Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 35
Pada saat
itu Ki Liong sudah berdiri di dekat meja Hay Hay yang tentu saja melihat dan
mendengar ucapan pelayan itu. Seperti tak disengaja, Ki Liong menoleh dan
memandang ke arah meja Hay Hay. Di situ masih terdapat dua buah bangku kosong,
karena meja kecil itu biasanya diperuntukkan empat orang, berbeda dengan meja
besar yang biasa dipakai delapan sampai sepuluh orang.
"Ahhh,
perutku sudah lapar sekali. Sejak kemarin siang aku belum makan, dan sekarang
tempat sudah penuh!" Dia lalu memandang kepada Hay Hay dan Ling Ling,
dengan sikap sopan sekali dia lalu melangkah maju dan bersoja sambil membungkuk
kepada Hay Hay dan Ling Ling.
"Harap
Ji-wi (Kalian) sudi memaafkan jika saya mengganggu. Kalau sekiranya Ji-wi tidak
keberatan, bolehkah saya menumpang di meja ini untuk makan? Kalau Ji-wi
keberatan, tidak mengapalah..."
Melihat
pemuda tampan berpakaian rapi yang bersikap demikian ramah dan sopan, tentu
saja Hay Hay dan Ling Ling merasa suka sehingga mereka pun cepat bangkit
membalas penghormatan pemuda itu. Ling Ling lantas memandang kepada Hay Hay
seolah hendak menyerahkan keputusannya kepada susiok-nya itu. Hay Hay tersenyum
ramah.
"Ahh,
kita sama-sama merupakan tamu di restoran ini. Kalau Saudara suka, tentu saja
boleh duduk bersama kami di meja ini. Silakan!"
"Terima
kasih, terima kasih... ahh, Ji-wi sungguh baik sekali, tepat seperti apa yang
saya duga. Ehh, Bung, tolong hidangkan semangkok nasi putih dan buatkan dua
tiga macam masakan sayuran. Ingat, tidak memakai daging, ya? Saya sedang
Ciak-jai (makan sayur, pantang daging). Dan air teh saja untuk minumku,"
sambungnya kepada pelayan itu yang segera mengangguk dan meninggalkan meja
mereka. Mendengar pemuda yang tampan itu tidak makan daging, Hay Hay dan Ling
Ling memandang heran.
Mereka
saling pandang sambil tersenyum. Begitu pandang mata Ki Liong bertemu dengan
Ling Ling, gadis ini segera menundukkan mukanya dan sepasang pipinya menjadi
agak kemerahan. Dia menemukan sesuatu pada pandang mata itu, sesuatu yang
membuatnya merasa sungkan dan malu. Dia melihat betapa pandang mata pemuda itu
dengan lembut menuju ke arah dadanya, dan ada sesuatu pada pandang mata pemuda
itu seolah-olah meraba-raba tubuhnya!
"Ah,
agaknya Saudara tidak suka makan barang berjiwa?" Hay Hay bertanya, iseng saja
karena tidak tahu apa yang harus dikatakan terhadap orang yang menumpang di
mejanya itu.
Ki Liong
tersenyum. "Tidak demikian, Saudara yang baik. Biasanya saya makan apa
saja, juga daging, akan tetapi hari ini tidak karena hari ini merupakan hari
dan tanggal kematian ayahku, sembilan belas tahun yang lalu."
"Ahhh..."
diam-diam Hay Hay merasa kagum sekali.
Ayah orang
ini sudah sembilan belas tahun meninggal dunia, akan tetapi agaknya setiap
tahun masih selalu diperingati oleh pemuda ini sebagai hari berkabung sehingga
dia tidak makan barang berjiwa untuk mengenang dan berkabung atas kematian
ayahnya. Sungguh seorang pemuda yang berbakti! Dan memang kesan inilah yang
dikehendaki oleh Ki Liong ketika dia berbohong dan berpura-pura ciak-jai untuk
mengenang kematian ayahnya.
"Maaf,
bukan maksudku untuk mengetahui keadaan hidupmu, Saudara. Akan tetapi hatiku
tertarik sekali. Kalau begitu, agaknya engkau masih kecil sekali ketika ayahmu
meninggal dunia," kata Hay Hay.
Ki Liong
mengangguk sambil tersenyum. "Tidak apa-apa, Saudara. Keramahan Ji-wi yang
sudah menerimaku duduk di sini membuktikan bahwa Ji-wi berhati baik dan berarti
bahwa kita sudah saling bersahabat, bukan? Memang saya masih kecil sekali
ketika ayah saya meninggal, saya baru berusia satu tahun. Maaf, setelah Ji-wi
begitu baik menerima saya di meja ini, maukah Ji-wi menerima saya sebagai
kenalan? Saya bernama Sim Ki Liong, dan bolehkah saya mengenal nama Ji-wi yang
terhormat?"
Inilah
kesalahan Ki Liong. Dia memperkenalkan namanya tanpa ragu karena dia merasa
yakin bahwa kedua orang muda di depannya itu belum pernah mendengar namanya dan
tidak mengenalnya. Ki Liong sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa Hay Hay
pernah mendengar nama ini dari Kui Hong!
Mendengar
nama 'Ki Liong', diam-diam Hay Hay merasa terkejut walau pun kemudian dia
meragu karena dahulu Kui Hong memberi tahu kepadanya bahwa murid Pendekar Sadis
dan isterinya mempunyai nama keturunan Ciang, bukan Sim! Apakah kebetulan
namanya saja sama, pikirnya.
"Ahh,
engkau sungguh baik sekali, Saudara Sim. Ketahuilah bahwa saya Hay Hay dan dia
ini bernama Ling Ling," Hay Hay memperkenalkan diri dan gadis itu.
Dengan sikap
sopan Ki Liong tersenyum sambil memandang kepada mereka bergantian. "Maaf,
walau pun nama Ji-wi itu indah sekali, tetapi agaknya Saudara lupa menyebutkan
nama keluarga Ji-wi yang mulia."
Karena tadi
pemuda itu juga sudah menyebutkan nama keluarganya, nama keluarga yang membuat
dirinya menduga-duga apakah pemuda ini adalah murid Pendekar Sadis seperti yang
dimaksudkan Kui Hong atau bukan, terpaksa Hay Hay memperkenalkan pula nama
keluarganya.
"Nama
keluarga saya adalah Tang, dan dia ini... ehh, Ling Ling, aku lupa lagi, siapa
nama keluargamu?" Hay Hay berpura-pura, bermaksud hendak menyerahkan
kepada Ling Ling sendiri apakah mau mengakui nama keluarganya atau tidak karena
bagaimana pun juga, nama keluarga Cia sudah terkenal di kalangan kang-ouw dan
dapat segera menimbulkan dugaan orang bahwa ada hubungan antara gadis ini
dengan keluarga Cia di Cin-ling-pai.
Ling Ling
adalah seorang gadis yang lembut dan jujur, tanpa prasangka, maka meski pun
sinar mata pemuda yang baru dikenalnya itu tak menyamankan hatinya, dia
memandang Hay Hay dengan heran ketika mendengar pertanyaan pemuda ini.
"Susiok,
sungguh heran sekali. Apakah Susiok sudah lupa lagi dengan nama keluargaku? Aku
she (bernama keluarga) Cia!"
"Aihh,
ternyata Ji-wi adalah seorang susiok dan murid keponakannya? Kalau begitu,
Ji-wi adalah dua orang pendekar!" Ki Liong berseru.
Hay Hay
tersenyum. "Kami hanyalah orang-orang biasa, dan maaf, saya tadi lupa nama
keluarganya karena meski pun kami masih paman dan keponakan, namun baru pagi
tadi kami saling berjumpa." Kini Hay Hay tertawa, tidak khawatir lagi
karena Ling Ling sudah berterus terang. "Akan tetapi jangan menyangka
bahwa kami adalah pendekar!" Kemudian disambungnya, seperti sambil lalu
saja, "Saudara Sim menyangka kami adalah pendekar, apakah Saudara sendiri
juga seorang ahli silat yang lihai?"
Ki Liong
tertawa dan nampak wajahnya semakin tampan menarik ketika dia tertawa, dan
sepasang matanya yang jernih dan tajam itu menyambar ke arah Ling Ling. Kembali
gadis ini merasa betapa sinar mata itu memandang kepadanya tidak sewajarnya,
maka dia pun cepat menundukkan pandang matanya.
"Ha-ha-ha,
saya ingin berterus terang saja. Memang saya pernah mempelajari ilmu silat,
akan tetapi hanya iseng-iseng saja dan sama sekali tidak dapat dikata bahwa
saya lihai."
Pada saat
itu pula dua orang pelayan datang membawa pesanan makanan dan minuman mereka.
Agaknya karena ketiga orang itu duduk semeja, maka pesanan Hay Hay dan Ki Liong
dikeluarkan berbareng. Ki Liong menghadapi nasi dan tiga mangkok masakan sayur
tanpa daging, sedangkan Hay Hay dan Ling Ling menghadapi nasi dengan lima macam
masakan. Hay Hay menawarkan anggurnya, akan tetapi Ki Liong menolak dengan
halus.
"Hari
ini hanya sayuran dan air teh saja untuk saya," katanya, kemudian dia
melanjutkan, "Sebelum kita mulai makan, saya ingin menghaturkan rasa
terima kasih dan hormat saya kepada Ji-wi dengan air teh di poci saya. Harap
Ji-wi suka menerimanya!" Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang itu
untuk menjawab, Ki Liong sudah mengambil cawan di depan Hay Hay kemudian
menuangkan poci di tangan kanannya ke dalam cawan yang dipegang di tangan
kirinya.
Sambil
tersenyum Hay Hay memandang, akan tetapi senyumnya segera lenyap sesudah dia
melihat betapa cawannya yang dipegang oleh tangan kiri Ki Liong sudah penuh
akan tetapi teh dari poci itu masih di tuang terus! Kini cawan itu terlalu
penuh, akan tetapi air teh itu tak sampai meluber, seolah-olah tertahan oleh
sesuatu dan air teh itu berada lebih tinggi dari pada bibir cawan, membulat
seperti telur yang bergoyang-goyang!
"Silakan,
Saudara Tang!" kata Ki Liong sambil menyodorkan cawan itu kepada Hay Hay.
Hay Hay
tersenyum lagi dan sekarang makin keras dugaannya bahwa pemuda inilah yang
dimaksudkan Kui Hong, yaitu murid dari Pendekar Sadis. Pemuda ini telah
menunjukkan kepandaiannya, mempergunakan sinkang-nya (hawa sakti) untuk menahan
air teh di atas cawan itu sehingga tidak sampai meluber dan tumpah. Kalau
penerimanya tidak memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat, ketika menerima
cawan itu tentu air tehnya yang terlalu penuh melebihi ukuran itu akan tumpah.
"Saudara
Sim, engkau sungguh terlalu sungkan!" katanya sambil menerima cawan yang
penuh air teh itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. "Aihh, air tehmu
masih panas!" katanya tersenyum.
Saat Ki
Liong memandang, dia merasa kagum sekali. Bukan saja air teh itu tidak meluber dan
tumpah, bahkan kini air teh itu mengepulkan uap karena panas! Padahal, biar pun
air teh itu masih hangat, namun ketika dia menuangkan ke dalam cawan tidak
mengeluarkan uap panas!
Maka tahulah
dia bahwa benar seperti laporan Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, pemuda ini
benar-benar lihai sekali, dan dia harus berhati-hati menghadapinya. Dia
tersenyum kagum melihat Hay Hay minum air teh dalam cawan itu sampai habis.
"Sekarang
harap Nona sudi menerima penghormatan saya dengan secawan air teh," kata
Ki Liong sambil menuangkan poci air teh itu ke dalam cawan yang diambilnya dari
depan gadis itu. Seperti tadi, sekali ini dia juga menyodorkan cawan yang
terlalu penuh terisi air teh.
"Terima
kasih!" kata Ling Ling dan dengan sikap tenang,
Ia pun
menerima cawan itu sambil mengerahkan tenaganya. Dan ternyata air teh itu sama
sekali tidak meluber atau tumpah, bahkan pada saat gadis itu mengangkat
cawannya dan menuangkan isinya ke mulut, air teh itu tidak dapat turun atau
tumpah, tetap melekat pada cawan seolah-olah sudah berubah membeku dan melekat
pada cawannya!"
"Aih,
air tehmu membeku dan biarlah dikembalikan ke poci agar mencair lebih
dulu!" kata Ling Ling dan dengan tenang dia membuka tutup poci air teh Ki
Liong lalu menuangkan isi cawannya ke dalam poci. Demikianlah, sambil
mendemonstrasikan kepandaiannya, gadis itu secara halus menolak pemberian air
teh oleh pemuda itu!
Melihat ini
Ki Liong yang cerdik segera bangkit berdiri dan bersoja dengan hormat.
"Aihh, sungguh saya bermata akan tetapi seperti buta, tidak melihat bahwa
saya berhadapan dengan dua orang yang memiliki kesaktian!"
"Saudara
Sim, kiranya ini bukan tempat yang tepat bagi kita untuk
bersungkan-sungkan!" kata Hay Hay. Pemuda ini berbicara dengan lirih
sehingga tidak terdengar oleh para tamu lainnya.
Ki Liong
mengangguk. "Saudara Tang benar, sekarang mari kita makan hidangan kita
dan nanti saja kita bicara di tempat yang lebih layak."
Mereka
bertiga lalu mulai makan minum dan tidak banyak cakap lagi. Diam-diam Hay Hay merasa
hampir yakin bahwa tentu pemuda ini adalah murid Pendekar Sadis itu dan dia
menduga-duga apa hubunganya pemuda ini dengan gerakan para tokoh sesat. Dan apa
pula maksud pemuda ini menghubungi dia dan Ling Ling, karena dia tidak percaya
bahwa pertemuan ini hanya suatu kebetulan saja. Lebih tepat kalau semua ini
telah direncanakan orang! Akan tetapi apa maksudnya?
Bagaimana
pun juga dia harus bersikap hati-hati karena maklum bahwa pemuda ini bukan
orang sembarangan. Bukan hanya ilmu silatnya yang tinggi, namun mungkin sekali
juga amat cerdik dan sikapnya ini merupakan satu di antara siasat yang cerdik.
Dia tidak perlu mengisyaratkan Ling Ling untuk berhati-hati, karena penolakan
suguhan air teh tadi saja sudah menunjukkan bahwa Ling Ling telah bersikap
hati-hati sekali dan tidak mau minum air teh yang disuguhkan berarti bahwa
gadis itu tidak begitu percaya kepada pemuda itu.
Tiga orang
muda itu sama sekali tidak tahu bahwa ada sepasang mata secara diam-diam
mengamati mereka dari sudut lain ruangan rumah makan itu. Sepasang mata ini
adalah milik seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun,
seorang laki-laki yang gagah perkasa, dengan tubuh yang sedang namun padat dan
tegak, nampak kuat.
Pakaiannya
sederhana namun rapi dan wajahnya mengandung wibawa. Wajah itu tampak gagah,
dengan kumis dan jenggot yang terpelihara secara baik. Wajahnya berkulit segar
kemerahan, sepasang matanya bersinar tajam dan lincah membayangkan kecerdikan
dan keberanian. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum penuh
kejantanan dan daya pikat. Dagunya yang persegi menambah kegagahannya.
Sejak tadi
secara diam-diam pria ini mengamati tiga orang muda itu dan ketika Ki Liong
menawarkan minuman dari poci, matanya yang tajam itu mengeluarkan sinar dan
bibirnya yang dibayangi senyum itu bergerak memperlebar senyumnya, bahkan dia
mengangguk-angguk seorang diri sambil minum araknya.
Sekarang Hay
Hay, Ling Ling, dan Ki Liong sudah selesai makan.
"Saya
mempunyai urusan penting untuk dibicarakan dengan Ji-wi, akan tetapi tentu saja
tidak di tempat ini. Maukah Ji-wi menemui saya di luar pintu gerbang kota
sebelah barat? Atau sekarang juga ikut dengan saya ke sana agar kita lebih
leluasa bicara?" Sim Ki Liong menjadi pembicara pertama setelah mereka
selesai makan.
"Kalau
memang ada keperluan penting, baiklah Saudara Sim, kami akan menemuimu di sana.
Berangkatlah dulu, kami masih ada urusan lain dan sebentar lagi kami
menyusul," kata Hay Hay sebelum Ling Ling yang sudah mengerutkan alisnya
itu sempat menolak.
"Terima
kasih, Saudara Tang dan Nona Cia," kata Ki Liong, lantas pemuda ini
cepat-cepat pergi meninggalkan mereka, agaknya merasa khawatir kalau-kalau Hay
Hay akan menarik kembali kesanggupannya.
Setelah Ki
Liong pergi, Ling Ling yang berjalan keluar setelah Hay Hay membayar harga
makanan mereka, segera menegur Hay Hay. "Susiok, kenapa kita harus
melayani orang itu? Kita baru saja berkenalan dengan dia, kita tidak tahu dia
itu orang macam apa. Terus terang saja, ada sesuatu pada pandang matanya yang
membuat aku merasa curiga dan tidak suka."
"Justru
itulah, Ling Ling. Aku pun curiga melihat bahwa dia seorang yang berilmu
tinggi. Tapi kalau dugaanku benar, kalau dia itu merupakan seorang di antara
tokoh sesat yang mengadakan gerakan, justru kebetulan sekali! Ketika makan tadi
aku telah mendapatkan sebuah siasat yang baik sekali."
Mendengar
ucapan ini, hilanglah rasa penasaran yang tadi membayang pada wajah gadis itu.
"Bagaimana siasat itu, Susiok?"
"Agaknya
dia ingin menghubungi kita dan kalau benar dia tokoh pergerakan, agaknya dia
hendak membujuk kita untuk bersekutu. Nah, kesempatan ini akan kugunakan
sebaiknya. Aku akan pura-pura setuju sehingga dengan demikian aku akan dapat
memasuki sarang mereka dengan mudah. Jika aku diterima sebagai kawan, tentu
dengan mudah aku akan dapat menyelidiki keadaan mereka dari dalam."
Gadis itu
membelalakkan matanya, memandang penuh khawatir. Melihat sepasang mata itu
terbelalak indah bagaikan bintang kembar bercahaya, Hay Hay menjadi kagum.
"Ahh, matamu indah sekali, Ling Ling!" katanya.
Ling Ling
mengerutkan sepasang alisnya dan kedua pipinya berubah merah, akan tetapi dia
tidak marah, bahkan tersenyum malu. "Ihh, Susiok. Orang bicara dengan
serius malah ditanggapi dengan senda-gurau!"
"Aku
tidak bergurau, Ling Ling. Memang matamu tadi nampak indah bukan main. Jangan
engkau khawatir, jika aku dapat melakukan penyelidikan dari dalam berarti
tugasku akan lebih berhasil."
"Tapi...
tapi... masuk ke dalam sarang mereka? Sungguh berbahaya sekali, Susiok!"
"Aku
dapat membela diri, Ling Ling. Akan tetapi engkau tidak perlu ikut masuk ke
sarang mereka. Engkau menyelidiki dari luar saja. Coba engkau mengadakan
hubungan dengan para pendekar yang aku yakin banyak terdapat di sekitar daerah
ini."
"Tapi...
tapi, bagaimana nanti kita akan dapat saling bertemu lagi, Susiok? Kalau engkau
hendak masuk ke sarang mereka, biar aku ikut. Aku pun tidak takut!"
"Ah,
jangan, Ling Ling. Biar aku saja. Begini sajalah, dalam waktu tiga hari, aku
pasti akan mencarimu di tepi telaga itu. Tempat itu menjadi tempat pertemuan kita...
ssttt," Hay Hay memberi isyarat dan cepat menghentikan kata-katanya ketika
seorang laki-laki lewat di dekat mereka. Lelaki setengah tua yang ganteng dan
gagah, yang tadi memperhatikan mereka di dalam rumah makan.
Akan tetapi
orang itu lewat begitu saja, sambil menunduk dan sama sekali tidak melirik ke
arah mereka sehingga baik Hay Hay mau pun Ling Ling sama sekali tidak menaruh
curiga karena di depan restoran itu memang merupakan jalan raya di mana
terdapat lalu lintas yang cukup ramai.
"Nah,
kiranya cukup pesanku, Ling Ling. Lagi pula semua itu hanya kalau dugaanku
benar bahwa dia mempunyai hubungan dengan persekutuan itu. Jika tidak, tentu
saja akan lain lagi jadinya. Kita lihat saja nanti. Hayo, kita menuju ke pintu
gerbang sebelah barat."
Kemudian dua
orang muda itu berangkat, tidak tahu betapa sepasang mata yang tajam mengikuti
mereka. Laki-laki setengah tua tadi tersenyum sambil mengelus jenggotnya, lalu
dia membayangi dari jauh, menuju ke pintu gerbang sebelah barat.
Hay Hay dan
Ling Ling melangkah dengan seenaknya menuju ke pintu gerbang sebelah barat.
Tiba-tiba Hay Hay menyentuh tangan Ling Ling dan berbisik sampai menoleh,
"Ling Ling, engkau jangan menengok dan tetap berjalan biasa saja. Di
belakang kita terdapat tujuh orang yang mencurigakan, agaknya mereka membayangi
kita."
Ling Ling
mengangguk dan jantungnya berdebar. Sebagai seorang gadis yang baru saja
meninggalkan tempat tinggal orang tuanya untuk merantau, memang sudah beberapa
kali dia menghadapi gangguan dan selalu dapat mengatasinya. Akan tetapi baru
sekarang dia menyadari bahwa dia berada di daerah yang berbahaya, di mana
terdapat banyak orang pandai yang belum dikenalnya dan tidak diketahuinya
apakah mereka itu kawan ataukah lawan.
Keadaan
pemuda bernama Sim Ki Liong itu saja sudah menimbulkan banyak kecurigaan dan
rahasia, dan sekarang sebelum rahasia itu terpecahkan telah muncul lagi tujuh
orang membayangi mereka! Dia ingin sekali melihat siapakah mereka, orang-orang
macam apa, akan tetapi dia tidak boleh menengok ke belakang.
Mendadak
sapu tangan yang tadi dipegang oleh tangan kiri gadis itu terlepas, lalu dengan
gerakan seperti tanpa disengaja dia pun membungkuk dan berjongkok mengambil
sapu tangannya. Kesempatan ini dipergunakannya untuk melirik ke belakang dan
sekejap saja cukuplah baginya. Nampak enam orang yang berpakaian ringkas
dipimpin oleh seorang yang berpakaian tosu (Pendeta To!)
Hay Hay
tersenyum geli. Tentu saja dia maklum kenapa sapu tangan Ling Ling terjatuh.
Cerdik juga gadis ini, pikirnya. Memang sangat tidak enak kalau mengerti bahwa
dirinya dibayangi orang akan tetapi tidak boleh melihat siapa orang itu. Tadi
pun dia tidak sengaja menoleh dan melihat mereka.
Ketika
mereka keluar dari pintu gerbang, dari tempat itu sudah kelihatan seorang
pemuda berdiri di tempat agak jauh, tempat yang sunyi karena keluar dari pintu
gerbang barat itu yang nampak hanya hutan-hutan pegunungan. Hanya sedikit orang
yang lewat, dan kalau pun ada, mereka itu adalah orang-orang suku bangsa Hui
dan Miao.
Dua suku
bangsa ini mudah saja dikenalnya dari pakaian mereka. Orang suku bangsa Hui
selalu memakai sorban dari kain putih yang dibelit-belitkan di kepalanya,
pikirnya. Mereka adalah orang-orang beragama Islam. Orang-orang suku bangsa Hui
ini terkenal sebagai peternak-peternak, terutama kambing, penjagal dan juga pandai
masak sehingga banyak di antara mereka membuka rumah makan di kota-kota.
Sebenarnya
orang-orang Hui merupakan orang-orang Han juga. Perbedaannya di antara mereka
adalah bahwa orang Hui beragama Islam sedangkan orang Han memiliki banyak macam
agama, terutama sekali mereka menjadi penganut Agama Buddha, Khong-hucu, dan
Tao, biar pun ada pula sejumlah kecil orang Han yang menjadi pengikut Agama
Islam atau Kristen.
Sedangkan
suku bangsa Miao mudah dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam dan orang-orangnya
yang pendiam dan kasar. Kaum wanitanya memakai anting-anting yang khas,
berbentuk gelang yang besar sehingga daun telinga mereka tertarik ke bawah dan
memanjang. Suku bangsa Miao yang terdesak oleh orang-orang Han itu kini banyak
hidup di daerah pegunungan bagian selatan, bercocok tanam dan juga berternak,
dan mereka pun terkenal sebagai pemburu yang pandai.
Dengan
langkah seenaknya tanpa tergesa-gesa, Hay Hay dan Ling Ling terus melangkah
keluar dari pintu gerbang menuju ke arah pemuda yang telah berdiri menanti
mereka itu. Diam-diam Hay Hay mengerling ke arah belakang sambil menengok ke
kiri seakan-akan bicara dengan Ling Ling dan dia melihat betapa tujuh orang itu
telah tiba di pintu gerbang pula, kemudian mereka menyelinap ke kiri dan lenyap
di dalam hutan kecil.
Ki Liong
segera menyambut mereka dengan senyum ramah. "Terima kasih, ternyata Ji-wi
memenuhi janji dengan cepatnya. Marilah, Ji-wi, kita memasuki hutan ini agar
percakapan kita tidak terganggu, karena di jalan ini ada saja orang yang lewat."
Tanpa
menanti jawaban, Ki Liong melangkah memasuki hutan, diikuti oleh Hay Hay dan
Ling Ling yang masih mengerutkan alisnya karena bagaimana pun juga gadis ini
sama sekali tidak percaya akan itikad baik pemuda kenalan baru itu. Akhirnya Ki
Liong berhenti di bawah sebatang pohon besar.
Memang
tempat itu tampak enak untuk bercakap-cakap. Tempatnya teduh, terlindung dari
terik matahari siang, dan di atas tanah terhampar permadani hijau dari rumput
tebal yang segar. Akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah menjadi
bangku-bangku yang enak diduduki. Mereka bertiga duduk di atas akar pohon,
saling berhadapan.
"Maafkan
kalau saya bersikap seperti ini, karena Ji-wi jluga maklum bahwa untuk dapat
membicarakan urusan penting, kita harus mencari tempat yang sunyi agar tidak
terdengar orang lain."
"Saudara
Sim, kini kami telah datang memenuhi undanganmu. Nah, katakanlah apa yang ingin
kau bicarakan dengan kami?" kata Hay Hay sambil memandang tajam penuh
selidik ke arah wajah yang tampan dan penuh senyum manis dan kelembutan itu.
Sim Ki Liong
memandang Hay Hay dan Ling Ling. Dia kelihatan agak gelisah, tampaknya sukar
baginya untuk menyatakan kehendak hatinya. Kemudian dia baru berkata dengan
suara yang lembut,
"Begitu
bertemu dengan Ji-wi, hati saya sudah amat tertarik. Apa lagi setelah mendapat
keyakinan bahwa Ji-wi memiliki ilmu kepandaian tinggi, saya merasa kagum bukan
main. Sebab itu timbullah rasa sayang dan alangkah penasaran rasa hati ini
melihat Ji-wi tetap menjadi orang biasa saja, padahal orang-orang yang
mempunyai ilmu kepandaian seperti Ji-wi ini sepatutnya menduduki pangkat yang
tinggi dan kemuliaan."
"Kami
tidak mengerti apa maksudmu, Saudara Sim," kata Hay Hay, berpura-pura
karena hatinya berdebar tegang melihat betapa tepatnya apa yang diduganya
semula.
"Maksudku,
Ji-wi pantas sekali untuk menjabat pangkat tinggi di kerajaan, sesuai dengan
kepandaian Ji-wi."
Hay Hay dan
Ling Ling bertukar pandang, kemudian Hay Hay tertawa. "Ha-ha-ha, harap engkau
tidak main-main, Saudara Sim! Mana mungkin orang seperti kami dapat menjabat
pangkat tinggi?"
"Kenapa
tidak mungkin? Memang, pemerintah sekarang hanya memilih orang-orang yang
menjadi antek mereka! Kedudukan tinggi diberikan kepada orang-orang yang tidak
becus dan jahat! Karena itu saya mengajak Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami
yang sedang mempersiapkan perjuangan." Tiba-tiba Sim Ki Liong berhenti
bicara dan menoleh ke kiri. Hay Hay dan Ling Ling juga sudah mendengar suara
jejak kaki dari arah kiri.
Tiba-tiba
saja, dengan berloncatan muncullah tujuh orang laki-laki setengah tua, dipimpin
oleh seorang di antara mereka, yaitu seorang tosu yang berjubah kuning dan
memegang sebatang tongkat yang setinggi tubuhnya. Tosu ini berusia lima puluh
tahunan, wajahnya angker dan berwibawa, sedangkan enam orang lainnya adalah
orang-orang berusia antara empat puluh tahun dan di punggung mereka terdapat
sebatang pedang bersarung. Sikap mereka juga kereng dan berwibawa.
Tiba-tiba
tosu itu menudingkan tongkat panjangnya ke arah Hay Hay sambil membentak.
"Ang-hong-cu! Menyerahlah engkau sebelum pinto terpaksa menggunakan
kekerasan!"
Hay Hay
sangat terkejut mendengar seruan itu. Juga Sim Ki Liong memandang dengan heran
dan jelas terlihat betapa dia terkejut dan kini memandang kepada Hay Hay dengan
mata penuh selidik. Tak diduganya bahwa pemuda lihai ini ternyata adalah
Ang-hong-cu! Tentu saja Ki Liong sudah mendengar nama Ang-hong-cu ini, nama
seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) yang amat
tersohor akan tetapi yang belum pernah diketahui bagaimana wajahnya itu!
Gerak-gerik
jai-hwa-cat itu penuh rahasia sehingga kabarnya selama ini banyak pendekar yang
gagal pada saat berusaha menangkapnya. Kabarnya lihai seperti setan dan kiranya
pemuda ini orangnya!
Juga Ling
Ling memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut. Susiok-nya ini adalah
Ang-hong-cu? Dia pun sudah mendengar berita tentang penjahat pemerkosa wanita
yang amat keji itu, akan tetapi sungguh sukar dapat dipercaya bahwa susiok-nya
ini orangnya! Hay Hay sendiri bersikap tenang.
"Totiang,
harap totiang jangan sembarangan saja menuduh orang. Siapakah Totiang dan apa
sebabnya Totiang begitu datang lalu menyebut aku Ang-hong-cu dan minta agar aku
menyerah? Apa artinya semua ini?"
"Hemm,
engkau masih mencoba untuk berpura-pura alim? Ang-hong-cu, ketahuilah bahwa
pinto adalah Tiong Gi Cinjin, wakil Ketua Bu-tong-pai sedangkan mereka adalah
Bu-tong Liok-eng, murid-murid keponakan pinto. Nah, setelah kami memperkenalkan
diri, tidakkah sepatutnya kalau engkau segera berlutut menyerahkan diri,
Ang-hong-cu?" Tosu itu lantas berkata lagi, agaknya ingin menyelesaikan
urusan itu dengan jalan damai, "Kami hendak menghadapkan engkau kepada
ketua kami agar beliau sendiri bisa mengambil keputusan mengenai hukuman atas
dosamu terhadap Bu-tong-pai."
Hay Hay
lantas teringat akan pengalamannya kurang lebih satu tahun yang lampau. Dulu
pernah dia diserang oleh tiga orang pendekar Bu-tong-pai. Mereka menuduhnya
sebagai Ang-hong-cu dan tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membantahnya,
mereka langsung menyerangnya kalang kabut sehingga terpaksa dia menggunakan
ilmu sihirnya untuk menghilang dari penglihatan mereka.
Maka tahulah
dia sekarang bahwa wakil ketua Bu-tong-pai ini sudah keluar sendiri untuk
menangkap dirinya. Wah, kalau begitu keadaannya sangat gawat. Akan tetapi
karena dia masih tetap penasaran, dia pun segera bertanya.
"Maaf,
Totiang. Sesungguhnya aku merasa tidak pernah melakukan kesalahan terhadap
Bu-tong-pai. Kenapa sekarang Totiang, sebagai wakil ketua, dan enam orang
saudara ini ingin menangkapku? Jelaskan dulu apa kesalahanku!"
Sepasang
mata pendeta itu mencorong penuh kemarahan. Sikap yang tidak bertanggung jawab
dianggapnya sebagai sikap seorang pengecut sehingga membuat dia marah sekali.
"Ang-hong-cu, apakah engkau sudah lupa akan peristiwa kurang lebih setahun
yang lalu ketika engkau diserang oleh tiga orang murid pinto?"
Menjemukan
sekali, pikir Hay Hay. Dia bukan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) dan julukan
Ang-hong-cu ini selalu membuat dadanya panas dan kepalanya merasa pening karena
itu adalah julukan dari seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang bukan
lain adalah... ayah kandungnya! Dia sudah dapat menduga apa yang sudah terjadi
antara penjahat itu dengan Bu-tong-pai, akan tetapi dia ingin jelas dan yakin.
"Aku
belum lupa, Totiang, akan tetapi sampai sekarang pun aku masih bingung dan
tidak mengerti mengapa tiga orang murid Bu-tong-pai itu menyerangku
mati-matian."
Tiong Gi
Cinjin menoleh pada enam orang tokoh Bu-tong-pai yang sejak tadi memandang dan
mendengarkan saja. Dia lantas menyuruh seorang di antara mereka untuk memberi
penjelasan. Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis
tipis lalu melangkah maju menghadapi Hay Hay.
"Orang
muda, kami bukanlah orang-orang yang suka menuduh membabi-buta saja tanpa
bukti. Sepak terjang Ang-hong-cu sudah lama kami kenal, dan pada suatu hari,
seorang sumoi kami menjadi korban! Sebelum tewas sumoi sempat mengaku bahwa dia
menjadi korban Ang-hong-cu. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan bagi kami
sehingga kami segera menyebar murid-murid untuk mencari sampai dapat penjahat
yang telah merusak nama dan kehormatan kami. Kurang lebih setahun yang lalu,
tiga orang sute kami telah berhasil menemukanmu dan menyerangmu. Engkaulah
jai-hwa-cat Ang-hong-cu jahanam itu!"
"Hemm,
apa buktinya?" Hay Hay membantah.
"Buktinya?
Saat itu tiga orang sute kami melihat betapa engkau memegang sebuah tanda
perhiasan berbentuk tawon merah, sangat persis dengan benda yang diterima oleh
sumoi kami! Engkaulah Ang-hong-cu, maka harap engkau cukup jantan untuk
mempertanggung jawabkan perbuatanmu!"
"Tapi...
tapi... aku bukan Ang-hong-cu..." bantah Hay Hay.
"Dan
perhiasan tawon merah yang ada padamu itu?" bentak Tiong Gi Cinjin
penasaran.
"Aku...
aku hanya kebetulan menemukan barang itu," kata Hay Hay agak gagap karena
tentu saja dia tidak mau mengaku dari mana dia memperoleh perhiasan itu dan
mengaku bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya!
"Susiok,
benarkah engkau bukan Ang-hong-cu?" Ling Ling yang sejak tadi memandang
sambil mendengarkan dengan alis berkerut dan wajah agak pucat, kini tiba-tiba
bertanya. Mendengar ini, Hay Hay memandang gadis itu dan menggelengkan
kepalanya.
"Bukan,
Ling Ling, percayalah!"
Kini Ling
Ling menghadapi Tiong Gi Cinjin dan berkata. "Totiang, rasanya ada
kekeliruan dalam hal ini. Kalau tidak salah, nama Ang-hong-cu sudah tersohor
sejak belasan tahun silam! Bagaimana mungkin Susiok-ku ini yang menjadi
Ang-hong-cu, padahal usia Susiok ini baru dua puluh lebih?"
Tujuh orang
Bu-tong-pai ini saling pandang, akan tetapi Tiong Gi Cinjin segera berkata,
"Kalau dia ini bukan Ang-hong-cu, tentulah keturunannya atau muridnya!
Ang-hong-cu tak pernah memperlihatkan dirinya, hanya selalu meninggalkan
perhiasan tawon merah. Akan tetapi pemuda ini memiliki perhiasan itu, dan
sikapnya jelas menunjukkan bahwa dialah Ang-hong-cu. Gerak-geriknya sudah lama
dibayangi oleh para murid Bu-tong-pai dan dia seorang pemuda mata keranjang
yang suka menggoda wanita!"
"Ahhhh...!"
Ling Ling melangkah mundur dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata penuh
keraguan.
"Ling
Ling! Engkau... tidak percaya padaku?"
"Aku..
aku tidak tahu..." gadis itu menjawab sambil melangkah mundur lagi sampai
lima langkah.
"Sudahlah,
orang muda. Menyerahlah saja dan nanti di depan ketua kami, boleh engkau
membela diri sesukamu!" kata Tiong Gi Cinjin sambil melangkah maju.
"Tidak,
Totiang, aku tidak mau menyerah karena aku tak merasa bersalah terhadap pihak
Bu-tong-pai!" kata Hay Hay yang menjadi tidak sabar lagi, terutama sekali
melihat betapa Ling Ling agaknya juga mulai bercuriga kepadanya, telah mengira
bahwa dia benar-benar Ang-hong-cu!
"Kalau
begitu terpaksa pinto mempergunakan kekerasan!" kata tosu itu dan enam
orang murid keponakannya juga sudah mencabut pedang dari punggung
masing-masing. Cara mereka mencabut pedang saja sudah menunjukkan bahwa mereka
telah menguasai Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-sut yang terkenal indah dan ampuh.
Tiba-tiba
Sim Ki Liong tertawa kemudian dia pun melangkah maju. "Nanti dulu,
Totiang. Saudara ini adalah tamuku, dan akulah yang mengajak mereka berdua
datang ke tempat ini. Oleh karena itu, jika Totiang dan para murid Bu-tong-pai
hendak menyerang Saudara Tang ini, berarti menyerang tamuku. Sebagai seorang
tuan rumah, tentu saja saya tidak dapat membiarkan tamu saya diganggu!"
Tiong Gi
Cinjin memandang wajah Ki Liong dengan alis berkerut. Dia bertindak atas nama
Bu-tong-pai dan dia tidak mau kalau sampai perkumpulannya terlibat dalam
permusuhan dengan golongan lain. "Orang muda, siapakah engkau? Di antara
kita tidak ada persoalan sesuatu, karena itu harap engkau orang muda jangan
mencampuri urusan kami dengan Ang-hong-cu."
"Namaku
Sim Ki Liong, Totiang. Memang benar bahwa di antara kita tidak pernah terjadi
bentrokan atau ada persoalan, tetapi kalau hari ini pihak Bu-tong-pai hendak
mengganggu tamu-tamuku dan tidak dapat kuminta supaya tidak melanjutkan
kehendaknya itu, berarti bahwa Bu-tong-pai sengaja hendak mencari gara-gara dan
urusan dengan aku," jawaban ini tenang akan tetapi juga mengandung
peringatan dan ancaman.
"Orang
she Sim!" bentak seorang di antara Bu-tong Liok-eng (Enam Pendekar
Bu-tong) yang kurus tadi. "Ini adalah hutan raya, sebuah tempat umum.
Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa Ang-hong-cu ini adalah tamumu? Jika
engkau hendak melindunginya berarti bahwa engkau pun bukan manusia baik-baik!
Yang melindungi penjahat, berarti dia penjahat pula! Harap Susiok jangan
melayani bocah ini dan biarlah kami yang akan menghabisinya!" Berkata
demikian Si Kurus ini lantas memberi isyarat kepada lima orang temannya dan
mereka berenam langsung mengepung Ki Liong dengan pedang di tangan! Akan tetapi
Ki Liong hanya tersenyum dan berdiri tenang.
"Sudah
kukatakan bahwa aku tak ingin bermusuhan, akan tetapi kalau kalian orang-orang
Bu-tong-pai mengganggu tamuku dan aku, apa boleh buat, jangan dikira kalau aku
takut terhadap kalian!" Tangan kanannya bergerak dan nampak sinar
berkelebat. Tahu-tahu di tangan kanannya sudah terdapat sebatang pedang putih
karena pedang itu terbuat dari perak!
Melihat ini
jantung Hay Hay berdebar tegang. Kini dia sudah yakin benar. Sim Ki Liong ini
adalah sama dengan Ciang Ki Liong yang pernah didengarnya dari Kui Hong, yaitu
murid Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah, murid murtad yang pergi
meninggalkan pulau itu tanpa pamit dengan membawa pusaka-pusaka pulau itu, termasuk
sebatang pedang yang dia masih ingat saat Kui Hong bercerita, yaitu pedang yang
namanya Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak).
Melihat
pemuda itu mengeluarkan sebatang pedang, enam orang pengepungnya segera
menerjang dari berbagai penjuru. Tampak sinar perak yang menyilaukan mata lalu
disusul suara nyaring berdencingan ketika Ki Liong memutar pedangnya menangkis.
Enam orang
itu berloncatan ke belakang dengan hati kaget. Pertemuan antara pedang itu
telah membuat mereka terkejut karena tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa
orang muda itu sungguh lihai! Mereka kembali mengepung dengan hati-hati dan
maklum bahwa mereka tidak boleh mengadu senjata secara langsung dengan lawan
itu.
Sementara
itu Tiong Gi Cinjin telah melintangkan tongkatnya dan membentak kepada Hay Hay,
"Orang muda, engkau tidak mau menyerah dan memaksakan perkelahian.
Baiklah, keluarkan senjatamu dan lawanlah tongkat pinto!"
Hay Hay yang
memperhatikan gerakan pedang perak di tangan Ki Liong, kini tersenyum sambil
menggelengkan kepala kepada tosu itu. "Totiang, aku tak pernah
mempersiapkan senjata untuk berkelahi. Apa bila Totiang masih penasaran dan
hendak memaksaku untuk menyerah, atau hendak menyerang dengan tongkat itu,
silakan!"
Ucapan dan
sikap tenang Hay Hay itu dianggap suatu tantangan oleh Tiong Gi Cinjin dan
mukanya menjadi merah. Dia seorang wakil Ketua Bu-tong-pai, kini menghadapi
seorang pemuda dengan tongkatnya yang terkenal di tangan, dan pemuda itu sama
sekali tak mau melawannya dengan senjata, melainkan dengan tangan kosong saja!
Maka dia pun cepat menancapkan tongkatnya ke atas tanah sambil mengerahkan
tenaganya.
"Cappp!"
Tongkat panjang itu masuk ke dalam tanah sampai sepertiganya, dan dia pun menghadapi
Hay Hay dengan tangan kosong!
"Ang-hong-cu,
selain jahat engkau juga sombong bukan main! Nah, pinto juga bertangan kosong.
Bersiaplah untuk menerima serangan. Haiiiitttt...!" Tosu itu langsung
menerjang setelah mengeluarkan teriakan itu.
Hay Hay
cepat mengelak dari sambaran tangan kakek itu. Dia merasa betapa ada angin
pukulan yang amat kuat dan diam-diam dia pun maklum bahwa sekali ini dia
menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Dia tidak mau mempergunakan ilmu
sihir. Tentu para murid Bu-tong-pai yang pernah dipermainkannya dengan ilmu
sihir itu telah melapor, dan kalau kakek ini berani datang melawannya tentulah
kakek ini sudah yakin bahwa dia akan mampu menghadapi kekuatan sihir, kalau
pemuda lawannya itu mempergunakannya.
Betapa pun juga
Hay Hay maklum bahwa para tokoh Bu-tong-pai ini hanya salah sangka. Mereka
datang untuk membalas dendam karena kematian murid wanita Bu-tong-pai yang
menjadi korban Ang-hong-cu, dan karena mereka menyangka bahwa dialah
Ang-hong-cu, dengan bukti perhiasan tawon merah yang dimilikinya, maka sekarang
mereka berusaha mati-matian menangkapnya. Jadi dalam hal ini orang-orang
Bu-tong-pai tidak melakukan kejahatan terhadap dirinya dan jika dipikir secara
mendalam, maka yang bersalah adalah Ang-hong-cu, sedangkan dia adalah putera
kandung Ang-hong-cu!
Karena ini
maka dia pun selalu mengalah dan biar pun tosu itu menyerang secara bertubi,
dengan dahsyat sekali, tapi Hay Hay hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa
pernah membalas. Ia hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk
menghindarkan diri dari terjangan tosu yang lihai itu. Akan tetapi, karena tosu
yang menjadi wakil perkumpulan Bu-tong-pai itu memang memiliki tingkat
kepandaian yang sudah tinggi, Hay Hay nampak sibuk sekali dan terdesak.
Keadaan Sim
Ki Liong masih lebih baik dari pada Hay Hay yang terdesak terus. Pemuda yang
memegang Gin-hwa-kiam itu mengerahkan ilmu kepandaiannya dan tidak mengalah
seperti yang dilakukan Hay Hay. Pedangnya membentuk gulungan sinar putih yang
amat dahsyat dan menyilaukan sehingga enam orang pengeroyoknya bahkan kewalahan
untuk menjaga diri dari sinar pedang yang menyambar-nyambar itu.
Kalau mereka
itu bukan murid-murid utama dari Bu-tong-pai, tentu semenjak tadi mereka telah
roboh terluka. Bu-tong-pai memang terkenal dengan ilmu pedangnya sehingga enam
orang itu dapat memainkan pedang mereka dengan gaya yang amat indah dan meski
pun mereka kalah tingkat dalam menghadapi Ki Liong, tapi permainan pedang
mereka dapat dipusatkan untuk pertahanan yang amat ketat.
Selagi
ramai-ramainya kedua pihak itu berkelahi di tempat sunyi itu, tiba-tiba saja
muncul seorang laki-laki setegah tua yang menggiring puluhan ekor kambing. Dia
seorang suku bangsa Hui, mengenakan sorban putih di kepalanya, dan tangannya
memegang sebatang tongkat penggembala.
Entah
bagaimana, agaknya kambing-kambing yang jumlahnya mendekati seratus ekor itu
berlari-lari kacau menuju ke tempat perkelahian. Penggembala setengah tua itu
mengejar di belakang mereka sambil memaki-maki dalam bahasa Hui, mengayun-ayun
tongkatnya sehingga kambing-kambing itu menjadi makin ketakutan. Karena berada
dalam keadaan panik, gerombolan binatang itu lari kacau-balau menyerbu tempat
perkelahian sehingga mereka yang berkelahi menjadi kacau pula.
Melihat ada
segerombolan kambing menyerbu, orang-orang Bu-tong-pai menjadi marah sehingga
para pengeroyok Ki Liong mempergunakan kaki mereka menendangi beberapa ekor
kambing yang segera terlempar dan terbanting. Makin riuh suara kambing-kambing
itu mengembik dan suasana menjadi semakin kacau.
Penggembala
itu menjadi marah. Dengan mata melotot dia lalu menghampiri orang-orang
Bu-tong-pai itu dan memaki-maki. "Kalian orang-orang kurang ajar, kenapa
menendangi kambing-kambingku?" Sambil terus memaki-maki dalam bahasa Hui,
penggembala itu kini mengobat-abitkan tongkat gembalanya, mengamuk dan
menyerang kalang-kabut kepada enam orang Bu-tong-pai itu!
Orang-orang
Bu-tong-pai itu bukanlah orang-orang kejam. Tentu saja mereka tidak ingin
memusuhi seorang penggembala bangsa Hui, maka melihat kemarahan penggembala itu
yang menyerang mereka dengan tongkat panjang, mereka itu hanya menangkis dengan
pedang mereka.
Terdengar
bunyi nyaring enam kali dan enam orang Bu-tong-pai itu terkejut bukan main.
Tongkat Si Penggembala itu bergerak cepat dan walau pun sudah ditangkis, tetapi
secara bertubi-tubi dapat menyambar ke arah mereka. Dan bukan itu saja, juga
mereka berenam merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tongkat
itu digerakkan oleh tenaga yang dahsyat!
Kakek
penggembala berusia sekitar lima puluh tahun itu masih terus menyerang
kalang-kabut, nampaknya dengan gerakan kacau, namun ternyata ujung tongkatnya
menyambar-nyambar dengan tepat ke arah enam orang Bu-tong-pai. Melihat serangan
ini, enam tosu itu segera berloncatan mundur.
Kakek bangsa
Hui itu kini memutar tongkatnya dan menyerang dengan hantaman ke arah kepala
Tiong Gi Cinjin yang masih bertanding dengan seru, atau lebih tepat, mendesak
hebat kepada Hay Hay! Dan wakil Ketua Bu-tong-pai ini pun amat terkejut karena
tongkat itu menyambar dengan amat kuatnya, didahului oleh angin pukulan yang
ganas! Tiong Gi Cinjin cepat mengelak. lantas menggerakkan lengannya menangkis
sambil mengerahkan tenaga, dengan maksud mematahkan tongkat penggembala itu.
"Dukkk!"
Tongkat itu
ternyata tidak patah, bahkan melalui tangannya yang tergetar Tiong Gi Cinjin
dapat merasakan betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam tongkat itu!
Maklumlah dia bahwa penggembala Hui ini pun seorang yang memiliki kepandaian
tinggi!
Padahal tadi
pun dia sudah merasa bingung saat melihat kenyataan betapa pemuda yang
disangkanya Ang-hong-cu itu sama sekali tak pemah membalas serangannya dan
hanya mempertahankan diri, tetapi sebegitu jauh dia belum juga dapat
merobohkannya! Bahkan satu kali pun belum ada serangannya yang berhasil
mengenai sasaran! Juga dia melihat betapa enam orang anak buahnya sama sekali
tak dapat menandingi kehebatan pemuda yang menggunakan sebatang pedang yang
sinarnya seperti perak itu.
"Hayo,
siapa pun yang berani mengganggu kambingku akan kupukul dengan tongkat
ini!" Penggembala Hui itu berteriak-teriak sambil mengobat-abitkan
tongkatnya yang panjang.
Sambil
mencabut tongkatnya Tiong Gi Cinjin segera berkata, suaranya terdengar lembut,
"Sobat, tidak ada yang mengganggu kambingmu. Karena kambing-kambingmu
memasuki tempat perkelahian ini, maka ada yang kena tendangan. Hitung saja
berapa yang tewas dan kami akan menggantinya."
Penggembala
itu menghitung kambingnya, akan tetapi tidak ada yang tewas karena tadi para
murid Bu-tong-pai memang menendang kambing hanya untuk mengusir mereka saja
tanpa niat membunuh. Sesudah melihat betapa kambingnya masih utuh, penggembala
itu lalu bersungut-sungut dan meneriaki kambing-kambing yang agak menjauh,
tanpa peduli lagi dengan mereka yang kini menghentikan perkelahian.
"Ang-hong-cu,
biarlah sekali ini pinto melepaskanmu, tapi lain kali pinto akan mencarimu
dengan kekuatan yang lebih besar. Bagaimana pun juga engkau harus
mempertanggung jawabkan perbuatanmu terhadap murid wanita kami!" Setelah
berkata demikian, Tiong Gi Cinjin memberi isyarat kepada anak buahnya untuk
pergi dari tempat itu.
Dengan sikap
acuh penggembala itu juga menggiring pergi semua kambingnya,
teriakan-teriakannya terdengar sampai jauh, bahkan teriakannya masih terus
terdengar ketika dia dan kambing-kambingnya sudah tidak kelihatan lagi.
Diam-diam
Hay Hay merasa heran. Dia tahu bahwa penggembala kambing bangsa Hui itu bukan
orang sembarangan sehingga tosu Bu-tong-pai dan anak buahnya segera mundur
begitu penggembala itu datang mengacau dengan kambing-kambingnya.
Sim Ki Liong
juga merasa heran dan kagum. Timbullah suatu niat di dalam hatinya untuk membujuk
orang Hui itu agar suka bekerja sama dengan persekutuan di mana dia menjadi
pembantu pimpinan.
"Saudara
Tang Hay, nanti dulu, aku ingin mengejar dan bicara dengan penggembala Hui
itu!" Sesudah berkata demikian, Ki Liong segera meloncat dan berlari cepat
mengejar ke arah menghilahgnya Si Penggembala bersama kambing-kambingnya.
Kini Hay Hay
berdiri memandang kepada Ling Ling yang semenjak tadi berdiri mematung. Dara
ini terlampau bingung untuk mencampuri perkelahian tadi. Hatinya menjadi
bimbang sekali sesudah mendengar tuduhan tosu Bu-tong-pai dan para muridnya
tadi bahwa Hay Hay adalah Ang-hong-cu.
Dia merasa
tertarik kepada Hay Hay yang dianggap susiok-nya itu, bahkan gadis ini mulai
merasa yakin bahwa hatinya bukan hanya sekedar tertarik, melainkan ada perasaan
cinta terhadap pemuda itu. Akan tetapi wakil Ketua Bu-tong-pai menuduh pemuda
itu sebagai Ang-hong-cu, penjahat pemerkosa wanita yang terkenal kejam dan
sangat jahat! Dan dia merasa ragu-ragu.
Hay Hay
adalah seorang pemuda yang sangat pandai merayu wanita, suka memuji-muji dan
mudah menundukkan hati wanita, jadi tuduhan itu bukan tidak masuk akal. Apa
lagi para tokoh Bu-tong-pai terkenal sebagai perdekar-pendekar gagah, pasti
tidak menuduh sembarangan saja, dan bukankah ada buktinya, yaitu Hay Hay
mempunyai sebuah benda perhiasan tawon merah yang menjadi tanda khas dari
penjahat Ang-hong-cu?
"Ling
Ling, jangan engkau memandangku seperti itu!" Hay Hay berkata.
"Percayalah, aku bukanlah Ang-hong-cu penjahat itu!"
Ling Ling
menggelengkan kepala, matanya masih terbelalak dan mukanya agak pucat.
"Aku... tidak tahu... aku tidak... tahu...," katanya ragu-ragu dan
bingung, kemudian dia membalikkan tubuhnya. "Lebih baik aku pergi
saja..."
"Ling
Ling, ingat akan pesanku. Tiga hari kemudian aku akan mencarimu di tepi
telaga...!" Hay Hay mengingatkan gadis itu.
Dia telah mengambil
keputusan akan melakukan siasat mendekati Ki Liong dan pura-pura mau bekerja
sama supaya dia dapat langsung masuk ke dalam sarang persekutuan itu. Dengan
demikian akan mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mengetahui siapa saja
anggota pimpinan persekutuan itu. Tidak perlu terlalu lama, tiga hari pun
cukuplah.
Kemudian dia
akan melarikan diri keluar untuk menemui Ling Ling. Dia harus meyakinkan hati
gadis itu bahwa dia bukan Ang-hong-cu, sungguh pun dia belum tahu bagaimana dia
akan dapat meyakinkannya tanpa membuka rahasianya bahwa Ang-hong-cu adalah ayah
kandungnya.
Ling Ling
tidak menjawab, melainkan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Tempat yang
tadinya menjadi medan perkelahian itu kini menjadi sunyi. Hay Hay lalu duduk,
menunggu kembalinya Ki Liong. Tidak lama kemudian pemuda itu pun datang dengan
berlari cepat, dan begitu tiba di situ Ki Liong memandang ke kanan kiri,
mencari-cari dengan pandang matanya karena dia tidak melihat Ling Ling di situ.
"Ehh,
di mana Nona Cia...?" tanyanya.
Hay Hay
menghela napas panjang. Dia tidak perlu berpura-pura, karena itu dia tidak
perlu berbohong pula. "Dia telah pergi, marah karena mengira bahwa aku
adalah Ang-hong-cu, tentu dia merasa malu mempunyai seorang susiok yang menjadi
jai-hwa-cat tersohor itu."
Ki Liong
tersenyum. "Saudara Tang, benarkah engkau bukan Ang-hong-cu? Tokoh-tokoh
Bu-tong-pai itu kelihatan begitu yakin... "
"Hemmm,
Saudara Sim Ki Liong, seperti yang dikatakan oleh Ling Ling tadi, Ang-hong-cu
terkenal sebagai seorang jai-hwa-cat sejak puluhan tahun yang lalu. Bagaimana
mungkin aku yang baru berusia dua puluh satu tahun tahu-tahu dituduh sebagai
Ang-hong-cu yang usianya tentu sudah jauh lebih tua?" Lalu, dengan muka
memperlihatkan penasaran dan kemarahan, Hay Hay bertanya. "Saudara Sim,
apakah engkau juga ikut-ikut menuduh aku Ang-hog-cu?"
Sim Ki Liong
tertawa. "Sama sekali tidak, Saudara Tang. Dan andai kata betul sekali
pun, aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Memang para pendekar itu
kadang-kadang terlalu memandang rendah orang lain seakan-akan diri mereka saja
yang baik, bersih dan gagah. Engkau pun telah mereka musuhi dan mereka tuduh
semena-mena. Nah, mereka sama sekali tidak menghargaimu. Tetapi aku, maksudku
kami, akan dapat menghargaimu yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan kalau
engkau suka bergabung dengan kami, membantu perjuangan kami sehingga berhasil,
kelak engkau pun akan menjadi seorang berpangkat tinggi dan manusia-manusia
macam mereka itu tak akan berani memandang rendah dan meremehkanmu lagi, apa
lagi menghina seperti yang mereka lakukan tadi."
"Hemm,
tadi engkau bicara tentang perjuangan. Apa yang sebenarnya kau maksudkan?"
Hay Hay memancing.
"Kami
sedang menghimpun kekuatan dalam sebuah persekutuan, memperjuangkan nasib kita
dari tekanan pemerintah yang lalim. Kaisar beserta para menteri sekarang ini
kurang bijaksana, banyak pembesar melakukan korup, banyak terjadi kelaliman,
oleh karena itu kami berusaha untuk melakukan suatu perjuangan."
"Maksudmu
pemberontakan terhadap pemerintah?"
"Ki
Liong tersenyum. "Bagi kami bukan pemberontakan, melainkan perjuangan,
Saudara Tang! Memberontak terhadap kelaliman adalah suatu perjuangan yang
mulia. Karena itu marilah engkau bergabung dengan kami agar kepandaianmu tidak
akan sia-sia."
Hay Hay
pura-pura mengerutkan alisnya dan berpikir. "Akan tetapi aku belum tahu
siapa pemimpin kalian dan orang macam apa dia, dan siapa pula yang menjadi
anggotanya."
"Jangan
khawatir, Saudara Tang, pemimpin kami adalah seorang yang memiliki ilmu tinggi
sekali. Bengcu kami adalah orang yang bijaksana dan aku sendiri telah diangkat
menjadi pembantu utamanya. Banyak orang-orang kang-ouw yang telah menggabungkan
diri dan jangan engkau heran apa bila di antara mereka terdapat tokoh-tokoh
dari golongan hitam. Dalam suatu perjuangan urusan pribadi harus ditinggalkan,
dan kami menghimpun tenaga dari mana pun juga asal dapat membantu gerakan kami.
Marilah engkau kuperkenalkan dengan Bengcu dan para anggota pimpinan."
"Di
mana pusat persekutuan kalian itu?
"Di
Pegunungan Yunan. Marilah engkau ikut bersamaku, Saudara Tang. Sungguh sayang
sekali bahwa Nona Cia tidak dapat ikut ke sana."
"Dia
sedang marah, jadi tidak perlu dihubungi lagi, dan baiklah, aku akan ikut
denganmu, Saudara Sim. Akan tetapi, bagaimana dengan penggembala Hui tadi?
Siapakah dia dan sudahkah engkau tadi bertemu dengan dia, Saudara Sim?"
"Wah,
orang itu memang aneh dan mencurigakan, juga agaknya dia lihai sekali. Melihat
kelihaiannya tadi aku ingin menghubunginya, maka aku cepat melakukan
pengejaran. Tapi ketika aku tiba di luar hutan ini, yang kutemukan hanyalah
segerombolan kambing yang digembala oleh seorang anak kecil suku bangsa Hui.
Kutanyakan dia mengenai laki-laki setengah tua tadi, tapi dia hanya bilang
bahwa lelaki itu meminjam kambing-kambingnya itu dan baru saja dikembalikan.
Anak itu telah diberi beberapa potong uang perak, namun dia tak mengenal siapa
adanya laki-laki itu yang langsung pergi dengan cepatnya setelah mengembalikan
kambing-kambingnya dan memberinya beberapa potong uang perak."
"Aneh
sekali...," kata Hay Hay heran.
"Memang
aneh. Jelas bahwa laki-laki itu sengaja menyamar sebagai penggembala untuk
membubarkan perkelahian, atau jika tak keliru dugaanku, dia sengaja hendak
membantu kami dalam menghadapi orang-orang Bu-tong-pai. Akan tetapi sudahlah,
dia sudah pergi. Mari engkau ikut bersamaku menemui Bengcu kami, Saudara
Tang."
Hay Hay
mengangguk-angguk, lantas mengikuti pemuda tampan itu meninggalkan tempat itu
menuju ke barat. Diam-diam dia masih membayangkan keanehan lelaki penggembala
bangsa Hui itu.
Siapakah dia
dan apa pula maksudnya dengan berpura-pura menggembala kambing dan menyerbu ke
tempat perkelahian? Melihat betapa penggembala palsu itu dapat membuat gentar
orang-orang Bu-tong-pai, telah membuktikan bahwa orang itu memang lihai sekali,
padahal baru melakukan penyerangan beberapa kali saja dengan tongkat
gembalanya!
Akan tetapi
karena dia pun bisa menduga bahwa di tempat itu banyak berkeliaran orang
pandai, Hay Hay menduga bahwa laki-laki setengah tua tadi tentu seorang di
antara para pendekar yang menurut Menteri Yang Ting Hoo, banyak berdatangan ke
tempat itu untuk melakukan penyelidikan terhadap persekutuan orang sesat yang
dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu. Dan kini dia dibawa oleh Ki Liong menghadap
Lam-hai Giam-lo!
***************
"Hay-ko...!
Engkaukah ini...?" Pek Eng berseru dengan girang sekali ketika dia
mengenal Hay Hay.
Pemuda itu
masuk bersama Kim Liong untuk menghadap Lam-hai Giam-lo, dan karena para
pengawal mengatakan bahwa bengcu sedang berlatih silat dengan murid atau puteri
angkatnya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat), maka Ki Liong yang memiliki
kebebasan di tempat itu sebagai pembantu utama dan terpercaya dari bengcu,
segera saja mengajak Hay Hay untuk memasuki ruangan itu.
Begitu
mereka masuk Hay Hay segera melihat dan mengenal seorang gadis yang sedang
berlatih silat dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Gadis itu bukan lain
adalah Pek Eng! Keraguannya lenyap seketika setelah gadis itu menoleh dan
matanya terbelalak, lalu memanggilnya dengan gembira.
"Adik
Eng...! Benar engkaukah ini? Bagaimana bisa di sini ?" Dia pun bertanya
terheran-heran. Apakah keluarga Pek, pimpinan Pek-sim-pang yang termasuk aliran
putih itu juga sudah bersekutu dengan gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh
Lam-hai Giam-lo? Rasanya tidak mungkin begitu.
"Ahh,
kalian sudah saling mengenal? Bagus!" kata Ki Liong.
Tentu saja
dia hanya berpura-pura, sebab ketika Pek Eng baru tiba di tempat itu, gadis ini
telah bercerita bahwa dia mencari dua orang, yaitu kakak kandungnya yang bernama
Pek Han Siong, dan orang ke dua adalah Hay Hay. Dia sendiri sempat mendengar
ketika Pek Eng menceritakan hal itu kepada Bi Lian, murid dari mendiang Pak Kwi
Ong dan Tung Hek Kwi itu.
Sementara
itu Lam-hai Giam-lo telah mendengar beritanya lebih dahulu tentang pemuda
bernama Hay Hay itu, yang kabarnya amat lihai, sedemikian lihainya sehingga dua
orang di antara para pembantunya yang dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko beserta Ji
Sun Bi, juga merasa jeri dan harus mengundang Ki Liong untuk membantu mereka.
Sekarang Ki Liong telah kembali bersama pemuda itu dan agaknya berhasil
membujuknya, maka diam-diam hati Lam-hai Giam-lo menjadi gembira sekali. Makin
banyak orang pandai membantunya maka akan semakin baik pula.
Pek Eng dan
Hay Hay saling pandang dan tiba-tiba saja sepasang pipi gadis itu berubah merah
karena dia teringat betapa dia pernah mencium dan dicium pipinya oleh pemuda
ini yang tadinya dia sangka kakak kandungnya! Seorang pernuda yang pandai
merayu, akan tetapi... menyenangkan sekali dan kelihaiannya membuat dia kagum
bukan main. Setelah dia teringat tentang peristiwa penciuman itu, tiba-tiba
saja Pek Eng menjadi pemalu dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata.
Sementara
itu Lam-hai Giam-lo juga merasa girang sekali melihat betapa muridnya, juga
anak angkatnya yang amat disayangnya itu sudah saling mengenal dengan pemuda
yang baru datang ini. Kalau Eng Eng telah mengenalnya maka akan mudah
mengetahui siapa sebenarnya pemuda itu, dan tentu lebih dapat dipercaya.
"Saudara
Tang Hay, inilah Bengcu yang memimpin gerakan perjuangan kami. Bengcu, dia
adalah Saudara Tang Hay, seorang pemuda petualang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi sekali. Dia sudah mendengar dariku mengenai semua cita-cita perjuangan
kita dan menyatakan setuju untuk membantu agar kelak dia bisa memperoleh bagian
jabatan yang tinggi," kata Sim Ki Liong.
Lam-hai
Giam-lo mengangguk-angguk.
"Mari,
silakan ikut dengan kami ke ruangan duduk, orang muda, supaya kita dapat bicara
dengan lebih leluasa."
Mereka
kemudian memasuki ruangan duduk, dan diam-diam Hay Hay mengagumi semua perabot
rumah yang serba mewah itu. Juga ruangan duduknya sangat luas dan nyaman,
dihias oleh lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Mereka berempat lalu
duduk di dalam ruangan itu. Dua orang pelayan wanita muda yang cantik-cantik
segera keluar membawa arak dan air teh harum, lalu pergi lagi dengan langkah
kaki yang genit
"Eng
Eng, engkau sudah kenal dengan pemuda ini? Di mana engkau mengenalnya dan
siapakah dia ini sebenarnya?" Lam-hai Giam-lo bertanya kepada Pek Eng
dengan suara menyayang.
Hay Hay
melihat sikap ini dan dia merasa semakin heran. Agaknya kakek bemuka kuda yang
julukannya Lam-hai Giam-lo ini, pemimpin dari gerombolan orang sesat yang
hendak memberontak terhadap pemerintah, amat akrab dengan Pek Eng. Tadi dia
sudah melihat betapa Pek Eng berlatih silat di bawah bimbingan kakek ini!
Suara kakek
ini pun luar biasa sekali, parau pecah seperti ringkik kuda. Keadaan wajah dan
tubuhnya juga aneh. Mukanya mirip kuda, dengan mulut atas menjorok keluar, dua
matanya sipit dan sepasang telinganya lebar. Tubuhnya yang tinggi kurus itu
mempunyai sepasang kaki yang panjang. Seorang kakek yang sangat aneh dan
usianya belum begitu tua, sekitar lima puluh tahun lebih.
"Bengcu,
aku mengenalnya sebagai Hay Hay, ketika masih bayi dia pernah menjadi anak
angkat dari orang tuaku."
"Ho-ho-ha-ha...!"
Lam-hai Giam-lo tertawa hingga suaranya bergema di ruangan itu, "kalau
begitu dia ini masih kakak angkatmu sendiri?"
Pek Eng
adalah seorang gadis yang sangat cerdik dan tangkas. Dia sudah merasa kaget dan
heran bukan main ketika Hay Hay muncul tadi, dan sungguh pun dia tidak tahu apa
maksud kedatangan Hay Hay di tempat itu, namun dia tahu bahwa kalau kedatangan
Hay Hay ini hendak menentang persekutuan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo,
maka akan terancamlah keselamatan Hay Hay. Agaknya pemuda itu belum tahu bahwa
di tempat ini berkumpul banyak sekali orang yang sangat lihai. Maka dia pun
cepat-cepat mengangguk membenarkan ketika mendengar ucapan Lam-hai Giam-lo.
"Begitulah,
Bengcu. Boleh dibilang dia adalah kakakku sendiri, kakak angkat karena dia
pernah diangkat anak oleh ayah bundaku"
Hay Hay
mengangguk-angguk pula, menahan hatinya yang penuh diliputi perasaan heran dan
penasaran bagaimana Pek Eng dapat berada di tempat itu dan nampaknya hubungan
dara ini begitu dekat dengan Lam-hai Giam-lo, pemimpin kaum pemberontak itu!
Padahal setahunya keluarga Pek merupakan keluarga pendekar yang tentu saja sama
sekali tidak akan sudi berhubungan dengan para pemberontak, apa lagi kalau
pemberontak itu terdiri dari orang-orang golongan hitam. Akan tetapi dengan
cerdik dia pun menahan dirinya. Dia akan bertanya mengenai keanehan itu dari
Pek Eng sendiri, kalau mereka sempat bicara empat mata saja.
"Sobat
Tang Hay, kalau engkau pernah diangkat anak oleh orang tua Eng Eng, mengapa
engkau tidak memakai nama keluarga Pek akan tetapi sekarang memakai nama
keluarga Tang?"
Pertanyaan
yang tiba-tiba dari Lam-hai Giam-lo ini sebetulnya mengejutkan hati Hay Hay,
tetapi sama sekali tidak terlihat pada wajahnya yang tetap tenang. Dia bahkan
tersenyum lalu memberi hormat kepada pemimpin itu.
"Maaf,
Bengcu. Sebelum kita berbicara tentang diriku, lebih dahulu aku ingin sekali
tahu, apakah Bengcu dapat menerima aku untuk membantu gerakan perjuangan yang
Bengcu pimpin? Tentu saja dengan janji bahwa kalau kelak gerakan berhasil, aku
akan mendapat bagian, yaitu sebuah kedudukan yang tinggi dan terhormat sesuai
dengan jasa-jasaku?"
Wajah
Lam-hai Giam-lo berseri-seri. Kalau ada orang membantunya dengan pamrih agar
kelak bisa memperoleh jabatan, maka orang itu dapat dipercaya! Dia tertawa lalu
berkata, "Tentu saja, orang muda yang gagah. Dan karena yang mengajak
engkau datang adalah Sim-kongcu yang sudah kupercaya sepenuhnya, maka kami pun
percaya kepadamu. Kita lihat saja nanti bagaimana kesetiaanmu terhadap gerakan
kita dan apa saja jasa-jasamu selama dalam perjuangan. Nah, sekarang jawablah
pertanyaanku tadi."
Hay Hay
merasa kagum sekali. Kakek bermuka kuda ini sungguh kuat ingatannya, masih
ingat dengan pertanyaannya yang belum terjawab tadi. Dengan sewajarnya dia
menjawab, "Meski pun aku pernah diangkat anak oleh keluarga Pek, akan
tetapi hanya sebentar, jadi aku merasa tidak berhak menggunakan nama keluarga
Pek yang terhormat. Karena itulah maka aku memakai nama keluarga ayah kandungku
sendiri yang sudah tiada. Bukankah begitu, Eng-moi?"
Ditanya
demikian, Pek Eng hanya mengangguk. Tentu saja gadis ini tidak mau membuka
rahasia pemuda yang dikaguminya itu bahwa pemuda itu adalah putera dari
jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang tersohor itu.
Sebelum
Lam-hai Giam-lo sempat berbicara lebih lanjut, terdengar suara ribut-rlbut di
luar lian-bu-thia (ruangan latihan silat) itu. Terdengar suara orang yang
lantang dan nadanya mengejek. "Eh-ehh, kalian mau apa? Sudah kukatakan
bahwa aku datang untuk mencari Lam-hai Giam-lo. Bukankah kabarnya dia menampung
orang-orang gagah untuk bekerja sama? Sekarang aku sudah datang, tapi kenapa
disambut seperti musuh saja? Beginikah yang dinamakan menghargai orang
gagah?"
"Orang
asing! Engkau datang tanpa mau menyebutkan nama serta apa kepentinganmu hendak
bertemu dengan Bengcu. Sikapmu mencurigakan, tentu saja kami menghadapimu
sebagai musuh. Tak seorang pun boleh nyelonong begitu saja memasuki tempat kami
ini, apa lagi hendak bertemu langsung dengan Bengcu," terdengar salah
seorang anak buah Kui-kok-pang membantah.
"Habis
kalau aku terus masuk dan terus mencari Bengcu kalian, lalu kalian mau apa? Mau
menghalangiku? Ha-ha-ha, boleh kalau kalian mampu!" terdengar pula suara
lantang itu.
Mendengar
percakapan ini disusul suara ribut-ribut orang berkelahi, dengan alis berkerut
Lam-hai Giam-lo melangkah keluar, diikuti oleh Pek Eng, Ki Liong dan Hay Hay.
Sesudah mereka tiba di luar, mereka melihat seorang lelaki gagah berusia lima
puluh tahun sedang dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment