Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 27
Lam-hai
Siang-mo tadi roboh akan tetapi tidak terluka dan kini mereka berempat itu
saling pandang, timbul keberanian karena ditantang berempat maju bersama.
“Siapakah
engkau dan mengapa engkau memusuhi kami?” bentak Kwee Siong, kemarahan menutupi
kegelisahannya.
“Biarlah
kalain berempat mendengar agar tidak mati penasaran. Tentu kalian berempat
masih ingat ketika kalian bersama anak buah kalian mengeroyok Pak-kwi-ong dan
Tung-hek-kwi. Kalian menghasut orang-orang dusun itu untuk ikut mengeroyok
sehingga banyak orang dusun tewas, diantaranya adalah Ayah Bundaku! Nah, kini
kalian harus menebus kematian Ayah Ibuku itu dengan nyawa kalian!”
Tentu saja
empat orang itu masih ingat akan peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu
itu, mereka pernah memusuhi dua orang kakek iblis itu yang dahulu meninggalkan
mereka memperoleh Sing-tong. Bahkan dalam pengeroyokan itupun mereka gagal,
banyak anak buah mereka tewas di tangan dua orang kakek sakti itu.
Sebelum
mereka membantah atau menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara itu
seperti tikus terjepit, mencicit tinggi. Hek-hiat Mo-ko itu, telah maju
menghadapi Bi Lian. Sejenak ia berdiri berhadapan dengan Bi Lian, memandang
gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan berkali-kali mengeluarkan suara
memuji.
Hek-hiat
Mo-ko ini, biarpun cebol, memang terkenal pula mata keranjang dan cabul. Sejak
tadi dia sudah tertarik sekali dengan kemunculan Bi Lian yang demikian jelita,
manis dan gagah perkasa pula. Dia memandang kagum. Seorang gadis muda dan
cantik mampu mengalahkan Kui-kok-pangcu, sungguh bukan main hebatnya dan pantas
untuk menjadi isterinya! Dia memang belum mempunyai seorang isteri yang sah.
Melihat
munculnya Si Cebol yang memandangnya seperti hendak menelannya dengan sinar
matanya, Bi Lian mengerutkan alisnya.
“Manusia
sepotong siapakah engkau dan mau apa memandangku sambil cengar-cengir seperti
tikus?”
Bi Lian
sengaja memakainya tikus mengingat suara ketawanya yang seperti bunyi tikus
mencicit tadi.
Biarpun
dimaki, Hek-hiat Mo-ko tidak marah, bahkan tertawa mencicit lalu menjawab.
“Manis,
engkau sungguh cantik jelita dan engkau patut sekali menjadi isteriku! Aku,
biarpun begini, masih belum mempunyai isteri dan aku adalah Hek-hiat Mo-ko. Marilah,
Nona manis, hentikan kemarahanmu dan kita menyongsong hidup baru penuh
kenikmatan dan…”
“Tutup
mencongmu yang kotor”
Bi Lian
membentak dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang orang cebol itu.
Marahlah gadis ini sehingga serangannya ganas dan juga amat cepat.
Namun,
sebelum menghadapi gadis itu, Hek-hiat Mo-ko sudah mempelajari gerakan Bi Lian
dan jagoan ini maklum bahwa gadis itu selain memiliki tenaga sin-kang yang
dapat menandingi kekuatan Kui-kok-pangcu, juga memiliki gin-kang atau kecepatan
gerakan yang luar biasa, seperti seekor burung yang menyambar-nyambar.
Karena itu,
dia sudah bersiap siaga dan begitu gadis itu bergerak cepat, diapun mengerahkan
tenaga sinkangnya dan kini kedua telapak tangannya berubah hitam dan tercium
bau amis yang memuakkan!
Bi Lian
terkejut dan melangkah mundur menjauhi, akan tetapi Hek-hiat Mo-ko sudah
menyerang dengan cepat, kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam dada dan
muka. Bi Lian mengelak dan meloncat ke samping, akan tetapi ada hawa busuk yang
memuakkan menyambar sehingga hampir saja ia muntah, bau itu membuatnya pusing
sekali dan tahulah ia bahwa lawan ini tentu memiliki ilmu pukulan beracun yang
amat jahat! Iapun lalu mempercepat gerakannya dan kini ia berkelebatan
mengelilingi lawan, selalu mengelak dan menjauhi kedua tangan yang hitam itu,
dan membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan.
Hek-hiat Mo-ko
memiliki tingkat ilmu kepandaian yang masih lebih tinggi dari Kui-kok-pangcu.
Biarpun gadis itu berkelebatan di sekelilingnya dan mengirim balasan serangan
yang mendadak, namun dirinya dengan kedua tangan hitam itu.
Karena Bi
Lian tidak berani terlalu dekat, takut kalau menjadi pening dan roboh oleh bau
yang busuk, dan karena Hek-hit Mo-ko pandai melindungi dirinya, maka
perkelahian itu berlangsung cukup lama. Bagi Hek-hiat Mo-ko sendiri, tidak
mudah untuk dapat merobohkan lawan karena gerakan gadis itu memang terlampau
cepat baginya, bagaikan menyerang bayang-bayang saja.
Setelah
lewat hampir lima puluh jurus, tiba-tiba Hek-hiat Mo-ko mengeluarkan suara
mencicit tinggi dan kini dari mulutnya juga keluar uap menghitam yang baunya
lebih busuk lagi.
Bi Lian
terkejut ketika disambar oleh hawa busuk yang keluar dari kedua tangan dan dari
mulut. Lawan itu sengaja meniupkan hawa busuk itu, mengarah mukanya sehingga
repotlah gadis itu menyelamatkan diri dengan mengandalkan kelincahannya. Maklum
bahwa ia terancam bahaya, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara melengking
yang bukan saja mengejutkan lawan, bahkan mengejutkan seluruh tamu yang hadir
karena lengkingan itu mengandung getaran yang mengguncangkan jantung mereka.
Cepat mereka
mengerahkan sing-kang untuk melindungi tubuh bagian dalam. Tidak mengherankan
kalau suara ini menggetarkan jantung karena gadis itu telah mengerahkan tenaga
khikang yang disebut Pek-houw Ho-kang (Suara Gerengan Harimau Putih) yang
dipelajarinya dari Tung-hek-kwi).
Yang paling
hebat menderita karena gerengan ini adalah Hek-hiat Mo-ko sendiri yang diserang
secara lagnsung! Seketika tubuhnya terhuyung dan cepat dia meloncat ke belakang
ketiak Bi Lian menampar mukanya. Akan tetapi, kagetlah hati iblis ini ketika
dia melihat tangan gadis itu tetap saja mengejarnya dan tak dapat dihindarkan
lagi, dalam keadaan terhuyung oleh pengaruh suara, tangan gadis yang terus
mengejarnya itu berhasil manampar pipinya. Lengan tangan itu dapat mulur dan
terus mengejar sehingga tamparannya tepat mengenai sasaran.
“Plakk!”
Pipi itu
menjadi matang biru karena tamparan yang keras dan Hek-hiat Mo-ko
menyumpah-nyumpah sambil meludahkan dua buah gigi yang copot! Pada saat suara
lengkingan gadis itu terhenti, terdengarlah suara melengking yang jauh lebih
kuat dari lengkingan yang dikeluarkan Bi Lian akan tetapi lebih parau.
“Hebat…
hebat….!”
Tiba-tiba
saja Kulana, bangsawan Birma yang tadi hanya menonton sambil tersenyum dan
matanya memandang kagum kepada Bi Lian, kini sudah berada di depan gadis itu.
Bi Lian memandang penuh perhatian dan dapat menduga bahwa tentu orang ini
adalah seorang asing, dapat dilihat dari pakaiannya dan sorban di kepalanya.
***************
“Pergilah
engkau, orang asing! Aku tidak mempunyai urusan denganmu!”
Bi Lian
membentak. Hatinya marah bukan main karena tidak disangkanya, di tempat itu
setelah berhasil menemukan empat orang musuh besarnya, ternyata terdapat banyak
sekali orang pandai yang membela empat orang musuhnya itu.
Akan tetapi,
orang asing yang anggun dan berwibawa itu hanya tersenyum, sepasang matanya
yang lebar itu mengeluarkan sinar aneh yang membuat Bi Lian merasa ngeri.
“Nona, tidak
baik menurutkan perasaan amarah. Mengapa kita tidak bersahabat saja dan bicara
dengan baik-baik? Namaku Kulana, Nona, dan aku pernah menjadi seorang pangeran
Kerajaan Birma, seorang bagsawan yang tidak suka akan kekerasan. Nona yang
baik, bolehkah aku tahu siapa nama Nona yang terhormat?”
Terjadi
keanehan pada diri Bi Lian. Tiba-tiba saja semua kemarahannya lenyap dan ia
menjadi lemas, tertarik oleh sikap manis itu dan seperti di luar ksadarannya
sendiri iapun membalas penghormatan Kulana yang membungkuk kepadanya dan
menjawab dengan suara halus.
“Aku bernama
Cu Bi Lian.”
“Cu Bi Lian,
sebuah nama yang indah dan sungguh pantas kalau nama itu dirobah menjadi Nyonya
Kulan. Tidakah kau juga berpendapat demikian, Nona Bi Lian?”
Terkejut
hati Bi Lian mendengar ucapan yagn halus namun jelas bermaksud tidak sopan itu,
akan tetapi lebih terkejut lagi ketika ia mendapatkan dirinya sendiri
mengangguk membenarkan! Seketika iapun dapat menduga bahwa ada kekuatan aneh
yang memaksanya bersikap lunak, maka iapun cepat mengeluarkan suara melengking,
mengerahkan khi-kangnya dan kekuatan sihir yang dilakukan Kulana dan yang sudah
mempengaruhi dirinya tadi seketika membuyar!
Kulan adalah
seorang yagn pandai sihir, terutama dalam hal menguasai segala macam ular.
Kekuatan sihirnya yang tadi membuat Bi Lian menjadi lembut dan lemah, akan
tetapi setelah kekuatan itu buyar oleh lengkingan Bi Lian, gadis ini sadar
sepenuhnya bahwa ia tadi telah memperlihatkan sikap yang tidak sewajarnya!
Marahlah ia karena sudah yakin bahwa orang Birma di depannya ini tadi
mempergunakan sihir.
“Tak perlu
banyak cakap, minggirlah!” bentaknya dan iapun menerjang ke depan, mendorong
dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
Serangan ini
hebat sekali dan angin besar menyambar ke arah Kulan. Akan tetapi, orang ini
tenang-tenang saja, merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya sampai hampir
berjongkok dan diapun mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan
Bi Lian.
“Desss …!”
Hebat sekali
pertemuan tenaga ini karena Bi Lian mengerahkan sebagian besar tenaganya dan
akibatnya, tubuh Kulan bergoyang-goyang akan tetapi Bi Lian terpaksa mundur dua
langkah!
Diam-diam
gadis ini terkekut sekali. Tak disangkanya orang asing ini bahkan lebih kuat
daripada semua lawannya tadi. Juga Kim San Ketua Kui-kok-pang yang tadi
memandang rendah orang Birma itu, kini terbelalak kagum dan mukanya berubah
merah. Baru dia tahu bahwa orang Birma itu selain kaya raya, juga ternyata
memiliki ilmu kepandaian yang agaknya jauh lebih tinggi daripadanya.
Maklum akan
kekuatan lawan, Bi Lian kini menerjang maju dan mengerahkan gin-kangnya yang
istimewa sekali. Namun, lawannya bergerak dengan tenang sekali, bahkan
gerakannya nampak lambat, namun anehnya, Bi Lian tidak melihat lowongan yang
dapat diserang dan setiap kali ia menyerang, selalu dapat dielakkan atau
bertemu dengan tangkisan.
Bagaimanpun
juga, karena kecepaan gadis itu, Kulan juga tidak berdaya, tidak mempunyai
kesempatan sama sekali untuk balas menyerang melainkan hanya melindungi dirinya
dengan ilmu ilat bertahan yang amat kokoh kuat dan rapat sekali. Akan tetapi,
tiba-tiba Kulan mengeluarkan kata-kata aneh yang tidak dimengerti oleh Bi Lian,
lalu disambung ucapan yang amat halus dan berwibawa.
“Nona,
tidakkah engkau sudah lelah sekali? Mengasolah dan jangan memaksa diri
mengerahkan kekuatan, aku tidak ingin menyusahkanmu….”
Sungguh aneh
sekali, tiba-tiba saja Bi Lian merasa betapa tubuhnya lelah bukan main, matanya
mengantuk dan ia membayangkan betapa akan nikmatnya kalau ia boleh mengaso!
Akan tetapi, begitu gerakannya melambat, tiba-tiba saja jari tangan Kulan,
berhasil menyentuh dadanya. Ia terkejut dan mengeluarkan suara lengkingan
panjang dan buyarlah semua pengaruh yang membuatnya lelah dan mengantuk tadi.
Wajah gadis itu menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Orang asing
itu secara kurang ajar telah menyentuh buah dadanya!
Tiba-tiba
terdengar lengkingan nyaring menyambut lengkingan yang dikeluarkan Bi Lian dan
tiba-tiba saja di situ muncul dua orang kakek yang sudah tua sekali. Seorang
kakek yang perutnya gendut sekali sehingga tubuhnya seperti bola saja, kulitnya
kuning mulus dan kepalanya botak. Bajunya di bagian dada terbuka, meperlihatkan
dada dan sebagaian perutnya yang gendut. Dia nampak lebih dulu,
tersenyum-senyum, memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. Dia
sungguh seperti seorang bayi montok yang besar!
Orang ke
dua, juga kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih, sebaliknya
bertubuh tinggi besar menyeramkan, mukanya penuh brewok, kulitnya hitam seperti
arang. Dia tidak tersenyum seperti kakek gendut, melainkan dengan sikap angker
memandang ke arah Kulan, kemudian tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, tangannya
mencengkeram ke arah orang Birma itu!
Kulana
terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi tangan itu terus mulur dan berhasil
mencengkeram leher bajunya bagian belakang dan Kulana merasa tubuhnya terangkat
naik!
Orang Birma
ini cukup lihai, maka diapun menyerang dengan totokan jari tangannya ke arah
siku lengan yang mencengkeram leher bajunya. Totokan ini kuat sekali. Hal ini
agaknya disadari oleh kakek tinggi besar yagn segera mengayun tubuh itu dan
melepaskan pegangannya. Tubuh Kulana melayang ke atas dan tentu akan terbanting
jatuh kalau saja dia tidak cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuh itu berjungkir
balik beberapa kali kemudian meluncur turun dan dia sudah jatuh dengan empuk,
duduk kembali di atas kursinya yang tadi.
“Hemmm….!”
Kakek tinggi
besar mengangguk-angguk, tanda bahwa dia mengagumi kepandaian orang Birma itu.
Sementara
itu, melihat munculnya dua orang kakek ini, sebagian besar diantara mereka
terkejut bukan main. Mereka mengenal dua orang kakek itu. Yang gundut bundar
adalah Pak-kwi-ong, datuk sesat dari Utara, sedangkan orang tinggi besar
berkulit hitam adalah Tung-hek-kwi, datuk sesat dari Timur.
Mereka
inilah Lam-hai Giam-lo sebagai susiok (paman guru) karena mereka adalah dua
orang diantara Empat Setan, adapaun dua yang lain, Lam-kwi-ong Datuk Selatan
guru Lam-hai Giam-lo, dan See-kwi-ong datuk Barat, keduanya sudah lama
meninggal dunia. Melihat munculnya kedua orang susioknya itu, Lam-hai Giam-lo
juga terkejut akan tetapi juga merasa girang. Cepat dia melangkah maju dan
menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu.
“Susiok
Pak-kwi-ong dan Susiok Tung-hek-kwi, teecu (murid) Kin Cung menghaturkan hormat
dan selamat datang!”
Suaranya
yang seperti tingkik kuda itu terdengar merendah, tidak seperti biasanya yang
selalu terdengar angkuh. Kini semua orang terkejut. Mereka yang belum pernah
bertemu dengan dua orang kakek itu, tentu saja pernah mendengar nama mereka
sebagai dua orang di antara Empat Setan, datuk sesat yang tinggi tingkatnya.
Mereka sudah merasa sungkan dan hormat kepada Lam-hai Giam-lo dan kini mereka
melihat betapa bengcu itu begitu merendahkan diri terhadap dua orang kakek itu.
Pak-kwi-ong
dan Tung-hek-kwi memandang kepada oang yang berlutut di depan mereka itu, dan
Pak-kwi-ong terkekeh.
“Heh-heh-heh,
sungguh lucu. Aku tidak pernah mengenal orang bernam Kin Cung. Engkau
bagaimana, Setan Hitam (Hek Kwi), apakah engkau mempunyai seorang keponakan
seperti kuda ini?”
Tung-hek-kwi
tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.
“Susiok,
teecu adalah murid mendiang Suhu Lam Kwi Ong.” Kata Lam-hai Giam-lo
cepat-cepat.
Kembali dua
orang kakek tua renta itu memandang kepadanya, sekali ini lebih memperhatikan.
“Aha,
kiranya engkau yang berjuluk Lam-hai Giam-lo itukah? Tanya Pak-kwi-ong.
“Benar,
Susiok.”
“Dan engkau
mengumpulkan orang-orang pandai disini untuk apakah?” tanya pula Pak-kwi-ong
sambil memandang kepada orang-orang yang duduk di tempat itu.
“Kebetulan
sekali. Susiok. Kami sedang mengadakan rapat untuk membentuk suatu persekutuan
antara golongan sendiri, untuk melanjutkan sepak terjang Suhu dan Susiok
bertiga, mengangkat kembali derajat golongan kita, dan teecu mereka pilih
sebagai Bengcu.”
Dua orang
kakek itu saling pandang dan bahkan Tung-hek-kwi yang selalu nampak galak itu
mengangguk-angguk dan sinar matanya kelihatan senang. Pak-kwi-ong merasa
gembira sekali mendengar itu.
“Bagus sekali!
Ah, senang hatiku mendengar ini, Lam-hai Giam-lo”
“Harap Ji-wi
Susiok sudi mengambil tempat duduk dan….”
“Suhu berdua
ini bagaimana sih!” Tiba-tiba Bi Lian mencela kedua orang gurunya, berdiri di
tanah antara mereka dan bertolak pinggang. “Aku sudah menemukan
pembunuh-pembunuh orang tuaku. Lihat merekalah orangnya. Dua pasang suami
isteri iblis, Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan! Tadi
akan kubunuh, akan tetapi orang-orang disana membela mereka dan Suhu kini
beramah tamah dengan mereka!”
Mendengar
teguran murid yang disayangnya itu, Tung-hek-kwi mengerukan alisnya dan matanya
terbelalak, mendelik mencari-cari.
“Mana
orangnya yang berani mengganggumu, biar kuhancurkan kepalanya!”
Semua orang
menjadi gentar melihat sikap raksasa tua hitam itu. Akan tetapi Pak-kwi-ong
tertawa dan suaranya terdengar lantang.
“Ha-ha-heh-heh.
Setan Hitam, jangan begitu! Kita berada diantara orang-orang sendiri! Lihat
betapa keponakan kita berusaha membangun kembali kekuasaan golongan kita yang
sudah runtuh. Apa yang dialami murid kita hanyalah merupakan kesalah pahaman
belaka. Akan tetapi, mengadu ilmu merupakan cara berkenalan yang amat baik!”
“Suhu …..!”
Bi Lian merajuk.
“Sssst, Bi
Lian. Dengarlah baik-baik.” Kata kakek gendut itu. “Lam-hai Giam-lo ini adalah
murid Lam-kwi-ong, saudara tuaku. Dia masih terhitung suhengmu sendiri dan kita
berada di antara teman-teman sendiri.”
“Akan tetapi
dua pasang suami isteri itu….”
“Sudahlah.
Merekapun teman-teman dan orang-orang sendiri. Memang pernah mereka itu tidak
tahu diri berani menentang kami berdua, akan tetapi merekapun sudah merasakan
pahitnya. Nah, urusan sudah habis sampai disini saja.”
“Tapi orang
tuaku…..”
“Mereka
tewas karena suatu pertempuran dimana mereka berada di tengahnya, anggap saja
kecelakaan!” kata pula Pak Kwi Ong.
Lam-hai
Giam-lo lalu menjura kepada Bi Lian.
“Kiranya
Nona ini adalah Sumoiku sendiri? Aih, Sumoi. Akulah yang memintakan maaf atas
sikap teman-teman kita ini karena belum mengenalmu. Kalau aku tahu bahwa engkau
murid kedua Sesiokku, mana kami berani bersikap kurang ajar?”
Lam-hai
Sing-mo dan suami istri Guha Iblis Pantai Selatan juga merupakan orang-orang
yang cerdik. Mereka tadi sudah ketakutan sekali melihat munculnya dua orang
kakek itu, akan tetapi mendengar ucapan Pak Kwi Ong, lalu melihat sikap Lam-hai
Giam-lo, mereka berempat segera maju dan menjura kepada Pak Kwi Ong dan Tung
Hek Kwi.
“Ji-wi
Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah) memang benar. kami orang-orang bodoh telah
melakukan kesalahan dimasa lampau, dan sudah kami tebus dengan kematian banyak
teman, harap Ji-wi sudi melupakan hal itu. Dan Nona Cu, kami bersumpah tidak
pernah membunuh orang tuamu.”
Bi Lian
menjadi bingung. Memang empat orang ini tidak membunuh orang tuanya, yang
membunuh adalah Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi yang sudah menjadi gurunya.
Kematian orang tuanya memang terjadi karena adanya perkelahian antara mereka
dan orang tuanya tewas di tangan kedua orang gurunya. Akan tetapi, kedua orang
gurunya tidak sengaja membunuh orang tuanya karena urusan pribadi. Orang tuanya
hanya terbawa saja dan menjadi korban. Ia menjadi bingung dan ketika tangannya
ditarik oleh Pak Kwi Ong, iapun menurut saja.
***************
Lam-hai
Giam-lo sibuk memperkenalkan para tamunya kepada dua orang kakek itu yang duduk
di tempat kehormatan. Para tamu itu satu demi satu memberi hormat kepada Pak
Kwi Ong dan Tng Hek Kwi sebagai orang dari tingkatan lebih tua, diterima oleh
dua orang kakek itu dengan gembira karena mengingatkan mereka akan masa dahulu
ketika mereka masih menjadi datuk yang dihormati dan disegani seluruh tokoh
kang-ouw.
Bi Lian yang
duduk di sebelah Pak Kwi Ong, diam saja, hanya memperhatikan mereka yang
diperkenalkan satu demi satu. Ketika Kulana yang lihai itu diperkenalkan, ia
memandang penuh perhatian, akan tetapi ia menunduk ketika pria itu memandangnya
denga sinar mata yang haus.
”Dan ini
adalah murid teecu, namanya Pek Eng.”
Kata Lam-hai
Giam-lo memperkenalkan muridnya sebagai orang terakhir. Pek Eng berlutut
memberi hormat kepada susiok-couwnya, kakek paman guru itu. Ketika
diperkenalkan kepada Bi Lian, dua orang gadis itu saling pandang. Pek Eng
memandang dengan kagum karena tadi ia udah menyaksikan betapa lihainya gadis
cantik itu yang mampu menandingi tokoh-tokoh lihai, sebaliknya Bi Lian
memandang Pek Eng dengan alis berkerut. Diam-diam menyayangkan bahwa seorang
gadis seperti Pek Eng berada diantara orang-orang seperti itu. Akan tetapi,
pikiran ini ditekannya sendiri ketika ia teringat bahwa ia sendiripun menjadi
murid dua orang datuk sesat!
Kulana minta
bicara empat mata dengan Lam-hai Gaim-lo dan mereka berdua masuk ke kamar
sebelah sedangkan dua orang kakek tua renta itu dijamu dengan hidangan-hidangan
yang lezat dan arak yang harum. Bi Lian juga ikut makan, akan tetapi hanya
makan sedikit, tidak selahap kedua orang gurunya.
Kulana lalu
keluar dan diapun minta diri, pamit hendak pulang lebih dulu. Kepada Pak Kwi
Ong dan Tung Hek Kwi yang duduk semeja denga Bi Lian, dia memberi hormat dan
berkata.
“Saya mohon
sudi kiranya kedua Locianpwe dan juga Nona Cu mengadakan waktu untuk berkunjung
ke rumah saya.”
Bi Lian
cemberut saja sedangkan dua orang gurunya mengangguk-angguk. Orang Birma itupun
pergi, membuat para tamu lainnya diam-diam merasa bingung. Pertemuan itu sedang
berlangsung, hanya terganggu kemunculan Bi Lian dan dua orang gurunya,
pembicaraan mereka belum selesai, akan tetapi mengapa orang Birma yang menjadi
orang penting dalam persekutuan ini telah pulang terlebih dahulu?
Setelah
mengajak para tamunya makan minum bersama dua orang paman gurunya, Lam-hai
Giam-lo melanjutkan pembicaraan mereka yang terputus tadi. Lebih dulu dia
menerangkan kepada dua orang kakek itu tentang apa yang baru saja mereka
bicarakan, tentang persekutuan antara golongan yang mereka bentuk.
“Untuk
memudahkan mengatur persekutuan ini, kawan-kawan mengangkat teecu menjadi
Bengcu.” Demikian Lam-hai Giam-lo menghentikan keterangannya.
“Ilmu
kepandaian tinggi seperti dua pasang suami isteri itu, Min-san Mo-ko, Ji-Sun
Bi, bahkan Saudara Sim Ki Liong ini yang biarpun masih muda akan tetapi telah
memiliki ilmu kepandaian yang paling hebat diantara mereka, menjadi
pembantu-pembantu teecu. Juga para tokoh Pek-lian-kauw menjadi pembantu-pembantu
luar yang boleh diandalkan karena selain memiliki banyak orang pandai, juga
memiliki anak buah yang banyak dan kuat. Para saudara yang hari ini menjadi
tamu adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari berbagai penjuru, dan mereka sudah
menyatakan setuju. Adapaun Saudara Kulana tadi, adalah seorang yang amat
pandai, baik ilmu silat maupun ilmu perangnya, selain itu juga amat kaya raya,
dan diapun menyatakan persetujuannya. Karena itu, setelah Ji-wi Susiok datang,
kami mohon sudilah Ji-wi suka menjadi penasihat kami.”
Apalai Bi
Lian, karena ia yang telah memiliki tingkat yang tinggi dapat mengenal ilmu
silat indah dan kuat, juga yang mengandung tenaga sin-kang yang dahsyat!
Setelah memainkan San-in Kun-hoat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang selama
belasan jurus, tiba-tiba saja Ki Liong mengubah geraknnya dan kini dia
memainkan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).
Sungguh jauh
bedanya dengan ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung) tadi yang lambat
dan mantap, kini Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dimainkan dengan pengerahan
gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya berkelebatan dan berputaran
seolah-olah dia menyerang dari delapan penjuru! Anginpun bertiup dan
mengeluarkan suara riuh. Ketika pemuda itu mengerahkan Ilmu Pek-in-ciang
(Tangan Awan Putih) maka dari kedua telapak tangan ketika dia mendorong,
keluarlah uap putih menyambar-nyambar.
Bi Lian
makin kaget dan kagum. Bukan main, pikirnnya. Pemuda ini ternyata tidak membual
dan menghadapi seorang pemuda yang memiliki tingkat ilmu silat seperti itu, ia
sendiri merasa sangsi apakah ia akan mampu menandinginya!
Pek Eng juga
kagum sekali dan gadis ini bertepuk tangan memuji.
“Hebat
sekali ilmu silatmu, Sim-kongcu!” katanya.
Ia ikut
menyebut “kong-cu” karena gurunya, Lam-hai Giam-lo dan juga para pembantunya
juga menyebut koncu kepada pemuda itu. Mendengar sebutan ini, Bi Lian
mengerutkan alisnya dan Ki Liong juga merasa betapa sebutan itu terlalu
menghormat untuknya.
“Aih, Nona
Pek Eng, mengapa menyebut aku kongcu? Namaku Sim Ki Liong, dan aku lebih tua
darimu. Bagaimana kalau menyebut aku kaka saja?” katanya.
Pek Eng
tersenyum gembira.
“Engkau
sendiri menyebut aku Nona! Kalau aku menyebut Toako kepadamu, engkaupun harus
menyebut aku adik!”
Ki Liong
tersenyum, merasa bahwa dia telah mendapat kemenangan, dapat membuat Pek Eng
bersikap ramah kepadanya.
“Baiklah,
Eng-moi (Adik Eng), dan jangan engkau terlalu memujiku, jangan-jangan kepalaku
akan kemasukan angin dan mengembung lalu meledak oleh pujianmu!”
Mendengar
ucapan ini, Pek Eng tertawa dan Bi Lian juga tersenyum. Bagaimanapun juga,
pemuda ini amat menyenangkan memang, menarik hati sekali. Sopan, ramah, dan
pandai membawa diri, halus dan rendah hati.
“Saudara Sim
Ki Liong, engkau adalah murid pendekar sakti yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi, akan tetapi kenapa engkau bersekutu dengan orang-orang seperti…. Kita,
dari golongan hitam?”
Ditanya
demikian, Sim Ki Liong terkejut, akan tetapi hal ini tidak diperlihatkannya dan
dengan cerdik diapun menjawab.
“Nona Cu Bi
Lian, agaknya pertanyaan seperti itu dapat juga ditujukan kepadamu atau kepada
Eng-Moi, bukan? Kita masing-maisng memiliki alasan pribadi untuk mengambil
jalan hidup kita. Dan aku bersekutu dengan Lam-hai Giam-lo Bengcu karena selain
aku mengagumi kepandaiannya, juga karena aku bermusuhan dengan seorang diantara
para pendekar sehingga tak mungkin bagiku bergabung dengan mereka.”
Percakapan
sudah mulai akrab, akan tetapi tiba-tiba muncul Ji Sun Bi di tempat itu,
melihat betapa Ki Liong bercakap-cakap dengan dua orang gadis cantik itu dengan
sikap demikian akrabnya, tentu saja Ji Sun Bi merasa tidak senang dan cemburu.
Ki Liong adalah kekasih barunya yang amat dicintainya karena pemuda itu adalah
seorang jantan yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi darinya sehingga
dapat mendatangkan kepuasan yang tak terbatas padanya. Kini melihat betapa
kekasihnya itu bercakap-cakap dengan dua orang gadis muda yang cantik jelita,
dalam suasan demikian akrabnya, tentu saja ia merasa khawatir dan cemburu.
“Sim-kongcu,
teman-teman menunggu untuk merundingkan hal yang penting sekali. Marilah!”
katanya tanpa memandang kepada dua orang gadis itu.
Biarpun ia
cemburu dan marah, namun tentu saja ia tidak berani memperlihatkan sikap tidak
senang kepada dua orang gadis itu. Yang seorang adalah murid bengcu, sedangkan
yang ke dua adalah sumoi bengcu, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang amat
hebat!
Melihat
munculnya Ji Sun Bi dan mendengar ucapan itu, Ki Liong tidak ingin wanita itu
membuat ribut, maka diapun menjura dengan sikap hormat kepada Pek Eng dan Bi
Lian.
“Eng-moi,
Nona Cu, maafkan aku. Agaknya mereka itu ingin merundingkan sesuatu yang penting
dengan aku. Sampai lain waktu!”
Sambil
tersenyum manis diapun pergi meninggalkan dua orang gadis itu, bersama Ji Sun
Bi yang menunggunya.
Setelah
pemuda itu pergi, Pek Eng manarik napas panjang.
“Aihh, dia
seorang pemuda yang hebat….”
Bi Lian menjebi.
“Huh,
berhati-hatilah terhadap seorang pria yang begitu halus budi dan manis tutur
sapanya. Orang seperti itu pandai merayu dan siapa tahu hatinya palsu.”
Pek Eng
menarik napas panjang.
“Bagaiamanapun
juga, dia sungguh pandai, dan sikapnya rendah hati, hemm, mengingatkan aku
kepada Hay-ko…”
“Eh? Siapa
itu Hay-ko (Kakak Hay)?” Bi Lian bertanya.
“Hay-ko ya
Hay-ko, namanya Hay Hay…”
“Hay Hay….?”
Tentu saja
Bi Lian terkejut karena pemuda yang bernama Ha Hay itu pernah membuat ia tak
dapat tidur karena selalu tekenang kepadanya.
“Ya, namanya
Hay dan shenya kalau tidak salah, she Tang. Akan tetapi dia selalu mengaku
bernama Hay Hay, tak pernah menyebutkan shenya. Apakah engkau pernah
mengenalnya, Enci Lian?”
Bi Lian
menggeleng kepala.
“Tidak,
mengapa?”
“Ah, sudah
lama aku mencarinya. Juga mencari kakakku yang bernama Pek Han Siong, akan tetapi
tak berhasil menemukan mereka dan akhirnya malah aku ditawan oleh Lam-hai
Sing-mo dan akhirnya malah aku dibawa oleh Lam-hai Siang-mo dan dibawa kesini.
Untung Bengcu baik dan mau menerimaku sebagai muridnya, Enci.”
Bi Lian
mengerutkan alisnya. Nasib gadis ini mirip dengan nasib dirinya. Tanpa
disengaja terjatuh ke tangan golongan sesat. Ia sendiri kini menjadi murid dua
orang datuk sesat yang paling tingi kedudukannya! Padahal dahulu, ia hanya
puteri suami isteri dusun dan sudah mempunyai dua orang guru, yaitu sepasang
suami isteri yang bertapa di dalam Kuil Siauw-lim-si dan kabarnya merupakan
sepasang pendekar sakti.
Ia masih
ingat akan nama dua orang gurunya itu, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
Dan anehnya, ia pernah bertemu dengan Hay Hay, juga gadis ini. Akan tetapi,
pertemuannya itu tidak perlu ia beritahukan Pek Eng.
“Kakakmu
itu, kemana perginya, Adik Eng?”
Pek Eng
menarik napas panjang. Begitu bertemu dengan Bi Lian, ia sudah tertarik, kagum
dan suka sekali. Gasi ini demikian lihainya sehingga mampu mengalahkan hampir
semua pembantu gurunya. Entah berapa kali lipat tingkat kepandaiannya sendiri!
“Aih,
Kakakku itu semenjak kecilnya sudah dihebohkan orang, Enci Lian. Ketika baru
terlahir, menurut penuturan orang tuaku, dia telah diperebutkan oleh
orang-orang sakti di seluruh dunia….”
“Ehhh…..?
“Benar, Enci
Lian. Kakakku itu sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan, sudah diramalkan
oleh para pendeta La-ma di Tibet sebagai Sing-tong, seorang calon Dalai Lam
Agung! Ketika dia terlahir, maka dia diperebutkan!”
“Ahh!
Kiranya dia…?”
“Engkau
tahu, Enci?”
“Pernah aku
mendengar dari kedua orang Guruku. Lalu sekarang dia berada dimana, Eng-moi?”
”Entahlah.
Aku sedang mencarinya. Ketika aku dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak
kusuka, aku lalu lari untuk mencari kakakku itu, dan mencari Hay-ko yang amat
baik kepadaku.”
Bi Lian
menarik napas panjang.
“Pengalamanmu
sungguh aneh, Adik Eng. Mudah-mudahan engkau akan dapat bertemu dengan Kakakmu
atau dengan orang yang bernama Hay Hay itu. Oya, hubungan apakah antara engkau
dan Hay Hay itu?”
Pandang mata
Bi Lian penuh selidik, dan ia merasa betapa hatinya tidak enak. Mengapa ia
merasa cemburu?
“Dia pernah
datang ke rumah kami, Enci, untuk mempertanyakan dirinya. Ketahuilah bahwa di
waktu masih bayi, pernah Kakakku disembunyikan oleh Kakek Buyut karena takut
dicuri oleh pra pendeta Lama dan sebagai gantinya Hay Hay itulah yang
dipelihara orang tuaku. Akan tetapi ketika masih bayi, diapun diculik orang!
Nah, setelah dewasa, dia datang untuk bertanya kepada keluarga kami, siapa
dirinya yang sebenarnya. Wah, dia lihai bukan main, Enci. Ilmunya… wah, selangit
deh!”
***************
Makin tak
enak rasa hati Bi Lian mendengar betapa gadis ini memuji-muji Hay Hay.
“Bagaimana
kau bisa tahu?”
“Dia
menghadapi para pendeta Lama yang menyerbu kami dan dia mempermainkan para
pendeta Lama itu seperti anak kecil saja. Dan aku… aku telah mencium pipinya…”
“Ihh!”
Hampir saja
tangan Bi Lian menampar pipi Pek Eng, akan tetapi ditahannya dan sebaliknya ia
memandang dengan mata terbelalak dan muka merah.
“Engkau tak
tahu malu, mengaku begitu!” bentaknya
Pek Eng
tersenyum.
“Jangan
salah sangka, Enci. Tadinya, karena dia mengaku sebagai Pek Han Siong di depan
para pendeta Lama itu, tentu saja aku mengira dia kakak… kandungku yang sudah
lama kurindukan, maka saking girangnya aku mencium pipinya. Eh, ternyata
kemudian dia bukan kakakku. Hati siapa tidak menjadi marah dan jengkel, juga
malu?”
Mendengar
ini, mau tidak mau Bi Lian tersenyum, akan tetapi tetap saja ia merasa tidak
senang.
Pada saat
itu muncul Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kemunculan mereka mengejutkan Pek Eng
karena tahu-tahu mereka telah berada disitu dan iapun baru tahu mereka muncul
ketika Bi Lian membalikkan tubuh menegur mereka.
“Suhu berdua
mencari aku?” tanya Bi Lian sambil menoleh dan baru Pek Eng melihat mereka.
Bergidik
dara ini melihat dua orang aneh itu. Si Gendut Bulat kepala botak itu
menyeringai terus, sedangkan raksasa tinggi besar brewok hitam itu cemberut
terus. Mereka seperti bukan manusia melainkan iblis-iblis jahat. Gurunya
sendiri, Si Muka Kuda, tidaklah begitu menyeramkan seperit dua orang guru dari
Bi Lian ini.
“Bi Lian,
mari ikut dengan kami. Kita memenuhi undangan Kulana, hendak kita lihat orang
macam apa adanya dia.” Kata Pak Kwi Ong.
Bi Lian
mengerutkan alisnya. Ia tadi sudah merasakan kelihaian Kulana dan ia curiga
kepada orang itu. Akan tetapi dua orang gurunya pasti akan mampu menghadapi
mereka, dan iapun ingin mengenal lebih dekat orang macam apa sebenarnya tokoh
Birma yang aneh itu.
Ia
mengangguk dan meninggalkan Pek Eng, mengikuti kedua orang kakek itu keluar
dari taman. Sekali berkelebat tiga orang guru dan murid itupun lenyap dan Pek
Eng menjadi bengong, kagum bukan main. Ia berjanji pada diri sendiri akan
belajar dengan giat dari Lam-hai Giam-lo agar memiliki ilmu kepandaian setinggi
Bi Lian......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment