Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 25
LIE SENG
memandang dengan alis berkerut, hatinya penuh dengan perasaan iba. Ingin dia
menyentuhnya, ingin dia menghiburnya, ingin dia membantu menanggung rasa nyeri
dari gadis itu, akan tetapi kini dia tidak berani menyentuh, bahkan jantungnya
berdebar aneh ketika dia teringat betapa tadi dia telah melihat dan menyentuh
paha dan punggung dara itu!
"Nona...
ehh, siapakah namamu?"
"Aku
she Sun, namaku Eng."
"Namamu
bagus sekali. Sungguh aku merasa heran kenapa aku tidak pernah mendengar namamu
dari paman dan bibi, nona Sun Eng..."
"Lie-taihiap,
kalau engkau keponakan dari suhu, mengapa masih bersikap sungkan dan menyebutku
nona?"
"Engkau
pun menyebutku taihiap (pendekar besar)..."
"Engkau
memang seorang pendekar yang sakti dan hebat, mana bisa aku menyebut lain? Akan
tetapi aku..."
"Engkau
seorang gadis yang hebat, gagah perkasa dan berani, juga setia dan berbakti
sehingga hampir saja engkau mengorbankan nyawa untuk paman dan bibi, juga untuk
ibu kandungku, dan ayah tiriku yang ikut tertawan."
"Ahhh...
jadi engkau putera dari enci suhu, pendekar wanita Cia Giok Keng, dan pendekar
sakti Yap Kun Liong itu ayah tirimu?"
Lie Seng
mengangguk.
"Jadi
engkau ini cucu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang
terkenal itu?"
Kembali Lie
Seng mengangguk.
"Ahh,
dan aku hanya... seorang gadis bodoh dan sesat... ahhh, dan aku tentu lebih tua
darimu, taihiap. Usiaku sudah dua puluh lima tahun..." Sun Eng seperti
mengomel dan bicara pada diri sendiri, suaranya penuh penyesalan dan kekecewaan
akan kenyataan-kenyataan yang pahit ini.
"Kita
sebaya. Aku berusia dua puluh empat, hanya selisih setahun denganmu."
"Nah,
apa kataku? Aku lebih tua, sepatutnya engkau menyebut cici kepadaku."
Melihat
wajah yang cantik itu sudah tak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang
tadinya membayangkan kedukaan dan kemuraman itu agak berseri, Lie Seng
tersenyum, bangkit berdiri dan menjura. "Baiklah, cici Sun Eng. Mulai
sekarang aku menyebutmu cici yang baik, dan aku..."
"Engkau
tetaplah Lie-taihiap bagiku! Engkau keturunan keluarga yang sangat besar dan
agung, sebaliknya aku..."
"Engkau
seorang dara yang cantik jelita, cici. Jangan kau terlampau merendahkan dirimu.
Aku masih terheran-heran mengapa paman Bun Houw dan bibi sama sekali tidak
pernah bercerita tentang dirimu. Aku akan menegur mereka kalau sempat bertemu
kelak."
"Ah, jangan...!"
Sun Eng berseru dan dengan nekat dia bangkit berdiri, biar pun dia harus
menyeringai kesakitan. Dia mengangkat kedua tangan ke atas. "Jangan tegur
mereka... bahkan jangan sebut-sebut tentang diriku... ah, Lie-taihiap, engkau
tidak tahu... aku sama sekali tidak berharga engkau tolong, bahkan tidak
berharga untuk berhadapan dan bicara denganmu. Ah, sebaiknya engkau tinggalkan
aku sekarang juga, taihiap..."
Dan wanita
itu tak dapat menahan kedukaan hatinya lagi, menangis terisak-isak, teringat betapa
bencinya suhu dan subo-nya padanya, betapa dia telah dianggap sebagai seorang
wanita yang sudah rusak akhlaknya, dan betapa tidak mungkinnya dia berkenalan
dengan seorang pemuda seperti Lie Seng ini, pemuda yang sangat menarik hatinya,
yang amat mengagumkan hatinya.
"Ehh,
cici Sun Eng... kenapa engkau? Apa artinya semua ucapanmu itu?" Lie Seng
tentu saja terkejut bukan main dan memandang dengan penuh kekhawatiran.
"Tidak
perlu engkau tahu... taihiap... hanya ketahuilah bahwa aku... aku tidak berharga...
kau pergilah, tinggalkan aku seorang diri..."
Melihat dara
itu menangis mengguguk dan berdiri dengan dua tangan menyembunyikan mukanya,
pundaknya tenguncang-guncang dalam tangisnya, Lie Seng tak dapat menahan
keharuan hatinya. Dia melangkah maju dan menyentuh kedua lengan dara itu.
"Enci
Eng... jangan begitu... mengapa engkau merendahkan diri seperti ini...? Aku
tidak akan mau meninggalkan engkau seorang diri dalam keadaan terluka seperti
ini."
"Kalau
begitu... biarlah aku... aku yang pergi, taihiap..."
Dara itu
lalu membalikkan tubuhnya dan mencoba untuk meloncat pergi. Akan tetapi dia
mengaduh dan terguling roboh, bangkit lagi, merangkak, bangun dan mencoba untuk
lari lagi, akan tetapi terhuyung-huyung dan dia tentu akan roboh lagi kalau
tidak cepat-cepat dipegang oleh Lie Seng yang merangkulnya.
"Enci
Eng, jangan engkau bersikap seperti itu. Mengapa engkau seperti sengaja hendak
menghancurkan hatiku? Apakah salahku maka engkau hendak pergi begitu
saja?"
Gadis itu
menangis makin mengguguk dan membiarkan dirinya didekap oleh pemuda itu.
Setelah dia bisa menguasai keharuan hatinya, dengan lembut dia melepaskan
rangkulan itu, menghapus air matanya, memandang kepada pemuda itu dan berkata,
"Ahh,
engkau tidak tahu, taihiap. Aku tidak berharga untukmu, bahkan untuk berkenalan
atau bercakap-cakap denganmu sekali pun..."
"Siapa
bilang demikian? Akan kuhancurkan mulutnya kalau ada yang berani mengatakan
demikian kepadamu!" Lie Seng mengepal tinju, penasaran. "Aku kasihan
kepadamu, enci Eng, aku.... suka padamu, engkau seorang gadis yang baik, yang
gagah, berbudi, siapa bilang tidak berharga menjadi sahabatku? Dan
mengapa?"
"Engkau
tidak tahu, taihiap... ahhh, lebih baik kita berpisah seperti ini, sekarang
sebelum engkau pun membenciku. Aku... aku pasti tak akan dapat tahan lagi.
Semua orang boleh membenciku, akan tetapi kalau engkau... ikut pula membenciku,
aku lebih baik mati saja. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, sebelum
engkau membenciku pula."
"Tidak!
Aku tidak mau meninggalkanmu, enci Eng. Apa pun yang terjadi denganmu, aku tak
mungkin akan membencimu. Aku... aku cinta padamu. Dengarkah engkau? Aku cinta
padamu begitu aku bertemu denganmu, enci Eng!" Pemuda itu berkata penuh
semangat karena dia tidak lagi meragukan perasaan hatinya terhadap gadis ini.
Ucapan
pemuda itu demikian mengejutkan hati Sun Eng sehingga dia terlonjak kaget dan
meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan Lie Seng. Akan tetapi Lie Seng
tak mau melepaskannya sehingga akhirnya Sun Eng mengguguk lagi, menangis dan
membiarkan kepalanya didekap di dada pemuda yang amat dikaguminya itu. Dia
memejamkan mata ketika merasa betapa pemuda itu menciumi rambutnya, kemudian
dahinya dan tiba-tiba dia meronta.
"Tidak...
tidak pantas itu...!" Dia meronta sekuatnya sehingga Lie Seng cepat
melepaskan pelukannya. Wajah pemuda itu menjadi merah sekali.
"Maaf...
kau maafkanlah aku, enci Eng. Aku telah lupa diri sehingga berlaku tidak sopan
padamu, maafkan aku."
"Bukan
itu maksudku, taihiap. Bukan engkau yang berbuat tidak pantas, melainkan tidak
pantaslah bagiku untuk menerima cintamu itu, untuk kau perlakukan sebaik ini.
Aku tidak pantas kau cinta, aku... aku..."
"Jangan
berkata demikian, enci Eng. Aku jatuh cinta kepadamu, mengapa tidak pantas?
Engkau seorang gadis yang cantik dan gagah, dan... ahh!" Pemuda itu nampak
terkejut. "Apakah... kau hendak maksudkan bahwa engkau telah...
bersuami?"
Tentu saja
ingatan ini membuat dia terkejut dan wajahnya menjadi pucat seketika. Gadis itu
bersikap demikian sungkan, jangan-jangan dia itu bukanlah seorang gadis yang
masih bebas, melainkan seorang wanita yang sudah bersuami! Celaka kalau begitu!
Berarti dia telah melakukan hal yang benar-benar tidak patut!
Akan tetapi
hatinya menjadi lega seketika melihat dara itu menggeleng kepalanya.
"Tidak, taihiap. Aku tidak menikah, akan tetapi... malah lebih baik tidak
kau dengarkan. Aku tidak akan dapat tahan kalau melihat engkau membenciku,
taihiap. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, berarti aku masih akan
kuat mempertahankan hidup dengan bayanganmu sebagai kenangan indah. Aku akan
selalu ingat bahwa seperti apa pun juga adanya diriku yang hina ini, di dunia
masih ada orang yang mencintaku... selamat tinggal, taihiap..."
"Sun
Eng...!" Lie Seng meloncat dan menubruk, dan kembali dia sudah merangkul
gadis itu. "Enci Eng, engkau menyiksa diri sendiri. Coba ceritakanlah
kepadaku semuanya, dan jangan takut!"
"Tidak...
tidak mungkin... engkau akan membenciku...!"
"Enci
Eng, kau anggap aku ini orang apakah? Aku cinta padamu karena engkau, karena
keadaanmu, dan aku tidak akan terpengaruh oleh cerita yang bagaimana pun
mengenai dirimu! Demi Tuhan, ceritakanlah, dan itu hanya merupakan satu-satunya
jalan untuk bisa menyembuhkanmu dari cengkeraman siksaan batin yang kau derita
ini."
Beberapa
lama Sun Eng memejamkan mata di dalam pelukan Lie Seng, kemudian dia menarik
napas panjang dan melepaskan diri dari pelukan itu. "Baiklah, memang
agaknya engkau benar. Aku tidak boleh lari dari kenyataan hidup, taihiap. Maka
biarlah ceritaku ini merupakan keputusan terakhir di dalam hidupku, tergantung
dari anggapanmu terhadap ceritaku ini. Aku siap untuk menghadapi yang terburuk,
siap menghadapi kiamat dan maut karena hanya itulah bagiku bila engkau pun
membenciku. Nah, kau dengarkan baik-baik, taihiap..."
Dengan tubuh
lemas dara itu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan Lie Seng juga duduk di
hadapannya. Jantung pemuda ini berdebar tegang dan pandang matanya makin mesra
dan lembut karena dia merasa amat kasihan kepada dara ini yang dia duga tentu
mempunyai latar belakang kehidupan yang amat pahit.
Sun Eng
menarik napas panjang berulang kali, agaknya ingin mencari kekuatan dari hawa
udara sejuk yang disedotnya. Dia telah mengambil keputusan untuk menceritakan
segala-segalanya mengenai dirinya, tanpa menyembunyikan apa-apa karena dia
tidak ingin kelak pemuda yang sangat mengagumkan hatinya ini akan menemukan
sesuatu yang belum diceritakannya.
Pendeknya
dia ingin berdiri telanjang di depan pemuda yang luar biasa ini, tanpa punya
rahasia sedikit pun juga. Tinggal terserah kepada pemuda itu, apakah cintanya
masih akan utuh, ataukah berbalik menjadi benci sesudah mendengar ceritanya.
Kalau pemuda itu berbalik membencinya, dia tidak akan menyalahkan Lie Seng, sungguh
pun dia tahu bahwa dia tidak akan kuat hidup menghadapi pukulan batin ini.
"Lie-taihiap,
mendiang ayahku adalah seorang yang bernama Sun Bian Ek dan berjuluk Kiam-mo.
Dahulu dia hidup sebagai seorang perampok besar, kemudian setelah berhenti
menjadi perampok sampai dia meninggal dunia dia hidup sebagai pemilik sebuah
rumah perjudian di kota Kiang-shi."
Dara itu
berhenti sebentar untuk meneliti wajah pemuda itu sesudah dia berterus terang
menceritakan keadaan mendiang ayahnya yang tidak dapat dibanggakan itu. Akan
tetapi wajah yang tampan dan gagah itu tidak berubah, hanya mengandung
kesungguhan dan penuh pengertian, bahkan di balik kesungguhan itu Sun Eng masih
dapat melihat cahaya gemilang dari kasih sayang serta kemesraan yang ditujukan
kepadanya hingga membuat dia merasa betapa kedua pipinya menjadi panas dan
jantungnya berdegup kencang.
"Mendiang
ayahku bersahabat dengan pamanmu, yaitu suhu Cia Bun Houw ketika beliau masih
muda dan sedang menyelidiki musuh-musuh keluarganya. Ayah lalu membantunya
mencari jejak musuh-musuh itu, dan ketika suhu menyerbu bersama ayah, maka ayahku
itu gugur, tewas oleh musuh-musuh suhu."
"Hemm,
ayahmu ternyata merupakan seorang sahabat sejati dan setia," Lie Seng
memuji dengan setulusnya hati. Pujian ini tidak mendatangkan rasa girang di
hati Sun Eng akan tetapi malah memberatkan perasaannya karena dia harus
menceritakan keadaaan dirinya sendiri yang sama sekali tidak boleh dibuat
bangga!
"Sebelum
meninggal dunia dalam pangkuan suhu, ayah pesan kepada suhu agar kelak suhu
suka merawat dan mendidik aku yang masih kecil ketika ditinggal ayah, baru
berusia sepuluh tahun. Suhu memenuhi permintaan itu, dan ketika suhu pergi
merantau bersama subo, suhu mengambilku dan semenjak itu aku ikut bersama suhu
dan subo, dirawat dan dididik oleh mereka berdua dengan penuh kasih sayang
bagaikan anak mereka sendiri..." Kembali dara itu berhenti dan menarik
napas panjang, kini wajahnya yang cantik itu agak pucat dan kelihatan berduka
sekali.
Lie Seng
mengangguk-angguk. "Itu sudah sepatutnya sebab engkau adalah seorang anak
dan murid yang amat baik dan berbakti."
"Jauh
dari pada itu, Lie-taihiap. Beberapa tahun yang lalu, ketika aku berusia kurang
lebih delapan belas tahun... suhu dan subo telah mengusirku dan tidak mau lagi
mau mengaku sebagai murid..."
Ucapan ini
benar-benar amat mengejutkan hati Lie Seng. Wajahnya menjadi pucat dan
memandang dengan mata terbelalak. "Apa...?! Mengapa begitu? Apa yang
terjadi...?"
Sun Eng
menundukkan mukanya yang pucat. Jantungnya berdebar penuh rasa tegang dan
takut. Ya, dia sangat takut. Beranikah dia mengakui kesemuanya itu? Beranikah
dia menelanjangi dirinya sendiri di depan pemuda yang telah menarik hatinya
ini, menuturkan segala kebusukannya? Beranikah dia menempuh bahaya dibenci oleh
pria hebat ini?
Tidak ada
jalan lain, dia harus berani menempuhnya, dengan taruhan nyawa! Akan tetapi
tetap saja dia tak kuasa untuk mengangkat muka, tidak berani menentang pandang
mata pemuda itu dan dengan suara lirih dia melanjutkan ceritanya.
"Aku...
aku telah jatuh cinta kepada suhu!"
"Ahhh...!"
Lie Seng melongo, pandang matanya yang terbelalak itu menyelidiki wajah yang
menunduk.
"Ya,
aku sudah seperti gila. Aku kasihan melihat betapa suhu tidak hidup sebagai
suami isteri dengan subo, tidurnya terpisah dan mereka berdua itu menderita
tekanan batin yang hebat. Aku lalu... merayu suhu-ku sendiri! Ah, mau aku
rasanya mati kalau mengingat itu semua. Kau dengar baik-baik, taihiap. Pada
suatu malam aku memasuki kamar suhu di mana suhu yang gagah perkasa dan budiman
itu tentu saja menolakku! Masih baik bagiku bahwa beliau tidak memukul mampus
saja kepada muridnya yang murtad dan tidak tahu malu ini!"
Hening
sekali setelah Sun Eng menghentikan ceritanya. Dara itu masih menunduk, tidak
berani mengangkat muka, bahkan tidak berani bergerak, seluruh perhatiannya
ditujukan ke arah pemuda itu, menduga bahwa pemuda itu akan marah, akan
memakinya dan dia sudah siap menerima hal yang seburuk-buruknya.
Dan Lie Seng
duduk termenung, apa yang diceritakan oleh dara itu membayang di depan matanya
seperti lukisan. Dia melihat penyelewengan dara itu, akan tetapi dia tak merasa
marah, tidak pula merasa cemburu, tidak merasa benci.
Bagi orang
yang sadar akan dirinya sendiri, orang yang mengenal dirinya sendiri, akan
melihat bahwa dirinya sendiri juga kotor, juga lemah, seperti orang-orang lain
sehingga dia sendiri tak mungkin bisa mencela orang lain yang melakukan
penyelewengan akibat kelemahannya. Kehidupan manusia tidak mungkin dapat selalu
tetap, melainkan berubah setiap saat.
Orang yang
melakukan penyelewengan dalam kehidupannya sama halnya dengan orang yang sedang
dihinggapi suatu penyakit. Hanya saja, bukan badannya yang sakit, namun
batinnya. Dan orang yang sakit itu tak selamanya sakit, tentu bisa sembuh.
Sebaliknya, orang yang sedang waras belum tentu selamanya sehat, tentu bisa
sakit sewaktu-waktu.
Oleh karena
itu, orang yang sadar tidak akan mengejek atau mencela orang yang sedang
menderita sakit batinnya dan melakukan perbuatan yang menyeleweng, sebaliknya
malah akan merasa kasihan. Sudah sepatutnyalah kalau kita mengulurkan tangan
kepada yang sedang sakit, agar dia sembuh kembali. Mengejek atau mencela orang
yang sedang sakit batinnya sama saja dengan mendorong orang yang sedang
terjeblos dalam lumpur!
Setiap orang
pun tentu akan dapat melihat pada dirinya sendiri bahwa dia pun pernah
melakukan dosa, melakukan penyelewengan, atau pernah menderita sakit batin
seperti itu. Oleh karena itu, orang yang mencela atau mengejek orang lain yang
sedang sesat, sedang sakit batinnya, adalah orang yang tak tahu diri, dan orang
seperti ini akan selalu merasa dirinya bersih walau pun pada suatu waktu dia
bergelimang lumpur. Sebaliknya, orang yang setiap saat mau waspada membuka mata
dan memperhatikan dirinya sendiri lahir batin, akan terbuka mata hatinya
sehingga akan dapat melihat lebih mendalam akan segala peristiwa dalam
kehidupan ini.
Lie Seng
membuyarkan awan yang menyelubungi dirinya dan membuatnya termenung. Terlalu
hebat cerita yang didengarnya dari mulut dara yang menarik hatinya dan yang
dicintanya itu.
"Taihiap...,"
terdengar suara Sun Eng yang sekarang telah memandang padanya dengan sinar mata
penuh iba. Dia melihat pemuda itu bengong dengan wajah pucat, dan dia tahu atau
menduga bahwa pemuda itu tentu hancur hatinya, tentu kecewa sekali mendengar
akan kebusukannya, maka dia merasa amat kasihan. "Taihiap, sudah kukatakan
bahwa aku tidak berharga..."
Lie Seng
menggelengkan kepala dan tersenyum, pandang matanya tidak berubah, masih lembut
dan penuh kasih mesra. "Enci Eng, siapa bilang engkau tidak berharga?
Paman Bun Houw adalah seorang pendekar yang hebat, maka kalau sampai engkau
jatuh cinta kepadanya, apakah anehnya tentang itu? Seorang seperti dia tentu
dengan mudah akan menjatuhkan hati gadis yang mana pun juga, maka jika engkau
jatuh cinta padanya, hal itu lumrah dan engkau tidak boleh disalahkan."
Sepasang
mata yang masih basah itu terbelalak menatap wajah yang tampan itu, seolah
tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Ahh, untuk itu saja, untuk kata-kata
itu saja, mau rasanya dia berlutut menyembah dan menciumi telapak kaki pria
ini! Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang sama sekali tidak
menyalahkannya, bahkan malah menghiburnya dengan kata-kata seperti itu, padahal
pria ini menyatakan cinta kepadanya!
Akan tetapi,
rasa bahagia ini segera berubah menjadi kegelisahan yang teramat besar. Dia
masih harus menceritakan terus, dan makin berat rasanya kini kalau kebahagiaan
itu terganti oleh mala petaka melihat pria ini kelak membencinya, muak
kepadanya setelah mendengarkan semua penuturannya.
Ahhh, betapa
inginnya dia untuk lari, untuk terbang ke angkasa, atau kalau bumi di depan
kakinya terbuka, rela dia untuk terjun ke bawah dari pada harus menceritakan
semuanya kepada pemuda ini! Akan tetapi, tidak terdapat jalan lain baginya.
Lie Seng
tidak tega menyaksikan gadis itu seperti sangat tersiksa, seperti cacing
terkena abu, atau seperti ikan kekeringan di darat. Dia tahu bahwa di dalam
batin dara itu terjadi pertentangan hebat.
"Enci
Eng, sudahlah. Apa bila engkau merasa tidak perlu dilanjutkan, aku pun tidak
ingin mendengarkan kelanjutan ceritamu. Betapa pun juga, pandanganku terhadap
dirimu tidak berubah. Aku... aku tetap cinta padamu."
Mendengar
ini, Sun Eng memejamkan kedua matanya dan air matanya menetes-netes dari
sepasang mata yang dipejamkan itu. Belum pernah selama hidupnya dia berjumpa
dengan seorang pria seperti ini! Betapa hebat dan mulianya. Dan betapa
agungnya. Pria seperti ini boleh dia agung-agungkan, boleh dia sembah-sembah
dan boleh dipakai untuk menyandarkan dirinya selama hidup!
Akan tetapi
dia menjadi ragu-ragu. Lie Seng belum mendengar semuanya dan bila mana sudah
mendengar semuanya tentu akan berbalik muka. Akan tetapi lebih baik begitu dari
pada kelak terjadi hal yang sama. Biarlah dunia hancur karenanya, karena memang
dia sudah merasa bersalah.
"Dengarkan,
taihiap, dengarkanlah baik-baik. Suhu dan subo mengampuniku, akan tetapi
hubungan di antara kami menjadi renggang. Aku merasa betapa suhu dan subo marah
dan membenciku, karena itu aku merasa seperti kehilangan pegangan. Mereka itu
adalah pengganti orang tuaku, merupakan dua orang yang kumiliki satu-satunya di
dunia. Maka, setelah hubungan kami renggang, aku lalu mencari pegangan ke
luar... dan aku bertemu dengan seorang laki-laki, seorang pemuda
laknat..."
Melihat muka
yang makin pucat dan kedua mata masih dipejamkan itu, Lie Seng merasa kasihan
sekali. Dia memang sudah dapat menduga bahwa latar belakang kehidupan dara ini
tentu gelap dan penuh kepahitan.
"Sudahlah,
enci Eng..."
Akan tetapi,
karena merasa sudah tiba di tepi jurang, sudah terlanjur melangkah, Sun Eng
ingin cepat menyelesaikan hal yang menegangkan hatinya itu. "Pemuda itu
lalu menjadi tumpuan harapanku. Suhu dan subo sudah melarang karena mereka
mengenal pemuda laknat itu, pemuda mata keranjang yang menganggap wanita-wanita
hanyalah merupakan alat untuk bersenang-senang, untuk menghibur diri dan
melampiaskan nafsu birahinya..."
"Cukup,
enci Eng..."
"Akan
tetapi aku nekat. Bahkan aku melarikan diri dengan pemuda itu..."
Lie Seng
menunduk. Terlalu hebat cerita itu. Sakit rasanya jantungnya membayangkan semua
peristiwa yang dilakukan dan dialami oleh wanita yang dicintanya ini dan dia
tidak ingin mendengar lagi.
Akan tetapi
Sun Eng sudah merasa melewati jurang yang paling dalam. Kini dia membuka mata,
dan mata itu bersinar-sinar ketika dia melanjutkan, seolah-olah menantang maut,
menantang kiamat.
"Benar
seperti yang dikatakan suhu dan subo, laki-laki itu hanya mempermainkan diriku.
Setelah dia puas menikmati diriku, dia lalu menjadi bosan dan hendak
meninggalkan aku, tidak mau mengawiniku. Maka aku lalu membunuh si keparat
itu!"
"Sun
Eng..." Lie Seng mengeluh.
"Dan
setelah itu, suhu dan subo tidak lagi mau mengakui aku. Aku lalu merantau,
pindah dari pelukan satu pria kepada lain pria, mencari-cari, aku haus akan
cinta kasih pria yang sejati, mencari pengganti pria seperti suhu. Namun yang
kutemui hanyalah pria-pria yang kejam, pria-pria yang hanya ingin menikmati
tubuhku belaka dan hendak menjadikan aku sebagai alat pemuas nafsu binatang
mereka..."
"Cukup...!"
Lie Seng membentak dan meloncat berdiri. Wajahnya pucat mengerikan sekali dan
matanya terbelalak, mulutnya menyeringai seperti orang menderita kenyerian
hebat.
Lemah
lunglai rasanya seluruh tubuh Sun Eng setelah dia menceritakan semuanya. Kini
dia siap menerima hukumannya yang paling hebat. Dia berlutut dan menyembah
kepada Lie Seng.
"Perempuan
macam ini engkau cinta? Ah, taihiap, sudah kukatakan aku tidak berharga, aku
tidak patut menerima cinta dan kebaikanmu. Nah, sekarang telah kau dengar
semua. Itulah sebabnya mengapa suhu dan subo tidak lagi mau mengakui muridnya
ini, bahkan tak sudi menerima ketika aku datang hendak menolong mereka. Dan
kau... silakan kalau hendak mengutuk, memaki dan boleh juga memukulku, taihiap.
Aku akan rela dan puas mati di tanganmu..."
Sejenak Lie
Seng berdiri seperti patung, tegak dan sama sekali tidak bergerak, menunduk dan
memandang kepala yang rambutnya awut-awutan itu. Dia bertanya-tanya kepada diri
sendiri memeriksa hatinya sendiri.
Heran! Dia
memang menyesal sekali, berduka sekali, akan tetapi dia semakin kasihan kepada
wanita ini, semakin mencintanya! Dia merasa berkewajiban untuk melindunginya,
untuk menghiburnya, untuk membantunya melupakan semua peristiwa yang pahit itu!
Cinta memang
aneh sekali! Akan tetapi, barulah patut dibicarakan sebagai cinta kalau di situ
tidak ternoda oleh cemburu, oleh marah, oleh benci! Cinta tak mengenal baik
buruk, cinta bukanlah sama dengan senang akan yang indah-indah, suka akan
bersih-bersih. Cinta adalah cinta, di atas baik buruk!
Karena
sampai lama dia menanti dengan pasrah dan pemuda itu tidak bergerak, tidak
berkata apa-apa lagi, perlahan-lahan Sun Eng mengangkat mukanya yang basah oleh
air mata. Air matanya masih turun menetes-netes dan dia melihat pemuda itu
berdiri dengan muka menunduk, sepasang mata itu memandang kepadanya dengan
lembut dan penuh iba, sama sekali tidak marah seperti yang diduganya. Sejenak
mereka berpandangan dan air mata itu makin deras menetes turun.
Tiba-tiba,
seperti digerakkan oleh tenaga gaib, keduanya saling turun. Hanya ada keluhan
tertahan keluar dari dada Lie Seng, dan Sun Eng merintih, membiarkan dirinya
dipeluk, ditarik berdiri dan dia pun hanya merintih dan merasa seperti
tenggelam di dalam lautan yang tak berdasar pada waktu merasa betapa pemuda itu
menciuminya di antara bisikan-bisikan yang terdengar seperti suara gaib
baginya.
"Sun
Eng... aku cinta padamu... apa pun yang terjadi, sedang terjadi atau akan
terjadi... demi Langit dan Bumi, aku cinta padamu..."
Sun Eng
adalah seorang wanita yang telah matang dalam hubungan asmara antara pria dan
wanita. Bahkan selama dia mencari-cari pengganti gurunya, di antara banyak kaum
pria, dia terkenal pandai membujuk, pandai merayu dan ahli dalam permainan
cinta. Akan tetapi, sekali ini, di dalam dekapan Lie Seng, pemuda yang masih
hijau dan canggung, dalam hujan ciumannya, Sun Eng hanya bisa gemetar, setengah
pingsan dan tidak dapat apa-apa seperti seorang anak perawan yang masih belum
tahu apa-apa!
Terasa
sekali olehnya betapa api nafsu membakar dan berkobar-kobar di antara mereka,
kemudian perlahan-lahan menghangatkan dan membakar dirinya pula, Sun Eng
meronta dan melepaskan diri.
"Tidak...!
Jangan lakukan itu, taihiap!" Dia terengah di antara ciuman Lie Seng yang
amat terkejut dan melepaskannya dengan lembut, memandangnya dengan heran.
"Aku
cinta padamu, enci Eng..."
"Demi
Tuhan, terkutuklah aku bila tidak mempercayai cinta kasihmu, taihiap. Aku
percaya dan engkau sudah mengangkatku dari jurang maut, engkau sudah
mendatangkan cahaya terang di dalam hidupku yang gelap gulita ini. Dan demi
Langit dan Bumi, aku pun cinta kepadamu, taihiap, aku memujamu, menjunjungmu
seperti dewaku, pelindungku, dan aku rela menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu.
Akan tetapi... ah, betapa aku masih muak dengan segala cinta nafsu birahi...
aku mengganggapnya begitu kotornya, menjijikkan... semua itu karena selama ini
aku haus akan cinta kasih yang murni, akan tetapi hanya mendapatkan cinta
nafsu. Dan sekarang... aku tidak ingin mengotori cinta kasihmu yang demikian
suci itu dengan nafsu birahi. Taihiap, berilah waktu kepadaku, atau kepada kita
berdua. Aku tidak ingin gagal lagi dalam hubungan antara kita, akan tetapi aku
pun tidak ingin engkau tergesa-gesa dan kemudian kecewa. Engkau sudah mendengar
riwayatku, engkau tahu betapa busuk dan kotornya aku, namun engkau masih
menyatakan cinta. Ya Tuhan, terima kasih, taihiap! Terima kasih, dan janganlah
memberi bayangan kegagalan dalam hubungan ini! Biarlah engkau berpikir hingga
masak betul untuk menyelidiki apakah benar cinta kasihmu ini murni. Aku tidak
ingin melihat engkau kelak sengsara, lebih baik aku mati dari pada melihat
engkau menderita, taihiap. Oleh karena itu, maka biarlah kita berpisah selama
satu tahun. Dan setahun kemudian, aku akan menantimu di sini, tepat di tempat
ini, dan kita bersama-sama akan melihat apakah benar-benar ada cinta kasih di
antara kita. Nah, jangan membantah dan jangan halangi aku, taihiap, selamat
berpisah, sampai setahun lagi... ingat, setahun tepat di tempat ini..."
Setelah
berkata demikian, Sun Eng lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu
tanpa menengok lagi karena dia maklum bahwa sekali dia menengok dan memandang
pemuda itu, tidak akan ada kekuatan yang dapat memisahkannya lagi dari pemuda
itu!
Lie Seng
tertegun, berdiri seperti patung. Kata-kata yang panjang lebar itu menimbulkan
kesan sangat mendalam di hatinya. Dia melihat kebenaran di dalam ucapan itu.
Dia tidak boleh tergesa-gesa menurutkan perasaan hati pada saat itu. Akan
tetapi dia hampir yakin akan cinta kasihnya kepada Sun Eng.
Hampir dia
mengejar, menghalangi gadis itu pergi. Akan tetapi dia pun harus mengingat
perasaan gadis itu. Apakah gadis itu merasa ragu-ragu akan cintanya? Apakah
gadis itu tak percaya kepadanya, ataukah tidak percaya kepada dirinya sendiri?
Sun Eng memiliki kekerasan dan keteguhan hati. Mengapa dia tidak?
"Enci
Eng, engkau lihat, satu tahun kemudian aku akan berada di sini!" Dia
berteriak ke arah bayangan gadis yang telah pergi jauh itu. Dia tak mendengar
adanya jawaban, akan tetapi dia tahu bahwa gadis itu terisak-isak dan berjalan
terhuyung-huyung, tanda bahwa gadis itu mendengar ucapannya.
Setelah
bayangan Sun Eng lenyap, sampai lama Lie Seng berdiri di tempat itu, kemudian
dia memandang sekeliling dan menghampiri sebatang pohon besar lalu menggunakan
jari telunjuknya untuk mencorat-coret di batang pohon besar itu. Karena jari
telunjuk itu terisi hawa Thian-te Sin-ciang, maka seperti pisau yang tajam saja
jari itu membuat coretan huruf-huruf yang indah di batang pohon, mengiris kulit
batang pohon itu.
Bertemu dan
berpisah bagai mimpi Lie dan Sun membuat janji suci akan bertemu di awal musim
semi!
Setelah puas
dengan coretan-coretan yang merupakan perluapan perasaannya dan juga dipakai
untuk menandai tempat pertemuan itu, Lie Seng lalu meloncat dan berlari cepat
meninggalkan tempat itu. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan ibu kandungnya, ayahnya,
paman dan bibinya. Akan tetapi walau pun dia percaya bahwa mereka tentu dapat
lolos, ada pula kekhawatiran bahwa mereka selanjutnya tentu akan dikejar-kejar
sebagai musuh negara, sebagai pemberontak-pemberontak yang buron. Dan memang
dugaan ini tepat.
Kota raja
menjadi gempar dengan adanya peristiwa itu. Biar pun istana tidak tahu-menahu
tentang penangkapan atas diri empat pendekar itu dan tidak tahu pula kenapa
mendiang Panglima Lee Siang melakukan penangkapan itu, tetapi pembunuhan
terhadap panglima itu serta perlawanan terhadap pasukan yang mengakibatkan
tewasnya banyak pengawal cukup menggegerkan.
Apa lagi Kim
Hong Liu-nio sendiri yang menyebarkan fitnah bahwa empat orang pendekar itu
memang bermaksud memberontak, tentu saja omongan wanita yang pernah berjasa
terhadap istana ini dapat dipercaya oleh kaisar yang segera memerintahkan agar
empat pemberontak yang buron itu ditangkap dan dihukum! Karena itu, terpaksa
empat orang pendekar itu bersembunyi untuk menghindarkan diri dari penangkapan
serta pengejaran pemerintah!
***************
Tembok besar
raksasa yang melintang di sebelah utara Tiongkok sehingga memisahkan Tiongkok
dengan daerah luar, dinamakan Tembok Besar Selaksa Mil. Dan tembok yang
merupakan keajaiban hasil karya tangan manusia itu, selain amat kokoh kuat,
tinggi dan besar, juga melintasi gunung-gunung, jurang-jurang, dan dipandang
dari jauh mirip seekor ular raksasa berliku-liku antara pegunungan dan daerah
liar itu.
Daerah
semacam itu tentu saja merupakan tempat persembunyian yang baik sekali bagi
gerombolan-gerombolan jahat. Di antara gerombolan-gerombolan penjahat di
sepanjang tembok besar itu, yang paling terkenal, ditakuti oleh para pelancong
dan pedagang yang melintasi tembok besar adalah perkumpulan Jeng-hwa-pang.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Jeng-hwa-pang dipimpin atau diketuai oleh
Gak Song Kam, seorang ahli racun yang telah berani mempergunakan julukan
Tok-ong (Raja Racun) dan memiliki kepandaian tinggi karena dia adalah seorang
di antara murid-murld terlihai dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang jagoan
Pek-lian-kauw yang terkenal.
Akan tetapi,
sejak muncul Kim Hong Liu-nio, wanita luar biasa dari utara, Jeng-hwa-pang
menemui hari naasnya sehingga perkumpulan itu pernah diobrak-abrik oleh wanita
sakti itu. Banyak anak buah Jeng-hwa-pang yang tewas di tangan Kim Hong Liu-nio
ini, bahkan Tok-ong Gak Song Kam sendiri nyaris tewas kalau saja dia tak
cepat-cepat melarikan diri.
Akan tetapi,
semenjak itu Gak Song Kam telah menghimpun lagi anak buahnya, bahkan sekarang
dia memperkuat kedudukannya dengan mengundang seorang tokoh hitam yang sudah
terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Bouw Song Khi yang berjuluk Jai-hwa Sin-to Si
Maling Sakti Pemetik Bunga.
Bouw Song
Khi berusia empat puluh enam tahun, seorang pria yang tampan dan pesolek,
bersikap ramah dan menarik, akan tetapi sesungguhnya dia adalah maling tunggal
yang lihai, juga seorang tukang memperkosa dan mempermainkan wanita yang luar
biasa keji. Karena Bouw Song Khi ini pernah berguru kepada mendiang Jeng-hwa
Sian-jin, maka dia terhitung masih sute dari Gak Song Kam sendiri, walau pun
dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak kalah lihai dari suheng-nya itu.
Karena
Jeng-hwa-pang adalah perkumpulan yang sudah kuat keuangannya, maka dengan
menggunakan simpanannya, Gak Song Kam berhasil membangun kembali perkumpulan
itu, bahkan mendatangkan banyak orang untuk menjadi anak buahnya, pengganti
anak buah yang roboh dan tewas ketika Kim Hong Liu-nio mengamuk.
Dan
sekarang, dua tahun lebih kemudian, perkumpulannya telah bangkit kembali
menjadi perkumpulan yang kuat dan menguasai daerah di luar tembok besar. Hasil
pemungutan pajak jalan dari mereka yang lewat saja sudah lebih dari cukup,
belum lagi sumbangan-sumbangan paksaan dari para penghuni di luar tembok besar
atau dari rombongan yang lewat.
Jai-hwa
Sin-to Bouw Song Khi suka sekali tinggal bersama suheng-nya itu, oleh karena
suheng-nya mampu menyediakan wanita-wanita cantik yang cukup banyak supaya
dapat menghibur hatinya setiap hari siang malam. Pekerjaannya ringan sekali,
hanya tinggal di tempat itu dan menjaga keamanan Jeng-hwa-pang, dan
kadang-kadang ikut pula melatih kepada anak buah Jeng-hwa-pang, membanggakan
kepandaiannya di antara para anak buah yang memuji dan mengaguminya.
Akan tetapi,
kadang-kadang Bouw Song Khi terserang penyakit yang kumat kembali, yaitu
penyakit yang timbul dari kebiasaan lamanya. Dia ingin sekali mendapatkan gadis
atau wanita hasil culikan seperti yang sering dia lakukan sebelum dia tinggal
di luar tembok besar dulu. Kebiasaan menculik dan memperkosa wanita ini menjadi
semacam penyakit sehingga persediaan wanita-wanita yang dengan suka rela mau
melayaninya itu sekarang sudah mendatangkan bosan kepadanya dan dia merasa
rindu untuk memperoleh wanita yang harus melayaninya secara paksa!
Sungguh keji
sekali penyakit macam ini! Moral orang semacam Bouw Song Khi sudah sedemikian
bejatnya sehingga memperkosa wanita, melihat wanita itu melawan, meronta dan
menangis ketika diperkosanya, merupakan kesenangan serta kenikmatan tersendiri
yang tidak bisa diperoleh dari para wanita yang disuguhkan oleh suheng-nya
kepadanya. Karena itulah, maka dia merasa gelisah.
Pada suatu
malam, begitu matahari tenggelam, jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini telah
meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang untuk pergi ke sebuah dusun yang terdekat dan
di sana, sesudah memilih-milih, akhirnya dia berhasil menculik seorang gadis
petani yang manis. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melarikan gadis
ini tanpa ada yang mengetahui dan tanpa gadis itu dapat berteriak sedikit pun
karena telah ditotoknya, lalu gadis itu dilarikannya ke sarang Jeng-hwa-pang.
Para anak
buah Jeng-hwa-pang bersorak gembira menyambut kedatangan jagoan ini, dan
hebatnya, Gak Song Kam sendiri hanya tertawa melihat tingkah laku sute-nya,
sama sekali tidak menegurnya karena dia menganggap diculiknya seorang perawan
dusun itu hanyalah merupakan soal kecil yang tidak perlu diributkan dan
dianggapnya sebagai hal remeh.
Demikianlah,
tanpa ada gangguan apa pun, Bouw Song Khi si penjahat cabul itu lantas membawa
perawan dusun yang diculiknya itu ke dalam kamarnya, memaksanya untuk
melayaninya makan minum dengan gembira. Biar pun dia telah memerintahkan
beberapa orang wanita untuk memandikan dara desa itu secara paksa dan
memberinya pakaian indah dan baru sehingga perawan dusun itu nampak makin
manis, namun gadis itu selalu menangis dan hanya karena takut saja maka dia mau
duduk semeja dengan penculiknya tanpa menjamah masakan yang dihidangkannya. Dia
gemetar ketakutan dengan wajah pucat dan mata terbelalak, seperti seekor
kelinci yang dipermainkan oleh seekor harimau yang menangkapnya.
Inilah
keadaan yang dirindukan oleh Bouw Song Khi. Kalau gadis dusun itu menurut dan
mau melayaninya dengan suka rela, agaknya dia pun akan merasa jemu karena biar
pun gadis itu manis, akan tetapi bila dibandingkan dengan wanita-wanita yang
disediakan oleh suheng-nya di tempat itu untuknya, yaitu wanita-wanita yang
berpengalaman dan pandai bersolek, pandai pula merayu, tentu dara dari desa ini
kalah jauh. Akan tetapi gadis itu gemetar ketakutan, dan inilah yang
menimbulkan gairahnya!
Maka dia
makan minum sambil tertawa-tawa, menikmati keadaan itu di mana gadis itu duduk
dengan seluruh tubuh menggigil, ngeri membayangkan apa yang akan menimpa
dirinya. Bouw Song Khi ingin menikmati keadaan ini perlahan-lahan, tidak
tergesa-gesa, untuk memperpanjang keadaan tegang bagi gadis itu yang amat
menyenangkan hatinya. Agaknya seperti inilah seekor kucing menikmati permainannya
dengan seekor tikus, lebih dulu mempermainkannya, membiarkannya lari lalu
ditangkap kembali, menikmati tikus itu dalam ketakutan hebat selama mungkin
sebelum akhirnya mengganyangnya.
Pada waktu
Bouw Song Khi makan minum dengan gembira itu, nampak dua orang muda memasuki
pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang! Sungguh peristiwa yang mengherankan dan
mengejutkan sekali bagaimana ada dua orang asing berani datang memasuki sarang
itu.
Dua orang
pemuda itu berjalan masuk dengan langkah ringan dan lenggang seenaknya,
seolah-olah mereka berdua tidak sedang memasuki sarang Jeng-hwa-pang yang
ditakuti orang, melainkan sedang memasuki pintu halaman rumah mereka sendiri
saja. Dan dua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran
Ceng Han How dan Sin Liong!
Seperti
sudah diceritakan di bagian depan, dua orang muda ini berangkat meninggalkan
istana Raja Sabutai untuk memberi hajaran terhadap Jeng-hwa-pang yang sudah
berani mengirim orangnya untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Ceng Han
Houw. Mereka berdua melakukan perjalanan menunggang kuda, tanpa diiringi oleh
seorang pun pengawal. Setelah tiba di luar daerah yang menjadi sarang
Jeng-hwa-pang, keduanya lalu meninggalkan kuda mereka, dicancang di dalam hutan
kemudian melanjutkan perjalanan memasuki daerah musuh itu dengan jalan kaki
hingga akhirnya mereka memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang dengan
tenang.
Tentu saja
kedatangan dua orang muda ini langsung ketahuan sehingga gegerlah sarang
Jeng-hwa-pang itu. Hanya dalam waktu singkat saja sudah ada belasan orang
anggota Jeng-hwa-pang yang datang mengurung kedua orang pemuda itu begitu
mereka melewati pintu gerbang.
Obor
dipasang dan dipegang tinggi-tinggi sehingga tempat itu menjadi terang
benderang. Tetapi para anggota Jeng-hwa-pang menjadi terheran-heran melihat
bahwa yang datang itu hanyalah dua orang pemuda remaja yang bersikap sedemikian
tenangnya walau pun mereka telah dikurung banyak orang.
"Hai,
dua bocah lancang! Siapa kalian yang berani datang ke tempat ini tanpa ijin, apakah
kalian sudah bosan hidup?" bentak seorang di antara mereka.
Mendengar
ini, Han Houw marah sekali. Dia seorang pangeran. Di kerajaan ayahnya, dia
dihormati secara berlebihan, bahkan di kerajaan selatan, dia pun seorang
pangeran yang pernah menjadi kuasa kaisar dan di mana-mana pun dia dihormati.
Kini, teguran itu tentu saja membuat dia marah sekali. Ceng Han Houw bertolak
pinggang dan dengan suara lantang dia pun berkata.
"Huh,
kalian ini hanyalah tikus-tikus busuk kecil yang tidak berharga bicara dengan
kami. Hayo suruh tikus besar Gak Song Kam keluar untuk menemui kami!"
Tentu saja
ucapan yang bernada angkuh ini membuat semua anak buah Jeng-hwa-pang menjadi
marah sekali. Salah seorang di antara mereka, yang tadi menegur, seorang yang
bertubuh tinggi besar serta berkumis tebal, yang terkenal pemarah namun terkenal
pula mempunyai tenaga besar seperti kerbau, cepat melangkah ke depan,
menghampiri Ceng Han Houw dan membentak.
"Bocah
bermulut kotor! Berani engkau memaki kami? Kuhancurkan mulutmu!" Dia sudah
mengulur tangannya yang besar dengan jari-jari tangan yang kuat untuk
mencengkeram ke arah mulut Han Houw!
Pemuda ini
berdiri tegak, sedikit pun tak menangkis. Akan tetapi sebelum jari-jari tangan
itu menyentuh mukanya, kurang beberapa sentimeter lagi, tiba-tiba saja si kumis
tebal itu memekik keras lantas roboh terjengkang. Darah muncrat-muncrat keluar
dari ulu hatinya yang telah berlubang karena tadi secara kilat cepatnya ditusuk
oleh Han Houw yang telah mengeluarkan sebatang anak panah.
Anak panah
itu adalah anak panah yang dahulu dipergunakan oleh tokoh Jeng-hwa-pang untuk
menyerang dirinya, dan ujung anak panah itu mengandung racun yang berbahaya
sekali, maka begitu ditusukkan ke ulu hati si kumis tebal, seketika orang ini
terjengkang dan berkelojotan, terus tewas tak lama kemudian.
Semua
anggota Jeng-hwa-pang segera terbelalak, apa lagi ketika mengenal anak panah
itu. Anak panah itu adalah anak panah milik Jeng-hwa-pang yang hanya digunakan
oleh orang-orang yang sudah mempunyai kedudukan tinggi di Jeng-hwa-pang. Dan
pemuda ini menggunakan anak panah Jeng-hwa-pang untuk membunuh seorang di
antara mereka!
"Siapa
dia...?"
"Itu
anak panah Jeng-hwa-pang kita!"
Maka
ramailah orang-orang itu berteriak dan kini tidak ada lagi yang berani lancang
turun tangan karena di samping kelihaian pemuda remaja yang angkuh ini, juga
anak panah itu membuat mereka ragu-ragu.
"Lekas
suruh Gak Song Kam menghadap ke sini sebelum kalian semua mampus oleh anak
panah ini!" Han Houw kembali membentak, suaranya sangat nyaring dan penuh
wibawa sehingga suasana menjadi lucu dan aneh karena begitu banyaknya anak buah
Jeng-hwa-pang yang biasanya ditakuti orang-orang seperti takut setan, kini
nampak jeri menghadapi gertakan seorang pemuda remaja yang nampaknya begitu
lemah lembut!
"Pemuda
sombong, aku telah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara kereng dan
semua anggota Jeng-hwa-pang merasa lega, cepat menyibak dan memberi jalan masuk
kepada Gak Song Kam dan Bouw Song Khi yang telah datang karena diberi tahu oleh
seorang anggota Jeng-hwa-pang.
Secara
terpaksa dan penasaran, marah kepada si pengganggu, terpaksa Bouw Song Khi
meninggalkan perawan dusun yang belum sempat diganggunya itu sebab dia belum
habis makan minum ketika dipanggil oleh suheng-nya untuk diajak menanggulangi
pengacau yang berani datang membikin ribut di Jeng-hwa-pang. Ketika dua orang
tokoh besar ini melihat bahwa yang mengganggu hanyalah dua orang pemuda remaja,
tentu saja mereka memandang rendah dan merasa penasaran sekali, apa lagi
melihat betapa seorang anak buah mereka telah menggeletak dan tewas.
Han Houw dan
Sin Liong segera membalikkan tubuh memandang. Sin Liong langsung mengenal
laki-laki bertubuh tegap, bermuka merah dan amat gagah itu. Dulu dia pernah
ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang ini, dan nyaris tewas disiksa oleh pria ini
ketika dia dilempar ke dalam lubang ular!
Akan tetapi
begitu dia melihat kakek berpakaian rapi dan pesolek yang datang bersama ketua
Jeng-hwa-pang itu, dia amat kaget dan mengenal pula kakek ini sebagai seorang
di antara para calon pemilihan bengcu yang beberapa waktu yang lalu diadakan di
selatan! Dia mengenal Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi yang merupakan kaki tangan
atau sahabat dari Lam-hai Sam-lo dan biar pun dia sendiri belum pernah bentrok
dengan orang ini, dia dapat menduga bahwa tentu kepandaian si maling tunggal
ini lihai sekali.
Juga Si Maling
Sakti itu segera mengenal Sin Liong, bocah yang pernah menggegerkan pemilihan
bengcu di selatan, maka kagetlah dia dan mukanya sudah berubah. Apa lagi dia
pun mengenal Ceng Han Houw, utusan kaisar yang amat ditaati oleh Lam-hai Sam-lo
dan biar pun dia sendiri tidak mempunyai hubungan dengan pemuda bangsawan itu,
akan tetapi dia pun sudah merasa jeri.
Namun tidak
demikian halnya dengan suheng-nya, ketua Jeng-hwa-pang. Dia ini sudah lupa
kepada dua orang pemuda remaja itu, biar pun keduanya pernah dia jumpai.
Melihat betapa seorang anggotanya tewas, dia sudah marah sekali.
"Siapa
kalian dan mengapa kalian datang membunuh seorang anggota kami?" bentaknya
sambil melangkah maju.
Han Houw
tersenyum mengejek dan mengacungkan anak panah di tangannya yang tadi
dipergunakan untuk membunuh Si Kumis Tebal itu. "Gak Song Kam, buka matamu
yang lamur itu lebar-lebar! Dulu aku pernah datang bersama suci Kim Hong
Liu-nio membasmi sarangmu ini! Sudah lupa lagikah engkau? Dan buka matamu,
lihat anak panah siapa ini? Utusanmu yang hendak membunuhku telah mampus, dan
ini anak panahnya kuantarkan kembali kepadamu, namun harus kau tukar dengan
kepalamu! Dan kau tidak mengenal saudaraku ini?" Han Houw menoleh kepada
Sin Liong.
"Houw-ko,
tentu saja dia mengenalku. Tentu engkau tidak lupa ketika melemparku ke dalam
lubang ular itu, pangcu!" kata Sin Liong.
Sepasang
mata itu terbelalak dan muka yang merah itu semakin merah. Sekarang Gak Song
Kam mengenal dua orang pemuda remaja ini dan kemarahannya makin memuncak.
"Pasukan Api, maju!" teriaknya.
Tiba-tiba
saja nampak sinar terang ketika dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap
berloncatan ke depan. Mereka itu masing-masing memegang sebatang obor, akan
tetapi bukanlah sembarang obor karena obor itu gagangnya terbuat dari baja dan
tempat apinya besar sehingga apinya juga berkobar besar. Gagangnya cukup
panjang, dapat digunakan sebagai pedang atau juga sebagai toya pendek.
Cara mereka
memegang gagang obor menunjukkan bahwa mereka itu sudah mahir sekali memainkan
obor ini sebagai senjata dan gerakan mereka teratur rapi ketika mereka maju
mengurung. Kaki mereka bergerak perlahan dan mereka melangkah mengelilingi
tempat itu, makin lama semakin menyempit. Mereka menggerak-gerakkan obor di
tangan dengan teratur dan berbareng pula sehingga nampak sangat indah karena
mereka itu seolah-olah sedang memainkan tarian obor.
"Houw-ko,
mundurlah, biar aku menghadapi badut-badut ini!" kata Sin Liong yang dapat
menduga akan kelihaian pasukan obor itu.
Diam-diam
Han Houw memang merasa ngeri melihat pasukan obor itu, dan karena dia tahu
betapa lihainya Sin Liong, maka dia pun mengangguk dan dengan sikap angkuh dia
mundur lalu berdiri tenang dengan anak panah rampasan itu masih di tangan
kanannya. Diam-diam dia mempersiapkan anak panah itu untuk membantu saudara
angkatnya bila mana keadaan memerlukannya.
Pasukan obor
yang terdiri dari dua belas orang itu kini mengurung Sin Liong. Setiap kali
obor digerakkan, muncratlah bunga api dan terdengar suara mendesis disusul asap
hitam bergulung-gulung. Cahaya api obor yang dimainkan itu membentuk
pemandangan yang indah sekali memecah kegelapan malam. Dengan latar belakang
malam gelap, nampak cahaya-cahaya kedua belas obor itu saling berkejaran dan
asap hitam bergumpal-gumpal membubung tinggi ke angkasa yang kemerahan oleh
sinar api obor.
"Sam-kak-tin...!"
terdengar seorang di antara mereka membentak.
Dengan
teratur sekali dua belas orang itu bergerak sehingga terbentuklah empat pasukan
Sam-kak-tin (Pasukan Segi Tiga) yang rapi dan kini pasukan demi pasukan yang
terdiri dari tiga orang mulai menyerbu dan menyerang Sin Liong secara
bertubi-tubi!
Ceng Han
Houw terkejut bukan main. Serangan-serangan itu demikian teratur, dilakukan
secara berturut-turut dan hampir berbareng oleh setiap regu dari tiga orang,
dari arah tiga jurusan yang membentuk segi tiga dan karena ada empat regu segi
tiga, maka serangan-serangan itu hebat bukan main. Sinar-sinar obor menyilaukan
mata, seolah-olah menjadi lautan api bergelombang yang hendak menelan Sin
Liong!
Sin Liong
juga terkejut. Dia telah menguasai ilmu amat tinggi dan luar biasa, akan tetapi
laksana seekor burung, dia baru saja meninggalkan sarangnya sehingga
pengalamannya bertanding masih sempit sekali. Kini, menghadapi serangan
bertubi-tubi dari api-api yang menyilaukan mata ini, tentu saja dia terkejut.
Namun, kepercayaannya kepada diri sendiri yang timbul semenjak dia masih kecil
dan banyak menghadapi bahaya maka dia bersikap tenang sekali.
Dengan penuh
waspada dia menghadapi semua serangan itu dan cepat menggunakan gerakan ajaib
dari Thai-kek Sin-kun. Dengan langkah-langkah ajaib yang dipelajarinya dari
kakeknya, maka Sin Liong mampu menghindarkan diri dari setiap sambaran cahaya
api, menyelinap ke kanan kiri di antara sambaran obor-obor itu sehingga sampai
barisan ke empat melakukan serangan, tetap saja tidak ada sebuah pun obor
mengenai tubuhnya!
Gak Song Kam
dan sute-nya, Bouw Song Khi, terkejut dan kagum bukan main. Gak Song Kam bahkan
merasa panasaran sekali.
"Ngo-heng-tin...!"
Dia berseru nyaring.
Dua belas
orang itu langsung bergerak secara otomatis. Empat barisan Sam-kak-tin tadi
kini bergabung lantas membentuk dua barisan Ngo-heng yang terdiri dari
masing-masing lima orang sehingga berjumlah sepuluh orang, dan dua orang yang
tersisa kini bertugas sebagai pemimpin pasukan dan berdiri di kanan kiri
memberi aba-aba kepada musing-masing pasukan.
Berbeda
dengan Pasukan Segi Tiga tadi yang menyerang secara susul-menyusul, kini
pasukan Lima Unsur atau Ngo-heng ini bekerja sama saling membantu sesuai dengan
aba-aba yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Dua pasukan Ngo-heng itu
menyerbu dan berputar-putar, kadang-kadang berbareng sehingga merupakan kerja
sama yang baik dan rapi sekali.
"Ehhh...?!"
Sin Liong terkejut sekali karena biar pun dia masih mempergunakan langkah
Thai-kek Sin-kun, tetap saja pundaknya sudah hangus! Untung belum terbakar dan
cepat dia sudah menggerakkan tangannya dengan kibasan yang mengandung tenaga
Thian-te Sin-ciang hingga api itu seperti tertiup membalik dan si pemegang obor
sampai terhuyung ke belakang.
Maklum akan
kelihaian pasukan Ngo-heng ini, Sin Liong tidak berani bersikap lambat. Dia
berloncatan di antara kepungan obor-obor yang menyambar-nyambar itu, dan
sekarang mengerahkan ginkang untuk menghindarkan diri. Bagaikan seekor naga
sakti mengamuk di antara gumpalan awan, tubuh Sin Liong berkelebatan di antara
asap-asap hitam dan api-api obor. Para pemegang obor menyerangnya seperti
orang-orang yang memainkan pedang dan toya, gerakan mereka selain teratur rapi,
juga cepat dan rata-rata mereka memiliki tenaga yang cukup kuat.
Namun,
kelincahan pemuda itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Walau pun
mereka sudah mengerahkan seluruh kemampuan dari dua pasukan Ngo-heng-tin, tetap
saja mereka tidak berhasil menyentuh tubuh Sin Liong.
"Pat-kwa-tin...!"
Gak Song Kam berteriak marah.
Kini pasukan
itu kembali bergerak, membentuk pasukan delapan orang yang membentuk pat-kwa
(segi delapan) lantas menyerang Sin Liong dari delapan penjuru angin. Empat
orang yang lainnya selalu siap menggantikan anggota pasukan yang terdesak!
Ternyata pasukan ini lebih lihai dari pada Ngo-heng-tin dan kini Sin Liong
nampak terdesak!
"Celaka...!"
pikir pemuda itu. Kini dia tidak boleh hanya mengelak, harus membalas kalau dia
tidak mau bajunya atau rambutnya terbakar.
Mulailah Sin
Liong menggerakkan kaki tangannya dan begitu dia mengeluarkan lengking panjang
dan tubuhnya membungkuk dengan dua tangan terpentang mendorong ke kanan kiri,
maka terdengar pekik nyaring dan dua orang pengeroyok roboh bergulingan karena
obor tadi membalik, yang satu mengenai mukanya sendiri yang penuh brewok
sehingga rambut-rambut muka itu terbakar sedangkan yang ke dua terbakar
pakaiannya, sehingga dia bergulingan pula sambil berteriak-teriak. Itulah satu
di antara pukulan sakti Hok-mo Cap-sha-ciang yang terpaksa dikeluarkan oleh Sin
Liong karena tadi dia sangat terdesak.
Melihat
akibat pukulannya, Sin Liong menjadi ngeri sendiri, maka dia kemudian kembali
menggunakan kegesitannya untuk mengelak dan meloncat ke sana ke mari, karena
dua orang yang roboh itu kini telah digantikan oleh orang lain. Namun, dengan
tamparan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, Sin Liong mampu merobohkan
mereka seorang demi seorang sehingga akhirnya kedua belas orang itu roboh
semua, obor-obor mereka padam, ada yang patah, dan ada pula yang mengenai
badannya sendiri sehingga dua belas orang itu kini hanya mampu merintih-rintih
dan merangkak-rangkak mundur!
"Ha-ha-ha-ha,
ternyata hanya begitu sajakah barisanmu? Mana lagi ilmu-ilmu ampuh dari
Jeng-hwa-pang? Dengan kepandaian serendah itu kalian sudah berani menentang
kami? Ha-ha-ha, adik Sin Liong, engkau sudah cukup bermain-main, sekarang
mundurlah!" kata Han Houw sambil mentertawakan Gak Song Kam.
Melihat
kesempatan ini, Bouw Song Khi meloncat ke depan. Dia memang sudah merasa jeri
terhadap Sin Liong yang pernah dilihatnya menimbulkan kegemparan ketika
diadakan pemilihan bengcu. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu memang luar biasa
sekali, apa lagi yang diperlihatkan oleh Sin Liong ketika menghadapi pasukan
obor tadi membuat hatinya makin gentar lagi.
Oleh karena
itu, begitu melihat Han Houw maju, dia segera mengambil kesempatan ini untuk
turun tangan. Jauh lebih baik melawan pangeran ini dari pada menghadapi pemuda
perkasa yang amat luar biasa itu. Memang, sebenarnya dia merasa sungkan pula
untuk melawan pangeran yang ditakuti oleh Lam-hai Sam-lo ini, akan tetapi tentu
saja dia tidak dapat tinggal diam tanpa membantu suheng-nya setelah untuk
beberapa bulan lamanya dia tinggal di Jeng-hwa-pang dan hidup bersenang-senang.
"Wuuuut...!
Ting-tinggg...!"
Senjata
rantainya bergerak dan mengeluarkan suara berdenting nyaring. Melihat ini Ceng
Han Houw tersenyum, lantas dengan gerakan halus tangannya meraba pinggang dan
dia sudah melolos sebatang pedang.
"Hemm,
kalau tidak salah aku pernah melihat mukamu ini di selatan. Apakah engkau juga
termasuk anggota Jeng-hwa-pang?" tanyanya sambil memperhatikan wajah
Maling Sakti itu di bawah sinar obor yang banyak, dipegang oleh para anggota
Jeng-hwa-pang yang mengurung tempat itu.
Bouw Song
Khi merasa enggan untuk menjawab dan mukanya berubah merah. Sin Liong langsung
berkata, "Han Houw-ko, aku masih ingat. Dia bernama Bouw Song Khi, dahulu
menjadi seorang di antara calon-calon bengcu, akan tetapi lalu mundur dan
mendukung Lam-hai Sam-lo!"
"Pemuda
sombong, lihat senjata!" Bouw Song Khi membentak oleh karena dia tidak
ingin banyak cakap lagi. Senjatanya, rantai yang terbuat dari pada baja dan
panjangnya sampai satu setengah meter itu menyambar ganas hingga mengeluarkan
suara angin berdesing dan menjadi sinar yang mengerikan mengancam kepala
pangeran itu.
"Wuuuttt...!"
Dengan
sedikit menundukkan kepala dan menekuk lututnya, tubuh pangeran itu merendah
maka sinar rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Dari bawah, pedang di
tangan Han Houw meluncur seperti anak panah menusuk ke arah perut lawan.
Bouw Song
Khi cepat-cepat mencondongkan tubuhnya ke kiri sehingga tusukan pedang itu
luput, lalu rantainya yang tadi gagal menyambar kepala lawan telah membuat
gerakan memutar dan kini menyambar turun ke arah lambung pangeran itu,
gerakannya cepat dan berbahaya sekali. Rantai di tangannya itu seperti hidup,
begitu luput mengenai sasaran dapat membalik dan langsung membuat serangan
lanjutan.
Kaget juga
Han Houw melihat kecepatan gerakan lawan ini, maka dia pun lalu memutar
pedangnya ke bawah untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.
"Cringgg...!"
Bunga api
berpijar dari pertemuan rantai dan pedang. Pada saat kedua senjata bertemu,
Bouw Song Khi menggerakkan pergelangan tangannya dan ujung rantai itu laksana
ular hidup melibat pedang di tangan Han Houw! Namun, pangeran muda yang lihai
ini tidak menjadi gentar, bahkan dia menggerakkan kakinya maju lalu dengan
cepat sekali kakinya menendang ke arah pergelangan tangan yang memegang rantai.
Terpaksa
Bouw Song Khi melepaskan libatan rantainya dan kini ujung rantai menyambar ke
arah kaki lawan yang terpaksa pula harus menarik kembali kakinya, lantas
keduanya meloncat ke belakang. Dalam beberapa gebrakan itu, keduanya maklum
bahwa mereka masing-masing menghadapi lawan yang lihai.
Akan tetapi
Sin Liong maklum bahwa kakak angkatnya itu hanya main-main belaka. Dia sudah
tahu akan kelihaian Han Houw dan dalam gebrakan-gebrakan pertama tadi dia pun
mengerti bahwa kakak angkatnya itu jauh lebih lihai dari pada lawannya. Dan
memang dugaannya ini tepat.
Kini Bouw
Song Khi yang mengira bahwa lawannya hanya memiliki tingkat sampai sekian saja,
telah menggerakkan rantainya dan mengirim serangan secara bertubi-tubi. Rantai
itu berubah menjadi gulungan sinar yang nampaknya mengurung diri lawannya.
Bagi
penglihatan semua orang, kelihatan pangeran itu terdesak hebat karena dia hanya
berloncatan ke sana-sini sambil menggerakkan kedua kakinya mengatur
langkah-langkah aneh. Akan tetapi diam-diam Sin Liong tersenyum dan memandang
kagum.
Kakak angkatnya
itu kembali telah memperlihatkan kelihaian Pat-kwa-po, yaitu Langkah Segi
Delapan yang amat aneh. Pemuda tampan gagah itu hanya melangkah ke sana-sini
seperti orang menari, tapi semua sambaran rantai itu luput dan hanya mengenai
tempat kosong selalu.
Makin lama
makin penasaran rasa hati Bouw Song Khi karena semua serangannya tak pernah
berhasil, juga dia mulai merasa ngeri karena dia dapat menduga bahwa pangeran
ini benar-benar amat lihai.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa mengejek dari pangeran itu dan dia telah menggerakkan
tangan kirinya menangkis rantai yang datang menyambar! Hanya dengan tangan
kosong saja dia berani menangkis rantai! Hal ini mengejutkan hati Sin Liong dan
menggirangkan hati Bouw Song Khi.
Rantai itu
terbuat dari pada baja murni dan juga digerakkan dengan pengerahan tenaga
sinkang. Batu karang pun akan hancur apa bila terkena hantaman ujung rantai,
apa lagi tangan yang terdiri dari kulit daging dan tulang, pasti akan hancur
berantakan!
"Plakkk!"
Tangan itu
menangkis ujung rantai hingga rantai itu membalik, hampir menghantam muka Bouw
Song Khi sendiri! Dan tangan kiri pemuda bangsawan itu sama sekali tidak
terluka, lecet sedikit pun tidak!
Bouw Song
Khi menjadi pucat. Tidak disangkanya bahwa pemuda ini memiliki kekebalan yang
sehebat itu. Dan Sin Liong kagum bukan main. Dia sendiri tidak tahu bahwa kakak
angkatnya itu sudah mewarisi ilmu kekebalan yang hebat dari Hek-hiat Mo-li!
Bersama
mendiang Pek-hiat Mo-ko, dulu nenek iblis ini telah menciptakan ilmu kekebalan
yang ajaib, yang membuat seluruh tubuh mereka kebal terhadap senjata yang
bagaimana ampuhnya, bahkan sepasang tangan mereka mampu menangkis
senjata-senjata pusaka.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment