlahan-lahan ada sisa-sisa air mata menetes dari kedua mata Lie Seng. Tentu saja, dia pernah mendengar tentang cerita itu. Anehnya, kini keluar dari mulut hwesio itu, dengan suaranya yang halus lembut, cerita itu memiliki pengaruh yang lain, menembus sampai ke dasar hatinya dan membuat dia melihat kenyataan itu.

"Losuhu... losuhu tidak tahu orang yang mati ini adalah kekasih saya, isteri saya... saya bukan seorang cengeng, losuhu sudah biasa menghadapi kematian, akan tetapi dia ini... ahh, semasa hidupnya menderita demikian banyak kepahitan, dan selagi saya berusaha untuk membuatnya bahagia... dia sudah mengambil jalan pendek, dia mengorbankan diri demi keluarga saya, demi kerajaan... ahh, betapa tidak akan hancur hatiku, losuhu...?"

Hwesio tua itu mendengarkan dengan tenang dan sabar sampai Lie Seng berhenti bicara dan menunduk, memejamkan mata. Kemudian terdengar lagi suara hwesio itu, suaranya lantang namun lembut sekali. "Orang muda, pandanglah baik-baik dan sadarilah. Lihatlah dengan waspada, siapakah yang sedang kau tangisi itu? Siapakah yang kau kasihani itu? Di balik semua keteranganmu tadi, bukankah sebetulnya engkau hanya menangisi dirimu sendiri, engkau mengasihani dirimu sendiri?"

Lie Seng mengerutkan kedua alisnya, termenung sejenak lantas terkejut bukan kepalang. Dia mengangkat muka memandang kepada hwesio tua itu dengan mata terbelalak marah. "Berani kau menuduhku seperti itu...?"

"Tenang dan pandang sajalah, pandang dengan waspada dan jujur...," hwesio itu berkata sambil menggerakkan tangan. Sikapnya yang lembut halus itu seolah-olah membuyarkan kemarahan Lie Seng.

Orang muda ini duduk termenung, memandang kepada diri sendiri kemudian jantungnya berdebar tak karuan. Dia melihat, mula-mula secara samar-samar saja, akan tetapi makin lama menjadi semakin jelas dan timbullah keraguan besar. Benarkah dia berduka karena kasihan kepada Sun Eng? Ataukah tidak lebih condong karena kasihan pada diri sendiri? Dia tidak dapat menjawab. Dia bingung sekali dan kembali dia memandang kakek itu.

"Losuhu, mohon petunjuk...," akhirnya dia berkata.

"Orang muda, bukan maksud pinceng untuk mencelamu, namun untuk menyadarkanmu. Engkau sendiri tadi menceritakan betapa di dalam hidupnya kekasihmu menderita banyak kepahitan. Sekarang dia sudah meninggal, bukankah berarti dia setidaknya terbebas dari pada semua kepahitan-kepahitan itu? Maka, dengan alasan apa lagi engkau merasa iba kepadanya? Yang jelas, engkau menangis serta berduka karena merasa iba diri, karena engkau merasa kehilangan, karena engkau ditinggalkan dan merasa kesunyian. Tidakkah demikian?"

Lie Seng mengangguk-angguk, tak dapat membantah kebenaran kata-kata itu. Sekarang nampak nyata olehnya. Sun Eng hidup dalam keadaan sengsara karena menderita batin yang hebat. Sun Eng selalu menyesalkan penyelewengannya, yang membuatnya merasa rendah diri dan tak berharga menjadi isterinya. Apa lagi keluarga Cin-ling-pai menolaknya!

Kemudian, untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng sudah berkorban dan sungguh pun usahanya berhasil baik, namun dirinya sudah mengalami penghinaan yang membuat dia merasa dirinya menjadi semakin kotor! Apa bila Sun Eng tidak mati, sudah pasti Sun Eng akan semakin menderita karena merasa semakin tidak berharga baginya.

Bukankah kematian itu bahkan merupakan jalan keluar yang paling baik bagi Sun Eng? Mengapa dia harus menangisinya? Apakah dia ingin melihat Sun Eng tetap hidup dalam keadaan menderita batin yang hebat itu?

"Duka tidak dapat dihilangkan melalui hiburan, juga tak dapat dihilangkan melalui pelarian, orang muda. Yang penting kita membuka mata melihat kenyataan, jangan membiarkan duka sampai membutakan mata batin. Penglihatan yang terang dengan pengamatan yang waspada akan mendatangkan pengertian, dan hanya pengertian mendalam yang disertai kesadaran yang akan meniadakan duka yang tiada guna dan melemahkan lahir batin itu."

Untuk kurang lebih setengah jam lamanya Lie Seng mendengarkan suara kakek itu, suara yang lembut dan tenang, yang mendatangkan ketenangan dalam hatinya, yang membuat hatinya menjadi ringan dan lapang, yang membuat dia mulai berani memandang makam Sun Eng tanpa kepedihan hati. Akhirnya dia pun menjadi sadar benar-benar akan semua tindakannya yang hanya menurutkan kata hati dan perasaan yang terdorong oleh iba diri belaka. Dan tiba-tiba saja dia melihat masa depan yang cerah tanpa Sun Eng, yaitu masa depan menjadi seperti kakek ini, yang hidup bebas dalam arti yang seluas-luasnya. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Losuhu, perkenankanlah teecu turut bersamamu mempelajari hidup dan masuk menjadi hwesio di kuil yang losuhu pimpin."

Hwesio tua itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Orang muda, pinceng melihat bahwa engkau bukanlah orang muda sembarangan, namun seorang muda yang tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, bukan? Pinceng sendiri bukan ahli silat, namun pinceng dapat mengenali orang pandai. Siapakah namamu dan dari keluarga manakah engkau, orang muda?"

"Teecu bernama Lie Seng, ibu teecu adalah puteri dari mendiang kongkong Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai."

"Omitohud... sudah pinceng duga. Ternyata engkau adalah cucu pendekar sakti itu, dan sekarang engkau ingin menjadi hwesio? Ah, bukankah itu hanya merupakan pelarian saja bagimu, untuk menghibur hatimu yang sedang berduka dan putus asa? Masuk menjadi hwesio bukan hal yang main-main dan hanya untuk pelarian belaka, sicu."

"Teecu melihat masa depan yang gelap, suhu. Teecu penuh dendam dan sakit hati, kalau teecu melanjutkan hidup ini seperti biasa, tidak dapat dihindarkan lagi teecu tentu akan mengakibatkan kekerasaan dan banjir darah karena teecu tentu akan mengamuk untuk membalas kematian kekasih teecu."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Pinceng sudah melihat hal itu, oleh karena itulah maka pinceng berusaha menyadarkanmu. Kalau memang masuk menjadi hwesio itu timbul dari tekadmu sendiri, karena kesadaranmu, maka terserah kepadamu. Pinceng memimpin Kuil Hok-seng-tong di kaki bukit sana. Marilah, sicu."

Lie Seng bangkit dan setelah sekali lagi meraba-raba makam Sun Eng dan mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihnya itu, kini dengan hati ringan dan lapang, maka dia pun bangkit dan mengikuti hwesio tua itu turun gunung. Beberapa bulan kemudian, Lie Seng telah mencukur rambutnya dan berpakaian jubah lebar, menjadi hwesio yang secara tekun menekuni hidup dan kebatinan di dalam Kuil Hok-seng-tong di bukit sunyi sebelah selatan kota raja itu!

Alangkah banyaknya di antara kita yang seperti Lie Seng itu! Melarikan diri sendiri dari kenyataan hidup! Melarikan diri dari kepahitan hidup! Lantas mengejar-ngejar kemanisan hidup! Padahal, pelarian dari yang pahit dan pengejaran yang manis itu tak ada bedanya sama sekali.

Melarikan diri dari yang pahit lalu berlindung kepada sesuatu itu berarti juga mengejar kemanisan yang diharapkan akan bisa didapatkan dari tempat berlindung itu. Dan selama pengejaran akan sesuatu yang dianggap manis dan menyenangkan ini terjadi, maka kita akan terus menerus terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya.

Pelarian tidak akan melenyapkan duka, pelarian tak akan melenyapkan kegelisahan dan rasa takut. Mungkin saja dapat mendatangkan hiburan sesaat, tetapi duka itu, rasa takut itu, tidak akan lenyap, hanya untuk sementara waktu terselubung saja oleh hiburan yang didatangkan oleh pelarian. Setiap saat akan muncul kembali!

Kita semua mengenal apa penyesalan itu, apa kekecewaan itu, dan apa rasa takut serta kedukaan itu. Mengapa kita selalu harus mencari hiburan di mana kita dapat berlindung untuk melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak itu? Mengapa kita tidak pernah berani menghadapi semua itu, menghadapi mereka di waktu mereka itu timbul, menghadapinya dengan langsung, memandangnya kemudian menanggulanginya di saat mereka muncul sehingga mereka itu akan lenyap di saat itu juga dan tak akan pernah muncul kembali?

Penanggulangan ini bukanlah berarti mengusahakan supaya mereka lenyap, sama sekali bukan. Melainkan menghadapi duka pada saat duka itu menyerang kita, memandang dan menyelaminya secara langsung, mengenal luar dalam apa sesungguhnya duka itu! Tetapi sayang, kita selalu ingin senang, maka begitu timbul sesuatu yang tidak menyenangkan menurut anggapan kita, kita lalu melarikan diri.


                 ***************

"Bi Cu...!"

Teriakan Sin Liong ini nyaring sekali karena memang dia kaget bukan main saat melihat betapa tubuh Bi Cu juga melayang dan meluncur turun. Sama sekali tidak disangkanya bahwa dara itu akan melakukan perbuatan senekat itu, menyusul dia terjatuh ke dalam jurang dengan meloncat. Apa bila dia sendiri yang terjatuh, tentu dia akan mencari akal untuk dapat terhindar dari ancaman maut, akan tetapi kini Bi Cu juga turut jatuh, maka seketika dia menjadi nanar dicekik rasa khawatir yang hebat.

Dia tadi terjatuh dalam keadaan terjengkang, maka tubuhnya terlentang. sedangkan Bi Cu yang meloncat itu menelungkup. Cepat Sin Liong menyambar tangan kiri Bi Cu dan dia berhasil menangkap pergelangan lengan kiri dara itu. Lalu dia merangkul pinggang Bi Cu dengan erat. Bi Cu juga merangkul sambil memejamkan mata karena ngeri.

"Sin Liong...!" isaknya.

Biar pun maklum bahwa mereka melayang ke dalam jurang yang seolah-olah tanpa dasar saking dalamnya, dan bahwa tubuh mereka tentu akan hancur lebur kalau menimpa dasar jurang, namun Sin Liong tak mau kehilangan semangat dan kesadarannya. Selagi masih hidup dia harus berdaya upaya menyelamatkan diri!

Dengan amat cepat kedua tangannya merenggut kancing baju di depan tubuhnya. Untung pinggang Bi Cu demikian ramping sehingga walau pun lengan kanannya sudah melingkari pinggang itu, tangan kanannya masih mampu mencapai depan bajunya. Sekali renggut, maka terlepaslah semua kancing bajunya dan kini dia memegangi kedua ujung baju yang terbuka itu dengan kedua tangannya, dibentangkan seperti sayap. Usahanya berhasil! Dia merasakan ada tekanan dari bawah seakan-akan luncuran mereka berdua agak tertahan sedikit, tidak lagi selaju tadi, sementara bajunya yang dibentangkan itu mengembang dan menangkap angin.

"Bi Cu, cepat buka bajumu... kembangkan bajumu seperti ini... seperti layar...!" teriaknya.

Bi Cu menghentikan isaknya. Mula-mula dia tidak mengerti kenapa dia disuruh membuka bajunya. Akan tetapi ketika dia memberanikan hati membuka mata dan melihat apa yang dilakukan Sin Liong, dia cepat menggerakkan kedua tangannya, dengan jari-jari gemetar dia merenggut bajunya. Segera dia merobek bajunya itu dan pada lain saat dia pun telah memegangi ujung kanan kiri bajunya yang dibentangkan.

Kembali ada tenaga menahan dari bawah sesudah baju itu dapat menangkap angin dan mengembang. Luncuran mereka tertahan dan tidak secepat tadi, akan tetapi tentu saja kedua layar itu tidak cukup kuat untuk menahan dan tubuh mereka masih terus meluncur ke bawah.

Sambil merangkul pinggang Bi Cu, Sin Liong miringkan tubuhnya lantas memandang ke bawah. Hampir pingsan dia karena pening ketika melihat bawah yang demikian dalamnya, akan tetapi dia menggoyang kepala mengusir kepeningan dan rasa ngeri. Dia melihat ada sebatang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu. Pohon yang cukup besar. Itulah yang akan menolong kita, pikirnya. Kalau gagal mereka tentu akan tewas!

Dia segera mengerahkan tenaganya, menggerakkan kakinya sehingga tubuhnya bersama tubuh Bi Cu melayang agak mendekat dengan tebing. Pohon itu bagai melayang ke atas, makin lama semakin besar mendekati mereka. Memang berbahaya sekali. Kalau terlalu dekat dengan tebing tubuh mereka meluncur, membentur batu tebing sedikit saja, tentu mereka akan tewas sebelum tiba di dasar jurang.....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12