Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 09
PAGI-PAGI
sekali Hay Hay telah keluar dari daerah dusun dan pegunungan itu. Dia menuju ke
barat karena dia sedang melakukan perjalanan untuk mencari keluarga Pek yang
dulu tinggal di Tibet.
Sejak dia
menjadi murid See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, keadaan dirinya membuat dia
sering kali termenung dan termangu-mangu. Dua orang gurunya yang amat sakti itu
pun tidak dapat menentukan dia anak siapa!
Sejak bayi
dia merasa menjadi putera suami isteri Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, yang tidak
tahunya adalah sepasang suami isteri iblis yang berjuluk Lam-hai Siang-mo.
Namun ternyata suami isteri itu bukanlah orang tuanya, melainkan telah
menculiknya dari rumah keluarga Pek. Kalau saja keluarga Pek mempunyai anak
yang lumrah, tentu mudah sekali memastikan bahwa dia adalah anak keluarga Pek
yang diculik oleh Lam-hai Siang-mo.
Akan tetapi
dua orang gurunya yang sakti dan bijaksana memastikan bahwa dia bukanlah putera
keluarga Pek, karena sudah dipastikan oleh para pimpinan pendeta Lama bahwa
putera keluarga Pek adalah seorang Sin-tong (anak ajaib) yang mempunyai tanda
merah di punggungnya! Sedangkan dia tidak mempunyai tanda merah itu! Jelas,
menurut kedua orang gurunya, dia bukan putera keluarga Pek!
Maka
satu-satunya petunjuk tentang keadaan dirinya hanya dapat diharapkan datang
dari keluarga Pek. Mereka tentu tahu siapa dia, siapa orang tuanya dan mengapa
ketika bayi dia dapat berada di tangan keluarga Pek sehingga diculik oleh
Lam-hai Siang-mo.
Inilah
sebabnya maka Hay Hay kini menuju ke barat, untuk mencari keluarga Pek dan
menyelidiki tentang asal-usul dirinya yang sebenarnya. Akan tetapi dia tidak
tergesa-gesa dan melaksanakan keinginannya menemui keluarga Pek sambil lalu
saja, yang terpenting baginya adalah menikmati perjalanan yang amat jauh itu.
Dia sudah
pernah melakukan perjalanan jauh seperti ini, akan tetapi dari barat ke timur,
yaitu beberapa tahun yang lampau ketika dia masih berusia kurang lebih tiga
belas tahun dan meninggalkan See-thian Lama untuk mengikuti gurunya yang baru,
Ciu-sian Sin-kai menuju ke Pulau Hiu di lautan Pohai. Kalau dulu dia datang
dari barat menuju ke timur, sekarang sebaliknya, dia datang dari pantai Pohai
menuju ke barat, ke Tibet!
Dengan
santai Hay Hay melakukan perjalanan dan sebelum dia menuruni bukit terakhir,
dia berhenti lebih dulu dan membalikkan tubuhnya menghadap ke timur, untuk
menikmati keindahan matahari terbit.
Bola merah
yang besar itu perlahan-lahan tersembul dan naik ke atas. Hay Hay tak berani
terlampau lama memandang bola api itu, walau pun sinarnya belum terlalu
menyilaukan, namun dia tahu bahwa hal itu tidak baik bagi matanya. Yang
dinikmati adalah keindahan cahaya merah itu memandikan segalanya yang berada di
permukaan bumi, dan cahaya merah kuning biru yang mewarnai awan-awan yang
membentuk berbagai macam corak, demikian kaya dengan bentuk sehingga setiap
manusia dapat membentuk awan-awan itu menjadi bentuk apa saja menurut khayal
mereka yang paling ajaib.
Sesudah puas
menikmati keindahan alam di waktu pagi, Hay Hay membalikkan tubuhnya lagi dan
hendak menuruni lereng bukit terakhir. Akan tetapi tiba-tiba dia tertegun
karena tidak jauh di depannya, hanya belasan meter jauhnya, telah berdiri tegak
seorang wanita yang bukan lain adalah gadis galak semalam!
Namun hanya
sebentar saja dia tertegun. Dia tidak kehilangan keluwesannya dan segera
tersenyum ramah kemudian melangkah maju menghampiri dan menjura.
"Selamat
pagi, Nona yang gagah perkasa! Sungguh pagi yang sangat cerah dan indah,
bukan?"
Akan tetapi
gadis jelita dan manis itu cemberut. Aneh sekali, pikir Hay Hay, kenapa gadis
ini cemberut saja dapat terlihat demikian manisnya? Apanya yang membuatnya
demikian manis? Segalanya memang indah bentuknya, dan wajah itu ayu akan tetapi
apanya yang paling menonjol? Dia menyelidiki keadaan gadis itu dengan penuh
perhatian!
"Aku
tidak tanya dan tidak peduli pagi ini cerah indah atau muram buruk! Aku berada
di sini sengaja menantimu dan ingin bicara denganmu!"
"Ahai,
lebih baik lagi kalau begitu! Ahh, kalau saja aku tahu Nona menantiku di sini,
tentu tadi aku akan bersicepat dan tak akan membiarkan diri terpesona oleh
kecantikan alam di waktu pagi." Dengan ucapan itu dia seolah-olah hendak
memuji bahwa keindahan gadis itu tidak kalah oleh keindahan alam pagi.
"Suatu kehormatan yang teramat besar bagiku. Tidak tahu Nona hendak
menyampaikan berita bahagia apakah kepada diriku yang miskin ini?"
Sejenak Bi
Lian, gadis itu, tertegun juga. Alangkah indahnya kata-kata yang dikeluarkan
oleh pemuda ini, sambil tersenyum, wajahnya berseri, sepasang matanya yang
tajam itu memandang lembut. Akan tetapi dia langsung teringat bahwa pemuda ini
adalah seorang perayu wanita, seorang lelaki mata keranjang, maka dia memasang
muka cemberut lagi. Lebih cemberut dari pada tadi. Akan tetapi lebih manis,
pikir Hay Hay.
"Tak
usah merayu dengan kata-kata indah! Aku menantimu untuk mengajakmu membuat
perhitungan dan melunasi hutang-pihutang antara kita!"
Diam-diam
Hay Hay terkejut sekaligus juga heran. Dia maklum yang dimaksudkan dengan
hutang-pihutang tentulah urusan perselisihan di antara mereka. Akan tetapi
seingatnya, tidak ada lagi urusan di antara mereka. Bukankah di dalam urusan
ruangan di kuil tua dia sudah mengalah dan pergi, kemudian perkelahian semalam
itu terjadi hanya karena salah paham dan salah duga terhadap dirinya? Dia
anggap sudah habis dan selesai, mengapa nona ini bicara tentang penyelesaian
hutang-pihutang? Akan tetapi wajahnya tetap berseri dan dia memasang muka gembira.
"Wah,
menarik sekali!" Hay Hay menurunkan buntalan pakaiannya lalu duduk di atas
batu dl pinggir jalan kecil itu, seperti orang yang ingin sekali mendengarkan
sebuah cerita yang amat menarik. "Berapakah hutangku kepadamu dan
bagaimana aku harus membayarnya, Nona? Aku seorang perantau miskin..."
"Bukan
engkau yang masih ada hutang, akan tetapi aku yang hutang kepadamu."
"Aih,
semakin menarik dan menyenangkan saja. Akan tetapi sungguh mati aku sudah lupa
lagi kapan Nona berhutang kepadaku dan berapa jumlahnya?"
"Pertama-tama
aku mengusirmu dari kuil dan ke dua, aku sudah menuduhmu melakukan perbuatan
terkutuk yang tidak kau lakukan. Nah, aku telah hutang dua kali kepadamu dan
aku ingin melunasinya sekarang!"
"Ehhh...?"
Kali ini senyumnya menghilang dari wajah Hay Hay karena memang dia heran
sekali. "Lalu bagaimana engkau akan melunasi hutang-hutang itu,
Nona?"
Dara itu
memperlihatkan sepasang lengannya yang diulur dengan jari-jari tangan terkepal.
"Dengan ini! Bagaimana lagi orang-orang seperti kita menyelesaikan
perhitungan kecuali dengan jalan mengadu ilmu silat? Majulah lantas bersiaplah,
kita harus bertanding untuk membereskan perhitungan!"
"Wah-wah-wah!"
Hay Hay mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dan menggeleng-geleng kepala.
"Kalau seperti itu pembayarannya, sudahlah, jangan kau bayar saja semua
hutang-hutangmu, Nona! Aku sudah rela dan biarlah hutang-hutangmu itu kuanggap
lunas saja!"
"Apa?!"
Gadis itu memandang dengan mata mendelik. "Rupanya engkau mau menghina
aku! Kau anggap aku tidak mampu melunasi hutang-hutangku?"
"Ehhh,
bukan begitu! Tapi..., wah mengapa pembayarannya harus seperti itu? Aku tidak
merasa pernah menghutangkan, aku tidak menaruh dendam sakit hati, dan aku pun
tidak mengharapkan pembayaran. Sudahlah, hutang-hutangmu telah lunas dan jangan
sampai kita membuat hutang-hutang lagi, Nona."
Hay Hay lalu
mengambil buntalan pakaiannya. Akan tetapi tiba-tiba dia meloncat dengan elakan
yang sangat cepat karena pada saat itu ada angin pukulan yang panas dan kuat
sekali menyambar ke arahnya, dibarengi bentakan nona itu.
"Heiiiitttt...!"
"Brakkk...!"
Ujung batu
yang tadi diduduki Hay Hay pecah berantakan terkena pukulan tangan gadis yang
lihai itu. Debu mengepul dan mata Hay Hay terbelalak. Gadis itu memukul
sungguh-sungguh! Kalau dia tidak cepat mengelak sehingga terkena pukulan
seampuh itu tentu dia akan celaka, mungkin tewas atau paling tidak terluka
parah. Sungguh seorang gadis yang cantik jelita, manis, lihai akan tetapi ganas
bukan main!
"Ehh-ehh,
tahan dahulu, Nona! Bagaimana sih engkau ini? Engkau merasa bersalah dan
berhutang kepadaku, mengapa membayarnya bahkan dengan penambahan hutang yang
lebih besar lagi? Bagaimana kalau sampai aku terkena pukulanmu dan mati?"
"Berarti
aku tidak hutang lagi kepadamu. Tidak ada orang berhutang kepada orang yang
sudah mati."
Jika saja
nona itu tidak berbicara sambil merengut, tentu Hay Hay akan menganggapnya
main-main atau kelakar.
"Lalu
bagaimana kalau sampai aku tidak dapat kau kalahkan?" Hay Hay menyelidik.
"Kalau
aku yang mati, berarti hutangku juga lunas. Tidak ada orang mati yang mempunyai
hutang kepada siapa pun juga!"
Wah, pikir
Hay Hay. Gadis ini bicara serius, akan tetapi ucapannya sungguh bocengli (tak
pantas)! Mana ada orang merasa bersalah dianggap hutang dan pembayarannya harus
saling membunuh? Diam-diam dia lalu memandang penuh perhatian. Seorang gadis
yang benar-benar amat cantik, dan usianya tentu tak berselisih banyak dengan
usianya sendiri.
"Kau
aneh, Nona."
"Sudahlah,
aku tak ingin mendengar pendapatmu tentang diriku. Hayo cepat bersiap, kita
lanjutkan penyelesaian hutang-pihutang ini!"
Bi Lian
sudah siap untuk melakukan penyerangan lagi. Kuda-kudanya sangat indah akan
tetapi aneh, kaki kanan berdiri tegak lurus di atas jari-jari kaki, kaki kiri
ditekuk seperti kaki burung, tangan kanan diacungkan tinggi ke atas kepala,
tangan kiri menyembah di depan dada, leher dimiringkan dan napasnya ditahan!
Agaknya gadis itu telah siap untuk melancarkan pukulan maut yang aneh lagi!
"Nanti
dulu...! Nanti dulu, Nona." Hay Hay berkata cepat-cepat mendahului agar
nona itu tidak keburu menyerang.
"Ada
apa lagi? Cerewet benar engkau!" nona itu mengomel.
"Sebelum
aku kau pukul mati, aku berhak untuk tahu siapa yang berhutang kepadaku dan
membayar hutangnya dengan pukulan maut. Atau, menurut engkau, aturannya tidak
boleh memperkenalkan nama dan sembunyi-sembunyi saja?"
"Huhh!"
Bi Lian mendengus melalui hidungnya. "Siapa sembunyi-sembunyi? Kau kira
aku takut mempertanggung jawabkan? Namaku adalah Cu Bi Lian..."
"Nama
yang amat indah dan cantik, seperti pemiliknya..."
"Aku
tidak butuh pujianmu!"
"Aku
tak memuji, melainkan terus terang saja. Engkau sungguh cantik jelita,
mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan memiliki nama yang indah. Bi
Lian (Teratai Cantik), sungguh nama yang hebat. Sayang sekali..."
"Apa
sayang?" Bi Lian cepat memotong
Diam-diam
Hay Hay tersenyum di dalam hatinya. Bagaimana pun juga gadis ini tetap saja
seorang wanita yang wajar, yang selalu ingin mendengar pujian dan pantang
mendengar celaan, maka cepat-cepat gadis itu bertanya ketika dia berkata
sayang.
Hay Hay
cukup cerdik untuk tidak mengucapkan celaannya. Di dalam hatinya dia berkata
sayang bahwa gadis yang cantik dan lihai itu berperangai ganas dan kejam, akan
tetapi mulutnya tidak mengatakan demikian. Belum pernah dia mencela seorang
wanita, karena baginya wanita hanya pantas dipuji, tidak layak dicela!
"Sayang
jika aku mati olehmu, aku tidak dapat menikmati kecantikanmu lagi, dan engkau
tidak lagi ada yang memuji lagi."
"Sudahlah,
jangan cerewet. Bersiaplah menghadapi seranganku!" kata Bi Lian.
Hay Hay
melihat betapa wajah ltu tak beringas lagi seperti tadi, melainkan menjadi
manis karena ada senyum puas membayang di bibir yang merah membasah itu.
"Nanti
dulu, nanti dulu! Aku telah mengenal namamu, akan tetapi engkau belum mengenal
namaku, Nona Cu Bi Lian yang cantik."
"Namamu...
Hay-ko, aku sudah tahu! Engkau seorang perayu dan mata keranjang, gila
perempuan. Itu saja! Nah, sambutlah ini!" Dan dia pun sudah menerjang
kembali dengan hebatnya tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk banyak
cakap lagi!
"Haiiiittt...!"
Serangan itu
demikian ganas sehingga untuk menghindarkan diri, Hay Hay menjatuhkan diri di
atas tanah dan bergulingan menjauh, lalu melompat berdiri lagi. "Nanti
dulu, kurasa engkau telah berbohong kepadaku, Nona!"
Bi Lian yang
sudah siap mengirim serangan susulan, mengerutkan alisnya dan matanya
mengeluarkan sinar berapi. "Apa?! Kau bilang aku berbohong kepadamu? Untuk
tuduhan itu saja engkau harus membayar nyawa!"
"Hutang
lagi! Wah, engkau berbakat menjadi tukang kredit, Nona."
"Apa
tukang kredit?"
"Itu,
orang yang melepas uang dengan bunga hutang-pihutang! Aku mengatakan bohong
tentang namamu. Kau pernah mengaku bahwa engkau Dewi, sekarang engkau mengaku
bernama Cu Bi Lian, nama seorang gadis, seorang manusia biasa. Nah, manakah
yang benar?"
Hay Hay
memang sengaja mencari-cari urusan saja sebagai bahan untuk berbicara agar nona
itu tidak menyerangnya. Dia khawatir juga ketika melihat betapa serangan nona
itu semakin lama semakin ganas dan berbahaya.
"Siapa
berbohong?! Namaku memang Cu Bi Lian dan julukanku Thiat-sim Sian-li!"
"Dewi
Berhati Besi? Wah-wah-wah, ini namanya langit bertemu bumi!"
"Apa
lagi itu? Mana mungkin langit bertemu bumi!"
Hay Hay
tersenyum, senang sudah dapat memancing nona itu bercakap-cakap. "Memang
hal itu tidak mungkin, sama tak mungkinnya dengan julukanmu, Nona. Dengar
baik-baik, seorang Sian-li (Dewi) sudah pasti memiliki hati yang lembut, penuh
belas kasihan, penuh cinta kasih terhadap sesamanya. Sebaliknya, yang pantas
mempunyai hati besi hanyalah iblis-iblis dan setan-setan yang kejam, ganas dan
senang membunuh orang tanpa salah. Dewi-dewi biasanya berwajah cantik-cantik,
lemah lembut dan bijaksana, sedangkan iblis dan setan bertampang buruk,
berwatak kasar dan keras. Nah, jelas bahwa tidak mungkin ada dewi berhati besi,
bukan?"
"Peduli
apa kau dengan keadaanku? Aku boleh berhati besi, berhati baja, berhati batu,
atau berhati apa saja, sesuka hatiku. Tidak ada sangkut-pautnya dengan
engkau!"
"Memang,
seribu prosen hakmu sendiri untuk memakai hati dari apa, Cu-lihiap (Pendekar
Wanita Cu). Nah, pantas sekali sebutan Cu-lihiap untukmu, bukan? Memang engkau
jauh lebih pantas menjadi seorang pendekar wanita dari pada..."
"Dari
pada apa?" Cepat Bi Lian mendesak karena Hay Hay berhenti bicara. Pemuda
ini kembali mengelak, berjaga-jaga agar jangan sampai menyinggung hati gadis
itu dengan celaan.
"Engkau
adalah seorang pendekar wanita. Nah, menjadi pendekar wanita lebih baik dari
pada jika seandainya engkau menjadi tokoh sesat yang jahat sekali, bukan?"
Kini Bi Lian
agaknya sadar bahwa sejak tadi ia tidak diberi kesempatan untuk menyerang,
bahkan terseret ke dalam serangkaian percakapan dengan pemuda ini! Marahlah
gadis ini dan dia pun lalu membentak, "Cukup sudah! Cerewet benar kau!
Bersiaplah karena aku segera akan menyerangmu untuk menyelesaikan
perhitungan!"
Hay Hay
merasa kecewa bahwa dia tak berhasil melembutkan hati yang keras itu. Pantas
julukannya Dewi Berhati Besi, pikirnya. Akan tetapi dia masih mencoba juga.
"Nanti
dulu, Lihiap. Apakah aku tidak dapat membayar lunas... ehh, siapa yang
berhutang tadi? Engkau atau aku? Tidak peduli siapa yang berhutang dan siapa
yang membayar, apakah tidak ada cara lain untuk melunasi hutang? Apakah aku
sudah begini tak berguna sehingga engkau hendak membunuhku? Ingat baik-baik,
Nona cantik dan gagah perkasa. Mungkin orang macam aku ini masih ada juga
gunanya selain untuk dijadikan pembayar hutang dan dibunuh."
Tentu saja Hay
Hay mengeluarkan kata-kata ini hanya sekedar hendak memperpanjang waktu sambil
mengalihkan perhatian gadis itu dari kehendaknya yang ingin menyerangnya maka
tentu saja dia tidak mengharapkan tanggapan yang serius. Bahkan ucapannya tadi
hanya seperti kelakar saja. Karena itu dia menjadi sangat terheran-heran ketika
gadis itu menanggapinya dengan serius!
Sepasang
mata itu memandang kepadanya penuh selidik. Dan kini suaranya tak seketus tadi,
melainkan penuh harap. "Kalau engkau dapat membantuku dengan keterangan
yang berguna, mungkin aku akan menganggap lunas semua perhitungan di antara
kita tanpa harus mengajakmu bertanding."
Wajah Hay
Hay yang tadinya terkejut dan heran itu kini berubah girang sekali. Dengan
senyum ramah dia cepat bertanya. "Keterangan apakah itu, Lihiap? Tentu aku
akan suka sekali membantumu kalau memang aku dapat."
"Aku
mencari dua pasang suami isteri, mudah-mudahan engkau mengenal mereka dan tahu
di mana mereka berada."
"Siapakah
mereka, Nona?"
"Mereka
adalah Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan."
Tentu saja
Hay Hay merasa terkejut bukan main dan walau pun dia memiliki batin yang cukup
kuat dan tidak mudah terkejut, tapi sekali ini kekagetan itu nampak pada
pandang matanya yang melebar.
"Kau
kenal mereka? Di mana mereka? Aku sedang mencari-cari mereka!"
Tentu saja
Hay Hay mengenal dua pasang suami isteri itu! Lam-hai Siang-mo adalah Siangkoan
Leng dan Ma Kim yang pernah dipanggilnya ayah dan ibu selama bertahun-tahun,
sejak dia masih bayi! Dan suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan adalah suami
isteri yang hendak merampasnya dari tangan orang-orang yang tadinya dianggap
sebagai ayah ibunya itu.
"Kenapa
engkau mencari dua pasang suami isteri itu?"
"Aku
hendak membunuh mereka!"
Kembali Hay
Hay terkejut, akan tetapi diam-diam hatinya girang juga. Jawaban gadis itu
menunjukkan bahwa dia bermusuhan dengan dua pasang suami isteri yang terkenal
amat kejam dan jahat itu. Hal ini berarti bahwa gadis ini ternyata bukan dari
golongan sesat!
"Nona
Cu Bi Lian yang baik, kenapa engkau hendak membunuh dua pasang suami isteri
itu?"
"Cerewet
benar kau!" Gadis itu membentak dengan mata melotot. "Katakan saja,
engkau mengenal mereka atau tidak? Tidak perlu engkau mencampuri urusanku dan
jangan kau membohong!"
Hay Hay
mengangguk. "Aku kenal mereka, mengenal dengan baik sekali," katanya
terus terang dengan sikap tenang.
Mendengar
ini Bi Lian menjadi girang sekali dan wajahnya nampak berseri, membuat Hay Hay
bengong saking kagum karena melihat wajah yang demikian cantik dan manisnya.
"Wah,
bukan main...!" Dia mengeluarkan pujian tanpa disadarinya lagi, matanya
menatap wajah yang berseri itu penuh kagum.
Bagaimana
dia tidak akan kagum melihat betapa kedua pipi itu, tepat pada bagian tulang
menonjol di bawah kedua mata kini nampak kemerahan, mata itu bersinar-sinar
bening, mulut yang bibirnya merah membasah itu tersenyum simpul.
"Apanya
yang bukan main?!" Bi Lian membentak, mengerutkan alisnya karena pandang
mata pemuda itu demikian tajam dan dia pun mengenal bayangan kagum mata
laki-laki seperti yang sering dia lihat ketika dia bertemu dengan kaum pria.
"Wajahmu
itu, hemmm... cantik bukan main, Nona." kata pula Hay Hay terus terang.
Sepasang
mata itu terbelalak. Berbagai macam perasaan mengaduk dalam hati Bi Lian.
Girang, bangga, akan tetapi juga marah dan kemarahanlah yang paling besar.
Harus dia akui bahwa sudah banyak dia menerima pujian kaum pria, baik melalui
pandangan mata atau pun melalui kata-kata, akan tetapi lelaki yang memujinya itu
selalu memiliki pandang mata yang kurang ajar dan penuh nafsu, dan pujiannya
merupakan rayuan.
Akan tetapi
pemuda ini, yang dalam pertemuan pertama sudah memujinya, memandang dengan
kekaguman yang terbuka, yang tak menyembunyikan pandang mata kurang ajar, dan
yang begitu terus terang dan jujur sehingga membuat dia tersipu.
"Simpan
semua rayuanmu, laki-laki mata keranjang. Atau, sekali lagi aku akan menampar
mukamu. Jangan pringas-pringis seperti monyet! Hayo katakan, di mana
mereka?"
Hay Hay
masih terpesona. Perubahan wajah gadis itu dari keadaan berseri girang menjadi
marah-marah bahkan menambah kemanisannya. Bentakan itu membuat dia sadar, maka
dia pun menjawab bingung, "Mereka siapa?"
"Keparat,
kau jangan mempermainkan aku, ya!" Bi Lian membentak, tangannya membuat
gerakan seperti hendak menampar. "Tentu saja dua pasang suami isteri itu!
Sudah lama aku mencari mereka. Di mana mereka?"
Hay Hay
menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu."
"Bohong!"
Bi Lian membentak, kecewa dan marah sekali. "Engkau pembohong besar!"
Hay Hay kini
mengerutkan alisnya sambil memandang tajam. Sukar baginya untuk marah kepada
seorang gadis secantik ini, akan tetapi dalam waktu sehari saja telah dua kali
dia dimaki sebagai pembohong oleh gadis ini. Pertama, pada waktu dia menyangkal
tuduhan pemerkosa dan pembunuh malam tadi, gadis itu pun memakinya pembohong
sehingga dia dikeroyok oleh banyak orang. Dan sekarang dia dimaki pembohong
lagi, untuk kedua kalinya.
"Nona
Cu Bi Lian, engkau sungguh keterlaluan memandang rendah dan memaki orang. Apa
bila sikapmu seperti ini, andai kata aku tahu juga di mana adanya dua pasang
suami isteri itu, agaknya aku akan merasa enggan untuk memberi tahu
kepadamu."
"Hemm,
kau kira aku tidak akan dapat memaksamu membuka mulut kalau engkau tahu di mana
mereka berada?"
Panas juga
rasa perut Hay Hay mendengar kecongkakan gadis itu. Dia tahu bahwa gadis itu
lihai, akan tetapi bukan karena takut apa bila dia selalu bersikap mengalah,
melainkan hatinya terasa berat kalau harus bermusuhan dengan wanita cantik.
Jauh lebih baik, lebih enak dan menyenangkan untuk bersahabat dengan mereka dari
pada memusuhi mereka!
Namun sikap
Bi Lian yang terlalu memandang rendah, membuat dia merasa mendongkol juga.
Selain itu, di tempat yang sunyi ini, di mana tidak terdapat orang lain yang
menjadi saksi, apa salahnya kalau dia menguji kemampuan gadis ini? Dia ingin
sekali tahu sampai di mana kehebatan gadis bernama Cu Bi Lian ini sehingga dia
bersikap demikian angkuh.
"Aha,
aku juga ingin sekali melihat bagaimana engkau akan dapat memaksaku."
"Dengan
ini!" Dan Bi Lian langsung menerjang dengan pukulan yang amat hebat, kedua
telapak tangannya mengeluarkan uap yang panas dan gerakannya cepat bukan
kepalang sehingga sulit diikuti pandang mata, tahu-tahu tangan kanannya sudah
mencengkeram ke arah muka Hay Hay sedangkan tangan kiri dengan jari terbuka
telah menotok ke arah ulu hati. Sungguh merupakan serangan dahsyat yang amat
kejam dan ganas sekali!
"Eiiihhh...!"
Hay Hay cepat meloncat ke belakang, mengelak dengan cepat sambil bersiap untuk
melindungi tubuhnya. Dan memang hal ini penting sekali karena lengan tangan
kiri yang menotok ulu hati itu ternyata dapat mengejarnya, mulur sampai panjang
dan terus saja melanjutkan totokannya dengan kecepatan yang luar biasa.
"Dukkk!"
Terpaksa Hay
Hay menangkis dengan mengerahkan tenaganya sehingga tangan kiri yang menotoknya
itu terpental.
Bi Lian
menjadi marah. "Mampuslah!" Dia membentak.
Kini dia
sudah menyerang lagi, kakinya menendang dengan tendangan berantai sampai tujuh
kali, dengan kaki kanan dan kiri, sementara itu, di antara tendangan-tendangan
yang bertubi-tubi itu, kedua tangannya juga ikut membantu kakinya dengan
serangan tamparan-tamparan jarak jauh yang ganas dan kuat bukan kepalang
sehingga angin pukulan yang mengandung hawa panas itu saja sudah dapat
merobohkan lawan yang kurang kuat.
Betapa pun
cepat dan kuat gerakan Bi Lian dalam serangan-serangannya, namun sekali ini
yang sedang dihadapinya adalah seorang murid terkasih dari dua orang di antara
Pat Sian (Delapan Dewa)! Tingkat kepandaian dua orang gurunya itu jauh
melampaui tingkat kepandaian dua orang guru Bi Lian, yaitu dua orang di antara
Empat Setan, maka tentu saja tidak mengherankan jika tingkat kepandaian Hay Hay
juga lebih tinggi dibandingkan tingkat Bi Lian.
Hay Hay
kaget juga melihat kehebatan serangan-serangan gadis itu, akan tetapi dia tidak
gugup. Dengan Ilmu Jiauw-pouw Poan-soan, yaitu langkah ajaib yang membuat
tubuhnya berputar-putaran namun selalu dapat menghindarkan diri dari serangan
lawan, dia berhasil membuat semua tendangan dan pukulan tangan Bi Lian mengenai
angin kosong belaka.
Dari
See-thian Lama dia telah mewarisi ginkang istimewa, yang membuat tubuhnya dapat
bergerak jauh lebih cepat dari gerakan Bi Lian. Sampai belasan jurus gadis itu
menyerang secara bertubi-tubi, tetapi tak ada satu pun serangannya yang
mengenai sasaran, bahkan menyentuh baju pemuda itu pun tidak. Bi Lian menjadi
semakin penasaran dan marah.
"Keparat,
balaslah jika engkau memang memiliki kepandaian!" Makin Hay Hay mengalah,
dia merasa semakin dipandang rendah dan dipermainkan.
"Baik,
terimalah ini!" Hay Hay mulai membalas dengan tamparan ke arah pundak Bi
Lian. Tamparan yang nampaknya perlahan saja.
Akan tetapi
Bi Lian tak berani memandang rendah sebab dia pun maklum bahwa pemuda ini, biar
pun ugal-ugalan dan berlagak tolol, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi. Dia pun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan tangan miring ke
arah lambung.
Akan tetapi
Hay Hay segera membalikkan tangan yang menampar ke bawah, secara tak
tersangka-sangka tangannya yang seperti kepala ular itu telah menyambar ke
bawah dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan gadis itu.
"Heh-heh...!"
Dia tertawa akan tetapi hanya sebentar karena bukan main kagetnya ketika tangan
yang ke dua dari gadis itu tahu-tahu telah menyambar ke arah mukanya, dengan
telunjuk dan jari tengah menusuk ke arah mata!
"Eeiiiitttt...!
Aku belum mau menjadi buta!" katanya. Dia terpaksa melepaskan tangkapan
tangannya dan meloncat ke belakang.
Bi Lian
melihat betapa pergelangan tangannya yang tadi dipegang terdapat tanda bekas
jari tangan sehingga dia pun menjadi marah bukan main. Tiba-tiba dari mulutnya
keluar suara melengking tinggi yang menggetarkan jantung Hay Hay.
Pemuda ini
terkejut bukan main saat merasa betapa jantungnya terguncang dan tubuhnya
menggigil mendengar suara melengking ini. Tahulah dia bahwa gadis itu
mempergunakan semacam ho-kang (ilmu khikang yang dilancarkan melalui suara)
yang sangat kuat. Ilmu seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang
mempunyai sinkang dan khikang yang sangat kuat, seperti binatang harimau dan
singa yang mampu melumpuhkan lawan hanya dengan gerengannya saja!
Maka dia pun
cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang-nya, lalu dia pun tertawa
bergelak-gelak. Dari suara ketawanya ini keluar gelombang suara yang kuat bukan
main, menahan gelombang suara lengkingan yang dikeluarkan oleh Bi Lian.
Pada saat
itu pula, tanpa menghentikan lengkingannya Bi Lian sudah menerjang lagi, kini
pukulannya dilakukan dari kanan dan kiri, menampar-nampar ke arah kepala sampai
ke pinggang, diselingi tendangan-tendangan maut yang amat cepat.
Melihat ini,
Hay Hay juga cepat mengeluarkan langkah ajaibnya, mengelak dan membalas
serangan Bi Lian. Begitu tangan kanan Bi Lian yang menyambar pelipis kirinya
berhasil dia elakkan, otomatis tangan kanannya bergerak menotok ke arah leher
gadis itu sambil tangan kirinya menangkis datangnya tendangan.
Tangkisan
tendangan itu ternyata membuat tubuh Bi Lian segera terguling sehingga Hay Hay
merasa terkejut dan menyesal bukan main. Tak disangkanya bahwa tangkisannya itu
mempergunakan tenaga terlampau kuat sehingga dia membuat gadis itu terpelanting.
Dia cepat membungkuk untuk membantu gadis itu bangun kembali, akan tetapi
tiba-tiba kaki kiri gadis itu menyambar dari bawah dalam posisi terpelanting
tadi.
Hay Hay
terkejut. Baru tahulah dia bahwa gadis itu bukan terpelanting sungguh-sungguh,
melainkan hanya pancingan saja. Tendangan yang demikian cepatnya menyambar
selagi tubuhnya membungkuk untuk menolong, maka tak sempat lagi ditangkis atau
dielakkan. Segera dia mengerahkan sinkang ke arah pinggangnya yang disambar
tendangan itu.
"Bukkk...!"
Tubuh Hay
Hay terlempar sampai tiga meter, jatuh bergulingan, namun dia tidak terluka.
Gadis itu laksana menendang sebuah bola karet yang berisi angin saja!
Semua
gerakan kedua orang tadi demikian cepat tak dapat diikuti oleh pandangan mata
orang biasa, dan mereka pun bergerak hanya mengandalkan naluri hingga
kecepatannya melebihi perhitungan pikiran. Gerakan yang telah mendarah daging
dan semuanya serba otomatis, baik menyerang, menangkis atau mengelak. Kepekaan
syaraf yang memegang peran. Gerakan reflex yang merupakan reaksi dari pada
semua otot dan syaraf di dalam tubuh dan sering kali di luar kecepatan
perhitungan pikiran.
"Heh-heh-heh!"
Hay Hay bangkit lantas mengebut-ngebut pakaiannya yang terkena debu.
"Terima kasih, tendanganmu lumayan lunak sehingga membuat pegal-pegal di
pinggangku lenyap seketika."
Sebenarnya
Hay Hay hanya bergurau, akan tetapi Bi Lian menjadi semakin marah karena dia
menganggap pemuda itu mengejeknya.
"Singgg...!"
Tiba-tiba tangan gadis itu sudah memegang sebatang pedang!
Hay Hay
terkejut sekali. Tadi gadis itu tidak kelihatan membawa pedang, akan tetapi
kini tahu-tahu memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya,
seperti bermain sulap saja. Dia dapat menduga bahwa pedang di tangan gadis itu
tentu sebatang pedang tipis yang dapat digulung, terbuat dari baja yang amat
baik dan pedang seperti itu sangat berbahaya dan tajam.
"Aihh,
nanti dulu, Nona Cu Bi Lian. Kenapa engkau sampai harus mengeluarkan senjata?
Apakah hanya untuk urusan kecil ini saja engkau benar-benar berniat hendak
membunuh aku? Kita baru saja berkenalan, jadi tak ada hal-hal yang pantas
dijadikan alasan bagimu untuk membunuhku."
"Tidak
perlu banyak cakap lagi. Keluarkan senjatamu dan mari kita lanjutkan
perkelahian ini. Kita berdua bukan anak-anak kecil lagi, sama-sama memiliki
ilmu silat, dan mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih
unggul!" kata Bi Lian.
Dia masih
merasa penasaran sekali karena dalam perkelahian tadi, walau pun dia belum
kalah, namun jauh untuk dapat dibilang dia menang. Dan sikap pemuda itu yang
agaknya memandang ringan dan mengejeknya, benar-benar sudah membuat hatinya
panas sekali. Tendangan tadi dikatakan lunak dan hanya dapat mengusir
pegal-pegal!
Sebenarnya
Hay Hay masih ingin menguji kehebatan gadis itu bermain pedang. Namun, melihat
betapa sepasang mata yang indah itu mencorong penuh dengan kemarahan, dia tahu
bahwa dia tidak boleh mendesak terlalu jauh, karena salah-salah hal ini hanya
akan menumbuhkan kebencian di dalam hati gadis itu terhadap dirinya. Dan
dibenci oleh gadis sejelita itu, wah, tentu saja dia merasa keberatan sekali.
"Nona
yang baik..."
"Sudah,
tak perlu lagi merayu. Aku bukan Nona yang baik!" Bi Lian memotong.
Hay Hay
mengembangkan kedua lengan, mengangkat pundak. "Habis, apakah aku harus
menyebutmu Nona yang jelek! Padahal engkau sama sekali tidak jelek, sama sekali
tidak jahat. Nona yang baik, apakah engkau tak merasa malu untuk menjilat ludah
sendiri yang sudah dikeluarkan?"
Bi Lian
mengerutkan alisnya. "Apa?! Engkau jangan bicara yang bukan-bukan!"
"Nona
tadi telah mengatakan bahwa kalau aku dapat memberi keterangan mengenai dua
pasang suami isteri, maka Nona tidak akan mengajakku bertanding lagi. Dan aku
sudah memberi keterangan bahwa aku mengenal mereka. Mengapa Nona hendak
mengingkari janji sendiri? Bukankah itu berarti menjilat kembali ludah sendiri
yang sudah dikeluarkan?"
"Tidak
ada yang menjilat ludah, tak ada yang melanggar janji! Engkau hanya mengatakan
kenal saja, akan tetapi tidak tahu mereka tinggal di mana. Keterangan macam apa
itu? Tidak ada harganya sekeping pun!"
Hay Hay
mengangguk-angguk. "Jadi, kalau aku mengetahui di mana biasanya mereka itu
tinggal, apakah Nona sudah menganggap lunas perhitungan di antara kita dan
tidak akan memaksaku bertanding lagi?"
Timbul
harapan di hati Bi Lian. Memang dia ingin sekali menghajar lelaki yang membuat
dia jengkel itu. Akan tetapi kini dia pun sudah tahu bahwa Hay Hay lihai
sekali, agaknya tak akan mudah baginya untuk dapat menangkan pemuda itu. Dia
tidak takut menghadapi pemuda itu, bahkan merasa penasaran dan ingin sekali
mengalahkannya, tetapi dia lebih membutuhkan keterangan tentang dua pasang
suami isteri yang menjadi musuh besarnya itu.
Sudah lama
sekali dia mencari tanpa hasil dan sekarang dia bertemu dengan orang yang
mengenal mereka dan tahu di mana biasanya mereka tinggal. Jika dia hanya
menurutkan kemarahan hatinya dan kehilangan kesempatan baik ini untuk
mengetahui tempat tinggal musuh-musuhnya, sungguh dia akan rugi sekali.
"Baik,
kuberi kesempatan sekali lagi. Cepat katakan di mana mereka berada maka aku
akan segera pergi meninggalkanmu, tidak memaksamu untuk bertanding."
katanya, akan tetapi dia masih tetap memegang pedangnya. "Apa bila engkau
merayu dan membohong sekali lagi, maka pedangku pasti akan memenggal batang
lehermu!"
Hay Hay
memanjangkan lehernya dan mempergunakan kedua tangan mengulur lehernya sambil
menjulurkan lidah, kelihatan merasa ngeri. "Wah, kalau sampai putus,
bagaimana menyambungnya kembali? Nah, dengar baik-baik, Nona. Lam-hai Siang-mo
adalah suami isteri yang bernama Siangkoan Leng dan Ma Kim Li. Mereka dulu
tinggal di kota Nan-king sebagai pedagang obat. Mungkin Nona dapat mencari
mereka di Nan-king atau di daerah pantai selatan, karena sesuai dengan julukan
mereka, tentu mereka sering berkeliaran di pantai laut selatan. Ada pun suami
isteri Goa Iblis Pantai Selatan, bernama Kwee Siong dan isterinya Tong Ci Ki.
Mereka pun merupakan tokoh-tokoh pantai selatan, tentu tidak akan sukar
menemukan dua pasang suami isteri itu."
Girang rasa
hati Bi Lian mendengar keterangan ini. Biar pun belum ada kepastian di mana
tempat tinggal dua pasang suami isteri itu, setidaknya dia sudah memperoleh
pegangan sehingga dapat lebih mudah mencari jejak mereka.
"Keteranganmu
cukup dan hari ini kau kubebaskan. Akan tetapi kalau keteranganmu ini ternyata
bohong, lain hari aku pasti mencarimu dan akan membuat perhitungan sampai lunas!"
Sesudah berkata demikian, gadis itu meloncat lantas berlari dengan cepat sekali
sehingga sebentar saja lenyap dari pandang mata Hay Hay.
"Uhhhhh
...!" Hay Hay menarik napas lega.
Seorang
gadis yang bukan main! Dia merasa semakin kagum. Cu Bi Lian itu bukan saja
cantik jelita dan manis, akan tetapi juga mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi
sekali. Sayang, ilmu silatnya memiliki sifat yang ganas, liar dan kejam, banyak
gerakan-gerakan yang curang dan hanya dimiliki oleh orang-orang dari golongan
sesat.
Sayang dia
belum dapat mengetahui keadaan gadis itu lebih banyak, murid siapa, anak siapa
dan dari golongan mana. Meski pun melihat wataknya yang ganas dan keras, juga
dari ilmu silatnya menunjukkan bahwa gadis itu agaknya telah mempelajari ilmu
silat tinggi dari kaum sesat, namun kenyataan bahwa gadis itu memusuhi dua
pasang suami isteri iblis, sangat melegakan hati Hay Hay.
Jika gadis
itu memusuhi golongan sesat, itu berarti bahwa dia sendiri bukan dari golongan
sesat! Mudah-mudahan demikian, pikirnya sambil menarik napas panjang, teringat
akan keganasan gadis itu yang hendak membunuhnya!
***************
"Han
Siong, kini tibalah saatnya engkau harus pergi meninggalkan kuil ini dan
memenuhi harapan yang selama ini terkandung di dalam hati kami. Tentu engkau
mengerti akan isi hati kami dan tahu apa yang kami harapkan darimu,
muridku."
Han Siong
menundukkan mukanya dan mengangguk. Pemuda ini berlutut di depan suhu dan
subo-nya. Siangkoan Ci Kang, laki-laki tinggi tegap yang gagah perkasa dan
lengan kirinya buntung sebatas siku, kini sudah berusia empat puluh tahun. Usia
yang belum tua benar, tetapi wajahnya yang tampan dan dingin itu penuh dengan
garis-garis keprihatinan.
Sejak muda
pendekar ini memang bernasib buruk, karena sebagai putera seorang datuk sesat
yang amat kejam, dia malah mempunyai watak gagah perkasa sehingga sering kali
harus bertentangan dengan mendiang ayahnya. Kemudian pemuda ini pun gagal dalam
cintanya.
Walau pun
akhirnya dia bertemu dengan Toan Hui Cu yang senasib sehingga keduanya saling
tertarik dan saling jatuh cinta, akan tetapi penderitaan hidupnya belumlah
berakhir. Bahkan, bersama Toan Hui Cu yang sudah menjadi isterinya tanpa
pernikahan, dia harus menjalani hukuman dua puluh tahun!
Bukan hanya
itu! Puteri mereka satu-satunya yang mereka titipkan kepada keluarga Cu di
dusun, telah lenyap diculik orang! Mereka berdua tidak berdaya, tidak mampu
melakukan pencarian karena mereka belum selesai menjalani hukuman.
Kini dia
duduk bersila, berdampingan dengan Toan Hui Cu yang sekarang usianya sudah tiga
puluh sembilan tahun. Wanita ini pun nampak amat dingin dan mukanya agak pucat,
pembawaannya anggun dan angkuh.
"Teecu
(murid) mengerti apa yang diharapkan Suhu dan Subo. Teecu akan segera pergi
mencari adik Siangkoan Bi Lian," jawab Han Siong dengan suara tegas karena
memang ingin memegang janjinya, ingin membalas kebaikan suhu dan subo-nya
dengan mencari puteri mereka sampai dapat. "Teecu hanya akan kembali ke
sini menghadap Suhu dan Subo kalau teecu sudah berhasil menemukan Adik Bi Lian,
dan tidak akan kembali kalau belum berhasil."
"Han
Siong, engkau tentu tahu bahwa siang malam aku akan menanti kembalimu dengan
hati yang penuh harapan." Toan Hui Cu bicara, suaranya penuh dengan
keharuan walau pun wajahnya tetap dingin. "Carilah anakku itu sampai
dapat, dan engkau berhati-hatilah, muridku. Engkau sudah sering kami ceritakan
tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan dan ketahuilah bahwa selain mereka yang
kami kenal dan sudah kami ceritakan kepadamu, di dunia ini masih banyak lagi
orang pandai."
"Teecu
akan selalu mengingat nasehat Subo dan Suhu," jawab Han Siong.
"Kami
tahu bahwa tidak akan mudah mencari Bi Lian, karena anak itu tidak meninggalkan
jejak. Akan tetapi mengingat bahwa lenyapnya bersamaan dengan keributan yang
terjadi di dusun, kabarnya ada manusia-manusia iblis yang berkelahi di sana,
maka carilah dia di antara tokoh-tokoh dan kaum sesat..." kata Toan Hui Cu
yang kemudian dilanjutkan oleh Siangkoan Ci Kang.
"Selain
itu, Han Siong, ada satu hal penting lagi yang telah kami ambil menjadi
keputusan hati kami berdua. Kami hanya mengharapkan bahwa engkau tak akan
menolak apa yang menjadi keinginan hati kami ini." Gurunya itu berhenti
dan agaknya merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya. Ketika Han Siong
menengadah dan memandang mereka, dia melihat suhu dan subo-nya saling pandang
dengan khawatir .
"Han
Siong, selama ini engkau sudah seperti anak kami sendiri, bukan? Sebab itu
kurasa engkau tidak akan menolak keinginan kami...," kata pula subo-nya,
akan tetapi wanita itu juga tidak melanjutkan kata-katanya.
"Suhu
dan Subo, apakah yang menjadi keinginan hati Ji-wi? Katakanlah, teecu pasti
akan memenuhi keinginan Suhu dan Subo yang selama ini sudah melimpahkan budi
terhadap diri teecu. Katakanlah, Suhu."
Siangkoan Ci
Kang menarik napas panjang, lantas berkata, "Hukuman kami masih tersisa
dua tahun lagi, Han Siong. Setelah itu barulah kami akan meninggalkan kuil ini
dan pergi sendiri mencari anak kami. Tetapi kami telah mengambil keputusan
untuk... menjodohkan Bi Lian denganmu, Han Siong. Karena itu, dalam waktu dua
tahun, sebelum kami pergi meninggalkan kuil ini, kami harap engkau suka datang
ke sini untuk melaporkan semua hasil penyelidikanmu mengenai puteri kami."
Bukan main
kagetnya hati Han Siong mendengar kata-kata kedua orang gurunya itu. Dia
dijodohkan dengan puteri gurunya? Melihat pun belum pernah puteri gurunya itu!
Di lubuk hatinya timbul perasaan menentang karena dia sama sekali tidak pernah
berpikir tentang perjodohan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menolak
keinginan hati suhu dan subo-nya? Dia hanya menundukkan mukanya dan sampai lama
tidak mampu menjawab.
Melihat
keraguan muridnya ini, suami isteri yang sakti itu saling pandang kemudian Toan
Hui Cu mengerutkan alisnya sambil bertanya. "Bagaimana, Han Siong. Maukah
engkau menerima keinginan kami untuk menjadi calon jodoh anak kami Bi
Lian?"
Melihat
isterinya mendesak, Siangkoan Ci Kang segera menyambung. "Han Siong, kami
tahu bahwa perjodohan adalah satu di antara semua peristiwa yang ditentukan
oleh Thian (Tuhan). Seperti kami katakan tadi, kami berdua melihat alangkah
baiknya kalau Bi Lian bisa berjodoh denganmu, namun hal itu merupakan keinginan
hati kami saja. Akan tetapi keputusannya nanti, terserah pada kehendak Thian.
Engkau perlu mengetahui saja bahwa kami ingin sekali menjodohkan Bi Lian
denganmu, kami sama sekali tidak memaksa dan biarlah kita bicarakan lagi urusan
perjodohan ini kalau engkau atau kami sudah berhasil menemukan Bi Lian
kembali."
Lega rasa
hati Han Siong mendengar ucapan suhu-nya itu. Dia tak ingin mengecewakan hati
kedua orang gurunya dengan penolakan. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat
menerima begitu saja uluran tangan untuk berjodoh, tanpa lebih dulu melihat
bagaimana keadaan orang yang hendak dijadikan jodohnya, dan tanpa bertanya pula
kepada pihak keluarganya? Ucapan suhu-nya membuat hatinya terasa lega sekali
maka cepat-cepat dia memberi hormat dan berkata.
"Suhu
dan Subo, teecu selalu mentaati semua perintah Suhu dan Subo. Teecu rasa yang
paling penting sekarang ini adalah lebih dulu menemukan Adik Bi Lian."
Suami isteri
itu kembali saling pandang dan keduanya merasa lega juga. Bagaimana pun, murid
mereka itu tidak menolak. Mereka lalu mempergunakan waktu semalam itu untuk
memberi nasehat-nasehat kepada Han Siong, juga menceritakan kepada murid mereka
itu tentang keadaan di dunia kang-ouw, tentang banyaknya orang pandai yang
berwatak palsu, curang dan jahat sekali. Juga mereka menceritakan mengenai para
pendekar yang gagah perkasa yang pernah mereka kenal.
Pada esok
harinya, barulah Han Siong meninggalkan kamar di mana suhu dan subo-nya menjalani
hukuman kurungan mereka. Malam tadi, untuk dapat berkumpul dengan murid mereka,
Toan Hui Cu meninggalkan kamarnya dan mereka bertiga berkumpul di dalam kamar
Siangkoan Ci Kang, tanpa diketahui siapa pun juga. Ketika murid mereka hendak
berangkat, Siangkoan Ci Kang menyerahkan sebatang pedang kepadanya sambil
berkata dengan suara halus.
"Muridku,
kau terimalah pedang ini dari kami. Pedang ini adalah Kwan-im-kiam (Pedang Kwan
Im), amat cocok untuk ilmu silat pedang Kwan-im Kiam-sut yang telah kami ajarkan
kepadamu. Pedang ini tadinya kami simpan untuk Bi Lian, dan sekarang kami
serahkan kepadamu sebagai bekal untuk melindungi dirimu sendiri dari
orang-orang jahat. Selain itu juga merupakan peringatan bagimu bahwa Suhu dan
Subo-mu telah menyerahkan puteri mereka kepadamu..." Sampai di sini
Siangkoan Ci Kang terhenti lantas dia memandang terharu.
Han Siong
menerima pedang itu, pedang yang ringan dan pendek, lalu menyimpannya di dalam
buntalan pakaiannya. Dia meninggalkan kamar renungan dosa atau kamar penebus
dosa itu, diikuti pandang mata suhu dan subo-nya yang merasa kehilangan sebab
selama delapan tahun ini mereka menggembleng Han Siong seperti anak sendiri.
Semenjak Han Siong masih seorang anak laki-laki sampai kini menjadi seorang
pemuda dewasa berusia dua puluh tahun!
Pada
keesokan harinya, Han Siong menghadap Ceng Hok Hwesio, ketua kuil itu yang kini
telah menjadi seorang kakek yang amat tua. Dengan usianya yang tujuh puluh tiga
tahun, Ceng Hok Hwesio masih nampak gagah, tinggi besar bermuka hitam dan
wataknya masih keras berdisiplin.
Ketika Han
Siong menghadap padanya untuk berpamit, hwesio ini mengangguk-angguk. Selama
ini Han Siong tinggal di kuil sebagai seorang kacung, namun karena pemuda ini
titipan dari paman gurunya, Pek Khun, maka pemuda itu diperlakukan dengan sikap
yang baik.
"Omitohud,
alangkah cepatnya waktu berlalu, Han Siong," kata Ceng Hok Hwesio ketika
pemuda itu berlutut menghadapnya dan mengatakan bahwa hari itu juga dia hendak
pergi meninggalkan kuil.
"Telah
tiga belas tahun teecu berdiam di kuil ini dan telah menerima banyak kebaikan
dari Suhu dan para Suhu di kuil ini. Teecu menghaturkan banyak terima kasih dan
bila mana selama ini teecu pernah melakukan kesalahan-kesalahan, sudilah
kiranya Suhu memberi maaf kepada teecu."
"Siancai...!
Pinceng merasa bangga sekali padamu, Han Siong. Walau pun engkau tidak menjadi
hwesio, akan tetapi engkau sudah mempelajari banyak tentang agama kita, mau
memperhatikan tentang kebudayaan, filsafat dan pengertian tentang kehidupan.
Dan biar pun engkau bukan murid Siauw-lim-pai, namun di sini engkau telah
memperoleh ilmu silat yang pinceng tahu sangat tinggi. Mudah-mudahan saja
engkau pandai-pandai membawa diri di dalam dunia ramai dan tidak mengecewakan
bahwa engkau sudah pernah tinggal menggembleng diri di sini selama tiga belas
tahun."
"Semua
nasehat Suhu akan teecu perhatikan baik-baik."
"Ada
satu hal penting yang perlu kau ketahui, Han Siong. Apakah engkau tahu di mana
adanya keluargamu?"
Han Siong
menggelengkan kepalanya. "Justru teecu ingin bertanya kepada Suhu di mana
teecu dapat bertemu dengan kakek buyut Pek Khun yang dulu membawa teecu ke kuil
ini."
Hwesio tua
itu menarik napas panjang. "Aihhh... pinceng sendiri tidak tahu di mana
Pek Khun Susiok berada. Mungkin dia kembali ke Kun-lun-san. Akan tetapi menurut
apa yang dipesannya kepada pinceng ketika dia menitipkan engkau di sini,
setelah engkau dewasa, engkau diharuskan mencari keluargamu, yaitu keluarga
Pek. Ayahmu adalah cucu Susiok Pek Khun. Ayahmu bernama Pek Kong, yakni putera
ketua Pek-sim-pang yang berasal dari daerah Kong-goan di Propinsi Secuan. Nah,
engkau carilah keluargamu di sana, Han Siong."
Setelah
menerima banyak petunjuk dari Ceng Hok Hwesio, maka berangkatlah Han Siong
meninggalkan kuil itu. Tentu saja selama tiga belas tahun ini telah terjadi
perubahan besar atas dirinya.
Ketika
datang bersama kakek buyutnya, dia hanya seorang anak laki-laki berusia tujuh
tahun yang belum tahu apa-apa, hanya memiliki dasar-dasar ilmu silat yang
diajarkan oleh kakek buyutnya. Sekarang dia sudah menjadi seorang pemuda
dewasa. Bukan saja luas pengetahuannya karena dia tekun sekali mempelajari
sastera dari kitab-kitab yang banyak terdapat di kuil itu, akan tetapi juga dia
sudah digembleng secara tekun selama delapan tahun ini oleh suami isteri sakti
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
Selain telah
melatih diri dengan tiga belas jurus Pek-sim-kun yang merupakan inti sari dari
ilmu silat perkumpulan Pek-sim-pang, juga dia sudah digembleng oleh Siangkoan
Ci Kang dan Toan Hui Cu yang memiliki bermacam-macam ilmu silat. Ilmu yang baru
didapatkan oleh dua orang itu, yaitu ilmu Kwan-im Kiam-sut dan Kwan-im Sin-kun
sudah dipelajarinya dengan baik sekali.
Selain semua
ilmu silat itu, dari subo-nya Toan Hui Cu, Han Siong juga telah mempelajari
ilmu Hoat-sut atau sihir yang mempergunakan kekuatan hitam untuk menundukkan
lawan! Hal ini sama sekali tidak aneh karena Toan Hui Cu adalah puteri dari
Raja dan Ratu Iblis yang selain tinggi sekali ilmu silatnya, juga merupakan
datuk-datuk sesat.
Han Siong
melakukan perjalanan cepat, menuju ke Secuan karena lebih dahulu dia akan
mencari keluarganya sambil mendengarkan kalau-kalau ada petunjuk jejak Bi Lian.
Musim salju telah tiba dan di mana-mana hawanya dingin bukan main. Pohon-pohon
yang sudah kehilangan daun-daunnya pada musim rontok, kini terhias salju
seperti kapas putih bersih, membuat pohon-pohon itu nampak seperti
hiasan-hiasan yang indah.
Han Siong
sedang berjalan seorang diri melalui jalan yang tertutup salju. Hujan salju
baru saja berhenti dan biar pun cuaca nampak sudah terang, tetapi dinginnya
bukan kepalang. Han Siong mengenakan jubah yang cukup tebal, tapi ini pun masih
harus dibantu dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuhnya terasa hangat.
Uap putih agak tebal terlihat keluar dari hidung dan mulutnya setiap kali dia
menghembuskan napas.
Sekarang
pemuda ini sudah menjadi seorang lelaki dewasa yang tampan. Wajahnya yang
berbentuk bulat itu memiliki kulit muka yang putih dan sepasang pipinya
membayangkan warna kemerahan yang sehat. Demikian pula bibirnya nampak merah
tanda sehat.
Alisnya
lebat dan hitam, sepasang matanya yang agak sipit itu bersinar terang dan tajam
lembut. Tubuhnya sedang dan tegap, kaki tangannya juga padat dan nampak kuat
karena semenjak kecil Han Siong melakukan segala macam pekerjaan yang kasar di
dalam kuil, seperti menebang pohon, membelah kayu dan memikul air.
Gerak-geriknya halus, dengan wajah yang anggun dan pandang mata bersinar.
HAN SIONG
adalah seorang pemuda yang amat sederhana. Pakaian yang menempel pada tubuhnya
adalah pakaian yang diterimanya dari pemberian Ceng Hok Hwesio, terbuat dari
kain kasar berwarna putih dan kuning. Jubah tebal itu terbuat dari kapas, akan
tetapi juga kasar, seperti yang dipakai oleh para hwesio kuil itu di musim
salju. Buntalan pakaiannya hanya terisi beberapa potong pakaian dan juga pedang
Kwan-im-kiam pemberian gurunya, dan sedikit uang perak yang berada di dalam
buntalannya adalah pemberian Toan Hui Cu.
Hari sudah
menjelang senja ketika dia tiba di puncak bukit itu. Sebuah bukit gundul yang
hanya ditumbuhi pohon-pohon yang kini sudah menjadi hiasan putih dari salju.
Tempat itu nampak lengang dan dinginnya bukan kepalang. Han Siong lalu
memandang ke bawah, ke arah timur.
Di lereng
itu terdapat sebuah dusun, pikirnya girang. Pada musim salju begini dia harus
mendapatkan rumah penduduk atau paling tidak goa atau tempat yang cukup
terlindung untuk melewatkan malam. Tidak seperti di musim lain, di mana dia
bisa saja melewatkan malam di bawah pohon sambil membuat api unggun. Sangat
berbahaya kalau tersesat di tempat yang tidak terlindung dalam musim dingin
seperti ini. Orang bisa mati kedinginan.
Ketika Han
Siong hendak menuruni bukit itu dengan cepat agar tidak sampai kemalaman tiba
di dusun di lereng itu, tiba-tiba dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Suara
tawa itu parau dan aneh, juga menyeramkan. Di tempat sunyi seperti itu, di mana
hawa dingin membuat orang menggigil, bagaimana tiba-tiba saja terdengar suara
orang tertawa-tawa?
Han Siong
merasa tertarik dan cepat dia menghampiri tempat dari mana datangnya suara itu,
yaitu dari balik sebuah batu gunung. Ketika dia tiba di balik batu besar itu,
Han Siong berdiri tertegun, bahkan matanya terbelalak memandang ke depan.
Penglihatan di depan memang sungguh luar biasa sekali.
Seorang kakek
yang sukar ditaksir berapa usianya, berkepala gundul dan berperut gendut sekali
sehingga tubuhnya nampak serba bulat, sedang membuat sebuah boneka salju di
sana! Hebatnya, kakek yang tertawa-tawa itu bertelanjang dada, hanya memakai
celana panjang saja, disambung sepatu rumput.
Dalam hawa
yang sedingin itu, bertelanjang badan atas sungguh merupakan hal yang luar
biasa sekali. Apa lagi kakek itu masih dapat tertawa-tawa dan bermain-main
seorang diri sambil membuat boneka salju, tertawa dan membentuk boneka besar
itu, sebesar dirinya, bahkan boneka itu pun menyerupai dirinya, seorang kakek
gundul yang perutnya gendut bukan main!
Biar pun Han
Siong belum memiliki banyak pengalaman di dunia persilatan, namun ketika
melihat keadaan kakek gendut itu, dia dapat menduga bahwa tentu dia bertemu
dengan seorang kakek yang amat sakti. Baru keadaannya yang setengah telanjang
di antara salju itu saja sudah membuktikan akan kesaktiannya.
Tanpa
mempunyai sinkang yang luar biasa kuatnya, tidak mungkin orang dapat bertahan
bermain-main dengan salju dalam keadaan tubuh bagian atas telanjang. Dan masih
dapat tertawa-tawa pula!
Maka dia pun
bermaksud untuk meninggalkan kakek itu, tidak ingin perjalanannya menuju ke
dusun di bawah itu terganggu hingga terlambat. Dia sudah memutar tubuh untuk
pergi ketika terdengar suara dari belakangnya, suara yang parau dan nyaring.
"Heiiiii!
Enak saja kau. Berhenti!"
Tentu saja
Han Siong terkejut sekali mendengar teguran yang tidak ramah, bahkan agak kasar
ini. Dia tidak mau mencari urusan, maka dia pun langsung membalik, memandang
dengan wajah ramah penuh hormat.
"Maaf,
saya tak ingin mengganggu keasyikan Locianpwe," Han Siong berkata,
menyebut Locianpwe (Orang Tua Perkasa) dan bersikap hormat karena dia yakin
bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti.
Sejenak
kakek itu memandang penuh perhatian dan Han Siong melihat betapa sinar mata
yang mencorong itu seakan-akan mendatangkan rasa hangat ketika menyoroti
tubuhnya. Diam-diam dia bergidik.
"Orang
muda, tanpa diundang engkau datang melihat pekerjaanku, maka kini engkau tak
boleh pergi begitu saja tanpa perkenanku!"
Han Siong
terkejut sekali, akan tetapi dia menahan sabar. Dia melihat kakek itu kini
sudah melanjutkan pekerjaannya membuat boneka besar dari salju itu, agaknya
sudah lupa lagi kepadanya karena tidak mempedulikannya sama sekali. Han Siong
berdiri saja menonton, tidak tahu harus berbuat apa, akan tetapi merasa lebih
aman jika sementara ini dia tutup mulut saja.
Jelas bahwa
kakek ini berwatak kasar dan aneh, sehingga siapa tahu dia akan mendapat
kesulitan bila dia memaksa diri pergi meninggalkan kakek itu. Maka dia berdiri
menonton, merasa betapa kedua kakinya hampir beku karena hawa dingin dari tanah
berlapis salju itu seperti menembus sepatunya kemudian meresap masuk ke dalam
kedua kaki melalui telapak kakinya. Terpaksa dia mengerahkan sinkang-nya ke arah
dua kakinya, memaksa hawa dingin itu supaya turun kembali dan karena pengerahan
sinkang ini, maka uap putih mengepul tebal dari kepalanya.
Ada setengah
jam Han Siong berdiri menonton. Dia pikir kalau kakek itu sudah selesai membuat
boneka salju, tentu dia diperbolehkan pergi. Akan tetapi kakek itu masih terus
memperbaiki boneka yang sudah selesai itu, sementara dia merasa betapa cuaca
mulai agak gelap. Dia khawatir tidak akan dapat masuk ke dusun itu dalam waktu
yang tepat, yaitu sebelum malam tiba.
"Locianpwe,
maafkan saya. Saya harus pergi sekarang, khawatir jika sampai kemalaman sebelum
tiba di dusun bawah itu."
"Kemalaman
atau tidak bukan urusanku. Engkau telah datang dan melihat, sekarang kau
katakan bagaimana dengan hasil seni ciptaanku ini, miripkah dengan aku,
baguskah?"
Han Siong
merasa mendongkol juga. Kakek ini selain kasar, juga mau enaknya sendiri saja,
tak mau menghormati dan menghargai keperluan orang lain. Dia mengamati boneka
salju yang runtuh karena saljunya merekah atau terlepas, untuk menyatakan
kedongkolan hatinya, dia lalu menjawab,
"Boneka
salju itu tidak dapat dibilang bagus."
Mendengar
jawaban ini, kakek gendut itu melotot memandang kepada Han Siong, terlihat
marah sekali. "Apa...?!" Dia berteriak. "Engkau tidak dapat menghargai
hasil karya seniku yang hebat ini? Sungguh goblok, sungguh tolol, sungguh tidak
memiliki selera tinggi! Hasil karya seni yang begini hebat, timbul dari
inspirasi murni, kau katakan tidak bagus, hah?"
Melihat
orang itu marah-marah, Han Siong terkejut. Dia tidak ingin membuat orang marah,
apa lagi kalau sampai terjadi pertengkaran, maka cepat dia berkata.
"Locianpwe,
bagaimana pun juga, harus kuakui bahwa boneka salju buatan Locianpwe ini sangat
mirip dengan Locianpwe." Dan pujian ini memang bukan kosong belaka. Memang
boneka itu mirip sekali penciptanya, baik bentuk badannya, mukanya dan
kepalanya.
Akan tetapi
betapa kaget hati Han Siong saat dia melihat kakek itu kini menjadi semakin
marah, membanting-banting kakinya sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung
Han Siong. "Bocah kemarin sore, kau berani menghina kakek-kakek macam aku
ya? Dua kali engkau menghinaku. Pertama, engkau tidak menghargai karya seniku
yang agung, dan ke dua, engkau samakan aku dengan sebuah boneka salju yang tak
bernyawa! Sungguh kurang ajar engkau, ya?"
Hampir saja
Han Siong tertawa. Kakek ini memang aneh dan mau enaknya sendiri, akan tetapi
kemarahannya itu disebabkan oleh hal-hal yang aneh dan tidak masuk akal,
seperti anak kecil saja. Maka timbullah kegembiraannya dalam usahanya hendak
menyenangkan hati kakek itu.
Sudah dua
kali dia salah omong, walau pun maksudnya baik untuk memuji. Pertama kali dia
bicara sejujurnya tetapi diterima salah, kemudian untuk kedua kalinya dia
bicara untuk menyenangkan hati dan memuji namun diterima salah pula. Dia lalu mengerahkan
tenaga batinnya seperti yang sudah diajarkan oleh subo-nya, menunjuk ke arah
boneka salju dan dengan suara yang halus tetapi mengandung wibawa untuk
menguasai pikiran orang, dia berkata,
"Locianpwe,
siapa bilang boneka salju itu tidak bernyawa? Lihat, dia pandai berjalan!"
Kakek itu
segera menengok memandang dan benar saja, dia melihat betapa boneka salju
buatannya tadi kini berjalan-jalan, dengan langkah satu-satu, lucu sekali! Han
Siong telah menggunakan kekuatan sihirnya seperti yang telah dipelajarinya dari
subo-nya, membuat boneka salju itu berjalan-jalan dalam pandang mata kakek yang
kasar dan galak itu.
Kakek itu
terbelalak, lalu sengaja dia berjalan di belakang boneka itu sambil
tertawa-tawa ha-ha he-he sehingga nampak pemandangan yang lucu sekali. Sepasang
kakek kembar, yang satu dari salju, yang satu manusia tulen, berbaris ke
kanan-kiri hilir-mudik. Lucunya, kakek gendut bahkan kini memberi aba-aba.
"Satu,
dua, tu-wa, tu-wa...!"
Melihat ini
Han Siong merasa geli sekaligus juga kasihan, maka dia tersenyum lebar dan
menghentikan ilmu sihirnya. Akan tetapi kini dia terbelalak dan mukanya berubah
karena dia terkejut bukan main dan merasa terheran-heran sekali. Boneka salju
itu tidak berhenti melangkah, melainkan masih terus melangkah dan kakek gendut
itu masih mengikuti di belakangnya sambil berseru,
"Tu-wa,
tu-wa, tu-wa...!" sambil tertawa-tawa!
Tentu saja
Han Siong merasa amat terkejut dan heran. Boneka salju itu tadi bisa berjalan
karena pengaruh sihirnya. Akan tetapi mengapa boneka salju itu masih berjalan
terus biar pun dia telah menghentikan pengerahan tenaga sihirnya? Dia
terbelalak memandang!
Akan tetapi
kakek gendut itu tetap tertawa bergelak, bahkan kini mengeluarkan kata-kata
parau. "Ha-ha-ha-ha! Boneka salju ini dapat berjalan, bukan hanya berjalan
bahkan dapat pula menyerang dan bermain-main dengan orang muda yang lancang,
ha-ha-ha!"
Kini dengan
langkah-langkah lebar boneka salju itu berjalan menghampiri Han Siong, lalu
menyerang Han Siong dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali! Hal ini tentu
saja amat mengejutkan pemuda itu, maka cepat dia mengelak dengan sebuah
loncatan ke samping lalu kakinya melayang, menendang ke arah perut boneka salju
itu dengan cepat.
"Prokkk...!"
Boneka salju itu hancur berhamburan.
Han Siong
melompat ke belakang, masih terheran-heran mengapa boneka salju yang tadi
disihirnya sehingga dapat berjalan itu, tahu-tahu dapat mengamuk sesudah
pengaruh sihir itu dia lenyapkan. Akan tetapi Han Siong seorang pemuda yang
amat cerdik.
Dia sudah
dapat menduga bahwa tentu kakek gendut itulah yang main-main dengan dia. Tentu
kakek itulah yang telah mempergunakan kekuatan sihir yang lebih ampuh dari pada
kekuatannya sendiri untuk melanjutkan permainan itu, sekaligus untuk mengejek
dirinya. Pantas kakek itu tadi mengatakan bahwa dia lancang!
Kakek gendut
itu sekarang terbelalak, marah melihat betapa boneka kesayangannya yang
dinamakannya sendiri sebagai hasil karya seni agung itu dirusak orang. Sambil
bertolak pinggang dan menggembungkan perutnya yang sudah gendut, dia berteriak.
"Orang
muda yang jahat! Engkau berani merusak boneka saljuku?!"
"Maaf,
Locianpwe..."
"Apa
maaf?! Tidak ada maaf bagimu! Engkau tadi telah menyamakan aku dengan boneka
salju, malah engkau telah mencela pula dan mengatakan buatanku, hasil karya
seni yang agung itu tidak bagus. Engkau harus dihajar!"
"Maaf,
saya tidak sengaja untuk membikin Locianpwe marah."
"Sengaja
atau tidak, aku sudah terlanjur marah sekarang. Nah, kau lihat seranganku. Aku
harus membalas dendam atas kehancuran boneka salju." Berkata demikian,
tiba-tiba saja tubuh yang gendut itu menerjang ke depan, seperti sebuah bola
besar menggelinding dan tahu-tahu dua buah lengan yang besar pendek sudah
menyerang dari atas bawah, kanan kiri. Serangan kedua tangan itu mendatangkan
angin pukulan berdesir yang mengandung hawa panas!
Dengan
gerakan yang halus akan tetapi cepat, Han Siong sudah cepat mengelak dengan
menggeser kakinya lantas meloncat ke kiri. Pukulan kedua tangan itu meluncur
lewat dan ketika hawa pukulan yang ganas itu menyambar dan mengenai salju yang
menempel di batang pohon, salju itu pun mencair dan nampaklah kulit batang yang
kehitaman!
Secara
diam-diam Han Siong terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat ampuh, yang
mengandung tenaga sinkang yang luar biasa. Maka dia pun cepat mainkan
Pek-sim-kun yang dipelajarinya dari catatan kakek buyutnya. Tiga belas jurus
Pek-sim-kun ini adalah hasil perasan dari Ilmu Silat Pek-sim-kun, merupakan
intinya, karena itu hebatnya bukan kepalang.
Begitu
melihat gerakan Han Siong yang dilakukan secara mantap, cepat dan mengandung
sinkang yang kuat, kakek gendut itu mengimbanginya dengan elakan dan tangkisan
yang kuat pula, bahkan segera membalas dengan pukulan-pukulan yang gayanya
mirip dengan Pek-sim-kun. Tahulah Han Siong bahwa kakek ini pandai pula dengan
ilmu silat Siauw-lim-pai, maka dia kemudian bersilat dengan hati-hati dan
berganti-ganti memainkan jurus Pek-sim-kun yang jumlahnya tiga belas itu.
"Wuuuuutttt...!"
Angin
pukulan yang sangat keras menyambar ketika Han Siong mencondongkan tubuh ke
depan, lengan kanannya menyambar dari samping dengan dahsyatnya, meninju ke
arah pelipis lawan sedangkan tangan kirinya membuat gerakan berputar di depan
dada, lantas meluncur ke bawah sebagai serangan susulan dan menghantam dengan
telapak tangan terbuka ke arah pusar.
Hebat sekali
jurus tangan terbuka dari Pek-sim-kun ini. Kakek gendut menyambut jurus ini
dengan sebuah tangkisan sambil mengeluarkan seruan kagum.
"Dukkk!
Desss...!"
Benturan dua
tenaga dahsyat membuat bumi di bawah mereka seolah-olah tergetar dan akibatnya,
kakek gendut ini melangkah mundur tiga tindak, sedangkan Han Siong sedikit
terhuyung saking hebatnya tenaga lawan yang menangkisnya.
"Ha-ha-ha,
ilmu silatmu hebat, berdasarkan ilmu Siauw-lim-pai. Sungguh engkau seorang
pemuda yang amat mengagumkan, akan tetapi juga menjengkelkan karena engkau
telah mengganggu aku!"
Kini Han
Siong sudah merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek sakti, maka
kesempatan bicara ini dia gunakan untuk berkata. "Harap Locianpwe
memaafkan kelancangan saya tadi..."
"Enak
saja, tidak ada maaf-maafan! Hayo sambutlah seranganku ini!" kata kakek
itu yang agaknya timbul kegembiraannya karena mendapatkan seorang lawan
tangguh. Sekarang tubuhnya telah menggelinding lagi ke depan, mengirim serangan
yang lebih dahsyat dari pada tadi.
Melihat hal
ini, Han Siong mengerutkan alisnya. Agaknya kakek itu bersungguh-sungguh hendak
membunuh atau melukainya, sebab itu dia pun terpaksa harus membela diri. Dan
karena lawannya bukan orang sembarangan, serangannya sangat berbahaya, maka dia
pun cepat mengerahkan semua tenaga dan kini dia mainkan ilmu-ilmu yang
dipelajarinya dari suhu serta subo-nya selama delapan tahun ini di kuil
Siauw-lim-pai, di dalam kamar Penebus Dosa.
Harus
diketahui bahwa selain ilmu-ilmu yang cukup bersih yang dahulu diperolehnya
dari gurunya, yaitu Ciu-sian Lo-kai, Siangkoan Ci Kang juga memiliki ilmu-ilmu
dari ayahnya, seorang datuk sesat yang berjuluk Iblis Buta. Ilmu-ilmu dari
ayahnya ini sebagian besar bersifat kotor dan kejam.
Semua ilmu
ini oleh Siangkoan Ci Kang diajarkan kepada Han Siong sehingga pemuda ini di
samping menerima ilmu yang bersih, juga menerima ilmu silat yang sifatnya kotor
dan curang, seperti biasa sifat ilmu-ilmu berkelahi dari golongan sesat. Apa
lagi dari subo-nya, dia juga memperoleh ilmu-ilmu kesaktian yang ganas sekali
mengingat bahwa subo-nya adalah anak tunggal dari mendiang Raja dan Ratu Iblis.
Maka ketika
sekarang dia mengeluarkan ilmu-ilmunya ini, kakek gendut itu beberapa kali
mengeluarkan seruan kaget dan heran. "Ihh, ganas, keji...! Ilmu setan!
Ilmu iblis!" Berkali-kali kakek itu berseru penasaran sambil mengelak atau
menangkis.
Mendengar
seruan-seruan ini, akhirnya Han Siong merasa malu juga. Dia sudah pernah
mendapat penjelasan dari suhu dan subo-nya mengenai sifat ilmu-ilmu yang
dipelajarinya. Bahkan suhu-nya berkata antara lain demikian,
"Baik
buruk atau baik jahatnya suatu ilmu tergantung dari pada penggunaannya,
muridku, tergantung dari pada manusianya yang menggunakan ilmu itu. Akan tetapi
harus diketahui bahwa dalam ilmu silat, memang terdapat ilmu-ilmu yang sifatnya
memang jahat, kejam, curang dan licik. Ilmu-ilmu silat semacam itu digunakan
oleh kaum atau golongan sesat. Karena kami berdua memiliki lebih banyak ilmu
silat kaum sesat itu, maka kami ajarkan keduanya kepadamu dengan harapan supaya
engkau paham benar bahwa yang penting adalah penggunaannya. Gunakanlah
ilmu-ilmu yang baik untuk membela kebenaran dan keadilan, sedangkan ilmu silat
yang sesat itu bisa kau gunakan untuk menghadapi lawan dari golongan sesat atau
untuk memperoleh kemenangan dalam suatu perkelahian. Akan tetapi jangan
sekali-kali dipergunakan untuk kejahatan, sebab betapa pun bersihnya suatu
ilmu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, ilmu itu pun menjadi ilmu
kotor."
Kini,
sesudah teringat akan pesan gurunya, Han Siong merasa malu. Kakek yang menjadi
lawannya ini memang orang aneh yang memaksanya bertanding, akan tetapi dia
belum mengenalnya, belum tahu kakek ini dari golongan mana. Maka amat memalukan
jika dia harus mengeluarkan ilmu-ilmu yang bersifat curang dan kejam itu.
Dia pun
langsung merubah gerakannya dan kini Han Siong bersilat dengan gerakan yang
lemah lembut, halus laksana orang menari, akan tetapi di balik kehalusan itu
tersembunyi kekuatan yang dahsyat. Itulah Ilmu Silat Kwan-im-kun!
Kakek gendut
itu mengeluarkan seruan terkejut dan heran ketika Han Siong pertama kali
memainkan jurus Ilmu Silat Kwan-im-kun. Dia selalu mengelak dengan
loncatan-loncatan ke kanan kiri dan sesudah dia yakin benar akan ilmu silat
pemuda itu, tiba-tiba tubuhnya meloncat jauh ke belakang.
"Heiii,
tadi engkau mainkan ilmu silat dari Kwan Im Nio-nio! Dia itu apamukah?"
tanyanya dengan mata terbelalak.
Mendengar
nama ini, Han Siong menjawab terus terang, "Saya tidak mengenal Kwan Im
Nio-nio, Locianpwe."
"Mustahil!
Jangan bohong kau! Engkau memainkan ilmu silatnya dan engkau mengatakan tidak
mengenal pemiliknya? Kalau begitu, tentu engkau mencuri ilmunya itu!"
"Saya
mempelajarinya dari Suhu dan Subo."
"Siapa
nama Suhu dan Subo-mu? Apakah mereka itu murid Kwan Im Nio-nio? Rasanya tidak
mungkin. Perempuan angkuh itu tidak pernah mau mempunyai murid, katanya ingin
membawa mati semua ilmunya."
"Bukan,
Locianpwe. Suhu bernama Siangkoan Ci Kang dan Subo bernama Toan Hui Cu, dan
mereka secara kebetulan saja menemukan kitab-kitab ilmu yang saya mainkan
tadi."
"Di
mana kitab itu ditemukan? Dan apakah Kwan Im Nio-nio masih hidup? Hayo
ceritakan semua, orang muda." Kini kakek itu bersikap ramah. Dia lantas
duduk begitu saja di atas tanah yang tertutup salju, wajahnya seperti seorang
anak kecil yang siap mendengarkan dongeng yang menarik.
Melihat ini,
legalah hati Han Siong. Agaknya kakek aneh ini sudah tidak memusuhinya lagi,
karena itu dia pun lalu duduk di atas sebuah batu karena dia tidak ingin
membiarkan celananya basah seperti kakek itu. Dia kemudian menceritakan tentang
pengalaman suhu dan subo-nya menemukan kitab-kitab serta pedang seperti yang
diceritakan oleh mereka kepadanya.
Secara
kebetulan dan tidak disengaja, pada waktu Siangkoan Ci Kang memeriksa kamar di
mana dia harus menjalani hukuman, dia menemukan kitab-kitab yang ada gambarnya
Kwan Im Pouwsat. Bersama Toan Hui Cu dia lalu mempelajari dua buah kitab itu
yang kemudian mereka namakan Kwan-im-kun dan Kwan-im Kiam-sut sesuai dengan
gambar-gambar Kwan Im Pouwsat yang menghias sampul-sampul dua buah kitab itu.
Beberapa
tahun kemudian giliran Toan Hui Cu yang menemukan lubang rahasia di kamar dia
menjalani hukumannya. Ketika dia membongkarnya, lubang di lantai itu menembus
ke sebuah kamar di bawah tanah dan di sana dia menemukan rangka manusia yang
masih mengenakan pakaian seperti pakaian Kwan Im Pouwsat, dan di atas pangkuan
kerangka manusia itu dia menemukan sebatang pedang tipis pendek.
Itulah
pedang yang mereka namakan pedang Kwan-im-kiam. Kemudian mereka berikan pedang
itu kepada Han Siong sebagai tanda ikatan jodoh antara murid mereka itu dengan
puteri mereka yang hilang diculik orang.
"Demikianlah,
Locianpwe. Saya mewarisi kedua ilmu itu berikut pedangnya dari Suhu dan Subo
yang menemukan semua itu di dalam kamar-kamar mereka di kuil
Siauw-lim-si." Han Siong mengakhiri ceritanya, tentu saja tanpa menyebut
tentang ikatan jodoh itu.
Kakek gendut
itu tiba-tiba menangis! Tentu saja Han Siong menjadi bengong. Dia segera
mengamati dengan penuh perhatian, mengira bahwa kakek sakti ini tentu seorang
yang sudah miring otaknya, atau memiliki watak yang demikian anehnya sehingga
mendekati gila.
Kakek yang
duduk di atas tanah bersalju itu menangis dengan kedua punggung tangan
menghapus air mata, pundaknya bergoyang-goyang, perutnya yang gendut itu
bergerak-gerak, persis seperti seorang anak kecil, dari mulutnya keluar suara
tangisan yang parau. Diam-diam keadaan ini menimbulkan keharuan di dalam hati
Han Siong. Kakek itu patut dikasihani, pikirnya.
"Aihhh,
perempuan memang aneh sekali...!" Kakek itu kini berhenti menangis dan
seperti bicara kepada diri sendiri. "Kwan Im Nio-nio, nenek tua bangka,
kenapa engkau menyiksa dirimu sampai begitu rupa? Hemm, aku mengerti, agaknya
engkau hendak menghabiskan sisa umurmu untuk menebus dosa di dalam kuil,
membawa ilmumu bersama pedangmu mengubur diri di dalam kuil. Namun ternyata ada
orang-orang yang berjodoh denganmu sehingga mewarisi pedang dan ilmu-ilmumu."
Kembali dia
terisak. Han Siong membiarkan saja kakek itu menangis sampai akhirnya dia
berhenti menangis, memandang kepadanya dengan mata merah.
"Orang
muda, siapakah namamu?"
"Nama
saya Pek Han Siong, Locianpwe."
Kakek itu
terbelalak dan memandang tajam. "Engkau she Pek? Kalau begitu limu silatmu
yang pertama tadi adalah ilmu silat dari Pek-sim-pang? Apakah engkau masih
memiliki hubungan dengan para ketua-ketua Pek-sim-pang?"
"Saya
adalah keturunan Ketua Pek-sim-pang."
'Ehhh...?"
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangannya ke depan dada, membuat
gerakan-gerakan aneh dengan kedua tangannya sehingga Han Siong mengikuti
gerakan-gerakan itu dengan heran. "Jangan bergerak!" kakek itu
membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan.
Han Siong
terkejut sekali ketika hendak mengelak, karena tiba-tiba tubuhnya tidak dapat
digerakkan! Dia segera sadar bahwa kakek itu sudah menggunakan kekuatan sihir
ketika berteriak melarang dia bergerak tadi. Dia langsung mengerahkan kekuatan
batinnya untuk melawan, akan tetapi ketika akhirnya dia mampu bergerak, baju di
punggungnya sudah dirobek oleh kakek itu.
"Aihh,
benar...!" Kakek itu berteriak kaget. "Ada tanda merah di punggungmu
dan engkau keturunan ketua Pek-sim-pang." Tiba-tiba saja kakek gendut itu
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Siong!
Tentu saja
Han Siong terkejut bukan main. "Locianpwe... harap... harap jangan
melakukan ini...!" serunya.
"Paduka
adalah Sin-tong yang telah lama menggegerkan seluruh daerah barat, karena itu
sudah sepatutnya kalau saya menghormati paduka dan sudah sepatutnya pula jika
saya menyerahkan seluruh kepandaian yang ada kepada paduka..."
Celaka,
pikir Han Siong. Kakek ini benar-benar sinting!
"Locianpwe,
bangkitlah dan mari kita bicara dengan baik-baik..."
"Tidak,
sampai mati pun saya tidak akan bangkit lagi sebelum paduka menyatakan mau
menerima ilmu-ilmu yang akan saya ajarkan kepada paduka."
Gila, pikir
Han Siong. Ini namanya dunia dan aturannya sudah terbalik semua. Biasanya
seorang calon murid yang memohon sambil berlutut supaya diterima menjadi murid.
Akan tetapi sekarang kakek yang sinting ini bahkan berlutut dan memohon
kepadanya supaya suka menerima ilmu-ilmu yang akan diajarkan oleh kakek itu
kepadanya! Akan tetapi apa salahnya? Kakek ini sakti, dan agaknya mengenal baik
pemilik kitab-kitab Kwan-im-kun yang namanya Kwan Im Nio-nio itu.
"Baik,
Locianpwe, saya suka mempelajari ilmu-ilmu dari Locianpwe, tapi ada
syaratnya."
"Silakan
sebutkan apa syarat itu. Berbahagialah saya apa bila dapat memberi bimbingan
kepada Sin-tong!" kakek itu bicara dengan suara yang gembira bukan main!
"Syaratnya
ada dua. Pertama, saya hanya akan belajar selama satu tahun saja kepada
Locianpwe karena banyak urusan yang harus saya selesaikan. Ke dua, Locianpwe
harap bersikap biasa saja seperti layaknya seorang guru terhadap muridnya,
jangan menyebut Sin-tong kepada saya, melainkan menyebut nama saya saja, dan
saya akan menyebut Suhu kepada Locianpwe. Bagaimana?"
Kakek itu
menarik napas panjang. "Sebenarnya syarat ke dua itu amat berat, akan
tetapi baiklah, Han Siong." Kakek itu bangkit berdiri dan kini Han Siong
yang cepat berlutut dan memberi hormat sambil menyebut, "Suhu...!"
"Mari
kita duduk dan bicara. Aku ingin sekali mendengar tentang dirimu, Han Siong.
Ahh, betapa banyak sudah aku mendengar tentang dirimu yang dijadikan rebutan
oleh semua orang gagah di dunia barat. Selama ini, di mana saja engkau
bersembunyi?"
Karena dia
sudah mengangkat kakek itu menjadi gurunya, maka Han Siong pun tak mau
merahasiakan keadaan dirinya lagi. Dia lalu menceritakan betapa sejak bayi dia
dirawat oleh kakek buyutnya yang bernama Pek Khun, yang mengajaknya bertapa di
Pegunungan Kun-lun-san, kemudian betapa oleh kakek buyutnya dia lalu dikirim ke
kuil Siauw-lim-pai di Pegunungan Heng-tuan-san dan menjadi kacung di kuil sana.
"Di
kuil itulah teecu (murid) bertemu dengan Suhu Siangkoan Ci Kang dan Subo Toan
Hui Cu, menerima pelajaran ilmu-ilmu silat di samping teecu juga tekun
mempelajari ilmu-ilmu kebudayaan dari kitab-kitab yang terdapat di dalam kuil,
di bawah bimbingan para hwesio di sana. Setelah tamat belajar, barulah Suhu dan
Subo menyuruh teecu untuk keluar dari kuil dan mencari keluarga teecu, yaitu
keluarga Pek di Kong-goan."
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Agaknya Subo serta Suhu-mu itu orang-orang yang baik
dan juga cerdas sekali. Akan tetapi bagaimana engkau bisa mempelajari ilmu
sihir seperti yang kau pergunakan untuk menghidupkan boneka saljuku tadi?"
"Teecu
mempelajarinya sedikit dari Subo. Ketika Subo menjalani hukuman di kuil
Siauw-lim-si, dia juga banyak membaca kitab-kitab dan dia menemukan kitab yang
mengatakan bahwa di dalam diri setiap orang terdapat kekuatan gaib yang tersembunyi.
Subo sendiri adalah keturunan orang-orang sakti yang diam-diam mempunyai
kekuatan gaib yang kuat sekali. Mulailah Subo melatih diri membangkitkan
kekuatan gaibnya, lantas dia pun mulai mempelajari ilmu sihir di dalam Kamar
Penebusan Dosa itu dan dari Subo teecu belajar sedikit ilmu sihir yang tidak
ada artinya dibandingkan dengan ilmu sihir dari Suhu sendiri."
"Hemm,
Subo-mu itu she Toan, ya? Sepertinya aku pernah mendengar akan kehebatan
orang-orang dari keluarga Toan, kalau tak salah keluarga pangeran..."
"Tidak
salah, Suhu. Subo Toan Hui Cu adalah puteri mendiang Pangeran Toan Jit Ong yang
berjuluk Raja Iblis..."
"Ya
Tuhan...! Benar, Raja dan Ratu Iblis...!" Kakek itu terbelalak dan
mengangkat kedua tangan ke atas saking kagetnya. "Pantas saja ilmu silatmu
bermacam ragam dan banyak pula yang merupakan ilmu yang sesat! Untung Suhu dan
Subo-mu itu menemukan ilmu peninggalan Kwan Im Nio-nio dan diajarkan kepadamu,
dan untung pula engkau bertemu dengan aku. Ketahuilah, Han Siong. Kwan Im Nio-nio
dan aku adalah dua orang di antara orang-orang yang dijuluki Delapan
Dewa."
Han Siong
memandang kagum, akan tetapi terus terang menjawab, "Di dalam kuil Suhu
dan Subo banyak bercerita kepada teecu mengenai tokoh-tokoh di dunia
persilatan, akan tetapi terus terang saja, teecu belum pernah mendengar akan
nama Delapan Dewa."
Kakek itu
menarik napas panjang. "Salah kami sendiri. Puluhan tahun yang lampau kami
pernah memperoleh nama besar dan disegani oleh seluruh golongan di dunia
persilatan. Akan tetapi pada suatu hari kami bertemu dan bentrok dengan Raja
dan Ratu Iblis. Kami mengadu ilmu melawan mereka dengan perjanjian bahwa siapa
yang kalah harus pergi bertapa dan tidak boleh lagi muncul di dunia persilatan.
Dan kami kalah! Kami memegang janji. Masing-masing pergi bertapa dan
memperdalam ilmu silat. Setelah kami mendapat ilmu-ilmu yang tinggi, ternyata
Raja dan Ratu Iblis sudah tewas di tangan para pendekar muda. Demikianlah, kami
telah terlanjur suka bertapa sehingga tidak muncul lagi di dunia persilatan."
Han Siong
mendengarkan dengan kagum. Mereka tentulah orang-orang yang menjunjung tinggi
kegagahan sehingga mereka setia terhadap janji sendiri sampai rela menderita
dan mengasingkan diri.
"Siapakah
tokoh lain dari Delapan Dewa kecuali Suhu dan Locianpwe Kwan Im Nio-nio?"
tanyanya.
Kakek gendut
itu menarik napas panjang. "Nama Delapan Dewa yang tadinya gemilang itu
telah menjadi muram, bahkan tenggelam dan lenyap sesudah kami ditaklukkan oleh
Raja dan Ratu Iblis. Kami cerai berai, pergi bertapa dan tidak saling
berhubungan lagi sampai puluhan tahun. Di antara kami yang delapan orang, hanya
terdapat dua orang wanitanya, yaitu Kwan Im Nio-nio dan In Liong Nio. Yang enam
orang sisanya adalah pria semua, susunannya seperti ini. Aku sendiri disebut orang
Ban Hok Lojin atau juga diejek dengan sebutan Ji-lai-hud, kemudian Ciu-sian
Lo-kai atau Ciu-sian Sin-kai, Go-bi San-jin yang kabarnya sekarang sudah masuk
menjadi pendeta Lama berjuluk See-thian Lama, lalu Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang
Lo-jin, dan Sian-eng-cu The Kok. Nah, itulah nama-nama Delapan Dewa yang sudah
lama meninggalkan dunia ramai. Akan tetapi selama ini aku tidak pernah bertemu
atau berhubungan dengan mereka, hanya kabarnya empat di antara kami, yaitu
Go-bi San-jin, Ciu-sian Sin-kai, Wu-yi Lo-jin, dan Siang-kiang Lo-jin, ikut
pula membantu pada saat para pendekar muda yang menjadi murid-murid mereka
membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama gerombolannya. Sekarang aku tidak tahu di
mana mereka, masih hidup ataukah sudah mati semua seperti Kwan Im Nio-nio."
Kembali kakek gendut itu menarik napas panjang, akan tetapi kini wajahnya sudah
cerah kembali dan senyum menghias mulutnya.
Kini Han
Siong menjadi semakin kagum Ternyata kakek yang menjadi gurunya ini adalah
seorang sakti dan dia pun girang bukan main. "Semoga dalam waktu setahun
teecu akan menerima petunjuk-petunjuk yang berharga dari Suhu."
"Ilmu
silatmu sudah tinggi tingkatnya, Han Siong. Bila mana engkau sudah menguasainya
dengan sempurna, agaknya aku sendiri pun tidak akan menang darimu. Sayang
engkau terlampau banyak mempelajari ilmu-ilmu sesat, untuk itu aku akan
mengajarkan ilmu silat Pek-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) kepadamu.
Juga ilmu sihirmu itu jangan kau pergunakan. Aku akan mengajarmu untuk
mempergunakan tenaga batin yang bersih untuk menghadapi segala macam kekuatan
ilmu hitam."
"Suhu,
apakah perbedaan antara sihir putih dan sihir hitam? Antara kekuatan bersih dan
kekuatan kotor?" Han Siong merasa penasaran dan bertanya.
"Sudah
kukatakan tadi bahwa bersih dan kotornya suatu ilmu tergantung dari pada watak
orang yang mempergunakannya. Akan tetapi yang dinamakan ilmu silat kotor adalah
ilmu silat di mana digunakan segala kecurangan, alat-alat rahasia, racun-racun,
cara-cara yang penuh tipu muslihat licik. Sebaliknya, ilmu silat bersih adalah
ilmu silat yang berdasarkan kekuatan yang terlatih, gerakan-gerakan yang kuat dan
cepat, kewaspadaan yang dapat membuat gerakan menjadi tepat, tanpa memakai
cara-cara curang untuk mengalahkan lawan. Sedangkan sihir putih adalah
penggunaan kekuatan batin yang terhimpun di dalam tubuh, menggunakan kekuasaan
dan kekuatan alam dengan dasar iman dan kepercayaan kepada Tuhan dan para dewa.
Sebaliknya sihir hitam adalah penggunaan kekuatan yang datang dari setan-setan,
roh jahat, dan segala macam kekuatan gaib yang mendorong pemakainya ke arah
perbuatan jahat."
Mulai hari
itu, kembali Han Siong menerima gemblengan, sekali ini dari seorang di antara
Delapan Dewa yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia belajar dengan
sangat tekun, di dalam sebuah goa di puncak bukit yang sunyi.
***************
Sungai itu
mengalir dari Pegunungan Min-san dan sungai itu disebut Sungai Min-kiang.
Ketika sungai itu tiba di dalam sebuah hutan di kaki Pegunungan Min-san, airnya
masih jernih, belum dikotori sampah-sampah seperti apa bila sudah melewati
banyak dusun dan kota. Apa lagi daerah itu merupakan pegunungan yang tanahnya
terdiri dari tanah keras, tidak berlumpur sehingga airnya nampak jernih
mengalir riang di antara batu-batu, bahkan dasarnya pun nampak.
Sudah lebih
dari setengah jam wanita itu mengintai pemuda yang sedang duduk di pinggir
sungai, di atas rumput tebal. Pemuda itu tengah memancing ikan seorang diri,
tampaknya benar-benar dapat menikmati kesunyian dan keindahan keadaan di tepi
Sungai Min-kiang di dalam hutan yang teduh itu.
Air sungai demikian
jernihnya sehingga penuh dengan bayangan pohon-pohon di atasnya, bergerak-gerak
sedikit karena tenangnya air yang mengalir perlahan. Aliran yang lambat ini,
ditambah akar-akar pohon, menciptakan tempat tinggal yang sangat menyenangkan
bagi ikan-ikan, apa lagi bagian itu agak dalam, membuat tempat itu dihuni
banyak ikan. Maka tidak mengherankan jika dalam waktu setengah jam saja pemuda
itu telah berhasil mengangkat tiga ekor ikan yang lumayan besarnya.
Wanita itu
mengintai dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Dia melihat betapa
pemuda itu mengeluarkan teriakan girang karena kembali dia telah berhasil
mendapatkan seekor ikan lagi, ikan yang kulitnya putih seperti perak, dengan
perut kuning.
"Ha,
seekor lagi saja maka aku akan pesta! Lima ekor sudah lebih dari cukup!"
katanya. "Marilah manis, kau sambar umpanku!" Pemuda itu
tersenyum-senyum dengan gembira dan sepasang mata yang mengintai itu menjadi
semakin kagum.
Wanita yang
mengintai itu sekarang berindap-indap mendekati, akan tetapi tetap saja dia
melakukannya sambil bersembunyi, menyelinap di antara pepohonan, semak belukar
dan batu-batu. Gerakannya demikian ringan sehingga tidak menimbulkan suara dan
akhirnya dia dapat bersembunyi di balik semak-semak terdekat, dapat memandang
pemuda yang tengah memancing ikan itu dengan amat jelas. Dan semakin jelas dia
memandang, makin kagumlah dia, wajahnya makin berseri, mulutnya tersenyum dan
matanya bersinar-sinar.
Seorang
pemuda yang tampan dan gagah. Walau pun sedang duduk seenaknya di atas rumput,
nampak betapa bidang dada itu, betapa tegap tubuh yang bentuknya sedang itu.
Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, mulutnya yang berbentuk
manis itu selalu mengembangkan senyum, hidungnya mancung dan raut wajahnya
membayangkan kejantanan dengan dagu yang dapat mengeras dan agak berlekuk di
tengahnya.
Senyumnya
manis dan memikat. Pakaiannya berwarna biru muda berhiaskan garis-garis kuning
emas di tepinya. Sebuah buntalan pakaian terletak di sebelahnya. Usianya kurang
lebih dua puluh tahun.
Wanita yang
mengintai itu pun bukan wanita sembarangan. Dari pakaiannya saja mudah diduga
bahwa dia bukanlah penghuni dusun atau wanita gunung sederhana, melainkan
seorang wanita yang biasa tinggal di kota. Apa lagi kalau melihat gelung
rambutnya yang tinggi dan dihiasi seekor burung Hong dari emas dan permata yang
tentu sangat mahal harganya.
Wanita ini
juga membawa sebuah buntalan kain panjang yang digendong pada belakang
punggungnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa wanita itu juga seseorang yang
sedang melakukan perjalanan jauh dengan membawa bekal pakaian. Akan tetapi
pakaian yang menempel di tubuhnya nampak bersih, demikian pula sepatunya yang
kecil dan baru.
Wajahnya
bulat dengan kulit yang putih halus, dibuat semakin putih halus akibat
dibedaki. Sepasang matanya agak lebar dan penuh sinar dan gairah hidup, penuh
semangat, juga kedua bola matanya dapat bergerak lincah, tanda bahwa wanita ini
biasa menggunakan kecerdikannya.
Alisnya
kecil melengkung hitam, lengkung yang tak wajar, dibuat dengan cara mencabuti
sebagian rambut alisnya. Kedua pipinya terlihat segar kemerahan, bukan karena
pemerah pipi. Hidungnya kecil mancung dan ujungnya sedikit mencuat ke atas
menjadi penambah manis. Mulutnya kecil dengan bibir yang merah basah dan selalu
agak terbuka laksana orang terengah, menimbulkan sifat menantang.
Wanita
berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini memang mempunyai wajah yang manis
sekali. Juga bentuk tubuhnya padat dan ramping menggairahkan, dengan lekuk
lengkung yang sexy, bagian dada dan pinggul membusung, sedangkan pinggangnya
sangat kecil seperti pinggang tawon kemit.
Pemuda yang
sedang memancing ikan itu adalah Hay Hay! Memang pemuda ini memiliki raut
wajah, bentuk tubuh serta pembawaan yang sangat menarik hati bagi kaum wanita.
Wajahnya yang tampan selalu cerah, dengan pandang mata yang selalu penuh
semangat dan gairah, bibirnya selalu dibayangi senyum ramah.
Seperti kita
ketahui, Hay Hay melakukan perjalanan ke daerah itu untuk mencari keluarga Pek
di Kong-goan. Ketika sampai di tepi sungai itu dia melihat gerakan banyak ikan,
dan tertarik oleh keadaan yang indah dan nyaman, dia pun merasa lapar sekali
dan segera dia membuat pancing sederhana dari peniti, tali dan ranting. Peniti
dibentuk menjadi mata kail dan dengan cacing yang mudah didapatkan di tepi
sungai, dia pun mengail dan berhasil menangkap empat ekor ikan dada kuning.
Dia tak akan
patut disebut murid dari dua orang sakti, dua di antara Delapan Dewa, kalau
saja dia tidak tahu bahwa ada orang sedang mengintainya. Sejak tadi pun dia
sudah tahu dan hal ini membuat Hay Hay menjadi makin gembira. Pemandangan alam
di tempat itu demikian indah, hawanya sejuk nyaman, dan memancing ikan pun
berhasil menangkap ikan-ikan yang gemuk, dan kini ada seorang wanita yang
mengintainya pula!
Dengan ujung
matanya, tadi sekelebatan dia berhasil menangkap bayangan pengintainya dan tahu
bahwa pengintai itu seorang wanita. Akan tetapi tentu saja dia tidak tahu siapa
dan jantungnya berdegup agak keras penuh kegembiraan yang menegangkan ketika
dia menduga bahwa bayangan itu mungkin saja Bi Lian, gadis cantik jelita yang
amat menarik hati itu.
Akan tetapi
dia segera membantah sendiri dugaan itu. Kalau Bi Lian, tidak mungkin gadis itu
demikian bodoh untuk mengintainya seperti itu. Bukankah Bi Lian telah tahu
bahwa dia mempunyai kepandaian sehingga kalau diintai seperti itu pasti akan
mengetahuinya? Dan pula, apa perlunya Bi Lian harus mengintai semacam itu?
Gadis itu tentu akan langsung saja menemuinya kalau hal itu dikehendakinya.
Bukan,
wanita itu bukan Bi Lian, dan pendapat ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay
Hay. Membayangkan dia akan bertemu dengan seorang wanita lain yang penuh
rahasia, belum apa-apa sudah membuatnya bergembira. Wanita merupakan makhluk
yang selalu menarik perhatiannya. Maklum, mata keranjang berhidung belang.
Tiba-tiba
tali pancingnya bergerak. Seekor ikan yang agaknya berat dan lebih besar dari
pada empat ekor yang sudah ditangkapnya, bergantung di mata kailnya. Dengan
gerakan cepat Hay Hay menarik tangkai pancingnya sehingga mata kailnya mengait
di mulut ikan lantas dia meneruskannya dengan sentakan kuat sehingga
terlemparlah seekor ikan yang benar saja lebih besar dari pada tadi, ke atas.
Hay Hay sengaja melepaskan ranting yang menjadi tangkai pancing sambil
berteriak,
"Oh,
terlepas...!" Ikan berikut tali dan tangkai pancing itu meluncur ke arah
semak-semak di mana wanita itu bersembunyi!
Mendadak ada
sebuah tangan yang kecil halus tapi cekatan menyambut dan menangkap tangkai
pancing dan nampaklah seorang wanita muncul dari balik semak-semak sambil
memegang setangkai pancing yang di ujungnya nampak seekor ikan besar
menggelepar-gelepar. Sambil tersenyum penuh daya pikat wanita itu kini
melangkah maju menghampiri Hay Hay, membawa ikan di ujung pancing itu.
"Ikan
yang besar, gemuk dan mulus, tentu enak sekali!" Wanita itu berkata,
senyumnya melebar membuat mulutnya merekah sehingga nampak rongga mulut yang
merah sekali dengan deretan gigi yang berkilauan dan putih rapi.
Hay Hay
memandang dengan wajah bengong, seperti terpesona oleh kecantikan wanita yang
kini sudah berdiri di depannya. Sejenak pandang matanya menjelajahi wanita itu
dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, kadang-kadang berhenti agak lama di
bagian-bagian tertentu yang menarik, dan akhirnya dia menarik napas panjang.
"Ya
ampun, Dewi...! Apakah paduka ini Dewi Air ataukah Dewi Hutan yang sengaja
turun dari kahyangan hendak memberi anugerah ikan gemuk kepada hamba?"
Tentu saja Hay Hay hanya main-main dan berkelakar karena dia sudah tahu bahwa
wanita ini sejak tadi mengintainya, akan tetapi dia jujur dengan pandang
matanya yang penuh kagum karena memang wanita ini cantik manis dan
menggairahkan, penuh daya tarik kewanitaan seperti sekuntum bunga yang selain indah
juga harum semerbak.
Mula-mula
kedua mata yang lebar itu terbelalak heran mendengar ucapan itu, kemudian
wajahnya menjadi kemerahan, bukan karena marah melainkan karena bangga dan
girang bukan kepalang. Wanita itu terkekeh sambil memasang aksi, menutupi
mulutnya dengan punggung tangan kiri.
"Mengapa
engkau menganggap aku sebagai Dewi Air atau Dewi Hutan yang baru turun dari
kahyangan?" tanyanya, suaranya merdu sekali seperti suara rebab digesek.
Dengan
sangat terbuka Hay Hay mengagumi mata, hidung serta mulut itu. Anak rambut yang
membentuk sinom di sepanjang pelipis, di atas dahi dan di belakang telinga itu
pun manis sekali, melingkar-lingkar laksana dilukis saja, nampak hitam indah
dilatar belakangi kulit yang putih kuning mulus.
"Karena
rasanya tidak mungkin ada seorang gadis secantik Paduka. Hanya bidadari dan
para dewi kahyangan sajalah kiranya yang dapat memiliki kecantikan seperti
ini." Hay Hay memang pandai sekali merayu, bukan rayuan kosong belaka,
melainkan kata-kata manis dan pujian yang muncul dari lubuk hatinya.
Dalam
pandang matanya, wanita itu seperti bunga. Mana ada bunga yang buruk? Semua
bunga, setiap kuntum bunga pasti indah, biar pun keindahannya berbeda-beda.
Demikian pula wanita. Tak ada yang buruk, walau pun kemanisannya pun
berbeda-beda. Ada yang terletak pada matanya, pada hidungnya, pada mulutnya,
atau rambutnya, kulitnya. Akan tetapi wanita di depannya ini memiliki keindahan
pada banyak bagian!
Wajah yang
manis itu semakin berseri gembira, dan matanya pun menjadi semakin tajam
bersinar-sinar. "Aihh, orang muda, engkau sungguh terlalu memujiku. Aku
hanya seorang manusia biasa seperti engkau. Kebetulan saja aku dapat menangkap
pancing dan ikanmu yang terlempar tadi. Nah, terimalah kembali pancingmu."
Wanita itu
kemudian menyerahkan pancing dengan ikan yang menggelepar-gelepar itu, diterima
dengan gembira oleh Hay Hay yang tersenyum ramah.
"Terima
kasih, Nona. Ya Tuhan, hampir aku tidak percaya bahwa Nona seorang manusia.
Kemunculanmu demikian tiba-tiba dan kecantikanmu... hemmm, sukar untuk
dipercaya!"
Wanita itu
sudah sering kali menghadapi laki-laki yang kurang ajar dan tidak sopan, yang
memuji kecantikannya untuk merayu dan menarik perhatian. Akan tetapi baru
sekarang dia bertemu dengan pemuda yang memuji kecantikannya demikian jujur
terbuka, dengan mata yang sama sekali tidak membayangkan kekurang ajaran
seperti mata setiap lelaki yang selalu menyembunyikan tantangan, ajakan dan
uluran tangan!
Maka dia
menjadi semakin gembira, sungguh pun mulutnya pura-pura cemberut ketika dia
berkata. "Ihhh, orang muda, jangan terlampau memuji, membuat aku merasa
rikuh saja."
"Aku
tidak memuji secara kosong belaka, Nona. Dan kuharap Nona tidak menyebut aku
orang muda. Aihh, seolah-olah Nona lebih tua saja dariku. Padahal, paling-paling
usia kita sebaya."
Tentu saja
Hay Hay dapat menduga bahwa wanita itu agak lebih tua darinya, namun dia tahu
bahwa paling tidak enak bagi wanita kalau diingatkan tentang usianya yang sudah
lebih tua. Pula, wanita di depannya ini memang masih nampak muda sekali dan
memang pantas kalau dikatakan sebaya dengannya.
Wanita itu
tersenyum, manis sekali. "Pemuda yang tampan dan ganteng, berapa usiamu
sekarang?"
Jantung di
dalam dada Hay Hay berdebar dan dia merasa aneh. Betapa beraninya wanita ini.
Memujinya sebagai tampan dan ganteng, juga menanyakan usianya! Wah, sungguh
seorang wanita yang tidak malu-malu lagi, seorang yang agaknya sudah
berpengalaman!
"Berapa
menurut dugaanmu, Nona yang cantik jelita?"
"Hemm,
kiranya tidak akan lebih dari sembilan belas atau delapan belas tahun."
"Ha,
dugaanmu keliru sebab aku lebih tua dari itu, Nona. Usiaku sudah dua puluh
tahun!" Hay Hay tertawa dan balas bertanya. "Dan berapakah usiamu,
Nona?"
"Berapa
menurut dugaanmu, pemuda yang tampan menarik?" tanya wanita itu menirukan
kata-kata dan gaya Hay Hay tadi.
Kembali
pandang mata Hay Hay menjelajahi seluruh tubuh wanita itu, kemudian dia pun
mengangguk-angguk. "Paling banyak dua puluh tahun, Nona."
Wanita itu
tersenyum semakin manis. Agaknya taksiran itu amat menyenangkan hatinya.
"Lebih berapa tahun lagi. Aku lebih tua darimu."
"Aku
tidak percaya!" Hay Hay berseru penasaran. Oleh karena dia menggerakkan
tangkai pancing, ikan itu meronta-ronta dan agaknya baru dia teringat akan ikan
itu.
"Hi-hik,
mau diapakan sih ikan itu?" Si Wanita bertanya menggoda.
"Wah,
aku sampai lupa. Oh, ya, karena engkau baik sekali, Nona, dan telah membantuku
menangkap ikan yang tadi sempat terlepas ini, maka biar kuundang engkau untuk
makan bersamaku. Daging ikan-ikan ini tentu enak sekali."
Wanita itu
memandang dengan kedua mata bersinar-sinar. "Bagaimana engkau hendak
memasaknya?"
Hay Hay
mengangkat dada, lantas menepuk dadanya. "Jangan khawatir. Aku ahli masak!
Tunggu sebentar dan bantulah aku menghabiskan daging ikan-ikan ini sebagai
teman roti kering dan anggur. Pasti lezat sekali!"
Wanita itu
menelan ludah, nampak berselera sekali. "Tentu saja lezat."
"Kau
tunggu sebentar, Nona."
Hay Hay yang
sudah menjadi gembira bukan kepalang menemukan seorang kawan baik, seorang
wanita cantik untuk teman bercakap-cakap di tempat yang sunyi indah itu, segera
bekerja. Selama beberapa tahun menjadi murid See-thian Lama, dia hidup berdua
saja dengan gurunya itu dan dialah yang selalu melayani suhu-nya, setiap hari
dia yang masak sehingga dia memang dapat dikata ahli masak.
Apa lagi
sesudah dia mengikuti gurunya yang ke dua, Ciu-sian Sin-kai, kakek berpakaian
jembel yang sebetulnya merupakan to-cu (majikan pulau) dari Pulau Hiu dan hidup
serba cukup, maka dia pun mempelajari masak dari juru-juru masak suhu-nya itu.
Ketika tinggal di Pulau Hiu, tentu saja dia sering ikut menangkap ikan dan
memasak ikan, maka dia tahu banyak cara memasak ikan. Setiap macam ikan
memerlukan cara memasak yang khusus baru akan lezat dan cocok sekali.
Dan di dalam
perantauannya, dia tidak melupakan bekal bumbu-bumbu yang diperlukan. Dia
memang suka akan segala yang indah, segala yang enak, bisa menikmati kehidupan
ini biar pun berada dalam keadaan yang bagaimana pun juga.
Wanita itu
lalu melepaskan buntalan panjang dari punggungnya, meletakkannya di pinggir
sungai dan dia pun duduk di atas akar pohon sambil mengikuti gerakan-gerakan
Hay Hay dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah berseri. Pandang
matanya penuh kekaguman saat dia melihat betapa pemuda itu dengan cekatan
membersihkan lima ekor ikan itu, menggunakan sebatang pisau yang dikeluarkan
dari buntalan pakaiannya, lantas menaburi ikan-ikan itu dengan bumbu dan garam,
dan memanggangnya di atas bara api.
Segera bau
yang amat sedap menyerang hidungnya dan wanita itu tiba-tiba saja merasa betapa
perutnya sudah lapar sekali! Mulutnya terasa basah oleh ludah karena dia sudah
mengilar ingin merasakan bagaimana lezatnya ikan panggang itu.
Sambil
kadang-kadang memandang kepada wanita itu dengan senyum, sekali dua kali dia
mengedipkan matanya memberi tanda agar wanita itu bersabar, Hay Hay
mempersiapkan makan untuk mereka. Roti kering beserta anggur dikeluarkan, dan
ikan panggang ditaruh di dalam sebuah piring, dikeluarkannya pula bumbu dan
saus yang selalu berada dalam perbekalannya.
"Mari
silakan, Nona. Mari kita makan seadanya," Hay Hay mempersilakan dengan
sikap ramah.
Wanita itu
tersenyum, bangkit dengan gerakan lemah gemulai dan setengah menggeliat
sehingga nampak jelas tonjolan-tonjolan tubuhnya hendak menembus bajunya yang
ketat dari sutera tipis. Hay Hay tidak mau pura-pura, dia memandangi itu semua
dengan penuh kagum.
"Ehh,
sobat, apakah yang sedang kau pandang?" tiba-tiba wanita itu bertanya,
pura-pura marah padahal hatinya senang bukan main.
"Apa
yang kupandang?" Hay Hay sama sekali tidak merasa gugup. "Apa lagi
kalau bukan keindahan tubuhmu itu, Nona! Engkau seorang gadis yang beruntung
sekali, dianugerahi wajah cantik manis dan tubuh yang indah. Sungguh lengkap.
Ehh, mari, mari kita makan, selagi daging ikannya masih panas."
Tanpa
ragu-ragu atau malu-malu lagi wanita itu lantas duduk di atas rumput,
berhadapan dengan Hay Hay terhalang oleh makanan yang diletakkan di atas rumput
pula. Gadis itu menerima pemberian roti kering dan memilih panggang ikan yang
nampak menimbulkan selera.
Mereka makan
dan minum bersama, tanpa kata-kata. Wanita itu hanya mengeluarkan kata pujian
sebab daging ikan itu memang enak sekali. Belum pernah rasanya dia makan seenak
ini! Padahal hanya roti kering dan panggang ikan saja, akan tetapi begitu
nikmat, terasa lezatnya di setiap kunyahan.
Lima ekor
ikan itu pun habis mereka makan, ditambah empat potong roti kering besar dan
beberapa cawan anggur yang manis. Setelah selesai makan-makan, keduanya
kemudian membersihkan tangan dan mulut di sungai itu, dengan air sungai yang
jernih. Kemudian keduanya duduk di tepi sungai, berhadapan dan mulailah mereka
bercakap-cakap.
"Hi-hik,
alangkah lucunya!" Tiba-tiba gadis itu berkata, menutup mulut dengan
punggung tangan kiri ketika dia tertawa.
Hay Hay
mengangkat muka dan memandang. " Apanya yang lucu, Nona...?"
"Kita
sudah makan bersama."
"Apa
salahnya dengan itu?"
"Kita
sudah saling mengetahui usia masing-masing."
"Memang
wajar dalam suatu perkenalan, akan tetapi aku belum mengetahui dengan pasti
berapa usiamu..."
"Itu
tidak penting. Akan tetapi anehnya, kita belum saling mengenal nama."
Hay Hay
tertawa. Tadi dia memang sengaja. Betapa pun juga keadaan wanita ini amat
mencurigakan. Pada saat mengintainya, wanita itu bisa bergerak dengan cepat dan
amat ringan, itu saja menunjukkan bahwa wanita ini tentu memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Dia belum
tahu siapa wanita ini, dari golongan mana, dan berdiri di pihak mana, kawan
ataukah lawan. Karena itu dia harus berhati-hati dan biarlah wanita ini yang
lebih dahulu memperkenalkan diri. Maka dia pun tidak pernah memperkenalkan diri
dan sekarang dia tertawa seperti baru melihat kelucuan keadaan mereka.
"Ah,
benar juga! Aku merasa seolah-olah kita telah menjadi sahabat baik selama
puluhan tahun! Ha-ha, Nona yang baik, siapakah Anda? Di mana tempat tinggal,
datang dari mana dan hendak ke mana?"
Gadis itu
tertawa pula dan kini dia tidak lagi bersusah payah menutupi mulutnya sehingga
Hay Hay dapat melihat betapa manis dan menggairahkan mulut itu bila tertawa.
"Hi-hik-hik,
pertanyaanmu itu menyerangku seperti ombak samudera saja. Sebaiknya kita saling
mengenal nama lebih dulu. Namaku Sun Bi she Ji."
"Ji Sun
Bi... hemmm, nama yang indah dan cantik, secantik orangnya," Hay Hay
memuji sambil mengangguk-angguk.
"Sekarang
giliranmu. Siapakah namamu?" Wanita yang bernama Ji Sun Bi itu bertanya.
"Namaku?
Namaku Hay."
"Hay
siapa...?"
"Yah,
Hay saja."
"She-mu
apa?"
Hay Hay
menggelengkan kepalanya. "Aku sendiri pun tidak tahu, Sun Bi," kata
Hay Hay, menyebut nama gadis itu begitu saja seakan-akan mereka sudah menjadi
kenalan lama, dan hal ini membuat Ji Sun Bi merasa senang sekali. Kalau pemuda
itu menyebutnya Enci (Kakak) misalnya, justru dia akan merasa tidak enak,
seolah-olah diingatkan bahwa dia lebih tua.
"Ahh,
mustahil orang tidak mengetahui she-nya sendiri! Siapa nama ayahmu?"
Hay Hay
menggeleng kepala, mengangkat pundak dan mengembangkan dua lengannya.
"Aku
sungguh tidak tahu. Aku tidak pernah mengenal ayah ibuku, sejak bayi aku dibawa
oleh orang lain dan sekarang aku sedang mencari orang tuaku. Aku tidak tahu she
apa. Namaku hanya Hay saja, begitulah."
"Lalu
aku harus menyebutmu bagaimana?"
"Ya,
sebut saja Hay, atau biasanya orang memanggil aku Hay Hay."
"Hay
Hay... hemmm, enak juga kedengarannya. Baiklah, Hay Hay. Sekarang kita sudah
benar-benar saling berkenalan dan menjadi sahabat. Secara kebetulan kita saling
bertemu di sini dan menjadi sahabat baik. Engkau datang dari mana dan hendak
pergi ke mana?"
"Aku
tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Sun Bi. Tadi sudah kukatakan bahwa
aku tengah mencari orang tuaku, setelah selama dua puluh tahun ini aku selalu
ikut orang lain. Aku belum tahu di mana adanya orang tuaku, juga apakah mereka
masih hidup. Aku hidup sebatang kara di dunia ini, tidak punya keluarga tidak
punya tempat tinggal. Ahh, tidak menarik. bukan? Lebih baik kita bicara tentang
dirimu, tentu lebih menarik."
"Aihh,
kasihan sekali engkau, Hay Hay," Sun Bi berkata dengan suara halus dan
nampak terharu, lalu tangannya diulur dan menyentuh lengan Hay Hay.
Tangan itu
terasa hangat dan halus, dan Hay Hay pun diam saja, hanya memandang ke tangan
yang memiliki jari-jari yang kecil mungil. Ingin dia tahu sampai di mana
besarnya kekuatan yang tersembunyi di dalam jari-jari tangan kecil mungil ini.
"Tidak
perlu dikasihani. Selama ini aku hidup cukup bahagia, setiap hari aku hidup di
alam bebas, bergembira melihat segala keindahan, burung-burung di udara,
binatang-binatang di hutan, kembang-kembang, air sungai yang jernih, wanita
yang manis seperti engkau. Bukankah semua itu menyenangkan? Sekarang
ceritakanlah, dari mana engkau datang dan hendak ke mana, Sun Bi?"
Ditanya
demikian, tiba-tiba wajah yang tadinya berseri itu menjadi murung dan gadis itu
sekarang menundukkan mukanya, lalu perlahan-lahan dua titik air mata menuruni
kedua pipinya. Dua butir air mata itu lalu dihapusnya dengan sehelai sapu
tangan sutera, dan terdengar wanlta itu berkata dengan suara yang penuh duka.
"Aihhh...
Hay Hay, aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia..."
Hay Hay
mengerutkan alisnya dan berusaha untuk menatap wajah itu penuh selidik. Akan
tetapi wajah itu menunduk terus. "Sun Bi, apakah yang sudah terjadi?
Mengapa engkau merasa sengsara?"
Dengan suara
sedih dan kadang-kadang mengusap air matanya, Sun Bi lantas bercerita.
"Aku adalah wanita yang paling sengsara, Hay Hay. Baru menikah beberapa
bulan saja, suamiku terserang penyakit berat sehingga meninggal dunia. Orang
tuaku dan mertuaku menganggap aku adalah orang yang membawa kesialan, karena
itu aku lalu diusir pergi. Demikianlah, aku merantau seorang diri, sebatang
kara, seperti juga engkau... hanya saja aku membawa kepedihan hati sebagai
seorang janda muda tanpa ada yang melindungi... tanpa ada yang menghibur
kedukaanku...,"
Sun Bi
segera menangis lagi, sekali ini tangisnya sesenggukan dan menyedihkan sekali.
Kedua tangannya dipergunakan untuk menutupi kedua matanya dan air mata
bercucuran melalui kedua tanganhya......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment