Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 26
DALAM cerita
Dewi Maut, para pendekar pun sampai kewalahan menghadapi kekebalan Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sampai kemudian sepasang pendekar Cia Bun Houw dan
Yap In Hong mengetahui rahasia kelemahan mereka yang dibuka oleh Khamila, ratu
dari Raja Sabutai, bahwa kelemahan kakek dan nenek iblis itu berada pada
telapak kaki mereka hingga akhirnya sepasang pendekar itu berhasil menewaskan
Pek-hiat Mo-ko dan melukai Hek-hiat Mo-li. Kini, ternyata ilmu yang luar biasa
itu telah diturunkan pula kepada Ceng Han Houw dan hanya pangeran ini sendiri
yang tahu rahasia kelemahannya sendiri!
Sesudah
menguji kekebalannya sendiri, Han Houw tertawa dan kini seenaknya saja dia
menghadapi serangan rantai itu, bahkan kadang-kadang dia menerima gebukan
rantai itu dengan tubuhnya! Makin pucatlah wajah Bouw Song Khi dan tiba-tiba
saja tangan kirinya bergerak. Uap hitam menyambar ke arah muka Han Houw dan itu
adalah bubuk beracun yang mengandung obat bius, yang biasa dipergunakan oleh
jai-hwa-cat ini untuk membius wanita yang diculiknya.
Akan tetapi,
perbuatannya inilah yang mendatangkan mala petaka baginya. Kalau tadinya Han
Houw masih ragu-ragu untuk membunuh orang yang dianggapnya tidak ada
sangkut-pautnya dengan Jeng-hwa-pang, kini melihat orang itu mempergunakan
racun, pangeran muda ini menjadi marah.
Han Houw
meloncat untuk menghindari dan tiba-tiba dari mulutnya menyambar sinar putih
sedemikian cepat dan tidak terduga sehingga walau pun Bouw Song Khi sudah
berusaha menghindar, namun tetap saja mata kirinya harus menerima sambaran
pek-ciam (jarum putih) yang tersebar dari mulut pangeran itu.
Bouw Song
Khi menjerit keras, rantainya terlepas dan kedua tangannya cepat mendekap
matanya karena dia merasakan kenyerian yang menyusup sampai ke dalam
jantungnya. Han Houw menggerakkan pedangnya yang semenjak tadi hanya dipakai
menangkis saja. Pedang itu menembus dada dan ketika dicabutnya, darah muncrat
dari tubuh lawan yang terjengkang dan tewaslah Bouw Song Khi.
Melihat ini,
Gak Song Kam menjadi terkejut bukan main, juga amat marah. Dia berteriak
mengeluarkan aba-aba kepada semua anak buahnya agar maju mengeroyok, sedangkan
dia sendiri lalu menggerakkan pedangnya yang ampuh, pedang yang mengandung
racun amat jahat, menerjang ke depan dan disambut oleh Sin Liong! Han Houw
mengeluarkan suara tertawa mengejek dan pangeran ini segera menggerakkan
pedangnya mengamuk, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah Jeng-hwa-pang.
"Ha-ha-ha-ha,
kalian orang-orang Jeng-hwa-pang benar-benar tidak tahu diri maka sudah
selayaknya mampus! Kami adalah sepasang pendekar dari Lembah Naga! Kami adalah
Harimau Sakti dan Naga Sakti dari Lembah Naga, dan pada hari ini Jeng-hwa-pang
akan terbasmi habis oleh kami!"
Diam-diam
Sin Liong terkejut mendengar suara yang sangat congkak ini, dan dia merasa
ngeri ketika melihat betapa Han Houw mengamuk dengan pedangnya, merobohkan para
anggota Jeng-hwa-pang seperti orang membabat rumput saja. Tentu saja para
anggota Jeng-hwa-pang itu bukan lawan pangeran yang lihai itu. Sambil
tertawa-tawa Han Houw merobohkan mereka seorang demi seorang. Darah
muncrat-muncrat membasahi bumi dan teriakan-teriakan mengerikan terdengar
susul-menyusul.
Melihat
keadaan yang tidak menguntungkan ini, Gak Song Kam merasa khawatir sekali. Apa
lagi saat dia mendapat kenyataan betapa semua gerakan pedangnya yang ditujukan
untuk menyerang pemuda remaja itu tak pernah berhasil mengenai sasaran, dia
semakin gelisah dan maklum bahwa keadaannya amat berhahaya.
Ketua
Jeng-hwa-pang ini memang seorang pengecut. Dulu pun pada saat Jeng-hwa-pang
diserbu oleh Kim Hong Liu-nio, begitu dia tahu bahwa tidak ada harapan baginya
untuk menang, diam-diam dia lalu melarikan diri sambil membawa pergi Sin Liong.
Kini, ternyata kedua orang pemuda remaja itu tidak kalah lihainya dibandingkan
dengan wanita iblis itu, bahkan sute-nya telah tewas dan anak buahnya banyak
yang tewas pula dan kini sisanya sedang dihajar habis-habisan oleh pemuda yang
berpakaian indah dan memakai sorban berhiaskan batu permata itu!
"Heiiiiikkkkk...!"
Tiba-tiba ketua Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan teriakan nyaring.
Begitu kedua
tangannya bergerak, dari tangan kirinya meluncur paku-paku hitam dan dari
pangkal pedang dekat gagang juga meluncur jarum-jarum hitam. Baik paku-paku mau
pun jarum-jarum itu semua mengandung racun yang sangat ampuh dan menyambar
dengan cepat sekali ke arah Sin Liong!
Untung bahwa
pemuda remaja ini pernah digembleng oleh orang-orang sakti seperti Cia Keng
Hong dan Ouwyang Bu Sek hingga dia telah memiliki kematangan dan ketenangan
batin yang luar biasa. Penyerangan jarum-jarum dan paku-paku itu sangat
tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka-sangka, juga dilakukan dari jarak
dekat. Kalau dia gugup dan menangkis, sedikit lecet saja pada lengannya akan
cukup membahayakan sebab senjata-senjata rahasia itu direndam racun yang amat
jahat.
Namun Sin
Liong sudah tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang itu adalah ahli racun, maka dia pun
secara otomatis melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir balik sehingga
terhindar dari sambaran senjata-senjata gelap yang beracun ini. Akan tetapi,
kesempatan itu cepat digunakan oleh Gak Song Kam untuk melempar-lemparkan alat
peledak yang kemudian mengeluarkan asap hitam tebal. Sambil tersenyum lega dia
cepat meloncat melalui asap hitam yang beracun itu dan yang tidak mengganggu
dirinya untuk melarikan diri seperti yang telah dilakukannya ketika Kim Hong
Liu-nio menyerbu Jeng-hwa-pang dahulu.
Akan tetapi,
alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu
pemuda remaja yang menjadi lawannya tadi sudah berdiri di depannya,
menghalanginya sambil tersenyum mengejek dan tidak kurang suatu apa. Dia tidak
tahu bahwa Sin Liong masih ingat akan lihainya alat-alat peledak itu, maka saat
melihat lawannya tadi melontar-lontarkan benda-benda itu, Sin Liong menggunakan
ginkang-nya untuk menghindar jauh ke tempat gelap, lalu dia berkelebat
menghadang ketika melihat ketua Jeng-hwa-pang itu hendak melarikan diri.
"Jangan
harap kau akan dapat lari lagi seperti dahulu, pangcu!" Sin Liong berkata.
Dia merasa
muak sekali akan kecurangan ketua yang pengecut ini, yang selalu hendak pergi
meninggalkan anak buahnya dan menyelamatkan diri sendiri secara curang apa bila
keadaan berbahaya baginya, sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang ketua
yang tidak mempedulikan keadaan anak buahnya.
Akan tetapi,
melihat pemuda yang luar biasa itu sudah menghadangnya, Gak Song Kam yang makin
panik itu segera menubruk dengan pedangnya, mengirim serangan maut dan nekat
karena dia maklum bahwa kalau dia tidak dapat segera melarikan diri dan
pangeran yang sedang mengamuk itu turun tangan pula, tak mungkin lagi dia
menyelamatkan diri.
Melihat
serangan yang dilakukan dengan nekat ini, Sin Liong lalu merendahkan tubuhnya
dan dari samping lengannya cepat mengibas. Serangkum hawa yang luar biasa
kuatnya menyambar dan langsung menyerbu dada ketua Jeng-hwa-pang itu.
Gak Song Kam
mengeluh, pedangnya terlepas kemudian dia terpelanting, roboh pingsan! Kiranya
Sin Liong sudah menggunakan lagi sebuah jurus Cap-sha-ciang yang ampuh itu, dan
akibatnya, baru terkena angin pukulannya saja lawan sudah terpelanting dan
roboh pingsan. Memang dalam hati Sin Liong sama sekali tak terkandung niat
untuk membunuh orang, maka dia pun tidak melanjutkan serangan dan hanya
memandang kepada tubuh lawan yang tak bergerak itu.
"Ha-ha-ha,
bagus. Liong-te, engkau telah berhasil merobohkannya!" Terdengar suara Han
Houw bersorak dan Sin Liong melihat tubuh kakak angkatnya itu berkelebat, lalu
cahaya pedang menyambar ke arah leher ketua Jeng-hwa-pang yang masih pingsan.
"Houw-ko,
jangan...!" teriaknya, akan tetapi dia segera memejamkan mata ketika
melihat darah muncrat-muncrat dan kakak angkatnya itu sudah memegang kepala
yang buntung itu pada rambutnya, mengangkatnya tinggi-tinggi sambil tertawa-tawa!
Semenjak
tadi, para anak buah Jeng-hwa-pang memang sudah gentar dan panik. Melihat
betapa pasukan obor telah roboh semua oleh Sin Liong, disusul robohnya sute
dari ketua mereka oleh Han Houw yang lantas mengamuk dan merobohkan banyak
kawan mereka, para anak buah Jeng-hwa-pang itu sudah menjadi ketakutan. Hanya
karena ketua mereka masih melawan Sin Liong mati-matian sajalah mereka masih
mempunyai harapan untuk mengalahkan dua orang muda perkasa itu.
Akan tetapi,
begitu Gak Song Kam roboh dan tewas, kemudian kepalanya dijambak dan diangkat
oleh pangeran itu, nyali mereka terbang dan dengan ketakutan sisa anak buah
Jeng-hwa-pang itu lalu melarikan diri dari tempat itu!
Han Houw
tertawa bergelak dan menyambitkan kepala yang buntung lehernya itu ke arah anak
buah yang melarikan diri.
"Trakkkk!"
Dengan tepat
kepala dari Gak Song Kam itu menimpa kepala anak buah yang sedang lari, maka
robohlah orang itu dengan kepala retak!
Ceng Han
Houw lalu mengambil obor yang banyak dilempar di atas tanah oleh para anak buah
Jeng-hwa-pang, kemudian dia membakari rumah-rumah yang berada di situ. Dalam
waktu singkat saja, sarang Jeng-hwa-pang menjadi lautan api! Para wanita yang
tadinya bersembunyi di dalam, kini berlari-larian keluar dalam keadaan panik,
ditertawakan oleh Han Houw yang menganggap keributan itu sebagai tontonan yang
lucu.
"Tolooooonggg...!
Ayah... ibu... tolonggg...!"
Suara jerit
wanita yang keluar dari sebuah di antara bangunan itu menarik perhatian Sin
Liong dan dia cepat mendekati rumah terbakar dari mana terdengar jerit wanita
itu. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan kiranya dia sudah
didahului oleh Han Houw yang telah menerjang daun pintu rumah itu dan melompat
ke sebelah dalam.
Hati Sin
Liong merasa kagum dan girang. Bagaimana pun garang serta ganasnya sikap
pangeran itu terhadap musuh-musuhnya, tapi di dalam dadanya terdapat watak
pendekar juga yang siap menolong orang yang patut ditolong, seperti wanita yang
menjerit-jerit itu.
Tak lama
kemudian, di antara berkobarnya api yang mulai memakan daun pintu rumah itu,
nampak Han Houw meloncat keluar sambil memondong tubuh seorang wanita muda yang
manis dan kelihatan ketakutan.
Sambil
tersenyum Han Houw berhenti di depan Sin Liong, menggunakan jari tangan kiri
mencolek dagu gadis manis itu sambil berkata, "Dia ini perawan dusun yang
diculik Bouw Song Khi dan belum sempat diganggu! Liong-te, tugas kita sudah
selesai dan aku mau bersenang-senang. Banyak wanita cantik berlarian ke sana,
engkau boleh pilih sesukamu. Aku cukup dengan perawan dusun ini,
ha-ha-ha!" Pangeran itu lalu lari sambil memondong gadis itu.
Sin Liong
berdiri dengan alis berkerut. Dilihatnya gadis itu meronta-ronta, menangis
dalam pondongan Han Houw, namun tentu saja tak berdaya dalam pondongan lengan
pangeran yang kuat itu.
"Houw-ko...,
lepaskan dia...!" Tiba-tiba Sin Liong berseru dan berlari mengejar.
Dia tidak
ingin melihat kakak angkatnya melakukan hal yang amat jahat itu! Kalau gadis
itu mau melayani kakak angkatnya, dia tidak peduli, seperti yang dilihatnya
ketika kakak angkatnya dilayani oleh wanita-wanita cantik dalam rumah-rumah
pembesar yang mereka lewati dahulu. Akan tetapi, gadis dusun itu meronta sambil
menangis, dan dia tidak ingin melihat kakak angkatnya itu menjadi seorang
penjahat yang memaksa wanita.
Akan tetapi
hanya terdengar suara ketawa dan pangeran itu berlari terus memasuki hutan di
mana mereka meninggalkan kuda mereka. Sin Liong mengejar terus, dan pada waktu
dia melihat pangeran itu melanjutkan larinya dengan naik kuda sambil memeluk
tubuh perawan dusun yang ditelungkupkan melintang di atas punggung kuda, dia
pun langsung meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar. Terjadilah
kejar-kejaran pada malam hari itu dan Han Houw tertawa-tawa sambil membalapkan
kudanya, terus dikejar oleh Sin Liong.
"Houw-ko,
lepaskanlah gadis itu. Banyak wanita yang mau dengan suka rela melayanimu,
mengapa engkau harus memaksa seorang gadis yang tidak mau?" berkali-kali
Sin Liong berteriak dan membujuk.
Melihat ada
orang mengejar dan agaknya hendak menolongnya, gadis itu berteriak minta
tolong, akan tetapi Han Houw terus melarikannya sambil tertawa-tawa. Agaknya
pangeran itu merasa gembira dengan permainan ini dan karena kudanya memang jauh
lebih baik dari pada kuda yang ditunggangi Sin Liong, maka adik angkatnya itu
belum juga mampu menyusulnya.
Kejar-kejaran
itu berlangsung hingga pagi! Tentu saja gadis dusun itu tersiksa bukan main
harus menelungkup di atas pangkuan Han Houw sambil terguncang-guncang. Dia
sudah setengah pingsan dan tidak mampu berteriak lagi.
Dan kini
timbul kemarahan di dalam hati Han Houw. Tadinya dia menganggap bahwa adik
angkatnya itu hanya main-main saja, akan tetapi setelah melihat betapa Sin
Liong terus mengejar, dia mulai merasa terganggu dan marah. Setelah tiba di
lapangan rumput yang terbuka, Han Houw memperlambat larinya kuda yang sudah
megap-megap kelelahan itu.
"Houw-ko,
berhentilah dahulu, aku mau bicara...!" Terdengar teriakan Sin Liong dari
arah belakangnya.
Han Houw
menoleh. Melihat adik angkatnya itu sudah mengejar dekat, dia mengerutkan
alisnya dan tiba-tiba dia menghentikan kudanya, lalu melemparkan tubuh gadis
itu ke atas rumput. Gadis itu mengeluh dan terguling di atas rumput, hanya
merintih dan menangis karena seluruh tubuhnya terasa lelah dan sakit-sakit,
tidak mampu bangkit.
Han Houw
melompat turun dari kudanya. Melihat ini, Sin Liong juga meloncat turun dari
atas punggung kudanya dan membiarkan kuda yang sudah kelelahan itu
beristirahat. Dua orang kakak beradik angkat itu kini berdiri saling
berhadapan, dua pasang mata saling menentang pandang dan saling menyelidik.
"Sin
Liong, kalau engkau menghendaki gadis itu, nah, kau ambillah dia! Kalau kau
minta baik-baik pun tentu akan kuberikan, tidak perlu kau mengejar-ngejarku
semalam suntuk!"
Sin Liong
menarik napas panjang. "Houw-ko, maafkanlah aku apabila aku mengganggu
kesenanganmu. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku mengejar-ngejar sama sekali
bukan bermaksud mendapatkan wanita itu, melainkan aku ingin mencegah agar
Houw-ko tidak melakukan perbuatan jahat terhadap wanita itu."
"Melakukan
perbuatan jahat? Apa maksudmu?" Ceng Han Houw bertanya, suaranya kaku dan
sinar matanya memancarkan kemarahan.
Sin Liong
memandang tajam. Marahlah dia. Apakah Han Houw hendak mempermainkan dia
sehingga masih berpura-pura bertanya lagi padahal sudah jelas betapa pemuda itu
melarikan dan hendak memaksa seorang gadis yang tidak mau menuruti kehendaknya?
"Houw-ko,
jelas bahwa engkau melarikan gadis itu, hendak memperkosa dan memaksa dia, dan
engkau masih bertanya apakah maksudku?" dia berkata dengan suara bernada
teguran.
Kini Han Houw
memandang dengan sinar mata berapi dan mukanya yang tampan gagah itu menjadi
merah sekali, matanya yang lebar itu terbelalak dan dia menggerakkan kedua
tangannya bertolak pinggang. "Cia Sin Liong! Kau berani menuduhku
demikian? Kau kira aku ini laki-laki macam apa? Sungguh engkau menghinaku,
karena itu tidak mungkin aku membiarkan saja penghinaan itu!" Tiba-tiba
tubuhnya menerjang ke depan dan pangeran ini sudah menyerang Sin Liong dengan
hebatnya!
"Ehhh...!"
Sin Liong terkejut bukan main dan cepat dia mengelak kemudian meloncat ke
belakang.
Akan tetapi,
kini Han Houw sudah melanjutkan serangannya dengan tendangan berantai,
tendangan Soan-hong-twi yang bertubi-tubi karena kedua kakinya bergerak seperti
angin puyuh, bergantian menyambar dengan amat kuat dan cepatnya.
"Plakk!
Plakk!"
Sin Liong
mengelak dan terpaksa menangkis sebab bila mengelak terus akan berbahaya. Akan
tetapi dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya karena sebenarnya dia tidak
ingin berkelahi dengan kakak angkatnya ini.
"Houw-ko,
jangan...!"
"Sin
Liong, apakah engkau akan menjadi pengecut? Sudah berani menghina tidak berani
menanggung akibatnya?" bentak Han Houw.
Dia terus
menyerang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaiannya karena memang dia ingin
menguji adik angkatnya ini. Serangan demi serangan yang amat hebat dilancarkan
oleh Han Houw, bahkan pemuda bangsawan ini juga segera mengerahkan sinkang-nya
yang membuat tubuhnya kebal, maka Sin Liong terdesak hebat sekali. Saat dia
mengelak dan mengatur langkah untuk menghindarkan diri tanpa membalas, tetap
saja pundaknya kena sambaran pukulan Han Houw.
"Dessss...!"
Tubuh Sin
Liong terguling. Pukulan tadi keras bukan main dan hanya karena ada tenaga
Sin-ciang saja maka pundaknya terlindung dan tidak sampai terluka atau patah
tulangnya. Namun Sin Liong menderita kenyerian yang membuat dia meringis. Han
Houw gembira dapat merobohkan Sin Liong, maka dia lalu menubruknya dengan
susulan pukulan yang amat keras.
Dalam
keadaan bergulingan itu Sin Liong melihat datangnya pukulan keras, maka dia pun
mengerahkan tenaganya dan menangkis dari bawah.
"Dukkk...!"
Tubuh Han
Houw terpental sampai dua meter, akan tetapi dia dapat cepat berjungkir balik
sehingga tidak sampai terbanting jatuh. Diam-diam Han Houw merasa kagum sekali
dan juga penasaran. Pemuda ini semenjak kecil bukan saja digembleng dengan
ilmu-ilmu silat tinggi oleh suci-nya dan juga oleh subo-nya, akan tetapi selain
ilmu silat juga dia memiliki kepandaian seperti suci-nya, yaitu waspada dan
bisa mengenal ilmu-ilmu silat orang lain, mudah menangkap dan mencatat
ilmu-ilmu asing.
Maka ketika
dia menyerang Sin Liong, dia sudah memasang mata untuk mencatat semua gerakan
adik angkatnya itu. Seperti biasa, seperti yang diajarkan oleh suci-nya pula,
dia ingin mencuri ilmu silat lawan yang tinggi. Akan tetapi sekali ini dia
kecele.
Saat dia
menyerang sambil memperhatikan gerakan Sin Liong, adik angkatnya itu hanya
mengelak atau menangkis saja, sama sekali tidak mau balas menyerang sehingga
dia tidak dapat mengenal perkembangan setiap gerakan. Apa lagi, gerakan Sin
Liong terlalu sederhana, seperti bukan gerakan silat lagi, melainkan gerak
otomatis melindungi diri dari bahaya.
Memang
demikianlah. Makin tinggi dan makin matang ilmu silat yang dimiliki seseorang,
makin lenyap pula kembangan-kembangan yang tidak ada gunanya, yang hanya
bertugas sebagai hiasan belaka.
Sin Liong
yang digembleng oleh orang-orang sakti telah membuat ilmu-ilmu yang tinggi itu
mendarah daging dan menjadi satu dengan syaraf tubuhnya sehingga setiap
gerakannya, biar tidak sedang berkelahi sekali pun, telah mengandung
unsur-unsur melindungi diri ini. Oleh karena itu, begitu dia diserang, dia
langsung bergerak tanpa hafalan ilmu silat lagi, melainkan secara otomatis dan
gerakannya tidak lagi dibatasi oleh gerak hafalan. Setiap jurus yang
dimainkannya hanya keluar intinya saja, yang disesuaikan dan dimanfaatkan
dengan datangnya setiap bahaya.
Oleh karena
itu, maka Han Houw yang memperhatikan dan ingin mempelajarinya, hanya melihat
gerakan sederhana tanpa tahu ujung pangkalnya. Padahal, untuk menghindarkan
diri dari semua serangan Han Houw yang sungguh amat berbahaya tadi, Sin Liong
telah mempergunakan ilmu silat yang tinggi, di antaranya jurus-jurus dari
San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, dan dia menggerakkan pula hawa sakti dari
tubuhnya yang diwarisi dari Kok Beng Lama, yaitu Thian-te Sin-ciang.
Tidaklah
aneh bahwa semua serangan Han Houw bisa dihindarkan oleh Sin Liong karena anak
itu mempergunakan inti dari ilmu-ilmu yang sangat tinggi itu. Akan tetapi Han
Houw menjadi makin penasaran.
"Sin
Liong, coba kau sambut serangan pedangku!" Dia telah mencabut pedangnya
lantas menyerang.
"Houw-ko...
mengapa kau... hendak membunuhku?" Sin Liong berseru kaget, akan tetapi
pedang itu sudah meluncur ke arah lehernya.
Tentu saja
Sin Liong tidak mau dibunuh begitu saja. Melihat pedang meluncur dengan cepat
ke lehernya, dia mulai merasa marah. Bagaimanakah kakak angkatnya ini? Sudah
gilakah? Setelah dia mengenal kekuatan kakak angkatnya yang lihai, dia pun tahu
bahwa serangan pedang itu tidak boleh dipandang ringan. Maka secara otomatis
Sin Liong cepat menggerakkan tangan kanannya dengan mengerahkan Thian-te
Sin-ciang yang membuat lengan dan tangannya menjadi kebal, menangkis ke arah
pedang lalu mencengkeramnya.
"Plakkk!"
Pedang itu
kena dicengkeram dan tangan kirinya lantas menangkap pergelangan tangan Han
Houw.
"Ihhhhh...!"
Han Houw berseru dan kaget bukan main.
Ia merasa
betapa tenaga sinkang-nya memberobot keluar dari lengannya yang terpegang adik
angkatnya itu. Maka tahulah dia bahwa Sin Liong telah menggunakan Thi-khi
I-beng yang mukjijat, dan dia juga kagum melihat betapa adik angkatnya itu
berani menyambut pedang dengan tangan kosong dan memiliki kekebalan yang tak
kalah ampuhnya dengan ilmu kekebalan yang dimilikinya sendiri.
Tentu saja
Han Houw tidak mau menerima kalah begitu saja. Dalam kekagetannya akibat tenaga
sinkang-nya tersedot keluar, tangan kirinya langsung bergerak dan jari-jari
tangan itu menusuk ke arah mata Sin Liong! Mata merupakan bagian tubuh yang
tentu saja tidak mungkin dibikin kebal, maka serangan ini amat mengejutkan hati
Sin Liong yang terpaksa melepaskan pedang dan lengan lawan, lalu melangkah
mundur sambil mengelak dengan miringkan kepalanya.
Akan tetapi
Han Houw benar-benar hebat. Baru saja pedang dan tangannya terlepas, dia
menyusuli tusukan jari tangan ke arah mata tadi dengan tusukan pedang ke arah
pusar dan tangan kirinya mencengkeram dengan ganas sambil mengerahkan tenaga
sehingga dari telapak tangan kiri itu mengepul uap hitam.
Itulah
pukulan beracun sejenis Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang mengeluarkan
uap hitam. Baru bau uapnya itu saja telah cukup untuk merobohkan atau membuat
pening lawan, apa lagi pukulannya sendiri!
Diserang
seperti itu, Sin Liong kembali terkejut dan dia harus mengakui bahwa Han Houw
merupakan lawan yang luar biasa lihainya dan kalau dia tidak segera
mengeluarkan ilmu simpanannya, jangan-jangan dia akan celaka di tangan kakak
angkatnya. Maka dia cepat meloncat ke belakang dan ketika kakaknya mendesak,
dia merendahkan tubuhnya, dua tangannya bergerak aneh, mendorong ke depan.
"Eihhh...!
Brukkkk!"
Tubuh Han
Houw terbanting cukup keras sehingga dia menjadi pening! Dia hanya dapat
bangkit duduk dan memejamkan mata sambil mengguncang-guncang kepalanya karena
bumi seperti terputar di sekelilingnya.
"Houw-ko,
maafkan aku...!" Sin Liong cepat menghampiri.
Han Houw
mengangkat muka memandang, kemudian menarik napas panjang. Dia tidak membantah
ketika adik angkatnya mengulurkan tangan dan membantunya bangkit berdiri.
Disimpannya pedangnya dan dia bertanya dengan pandang mata penuh kagum,
"Liong-te,
bukankah pukulanmu yang terakhir tadi merupakan sebuah jurus dari ilmu silat
yang diajarkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw?"
Sin Liong
mengangguk. "Dari kitabnya karena aku belum pernah diajar secara
langsung." Sin Liong mengingatkan.
"Ahhh,
bukan main! Baru belajar tidak langsung saja sudah begitu hebat. Apa lagi kalau
diajar oleh manusia sakti itu sendiri. Ah, aku harus menemuinya dan berguru
kepadanya! Liong-te, engkau hebat sekali."
"Maafkan
aku, Houw-ko. Akan tetapi mengapakah engkau menyerangku seperti itu?" Sin
Liong bertanya, nadanya menegur.
Han Houw
memandangnya kemudian tersenyum. "Aku ingin mengujimu saja, adikku. Dan
pula, mengapa engkau menghinaku dan menuduhku yang bukan-bukan? Kau menuduhku
hendak memaksa dan memperkosa wanita!"
Sin Liong
menengok dan melihat gadis itu sudah duduk dengan muka pucat, matanya
terbelalak dan kelihatan takut sekali. Semenjak tadi dia tak berani bergerak,
hanya duduk dan melihat perkelahian itu.
"Akan
tetapi... mengapa engkau melarikan gadis itu?"
Han Houw
menoleh ke arah gadis itu dan tersenyum lebar. "Kau kira aku ini orang
apa? Aku adalah Pangeran Oguthai, lupakah engkau, adikku? Memperkosa wanita?
Ahhh, apa perlunya? Semua wanita akan suka sekali melayaniku, kenapa aku harus
memperkosa? Betapa hina dan rendahnya!"
"Tapi...
tapi dia itu tidak mau dan berteriak-teriak..." Sin Liong berkata bingung.
"Ha-ha-ha,
karena gelap dan karena dia tidak tahu aku siapa! Disangkanya aku sama dengan
si laknat Bouw Song Khi yang menculiknya. Kini kau lihat saja, adikku, dan coba
buktikan apakah aku memperkosa wanita ataukah tidak?" Setelah berkata
demikian, Han Houw lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya, memakai kembali topinya
yang tadi terjatuh, kemudian dengan langkah lembut dia berjalan menghampiri gadis
yang masih duduk di atas rumput.
Melihat
pemuda tampan bertopi indah itu menghampirinya, gadis itu memandang dengan mata
terbelalak. Baru sekarang dia melihat betapa orang yang semalam melarikannya
itu ternyata adalah seorang pemuda yang sedemikian tampan dan gagahnya! Hal ini
sama sekali tidak disangkanya, maka dia menjadi terheran-heran, juga hatinya
ragu-ragu dan masih takut-takut.
Han Houw
tersenyum manis dan memang wajah pangeran ini amat tampan dan sikapnya halus
serta gagah. Dia mempergunakan bahasa daerah, dengan lembut dia lalu berkata
kepada gadis dusun itu.
"Nona,
aku sudah menolongmu dari rumah yang terbakar, membebaskanmu dari tangan
penjahat-penjahat kejam, mengapa engkau malah meronta-ronta dan menangis
semalam suntuk sehingga saudaraku ini mengira yang bukan-bukan?" Suara itu
halus dan dengan muka manis sehingga dara itu kehilangan rasa takutnya.
"Maafkan
saya... saya tidak tahu dan menyangka... kawanan penjahat itu yang melarikan
saya..."
"Hemm,
anak manis. Engkau tidak tahu siapa aku maka kau mengira aku seorang jahat?
Coba pandang wajahku dengan teliti. Apakah engkau belum pernah mendengar
tentang Pangeran Oguthai?"
Dara itu
terbelalak dan memandang wajah pangeran itu dengan takjub. "Pangeran...
pangeran..."
"Akulah
Pangeran Oguthai, putera Raja Sabutai!"
"Ahhh...
ampunkan hamba, pangeran..." Dan gadis dusun itu langsung menjatuhkan diri
berlutut sampai hampir menelungkup di atas tanah, di depan kaki pangeran itu.
Han Houw
tersenyum dan menoleh ke arah Sin Liong yang hanya memandang dengan penuh
perhatian. "Bangunlah, manis. Aku tidak ingin melihat pakaian dan wajahmu
yang manis itu kotor oleh tanah. Bangunlah, aku mengampunimu."
Gadis itu
bangun tapi masih berlutut, lalu menengadah, wajahnya berseri dan bertambah
manis. "Ahhh, terima kasih, pangeran..." Sikapnya berubah sama
sekali, kini sama sekali tidak lagi kelihatan takut, bahkan tersenyum manis
sekali!
"Manis,
engkau cantik dan aku suka padamu. Kalau aku minta padamu agar engkau suka
melayaniku, karena aku cinta padamu, apakah engkau akan menolak?"
Wajah yang
berseri itu seketika menjadi merah sekali dan wajah itu menunduk kelihatan
malu-malu akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. Gadis itu menggelengkan kepala
karena rasa malu membuat dia sukar untuk menjawab dengan mulut.
"Bagus!"
kata Han Houw sambil tertawa dan mengangkat bangun gadis itu.
Pada saat
berdiri, ternyata gadis itu hanya setinggi pundaknya. Gadis dusun itu bertubuh
ramping padat dan kini wajahnya yang merah itu kelihatan bertambah manis.
"Kini,
untuk membuktikan kepada saudaraku bahwa aku tidak memaksamu..." Pangeran
itu mendekatkan mulutnya di telinga dara itu dan berbisik-bisik.
Gadis dusun
itu menahan ketawa dan mukanya makin tersipu-sipu, matanya melirik ke arah Sin
Liong dan akhirnya, tiba-tiba saja dia menahan ketawa dan merangkulkan kedua
lengannya ke leher Han How, mencium pipi pangeran itu di depan Sin Liong!
Kiranya itulah yang diminta oleh Han Houw kepada dara dusun itu untuk
membuktikan kepada Sin Liong bahwa dia tidak perlu memperkosa wanita! Ketika
gadis itu menciumnya, Han Houw tertawa dan menoleh ke arah Sin Liong. Ketawanya
makin kenas ketika dia melihat Sin Liong membuang muka dan cemberut.
"Ha-ha-ha,
adikku yang baik, kau tunggulah di situ sebentar!" kata Han Houw yang
masih tertawa gembira lalu pangeran itu memondong tubuh gadis dusun yang masih
merangkul lehernya, dibawanya menghilang ke balik semak-semak tak jauh dari
tempat itu!
Sin Liong
mendengar suara ketawa tertahan kedua orang itu dan dia merasa muak, lalu
dijauhinya tempat itu sampai dia tidak mendengar apa-apa lagi. Dia lalu
menghempaskan dirinya duduk di atas tanah berumput sambil termenung. Dia
mengusir bayangan yang muncul dalam benaknya, bayangan Han Houw dan gadis itu
dan dia menggigit bibirnya.
Ceng Han
Houw bukan manusia baik-baik! Suara ini terdengar olehnya, seperti dibisikkan
oleh hatinya. Memang benar bahwa Han Houw tidak memperkosa gadis itu dengan
cara kekerasan, akan tetapi apa bedanya pemerkosaan dengan kekerasan kalau
dibandingkan dengan bujukan? Gadis itu memang tidak menyerahkan diri karena
paksaan, akan tetapi menyerahkan diri karena silau oleh kedudukan dan
ketampanan yang akhirnya toh sama juga!
Dia tahu
benar bahwa Han Houw tidak melakukan perbuatan itu karena cintanya kepada gadis
yang sama sekali tidak dikenalnya itu, melainkan terdorong oleh nafsu seperti
yang sering dilakukannya dengan wanita-wanita muda suguhan dari para pembesar.
Ceng Han Houw adalah seorang pemuda mata keranjang, seorang laki-laki yang gila
perempuan, hamba dari nafsu birahinya sendiri!
Betapa pun
juga sikapnya amat baik kepadanya! Dan penyerangan Han Houw tadi pun hanya
untuk menguji kepandaiannya! Dan di dalam dasar hatinya memang terdapat rasa
suka kepada pangeran itu. Sin Liong merasa bingung dan penuh keraguan. Haruskah
dia melanjutkan pendekatan diri dengan pangeran itu? Ataukah seharusnya dia
cepat pergi meninggalkannya?
Kesenangan
atau kenikmatan, yakni perasaan menikmati kesenangan, adalah berkah yang
dimiliki setiap manusia. Namun, berkah ini berubah menjadi sumber kesengsaraan
kalau kesenangan sudah mencengkeram dan memperbudak kita. Suatu peristiwa apa
pun dapat mendatangkan suka cita, mendatangkan kebahagiaan pada saat itu juga.
Akan tetapi
jika pikiran kita mencatat pengalaman itu, mengingatkan dan menginginkan
terulangnya kembali pengalaman penuh nikmat itu, maka suka cita itu berubah
menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan setelah kita menjadi pengejar kegenangan,
muncullah pelbagai konflik dan terseretlah kita ke dalam kesengsaraan.
Memang
selera manusia berbeda-beda, tergantung dari lingkungan hidup dan pendidikan
masing-masing. Setiap orang manusia tentu merasa benar dalam pengejarannya
masing-masing terhadap sesuatu yang dinamakan cita-cita, yang dianggap benar
dan akan dapat mendatangkan kebahagiaan hidup.
Seorang
saterawan akan mengejar dan mendewa-dewakan kesusasteraan dan dia akan
menganggap bahwa kesusasteraan itulah yang paling berharga dalam kehidupan,
yang dianggapnya merupakan satu-satunya sarana menuju kebahagiaan. Seorang ahli
silat akan mengejar-ngejar ilmu sliat dan menganggap ilmu silat sebagai
satu-satunya hal yang terpenting dalam hidup. Seorang hartawan akan
mengejar-ngejar harta dan menganggap bahwa hanya hartalah yang akan dapat
membahagiakan kehidupan manusia. Seorang pembesar akan mengejar kedudukan atau
nama yang dianggapnya terpenting di dunia ini. Seorang pendeta akan
mengejar-ngejar kedamaian batin, dan sebagainya lagi.
Semua
pengejaran itu, meski diselimuti dengan nama apa pun, yang rendah atau yang
tinggi, yang hina atau yang agung, pada hakekatnya adalah sama saja! Segala
sesuatu yang dikejar-kejar dan diinginkan, atau merupakan suatu hal yang
dianggap akan bisa mendatangkan kesenangan, baik berupa kesenangan lahir mau
pun kesenangan batin yang sesungguhnya sama saja, bagi si pengejar!
Dan karena
pandangan setiap orang pengejar terhadap kesenangan itu berbeda-beda,
tergantung pada keadaan dirinya yang dibentuk oleh lingkungan dan pendidikan,
maka semua pengejaran kesenangan dalam berbagai bentuk itu hanya merupakan
perpecahan. Yang dikejar-kejar itu hanya merupakan sebagian saja dari
kehidupan, sebagian yang dipentingkan. Oleh karena itu, akhirnya akan
mendatangkan kekecewaan karena tanpa yang lain-lain, maka satu yang dikejarnya
itu takkan lengkap!
Si pengejar
uang, biar pun berhasil menumpuk uang banyak, namun kalau tidak memiliki
kesehatan, akan merasa kecewa dan sengsara. Si kaya dan sehat, kalau merasa
rendah kedudukannya dan tidak terpandang, akan merasa kecewa juga. Begitulah,
pengejaran selalu menimbulkan pengejaran akan suatu yang lain lagi dan tidak
akan ada habisnya sebelum kita mati!
Kita akan
menjadi hamba dari keinginan ini, selama hidup mengejar-ngejar apa yang kita
anggap akan membahagiakan kehidupan kita, seperti mengejar bayangan sendiri
yang tidak akan mungkin pernah dapat tertangkap. Pengejaran menunjukkan adanya
ketidak puasan, dan hati yang tidak puas, mengejar dan memperoleh apa pun juga
akan tetap tidak puas dan akan terus mengejar yang lain, yang dianggap lebih
menyenangkan dari pada apa yang telah diperoleh atau dimiliki. Beginilah
kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Oleh karena
itu, timbul pertanyaan yang sangat penting bagi kita semua, yaitu: Apakah
mungkin bagi kita untuk hidup tanpa mengejar apa pun? Bukan berarti kita lalu
tidur pulas atau bermalas-malasan, bukan berarti kita menjadi tidak pedulian,
bukan berarti kita putus asa! Sama sekali bukan! Bahkan sebaliknya!
Dengan bebas
dari keinginan mengejar kesenangan, kita akan benar-benar hidup! Kita
benar-benar waspada akan kehidupan saat demi saat, membuka mata melihat segala
sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan kita, tidak dibuai oleh khayalan dan
bayangan cita-cita yang abstrak. Dan kalau kita sudah tidak ingin apa-apa yang
tidak ada, maka barulah kita dapat waspada terhadap apa yang ada!
Sesungguhnya,
kebahagiaan hanya terdapat dalam apa yang ada! Dan perhatian terhadap apa yang
ada setiap saat ini, tanpa membiarkan diri diseret oleh lingkaran setan berupa
kenangan masa lalu dan bayangan atau harapan masa depan, adalah benar-benar hidup
yang sesungguhnya. Hidup adalah kenyataan setiap saat ini, bukan kenangan masa
lalu, bukan pula bayangan khayal masa depan.
Sekali lagi,
dapatkah kita hidup tanpa mengejar kesenangan dalam bentuk apa pun? Apa bila
sudah begitu, mungkin akan nampak jelas oleh kita bahwa kebahagiaan terdapat di
mana-mana, dalam segala waktu dan keadaan, karena kebahagiaan bukanlah soal di
luar diri, melainkan soal batin, dan mungkin mata kita akan dapat melihat
keindahan di mana-mana, dalam senyuman seorang manusia lain, dalam pandang mata
isteri, suami, anak atau siapa saja, dalam lambaian ujung daun, dalam cahaya
matahari, dalam awan berarak, dalam air hujan, dalam apa saja!
"Liong-te,
apakah engkau sekarang masih menuduhku pemerkosa dan pemaksa wanita?"
Suara ini mengejutkan
Sin Liong yang sedang melamun. Dia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya dan
ternyata Ceng Han Houw telah berdiri di situ, wajahnya berseri dan lengan
kirinya merangkul leher dan pundak gadis tadi yang sekarang berdiri dengan muka
merah dan malu-malu namun matanya juga bersinar-sinar dan berseri penuh
kegembiraan.
Sejenak Sin
Liong memandang keduanya dengan sinar mata marah. Dia merasa amat jijik
terhadap mereka, kemudian dengan bersungut-sungut dia meninggalkan mereka,
mencari kudanya.
"Manis,
kau pulanglah ke dusunmu. Kelak aku akan datang mencarimu," terdengar Han
Houw berkata.
Gadis itu
mengeluh, kemudian menangis ingin ikut. Han Houw membentaknya dan gadis itu
diam. Dengan sudut matanya Sin Liong melihat betapa mereka berciuman, kemudian
gadis itu pergi dengan muka tertunduk. Dan tidak lama kemudian Han Houw juga
sudah meloncat ke atas kudanya.
"Ha-ha-ha,
Liong-te, jangan murung. Mari kita pergi!"
"Aku
akan kembali ke selatan!" Sin Liong berkata, suaranya masih kaku.
"Aku
juga akan kembali ke selatan. Ingat, kita hendak mencari suhu Bu Beng Hud-couw
bersama-sama. Mari kita pergi ke kota Ceng-lun di tepi Sungai Luan, kemudian di
sana aku akan menyuruh orang mengabarkan kepada ayahku bahwa tugas kita sudah
selesai dan Jeng-hwa-pang telah kita basmi."
Sin Liong
tidak banyak membantah. Hatinya masih terasa panas dan tak enak. Dia masih
marah karena urusan gadis dusun tadi. Akan tetapi Han Houw bersikap ramah
sekali dan di sepanjang perjalanan dia bicara dengan gembira, menceritakan
mengenai daerah yang mereka lewati.
Sebagai
seorang putera raja, tentu saja dia banyak mempelajari tentang daerah-daerah di
luar tembok besar. Dengan bangga dia menceritakan betapa ayahnya, Raja Sabutai
telah menjelajahi seluruh daerah itu dan bahkan pernah menaklukkan hampir semua
daerah di luar tembok besar. Karena sikap ramah dan ceritanya menarik, mau
tidak mau Sin Liong mendengarkan dengan hati tertarik hingga sikap kakak
angkatnya itu sebentar saja sudah menghapus rasa marah dari dalam hatinya.
Pangeran ini
memang mata keranjang dan senang bermain gila dengan wanita, pikirnya. Akan
tetapi dia melihat pula kenyataan bahwa walau pun pangeran ini mempergunakan
kedudukan dan ketampanannya untuk menjatuhkan hati wanita, tetapi si wanita
sendirilah yang salah. Dia melihat kenyataan bahwa wanita itu memang lemah,
mudah terbujuk dan secara murah saja menyerahkan dirinya. Kalau wanita itu
berhati bersih, tidak mungkin mau menyerahkan diri secara sedemikian mudah dan
murahnya. Dan dia berjanji dalam hati bahwa bila dia bertemu dengan wanita
seperti itu, maka dia akan melindunginya dan kalau perlu dia akan menentang
kakak angkatnya!
Beberapa
kali Sin Liong menoleh ke arah kakak angkatnya yang menjalankan kudanya
perlahan di sampingnya. Dia heran melihat pangeran ini. Sekarang kelihatan
begitu baik, begitu ramah, dan seakan-akan pengalaman dengan wanita tadi,
perkelahiannya dengan dia, hanya merupakan hal remeh yang boleh dilupakan dalam
sekejap mata saja!
"Houw-ko..."
"Ada
apakah, Liong-te?" Han Houw menoleh dan tersenyum.
"Siapakah
nama perempuan tadi?"
Han Houw
terbelalak, senyumnya melebar. "Ahhh...? Mana aku tahu?"
Sin Liong
mengerutkan alisnya, keheranannya membesar. "Tidak tahu namanya?"
Amat sukar dipercaya bahwa orang yang sudah berhubungan selekat itu masih belum
diketahui namanya!
"Ha-ha,
Liong-te. Perempuan seperti itu saja, mana pantas kita ingat namanya? Di dunia
ini terdapat laksaan perempuan seperti itu, yang menyerah dengan mudah karena
bangga melayani kita. Kalau kita harus memperhatikan mereka, wah, kiranya tidak
ada apa-apa lagi yang dapat kita pikir karena sudah penuh dengan nama-nama
mereka. Ha-ha-ha! Dia tidak ada harganya untuk diingat."
"Tapi...
tapi... dia seorang gadis, dan kau... kau sudah... dan kau janjikan dia, kau
suruh menanti di dusunnya..."
Kembali
pangeran itu tertawa bergelak. "Wah, adikku yang baik. Engkau sungguh
hijau, jujur dan masih polos benar-benar! Kalau aku tidak muncul dalam waktu
beberapa bulan saja, dia, gadis seperti itu, tentu sudah memperoleh
penggantiku. Ehh, Sin Liong, apakah benar-benar engkau tidak suka kepada
wanita?"
Sin Liong
mengerutkan alisnya, masih terlalu kaget dan terheran mendengar keterangan
kakak angkatnya. Pangeran ini menganggap hubungan antara pria dan wanita
demikian remehnya! Kemudian pertanyaan terakhir itu mengejutkannya sehingga
wajahnya kembali menjadi merah.
"Aku
bukannya tidak suka atau suka, akan tetapi jelas aku tak akan melakukan
perbuatan seperti yang kau lakukan itu, Houw-ko!" katanya tegas dan dia
menyuruh kudanya lari congklang. Han Houw tertawa bergelak dan mengejar.
***************
Kota
Ceng-lun adalah sebuah kota di pinggir Sungai Luan yang berada di sebelah utara
Peking dan berada di luar tembok besar. Kota ini cukup ramai dan dulu kota ini
pernah diduduki oleh pasukan Raja Sabutai, bahkan dijadikan benteng ketika raja
ini memimpin pasukannya untuk menyerbu ke dalam tembok besar di selatan. Biar
pun kini daerah itu dikepalai oleh pasukan liar dari bangsa Nomad lain yang
bersahabat dengan pemerintah Kerajaan Beng-tiauw pada waktu itu, akan tetapi
suku bangsa ini pun masih tunduk akan kekuasaan Raja Sabutai yang sangat kuat
dan yang merupakan bahaya lebih dekat dan lebih besar bagi suku bangsa itu dari
pada bahaya yang datang dari dalam tembok besar.
Inilah
sebabnya maka ketika Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama Sin Liong
sampai di kota Ceng-lun, para pembesar setempat mengenal pangeran ini, dan dua
orang muda itu disambut dengan hormat dan meriah! Apa lagi sesudah Ceng Han
Houw dapat membuktikan dirinya sebagai seorang pangeran Kerajaan Beng, dan
dapat menunjukkan tanda kekuasaan yang diperolehnya dari Kaisar Beng yang baru,
maka semua orang makin menyembah-nyembahnya!
Kembali Sin
Liong melihat dengan hati tidak senang betapa kakak angkatnya itu bersikap congkak
dan tinggi hati, menganggap fihak tuan rumah, yaitu para pembesar seperti anak
buah saja, dan anehnya, yang diperlakukan seperti itu malah terlihat senang dan
menjilat-jilat!
Lebih lagi
ketika mereka berdua dijamu dengan hidangan yang serba mewah dan dilayani makan
minum oleh sekumpulan gadis-gadis cantik. Sin Liong merasa sungkan, malu dan
juga muak.
Sejak kecil
dia sudah hidup bebas dan seadanya, sederhana, akan tetapi kebebasannya
mendatangkan rasa nikmat dan bahagia yang luar biasa. Maka sekarang, keadaan
yang mewah serta dikurung kesopanan dan peraturan yang memuakkan hatinya itu,
tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang.
Bagi Sin
Liong yang berjiwa bebas, yaitu kebebasan yang diperolehnya karena keadaan
hidupnya di waktu kecil, semua peraturan dan sopan santun, semua kebudayaan
yang jelas kelihatan amat palsu olehnya itu, tentu saja nampak tidak
menyenangkan dan malah merepotkan.
Memang, bila
mana kita mau membuka mata dan melihat apa adanya, akan nampak oleh kita betapa
kita ini hidup di alam kepalsuan! Sikap kita, senyum kita, ucapan-ucapan kita,
semua itu terkendali, semua itu munafik dan palsu, tidak sewajarnya, semua itu
demi kesopanan. Apakah sikap yang dibuat-buat itu sopan?
Kalau kita
bicara dengan orang lain, terutama kalau kita bicara dengan orang yang lebih
tinggi kedudukannya dari pada kita, atau lebih kaya, atau lebih pintar menurut
anggapan kita, maka otomatis muncullah kepalsuan kita, senyum kita, pandang
mata kita, kata-kata kita, semua itu disesuaikan dalam pertemuan itu sehingga
kita menjadi manusia lain, yang berbeda dengan pembantu kita, yang berbeda
dengan keluarga kita dan sebagainya!
Sopan santun
pura-pura dan palsu! Beginikah kebudayaan kita? Beginikah peradaban kita?
Betapa menyedihkan bila hal itu kita namakan kebudayaan, peradaban yang hanya
merupakan kepintaran berpura-pura belaka, pandai bermanis selagi perasaan
sepahit-pahitnya, pandai menghormat dan bersikap sopan selagi hati menghina dan
membenci! Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk berpura-pura seperti
itu!
Semenjak
kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai orang
yang sopan, sebagai yang orang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita tak
pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam arti kata
menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, dan bukan sekedar sikap lahiriah
yang pura-pura belaka!
Kalau sudah
ada rasa hormat dalam batin kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul
bukan karena pura-pura, bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang
dengan sendirinya muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, apa bila
sudah ada rasa cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan
itu, segala kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara
manusia akan menjadi lain sama sekali!
Kalau segala
kepalsuan itu sudah tidak ada, dan bila mana hubungan antara manusia didasari
cinta kasih, maka hubungan itu baru benar-benar akan ada! Tetapi sebaliknya,
hubungan seperti yang ada sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan
antara dua gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya,
tidak seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul
pertentangan-pertentangan.
Saat Han
Houw minta kepada pembesar kota Ceng-lung untuk menyampaikan laporannya kepada
Raja Sabutai tentang hasilnya membasmi Jeng-hwa-pang, pembesar itu terkejut
bukan main, akan tetapi dengan tergopoh-gopoh dia cepat mengutus pasukan kecil
untuk menyampaikan berita itu ke utara.
Para
pembesar itu baru tahu bahwa dua orang pemuda ini ternyata memiliki kepandaian
luar biasa, karena kalau tidak demikian, mana mungkin dua orang itu mampu
membasmi perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu?
Pada malam
harinya, kembali dua orang muda itu dijamu secara besar-besaran oleh para
pejabat di Ceng-lun. Han Houw nampak gembira bukan main dan minum sampai hampir
mabuk. Malam makin larut dan akhirnya para pembesar itu minta diri,
meninggalkan dua orang muda itu melanjutkan bersenang-senang dengan dilayani
oleh delapan orang gadis cantik manis yang melayani sambil tersenyum-senyum.
Karena dipaksa dan dibujuk oleh Han Houw, Sin Liong minum arak agak banyak
pula. Meski pun dia tidak sampai mabuk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa
panas dan dia mulai pening.
"Houw-ko,
aku pun hendak mengaso. Biarlah aku kembali ke kamar lebih dulu dan kalau
engkau belum puas, kau lanjutkan sendiri pesta ini," katanya sambil
bangkit sendiri.
Han Houw
tertawa bergelak dan mengangkat cawan yang penuh arak. "Ha-ha-ha, engkau
sudah hendak tidur? Ha-ha-ha! Bagus, bagus, dan selamat Liong-te, selamat
bersenang-senang, ha-ha-ha!"
Sin Liong
memandang kakak angkatnya dengan alis berkerut, dia tidak mengerti apa yang
dimaksudkan oleh kakaknya itu. Akan tetapi Han Houw hanya tertawa sambil
merangkul pinggang salah seorang di antara empat orang gadis cantik yang
berpakaian serba merah, maka dia pun mengira bahwa kakak angkatnya itu sudah
mabuk.
Dia
tersenyum, menggeleng kepala lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan ruangan itu
untuk pergi ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Dia tidak tahu bahwa empat
orang yang berpakaian serba hijau saling pandang, tersenyum lalu mereka pun
membayanginya dari jauh.
Karena
terlalu banyak minum, Sin Liong segera melempar tubuhnya ke atas pembaringan
tanpa membuka pakaian atau sepatunya. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya
panas. Tiba-tiba dia terkejut karena biar pun dia pening dan mengantuk, namun
pendengarannya masih tajam sekali sehingga sedikit gerakan di pintu itu cukup
membuat dia terkejut dan menoleh.
Dia
terbelalak heran ketika melihat empat orang gadis berpakaian serba hijau yang
tadi melayaninya makan minum, kini memasuki kamarnya itu dan gadis terakhir
menutupkan pintu kamar. Mereka itu tersenyum-senyum memandang kepadanya dengan
sikap sangat genit.
"Hee!
Mau apa kalian masuk ke sini...?" Sin Liong sudah bangkit duduk lantas
menegur dengan gugup.
Empat orang
pelayan yang muda dan cantik-cantik itu sangat genit, dan tadi pada waktu
melayaninya makan minum sudah membuat dia bingung dan gugup sehingga dia tidak
dapat menolak mereka yang ikut-ikut Han Houw membujuknya sehingga dia minum
terlalu banyak.
Empat orang
itu tertawa cekikikan sesudah mendengar pertanyaan ini, dan mereka lalu mulai
menanggalkan pakaian luar mereka! Dengan sikap genit seorang di antara mereka
berkata, "Ah, kongcu..., masih bertanya mau apa? Hik-hik, apa pun mau asal
kongcu yang menyuruh...! Kami berempat memang ditugaskan untuk melayanimu,
kongcu..."
Sepasang
mata Sin Liong makin terbelalak ketika dia melihat betapa empat orang wanita
itu kini tinggal memakai pakaian dalam yang tipis berwarna hijau muda sehingga
terkena sorotan lampu, nampak lekuk lengkung tubuh mereka membayang di balik
pakaian dalam yang tipis itu.
"Tidak...,
tidak...! Kalian layani saja Houw-ko..."
"Ahh,
kongcu tidak usah khawatir. Pangeran sudah ada yang melayani, yaitu empat orang
gadis berpakaian merah tadi. Kami bertugas melayanimu, kongcu, dan kami
beruntung sekali karena kami merasa lebih senang melayanimu..."
"Ehh,
mengapa?" Sin Liong merasa heran mendengar bahwa mereka ini lebih senang
melayaninya dari pada melayani Han Houw.
"Hik-hik,
karena... semua orang pun dapat melihat bahwa kongcu adalah seorang perjaka
tulen..."
Wajah Sin
Liong menjadi merah dan jantungnya berdebar kencang ketika melihat empat orang
gadis cantik itu dengan langkah memikat maju menghampirinya, lenggang mereka
seperti empat orang penari.
"Mari
kubantu kongcu menanggalkan pakaian. Hawanya begini panas..."
"Biar
kupijit badanmu, kongcu, engkau tentu lelah..."
"Kongcu
hendak minum apa?"
"Aku
yang akan mengipasimu, kongcu..."
Akan tetapi
Sin Liong meloncat menghindarkan mereka. "Aku... aku... mau mencari hawa
sejuk..." katanya gagap dan seperti orang takut setan pemuda ini lari
keluar dari kamar itu.
Tentu saja
empat orang gadis itu melongo, saling pandang lalu tertawa cekikikan. Sikap
pemuda itu malah menimbulkan gairah di hati mereka karena jelaslah bahwa pemuda
itu belum pernah berdekatan dengan wanita, dan hal ini sangat menarik hati
mereka. Sambil tertawa-tawa mereka menyambar pakaian luar mereka, memakainya
kembali dan mereka lalu keluar dari kamar, cekikikan dan berlomba untuk mencari
pemuda itu.
Tiba-tiba
muncullah Han Houw dan dia lalu berbisik-bisik dengan mereka, seperti orang
yang mengatur siasat dan disambut oleh empat orang pelayan itu dengan tertawa
geli.
Sementara
itu, Sin Liong melarikan diri ke dalam taman dengan jantung berdebar tegang.
Tubuhnya penuh keringat karena pengalaman tadi membuat dia menjadi sangat
tegang. Dia sudah mengenal taman ini siang tadi dan tahu bahwa di situ terdapat
sebuah telaga buatan kecil yang airnya jernih. Taman itu sunyi, dan di bagian
utara telaga kecil itu amat indahnya.
Malam itu
bulan bersinar terang dan cahayanya membuat permukaan air telaga kuning keemasan.
Air sedemikian heningnya sehingga bulan bagaikan tenggelam ke dasarnya,
tersenyum kepadanya. Ketika Sin Liong berdiri di tepi telaga dan memandang,
bulan yang bundar itu membentuk wajah. Wajah yang berubah-ubah, wajah keempat
orang pelayan wanita tadi yang kini tersenyum memikat kepadanya.
Dia
bergidik, walau pun tubuhnya terasa gerah. Sin Liong mengusir semua bayangan
itu dengan duduk di tepi telaga yang sunyi dan menujukan pikirannya kepada
pelajaran ilmu yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan dan petunjuk Ouwyang
Bu Sek. Di antara ilmu yang didapatinya di dalam kitab pemberian guru mereka
yang pernah dilihatnya, yaitu Bu Beng Hud-couw, terdapat ilmu semedhi untuk
menghimpun tenaga Im-kang dan waktunya tepat sekali pada saat itu.
Ilmu itu
harus dilakukan dengan cara merendam diri di dalam air, di bawah sinar bulan
purnama. Dan saat itu bulan purnama, dan di depannya terdapat air telaga yang
bening dan jernih. Dia akan dapat melakukan ilmu menyedot dan menghimpun hawa
Im dengan sebaiknya. Apa lagi dia memang sedang merasa panas, dan latihan itu
dapat mengusir gangguan bayangan empat orang wanita tadi yang telah
mengejarnya!
Karena taman
itu sunyi dan tidak kelihatan ada seorang pun kecuali dirinya, Sin Liong tidak
ragu-ragu lagi lalu menanggalkan semua pakaiannya, dan dengan hati-hati dia
lalu turun ke dalam air telaga. Air yang sejuk sekali menyambutnya hingga dia
merasa segar sekali. Dia terus melangkah ke tengah telaga di mana airnya
mencapai perutnya, namun ketika dia duduk bersila, air merendam tubuhnya sampai
ke leher.
Mulailah Sin
Liong bersemedhi dan mengatur napas menurut pelajaran yang ada di dalam kitab
ciptaan Bu Beng Hud-couw dan mulailah dia menghimpun tenaga dari hawa Im yang
berlimpahan bersama dengan sinar bulan purnama memenuhi telaga itu!
Dia segera
merasakan betapa hawa yang sangat dingin itu meresap ke dalam tubuhnya,
bergerak-gerak di dalam pusar karena hawa di dalam tubuhnya segera menolak hawa
Im yang amat kuat itu. Namun dengan menurutkan petunjuk pelajaran itu dia tidak
menolak, melainkan menghimpun dan menerima.
Mula-mula
memang tubuhnya menggigil, akan tetapi makin lama hawa dingin itu semakin
berkurang dan dia mulai merasa nyaman sehingga kalau dia tidak waspada, dia
dapat tertidur dan akibatnya tentu akan berbahaya sekali baginya.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa cekikikan yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan dia
terbelalak memandang ke pinggir telaga di mana empat orang pelayan cantik tadi
sudah berdiri sambil tertawa-tawa dan mereka itu mulai menanggalkan pakaian
mereka dengan cepat! Kini bukan hanya pakaian luar yang mereka tanggalkan,
melainkan berikut pakaian dalam pula sehingga mereka itu semua berbugil!
"Aihhh,
kongcu mandi mengapa tidak mengajak kami?"
"Mari
kugosokkan punggungmu, kongcu."
"Kongcu,
kau ajari aku renang, hi-hik!"
Tiga orang
sudah terjun, kemudian sambil tertawa-tawa menghampiri dan mengurung Sin Liong,
bersiram-siraman air dengan tangan mereka sambil tertawa-tawa. Orang ke empat
sudah tergesa-gesa menanggalkan pakaian untuk terjun pula.
Empat orang
wanita itu tertawa semakin geli ketika melihat keadaan Sin Liong. Memang lucu
sekali keadaan pemuda ini. Dia bengong dan tetap mendekam dalam air, tidak
berani bergerak sama sekali! Dia bertelanjang bulat, bagaimana dia berani
bergerak? Kalau dia melarikan diri, tentu ketelanjangannya akan terlihat orang!
Akan tetapi berdiam saja di situ juga tak mungkin. Empat orang wanita itu telah
mendekatinya, bahkan mulai meraba-raba sambil tertawa-tawa.
"Jangan...
pergilah kalian... pergilah..." Dia berkata gagap, akan tetapi keempat orang
itu semakin geli tertawa-tawa, memperlihatkan dada mereka yang terbuka sambil
melakukan gerakan-gerakan memikat di hadapan Sin Liong sehingga pemuda ini
memejamkan mata agar tidak melihat semua pemandangan itu.
"Aihh,
kongcu, mengapa malu-malu?"
"Malu-malu
kucing, hi-hik..."
"Kongcu,
berilah cium padaku..."
Sin Liong
tidak dapat bertahan lagi. Dia membuka sepasang matanya dan tiba-tiba kedua
tangannya bergerak. Air terpercik ke sekelilingnya.
"Aduhhh...!"
"Ahh,
mataku..."
Empat orang
wanita itu menjerit, cepat menggunakan kedua tangan menutupi muka dan mereka
memejamkan mata karena percikan air itu bagaikan jarum-jarum saja menusuki muka
mereka! Mereka hanya merasakan air bergerak kuat, kemudian sunyi.
Ketika
akhirnya mereka berani membuka mata, ternyata pemuda yang tadi merendam diri
bertelanjang di antara mereka itu telah lenyap. Demikian pula tumpukan pakaian
pemuda itu di tepi telaga telah lenyap pula!
Dengan
kecewa dan juga terheran-heran empat orang gadis cantik itu keluar dari dalam
telaga. Muncullah Han Houw dan dengan kecewa pula dia berkata, "Ah, kalian
sungguh bodoh! Mengapa kalian tidak memeganginya dan tidak berhasil
menundukkannya? Tolol!"
Dan dengan
gemas pangeran ini pun pergi dari sana, kembali ke dalam kamarnya. Dia merasa
amat penasaran karena belum juga dapat berhasil menggoda adik angkatnya itu.
Selama adik angkatnya itu dapat bertahan dan tinggal menjadi seorang perjaka,
dia akan selalu merasa salah dan hal ini amat tidak enak baginya. Dia tidak mau
kalah, dalam hal apa pun juga.
Dan apa bila
dia sudah berhasil menemukan guru adik angkatnya itu, dia pun tidak akan mau
kalah dalam hal ilmu silat. Akan tetapi sekarang, dia tidak saja kalah dalam
ilmu silat, bahkan kalah pula dalam keteguhan hati mempertahankan kemurnian
dirinya. Dia hanya menang dalam kedudukan dan pangeran ini mulai merasa
menyesal dan kecewa.
Sementara
itu, ketika tadi dia menggunakan akal untuk membuat empat orang wanita itu
terpaksa menutupi muka mereka, Sin Liong berhasil melarikan diri tanpa mereka
lihat dan pada saat dia melarikan diri, dia melihat Han Houw mengintai dari
balik sebatang pohon, tidak jauh dari telaga buatan itu! Hatinya merasa
penasaran bukan main karena dia dapat menduga bahwa kembali kakak angkatnya
itulah yang tadi berusaha untuk menyeret dan menjatuhkannya dalam pelukan
wanita-wanita itu!
Mulailah Sin
Liong merasa betapa berbahayanya bila dia melanjutkan perjalanan bersama kakak
angkatnya itu. Ada ketidak cocokan dalam banyak hal di antara mereka, meski pun
harus diakuinya bahwa dia merasa suka kepada Han Houw dan mengagumi pangeran
itu.
Karena dia
merasa marah dengan perbuatan Han Houw yang jelas hendak menyeretnya jatuh ke
dalam permainan cinta kotor dengan wanita-wanita itu, Sin Liong tidak kembali
ke dalam kamarnya, melainkan terus melarikan diri pergi dari kota Ceng-lun.
Bahkan kuda tunggangnya tidak diambilnya dan dia melanjutkan perjalanan seorang
diri, menggunakan ilmunya berlari cepat melintasi padang pasir dan menyeberangi
tembok besar, memasuki daerah selatan. Dia meninggalkan Han Houw begitu saja!
Sin Liong
melakukan perjalanan jauh menuju selatan yang harus ditempuh dengan susah
payah. Betapa jauh bedanya dengan saat dia melakukan perjalanan bersama Han
Houw. Ketika dia melakukan perjalanan bersama pangeran dari selatan, jauh
sekali dari selatan, dia dan Han Houw menunggang kuda dan selalu berhenti di
setiap kota besar, disambut dengan penuh kehormatan oleh para pembesar, dijamu
dengan hidangan-hidangan lezat, dilayani dan diberi tempat penginapan di kamar
istimewa yang bersih dan mewah.
Kini,
setelah dia meninggalkan Han Houw di Ceng-lun dan melakukan perjalanan dengan
jalan kaki ke selatan, dia melakukan perjalanan seorang diri yang luar biasa
melelahkan, bahkan sering kali kurang makan sehingga terpaksa dia makan
seadanya, malah pernah dia terpaksa minta makan pada keluarga petani yang
miskin!
Akhirnya dia
tiba di kota raja, tempat yang memang ditujunya. Dia ingin mencari Kim Hong
Liu-nio, wanita yang bukan saja telah membunuh ibu kandungnya, akan tetapi juga
yang menyebabkan kematian kakeknya.
Akan tetapi,
sesudah dia sampai di kota raja, kota yang besar dan ramai itu, mulailah dia
merasa bingung. Ke mana dia harus mencari Kim Hong Liu-nio di tempat ramai dan
besar ini? Dan mulai pula dia bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus
mencari makan!
Kalau dia
berada di dalam hutan, mudah baginya untuk menangkap binatang hutan atau
tetumbuhan untuk dimakan, akan tetapi di kota besar seperti kota raja ini,
bagaimana dia bisa mendapatkan makan? Mengemis? Dia tidak sampai hati untuk
mengemis makanan. Jalan satu-satunya hanyalah bekerja. Akan tetapi bekerja
apakah?
Sin Liong
merasa bingung sekali. Sudah dua hari dia tidak makan dan pada pagi hari itu,
dia berdiri di depan sebuah restoran yang baru saja membuka pintu pintunya. Dia
berdiri di situ karena asap dan uap masakan yang keluar dari rumah makan itu
sungguh sangat sedap tercium hidungnya, membuat perutnya terasa makin lapar,
hampir tak tertahankan lagi.
Sin Liong
adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan. Pakaiannya pun adalah
pakaian yang tadinya sangat indah dan mahal, pemberian dari pembesar-pembesar
yang menyambut Han Houw. Biar pun telah beberapa lama pakaian itu tidak dicuci
atau diganti, sudah nampak kotor, namun masih mudah dikenal bahwa pakaian itu
tadinya merupakan pakaian mahal.
Oleh karena
itu, saat melihat pemuda ini berdiri bengong di depan rumah makan, majikan
rumah makan itu menjadi amat tertarik. Dia memandang penuh perhatian dan
keheranan. Kalau pemuda itu seorang kongcu, tentu sudah masuk restoran dan
memesan makanan untuk sarapan pagi, akan tetapi kalau seorang tuan muda, biar
pakaian dan sepatunya menunjukkan demikian, pakaian itu sudah terlalu kotor.
Sebaliknya, kalau pengemis, tidak pantas pula. Wajah dan pakaian pemuda itu,
juga sikapnya, sama sekali tidak memberi tanda bahwa pemuda itu seorang
pengemis.
"Engkau...
ada apakah berdiri di situ, orang muda?" Akhirnya majikan rumah makan itu
berdiri di depan pintunya dan bertanya.
Ditegur
orang, Sin Liong gelagapan dan dia menelan ludahnya, "Ah, aku... lapar
sekali..."
Hemm, bukan
pengemis, pikir majikan rumah makan itu. Kalau pengemis tentu dia sudah
minta-minta.
"Kalau
lapar, boleh membeli makanan," pancingnya.
Sin Liong
makin gelisah. "Aku... aku tidak punya uang..."
Majikan
rumah makan itu mengerutkan alisnya lantas memandang dengan teliti dari atas
sampai ke bawah. "Lalu dengan apa engkau akan membayar makanan kalau tidak
punya uang?"
Pertanyaan
ini seolah-olah membuka kesempatan bagi Sin Liong. "Lopek, kalau engkau
sudi memberi makanan kepadaku, aku dapat membayarnya dengan tenagaku. Aku mau
bekerja apa saja untukmu!"
Majikan
rumah makan itu mengelus jenggotnya yang jarang dan pendek. Hemmm, orang muda
ini tidak kelihatan jahat, sikapnya halus dan tubuhnya kelihatan kuat.
"Kau
mau menjadi pelayan?"
"Aku
mau!"
"Apakah
engkau bisa?"
"Aku
dapat mempelajarinya."
"Siapa
namamu, orang muda?"
"Namaku...
panggil saja A-sin!"
"Di
mana rumahmu?"
"Lopek,
harap percaya padaku, aku bukan orang jahat. Akan tetapi aku tak punya rumah,
dan aku pun tidak mau mengemis. Aku ingin bekerja untuk mendapatkan
makan."
Sikap tegas
dan gagah ini segera menarik hati majikan rumah makan itu. "Sudah berapa
hari engkau tidak makan?"
"Sudah
dua hari dua malam, dan aku telah melakukan perjalanan jauh sekali."
"Masuklah!"
Sin Liong
segera masuk dan majikan rumah makan itu dengan penuh perhatian memberi
hidangan bubur panas kepadanya. Sin Liong makan dengan lahapnya dan sebentar
saja sudah menghabiskan bubur empat mangkok besar! Sesudah selesai makan,
pemuda ini lalu bangkit berdiri, menjura kepada pemilik rumah makan sambil
berkata lantang, "Lopek yang baik. Terima kasih atas kebaikanmu, dan
sekarang aku mau bekerja untukmu!"
Mulailah Sin
Liong bekerja di rumah makan itu. Mula-mula dia disuruh membantu tukang masak,
mengambil air, membelah kayu, mencuci mangkok piring dan sebagainya. Karena
pemuda itu sangat rajin dan pandai membawa diri, dia disuka dan sebentar saja
majikan memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi pelayan.
Wajahnya
yang tampan serta usianya yang masih muda itu dianggap memenuhi syarat untuk
menjadi pelayan yang baik dan menyenangkan tamu, dan pekerjaan ini memang amat
menyenangkan hati Sin Liong karena membuka kesempatan baginya untuk bertemu
dengan macam-macam orang sehingga dari percakapan para tamu dia dapat
mengetahui keadaan di luar, dan bahkan dari para tamu yang terdiri dari
orang-orang kang-ouw dia mendapat kesempatan untuk mendengar banyak mengenai
dunia persilatan sehingga dia dapat melakukan penyelidikan mengenai musuh
besarnya.
Hingga
berbulan-bulan lamanya Sin Liong bekerja sebagai seorang pelayan restoran, dan
selama itu pula dia tidak pernah lalai untuk selalu melatih ilmu-ilmunya,
bahkan dia makin memperdalam ilmu-ilmu aneh yang dahulu dipelajarinya dari
kitab-kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Namun tidak ada seorang pun tahu akan
keadaan dirinya ini karena Sin Liong amat pandai menyembunyikan semua
kepandaiannya itu. Dia selalu menjauhkan diri dari masalah yang menimbulkan
pertentangan atau keributan. Dia selalu mengalah sehingga tidak ada orang
pernah memusuhinya.
Ketika
melayani para tamu yang datang makan di restoran itu, Sin Liong selalu waspada
sehingga dia tidak pernah melewatkan percakapan di antara tamu yang penting.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mempergunakan ketajaman
pendengarannya untuk menangkap semua percakapan, meski pun yang dilakukan oleh
tamu yang duduk di ujung restoran dan jauh dari tempat dia berdiri sekali pun.
Dengan jalan
inilah dia mendengar pula mengenai tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di kota
raja dan sekitarnya. Bahkan dengan hati kaget dia mendengar pula betapa
keluarga mendiang kakeknya di Cin-ling-pai, yaitu Yap Kun Liong, Cia Giok Keng,
Cia Bun Houw dan Yap In Hong telah dicap sebagai pemberontak-pemberontak buruan
pemerintah!
Berita ini
membuatnya termenung sejenak. Betapa pun juga, seorang di antara mereka, yaitu
Cia Bun Houw, adalah ayah kandungnya! Cerita tentang peristiwa itu selalu masuk
dalam benaknya sungguh pun dia sudah selalu mengusirnya dengan ingatan bahwa
ayah kandungnya itu adalah orang yang tidak baik, yang telah menyia-nyiakan ibu
kandungnya sehingga dia terlahir tanpa ayah dan semenjak lahir tidak pernah
ditengok ayahnya!
Pada suatu
pagi, rumah makan itu ramai dikunjungi tamu. Hari itu kebetulan jatuh pada
Pek-gwe Cap-go (tanggal lima belas bulan delapan), yaitu merupakan salah satu
di antara hari-hari besar di Tiongkok, karena pada tanggal itu orang-orang
melakukan sembahyang Tiong-ciu.
Seperti
biasa, pada hari besar itu banyak penduduk dari luar kota raja berduyun-duyun
datang ke kota raja, ada yang hanya berpesiar, akan tetapi sebagian besar untuk
membeli kue-kue tiong-cu-pia yang lezat dan juga untuk berbelanja segala macam
barang yang tidak bisa mereka dapatkan di dusun-dusun. Restoran di mana Sin
Liong bekerja penuh dengan tamu sehingga semua pelayan menjadi sibuk, bahkan
majikan rumah makan itu sendiri turut pula menyambut tamu di pintu depan dengan
wajah berseri gembira karena keramaian itu seolah meramalkan bahwa hari itu
akan memperoleh keuntungan yang tak sedikit.
Empat orang
tamu baru saja memasuki rumah makan itu. Mereka ini terdiri dari dua orang
pemuda dan dua orang gadis, Melihat empat orang muda yang dari pakaiannya saja
telah menunjukkan bahwa mereka orang-orang kaya itu berdiri termangu-mangu dan
ragu-ragu karena restoran itu amat penuhnya, majikan restoran itu cepat-cepat
menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Silakan
masuk, ji-wi siocia dan ji-wi kongcu, di sebelah dalam masih ada tempat duduk
yang kosong. A-sin...! Lekas kau sambut tamu-tamu kita ini!" teriaknya
kepada Sin Liong yang cepat berjalan keluar untuk menyambut tamu-tamu itu
seperti yang diteriakkan oleh majikannya.
Begitu
melihat empat orang tamu itu, wajah Sin Liong berubah dan jantungnya berdegup
tegang. Cepat dia membungkuk-bungkuk untuk menyembunyikan wajahnya kemudian dia
mempersilakan mereka masuk karena di sudut sebelah dalam memang masih ada meja
yang kosong, baru saja ditinggalkan tamu lain dan sudah dibersihkannya.
Dia segera
mengenal dua orang gadis itu. Andai kata dia salah mengenal dua orang gadis itu
dan salah seorang di antara pemudanya, akan tetapi tak mungkin dia salah
mengenal pemuda ke dua itu.
Pemuda itu
sudah pasti adalah Beng Sin! Wajahnya yang bulat, tubuhnya yang gendut, mulut
yang seperti selalu tersenyum dan mata yang lucu itu! Siapa lagi kalau bukan si
gendut Beng Sin, seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, ayah tirinya?
Dan dua
orang gadis itu, yang sukar dibedakan satu antara yang lain, tentulah si kembar
Lan Lan dan Lin Lin, adik-adik tirinya! Ada pun pemuda tampan gagah itu siapa lagi
kalau bukan Siong Bu? Masih nampak pesolek, angkuh dan gagah saja pemuda itu!
Dan Lan Lan berdua Lin Lin, kini telah menjadi dara-dara remaja yang cantik
manis......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment