Thursday, September 27, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Mata Keranjang Jilid 27



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
    Serial Pendekar Mata Keranjang

              Jilid 27


Lam-hai Siang-mo tadi roboh akan tetapi tidak terluka dan kini mereka berempat itu saling pandang, timbul keberanian karena ditantang berempat maju bersama.

“Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi kami?” bentak Kwee Siong, kemarahan menutupi kegelisahannya.

“Biarlah kalain berempat mendengar agar tidak mati penasaran. Tentu kalian berempat masih ingat ketika kalian bersama anak buah kalian mengeroyok Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Kalian menghasut orang-orang dusun itu untuk ikut mengeroyok sehingga banyak orang dusun tewas, diantaranya adalah Ayah Bundaku! Nah, kini kalian harus menebus kematian Ayah Ibuku itu dengan nyawa kalian!”

Tentu saja empat orang itu masih ingat akan peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu itu, mereka pernah memusuhi dua orang kakek iblis itu yang dahulu meninggalkan mereka memperoleh Sing-tong. Bahkan dalam pengeroyokan itupun mereka gagal, banyak anak buah mereka tewas di tangan dua orang kakek sakti itu.

Sebelum mereka membantah atau menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara itu seperti tikus terjepit, mencicit tinggi. Hek-hiat Mo-ko itu, telah maju menghadapi Bi Lian. Sejenak ia berdiri berhadapan dengan Bi Lian, memandang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan berkali-kali mengeluarkan suara memuji.

Hek-hiat Mo-ko ini, biarpun cebol, memang terkenal pula mata keranjang dan cabul. Sejak tadi dia sudah tertarik sekali dengan kemunculan Bi Lian yang demikian jelita, manis dan gagah perkasa pula. Dia memandang kagum. Seorang gadis muda dan cantik mampu mengalahkan Kui-kok-pangcu, sungguh bukan main hebatnya dan pantas untuk menjadi isterinya! Dia memang belum mempunyai seorang isteri yang sah.

Melihat munculnya Si Cebol yang memandangnya seperti hendak menelannya dengan sinar matanya, Bi Lian mengerutkan alisnya.

“Manusia sepotong siapakah engkau dan mau apa memandangku sambil cengar-cengir seperti tikus?”

Bi Lian sengaja memakainya tikus mengingat suara ketawanya yang seperti bunyi tikus mencicit tadi.

Biarpun dimaki, Hek-hiat Mo-ko tidak marah, bahkan tertawa mencicit lalu menjawab.
“Manis, engkau sungguh cantik jelita dan engkau patut sekali menjadi isteriku! Aku, biarpun begini, masih belum mempunyai isteri dan aku adalah Hek-hiat Mo-ko. Marilah, Nona manis, hentikan kemarahanmu dan kita menyongsong hidup baru penuh kenikmatan dan…”

“Tutup mencongmu yang kotor”

Bi Lian membentak dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang orang cebol itu. Marahlah gadis ini sehingga serangannya ganas dan juga amat cepat.

Namun, sebelum menghadapi gadis itu, Hek-hiat Mo-ko sudah mempelajari gerakan Bi Lian dan jagoan ini maklum bahwa gadis itu selain memiliki tenaga sin-kang yang dapat menandingi kekuatan Kui-kok-pangcu, juga memiliki gin-kang atau kecepatan gerakan yang luar biasa, seperti seekor burung yang menyambar-nyambar.

Karena itu, dia sudah bersiap siaga dan begitu gadis itu bergerak cepat, diapun mengerahkan tenaga sinkangnya dan kini kedua telapak tangannya berubah hitam dan tercium bau amis yang memuakkan!

Bi Lian terkejut dan melangkah mundur menjauhi, akan tetapi Hek-hiat Mo-ko sudah menyerang dengan cepat, kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam dada dan muka. Bi Lian mengelak dan meloncat ke samping, akan tetapi ada hawa busuk yang memuakkan menyambar sehingga hampir saja ia muntah, bau itu membuatnya pusing sekali dan tahulah ia bahwa lawan ini tentu memiliki ilmu pukulan beracun yang amat jahat! Iapun lalu mempercepat gerakannya dan kini ia berkelebatan mengelilingi lawan, selalu mengelak dan menjauhi kedua tangan yang hitam itu, dan membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan.

Hek-hiat Mo-ko memiliki tingkat ilmu kepandaian yang masih lebih tinggi dari Kui-kok-pangcu. Biarpun gadis itu berkelebatan di sekelilingnya dan mengirim balasan serangan yang mendadak, namun dirinya dengan kedua tangan hitam itu.

Karena Bi Lian tidak berani terlalu dekat, takut kalau menjadi pening dan roboh oleh bau yang busuk, dan karena Hek-hit Mo-ko pandai melindungi dirinya, maka perkelahian itu berlangsung cukup lama. Bagi Hek-hiat Mo-ko sendiri, tidak mudah untuk dapat merobohkan lawan karena gerakan gadis itu memang terlampau cepat baginya, bagaikan menyerang bayang-bayang saja.

Setelah lewat hampir lima puluh jurus, tiba-tiba Hek-hiat Mo-ko mengeluarkan suara mencicit tinggi dan kini dari mulutnya juga keluar uap menghitam yang baunya lebih busuk lagi.

Bi Lian terkejut ketika disambar oleh hawa busuk yang keluar dari kedua tangan dan dari mulut. Lawan itu sengaja meniupkan hawa busuk itu, mengarah mukanya sehingga repotlah gadis itu menyelamatkan diri dengan mengandalkan kelincahannya. Maklum bahwa ia terancam bahaya, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara melengking yang bukan saja mengejutkan lawan, bahkan mengejutkan seluruh tamu yang hadir karena lengkingan itu mengandung getaran yang mengguncangkan jantung mereka.

Cepat mereka mengerahkan sing-kang untuk melindungi tubuh bagian dalam. Tidak mengherankan kalau suara ini menggetarkan jantung karena gadis itu telah mengerahkan tenaga khikang yang disebut Pek-houw Ho-kang (Suara Gerengan Harimau Putih) yang dipelajarinya dari Tung-hek-kwi).

Yang paling hebat menderita karena gerengan ini adalah Hek-hiat Mo-ko sendiri yang diserang secara lagnsung! Seketika tubuhnya terhuyung dan cepat dia meloncat ke belakang ketiak Bi Lian menampar mukanya. Akan tetapi, kagetlah hati iblis ini ketika dia melihat tangan gadis itu tetap saja mengejarnya dan tak dapat dihindarkan lagi, dalam keadaan terhuyung oleh pengaruh suara, tangan gadis yang terus mengejarnya itu berhasil manampar pipinya. Lengan tangan itu dapat mulur dan terus mengejar sehingga tamparannya tepat mengenai sasaran.

“Plakk!”

Pipi itu menjadi matang biru karena tamparan yang keras dan Hek-hiat Mo-ko menyumpah-nyumpah sambil meludahkan dua buah gigi yang copot! Pada saat suara lengkingan gadis itu terhenti, terdengarlah suara melengking yang jauh lebih kuat dari lengkingan yang dikeluarkan Bi Lian akan tetapi lebih parau.

“Hebat… hebat….!”

Tiba-tiba saja Kulana, bangsawan Birma yang tadi hanya menonton sambil tersenyum dan matanya memandang kagum kepada Bi Lian, kini sudah berada di depan gadis itu. Bi Lian memandang penuh perhatian dan dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang asing, dapat dilihat dari pakaiannya dan sorban di kepalanya.


                  ***************

 “Pergilah engkau, orang asing! Aku tidak mempunyai urusan denganmu!”

Bi Lian membentak. Hatinya marah bukan main karena tidak disangkanya, di tempat itu setelah berhasil menemukan empat orang musuh besarnya, ternyata terdapat banyak sekali orang pandai yang membela empat orang musuhnya itu.

Akan tetapi, orang asing yang anggun dan berwibawa itu hanya tersenyum, sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar aneh yang membuat Bi Lian merasa ngeri.

“Nona, tidak baik menurutkan perasaan amarah. Mengapa kita tidak bersahabat saja dan bicara dengan baik-baik? Namaku Kulana, Nona, dan aku pernah menjadi seorang pangeran Kerajaan Birma, seorang bagsawan yang tidak suka akan kekerasan. Nona yang baik, bolehkah aku tahu siapa nama Nona yang terhormat?”

Terjadi keanehan pada diri Bi Lian. Tiba-tiba saja semua kemarahannya lenyap dan ia menjadi lemas, tertarik oleh sikap manis itu dan seperti di luar ksadarannya sendiri iapun membalas penghormatan Kulana yang membungkuk kepadanya dan menjawab dengan suara halus.

“Aku bernama Cu Bi Lian.”

“Cu Bi Lian, sebuah nama yang indah dan sungguh pantas kalau nama itu dirobah menjadi Nyonya Kulan. Tidakah kau juga berpendapat demikian, Nona Bi Lian?”

Terkejut hati Bi Lian mendengar ucapan yagn halus namun jelas bermaksud tidak sopan itu, akan tetapi lebih terkejut lagi ketika ia mendapatkan dirinya sendiri mengangguk membenarkan! Seketika iapun dapat menduga bahwa ada kekuatan aneh yang memaksanya bersikap lunak, maka iapun cepat mengeluarkan suara melengking, mengerahkan khi-kangnya dan kekuatan sihir yang dilakukan Kulana dan yang sudah mempengaruhi dirinya tadi seketika membuyar!

Kulan adalah seorang yagn pandai sihir, terutama dalam hal menguasai segala macam ular. Kekuatan sihirnya yang tadi membuat Bi Lian menjadi lembut dan lemah, akan tetapi setelah kekuatan itu buyar oleh lengkingan Bi Lian, gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi telah memperlihatkan sikap yang tidak sewajarnya! Marahlah ia karena sudah yakin bahwa orang Birma di depannya ini tadi mempergunakan sihir.

“Tak perlu banyak cakap, minggirlah!” bentaknya dan iapun menerjang ke depan, mendorong dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

Serangan ini hebat sekali dan angin besar menyambar ke arah Kulan. Akan tetapi, orang ini tenang-tenang saja, merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya sampai hampir berjongkok dan diapun mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan Bi Lian.

“Desss …!”

Hebat sekali pertemuan tenaga ini karena Bi Lian mengerahkan sebagian besar tenaganya dan akibatnya, tubuh Kulan bergoyang-goyang akan tetapi Bi Lian terpaksa mundur dua langkah!

Diam-diam gadis ini terkekut sekali. Tak disangkanya orang asing ini bahkan lebih kuat daripada semua lawannya tadi. Juga Kim San Ketua Kui-kok-pang yang tadi memandang rendah orang Birma itu, kini terbelalak kagum dan mukanya berubah merah. Baru dia tahu bahwa orang Birma itu selain kaya raya, juga ternyata memiliki ilmu kepandaian yang agaknya jauh lebih tinggi daripadanya.

Maklum akan kekuatan lawan, Bi Lian kini menerjang maju dan mengerahkan gin-kangnya yang istimewa sekali. Namun, lawannya bergerak dengan tenang sekali, bahkan gerakannya nampak lambat, namun anehnya, Bi Lian tidak melihat lowongan yang dapat diserang dan setiap kali ia menyerang, selalu dapat dielakkan atau bertemu dengan tangkisan.

Bagaimanpun juga, karena kecepaan gadis itu, Kulan juga tidak berdaya, tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk balas menyerang melainkan hanya melindungi dirinya dengan ilmu ilat bertahan yang amat kokoh kuat dan rapat sekali. Akan tetapi, tiba-tiba Kulan mengeluarkan kata-kata aneh yang tidak dimengerti oleh Bi Lian, lalu disambung ucapan yang amat halus dan berwibawa.

“Nona, tidakkah engkau sudah lelah sekali? Mengasolah dan jangan memaksa diri mengerahkan kekuatan, aku tidak ingin menyusahkanmu….”

Sungguh aneh sekali, tiba-tiba saja Bi Lian merasa betapa tubuhnya lelah bukan main, matanya mengantuk dan ia membayangkan betapa akan nikmatnya kalau ia boleh mengaso! Akan tetapi, begitu gerakannya melambat, tiba-tiba saja jari tangan Kulan, berhasil menyentuh dadanya. Ia terkejut dan mengeluarkan suara lengkingan panjang dan buyarlah semua pengaruh yang membuatnya lelah dan mengantuk tadi. Wajah gadis itu menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Orang asing itu secara kurang ajar telah menyentuh buah dadanya!

Tiba-tiba terdengar lengkingan nyaring menyambut lengkingan yang dikeluarkan Bi Lian dan tiba-tiba saja di situ muncul dua orang kakek yang sudah tua sekali. Seorang kakek yang perutnya gendut sekali sehingga tubuhnya seperti bola saja, kulitnya kuning mulus dan kepalanya botak. Bajunya di bagian dada terbuka, meperlihatkan dada dan sebagaian perutnya yang gendut. Dia nampak lebih dulu, tersenyum-senyum, memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. Dia sungguh seperti seorang bayi montok yang besar!

Orang ke dua, juga kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih, sebaliknya bertubuh tinggi besar menyeramkan, mukanya penuh brewok, kulitnya hitam seperti arang. Dia tidak tersenyum seperti kakek gendut, melainkan dengan sikap angker memandang ke arah Kulan, kemudian tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, tangannya mencengkeram ke arah orang Birma itu!

Kulana terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi tangan itu terus mulur dan berhasil mencengkeram leher bajunya bagian belakang dan Kulana merasa tubuhnya terangkat naik!

Orang Birma ini cukup lihai, maka diapun menyerang dengan totokan jari tangannya ke arah siku lengan yang mencengkeram leher bajunya. Totokan ini kuat sekali. Hal ini agaknya disadari oleh kakek tinggi besar yagn segera mengayun tubuh itu dan melepaskan pegangannya. Tubuh Kulana melayang ke atas dan tentu akan terbanting jatuh kalau saja dia tidak cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuh itu berjungkir balik beberapa kali kemudian meluncur turun dan dia sudah jatuh dengan empuk, duduk kembali di atas kursinya yang tadi.

“Hemmm….!”

Kakek tinggi besar mengangguk-angguk, tanda bahwa dia mengagumi kepandaian orang Birma itu.

Sementara itu, melihat munculnya dua orang kakek ini, sebagian besar diantara mereka terkejut bukan main. Mereka mengenal dua orang kakek itu. Yang gundut bundar adalah Pak-kwi-ong, datuk sesat dari Utara, sedangkan orang tinggi besar berkulit hitam adalah Tung-hek-kwi, datuk sesat dari Timur.

Mereka inilah Lam-hai Giam-lo sebagai susiok (paman guru) karena mereka adalah dua orang diantara Empat Setan, adapaun dua yang lain, Lam-kwi-ong Datuk Selatan guru Lam-hai Giam-lo, dan See-kwi-ong datuk Barat, keduanya sudah lama meninggal dunia. Melihat munculnya kedua orang susioknya itu, Lam-hai Giam-lo juga terkejut akan tetapi juga merasa girang. Cepat dia melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu.

“Susiok Pak-kwi-ong dan Susiok Tung-hek-kwi, teecu (murid) Kin Cung menghaturkan hormat dan selamat datang!”

Suaranya yang seperti tingkik kuda itu terdengar merendah, tidak seperti biasanya yang selalu terdengar angkuh. Kini semua orang terkejut. Mereka yang belum pernah bertemu dengan dua orang kakek itu, tentu saja pernah mendengar nama mereka sebagai dua orang di antara Empat Setan, datuk sesat yang tinggi tingkatnya. Mereka sudah merasa sungkan dan hormat kepada Lam-hai Giam-lo dan kini mereka melihat betapa bengcu itu begitu merendahkan diri terhadap dua orang kakek itu.

Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi memandang kepada oang yang berlutut di depan mereka itu, dan Pak-kwi-ong terkekeh.

“Heh-heh-heh, sungguh lucu. Aku tidak pernah mengenal orang bernam Kin Cung. Engkau bagaimana, Setan Hitam (Hek Kwi), apakah engkau mempunyai seorang keponakan seperti kuda ini?”

Tung-hek-kwi tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.
“Susiok, teecu adalah murid mendiang Suhu Lam Kwi Ong.” Kata Lam-hai Giam-lo cepat-cepat.

Kembali dua orang kakek tua renta itu memandang kepadanya, sekali ini lebih memperhatikan.

“Aha, kiranya engkau yang berjuluk Lam-hai Giam-lo itukah? Tanya Pak-kwi-ong.

“Benar, Susiok.”

“Dan engkau mengumpulkan orang-orang pandai disini untuk apakah?” tanya pula Pak-kwi-ong sambil memandang kepada orang-orang yang duduk di tempat itu.

“Kebetulan sekali. Susiok. Kami sedang mengadakan rapat untuk membentuk suatu persekutuan antara golongan sendiri, untuk melanjutkan sepak terjang Suhu dan Susiok bertiga, mengangkat kembali derajat golongan kita, dan teecu mereka pilih sebagai Bengcu.”

Dua orang kakek itu saling pandang dan bahkan Tung-hek-kwi yang selalu nampak galak itu mengangguk-angguk dan sinar matanya kelihatan senang. Pak-kwi-ong merasa gembira sekali mendengar itu.

“Bagus sekali! Ah, senang hatiku mendengar ini, Lam-hai Giam-lo”

“Harap Ji-wi Susiok sudi mengambil tempat duduk dan….”

“Suhu berdua ini bagaimana sih!” Tiba-tiba Bi Lian mencela kedua orang gurunya, berdiri di tanah antara mereka dan bertolak pinggang. “Aku sudah menemukan pembunuh-pembunuh orang tuaku. Lihat merekalah orangnya. Dua pasang suami isteri iblis, Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan! Tadi akan kubunuh, akan tetapi orang-orang disana membela mereka dan Suhu kini beramah tamah dengan mereka!”

Mendengar teguran murid yang disayangnya itu, Tung-hek-kwi mengerukan alisnya dan matanya terbelalak, mendelik mencari-cari.

“Mana orangnya yang berani mengganggumu, biar kuhancurkan kepalanya!”

Semua orang menjadi gentar melihat sikap raksasa tua hitam itu. Akan tetapi Pak-kwi-ong tertawa dan suaranya terdengar lantang.

“Ha-ha-heh-heh. Setan Hitam, jangan begitu! Kita berada diantara orang-orang sendiri! Lihat betapa keponakan kita berusaha membangun kembali kekuasaan golongan kita yang sudah runtuh. Apa yang dialami murid kita hanyalah merupakan kesalah pahaman belaka. Akan tetapi, mengadu ilmu merupakan cara berkenalan yang amat baik!”

“Suhu …..!” Bi Lian merajuk.

“Sssst, Bi Lian. Dengarlah baik-baik.” Kata kakek gendut itu. “Lam-hai Giam-lo ini adalah murid Lam-kwi-ong, saudara tuaku. Dia masih terhitung suhengmu sendiri dan kita berada di antara teman-teman sendiri.”

“Akan tetapi dua pasang suami isteri itu….”

“Sudahlah. Merekapun teman-teman dan orang-orang sendiri. Memang pernah mereka itu tidak tahu diri berani menentang kami berdua, akan tetapi merekapun sudah merasakan pahitnya. Nah, urusan sudah habis sampai disini saja.”

“Tapi orang tuaku…..”

“Mereka tewas karena suatu pertempuran dimana mereka berada di tengahnya, anggap saja kecelakaan!” kata pula Pak Kwi Ong.

Lam-hai Giam-lo lalu menjura kepada Bi Lian.
“Kiranya Nona ini adalah Sumoiku sendiri? Aih, Sumoi. Akulah yang memintakan maaf atas sikap teman-teman kita ini karena belum mengenalmu. Kalau aku tahu bahwa engkau murid kedua Sesiokku, mana kami berani bersikap kurang ajar?”

Lam-hai Sing-mo dan suami istri Guha Iblis Pantai Selatan juga merupakan orang-orang yang cerdik. Mereka tadi sudah ketakutan sekali melihat munculnya dua orang kakek itu, akan tetapi mendengar ucapan Pak Kwi Ong, lalu melihat sikap Lam-hai Giam-lo, mereka berempat segera maju dan menjura kepada Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi.

“Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah) memang benar. kami orang-orang bodoh telah melakukan kesalahan dimasa lampau, dan sudah kami tebus dengan kematian banyak teman, harap Ji-wi sudi melupakan hal itu. Dan Nona Cu, kami bersumpah tidak pernah membunuh orang tuamu.”

Bi Lian menjadi bingung. Memang empat orang ini tidak membunuh orang tuanya, yang membunuh adalah Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi yang sudah menjadi gurunya. Kematian orang tuanya memang terjadi karena adanya perkelahian antara mereka dan orang tuanya tewas di tangan kedua orang gurunya. Akan tetapi, kedua orang gurunya tidak sengaja membunuh orang tuanya karena urusan pribadi. Orang tuanya hanya terbawa saja dan menjadi korban. Ia menjadi bingung dan ketika tangannya ditarik oleh Pak Kwi Ong, iapun menurut saja.


                  ***************

 Lam-hai Giam-lo sibuk memperkenalkan para tamunya kepada dua orang kakek itu yang duduk di tempat kehormatan. Para tamu itu satu demi satu memberi hormat kepada Pak Kwi Ong dan Tng Hek Kwi sebagai orang dari tingkatan lebih tua, diterima oleh dua orang kakek itu dengan gembira karena mengingatkan mereka akan masa dahulu ketika mereka masih menjadi datuk yang dihormati dan disegani seluruh tokoh kang-ouw.

Bi Lian yang duduk di sebelah Pak Kwi Ong, diam saja, hanya memperhatikan mereka yang diperkenalkan satu demi satu. Ketika Kulana yang lihai itu diperkenalkan, ia memandang penuh perhatian, akan tetapi ia menunduk ketika pria itu memandangnya denga sinar mata yang haus.

”Dan ini adalah murid teecu, namanya Pek Eng.”


Kata Lam-hai Giam-lo memperkenalkan muridnya sebagai orang terakhir. Pek Eng berlutut memberi hormat kepada susiok-couwnya, kakek paman guru itu. Ketika diperkenalkan kepada Bi Lian, dua orang gadis itu saling pandang. Pek Eng memandang dengan kagum karena tadi ia udah menyaksikan betapa lihainya gadis cantik itu yang mampu menandingi tokoh-tokoh lihai, sebaliknya Bi Lian memandang Pek Eng dengan alis berkerut. Diam-diam menyayangkan bahwa seorang gadis seperti Pek Eng berada diantara orang-orang seperti itu. Akan tetapi, pikiran ini ditekannya sendiri ketika ia teringat bahwa ia sendiripun menjadi murid dua orang datuk sesat!


cerita silat online karya kho ping hoo


Kulana minta bicara empat mata dengan Lam-hai Gaim-lo dan mereka berdua masuk ke kamar sebelah sedangkan dua orang kakek tua renta itu dijamu dengan hidangan-hidangan yang lezat dan arak yang harum. Bi Lian juga ikut makan, akan tetapi hanya makan sedikit, tidak selahap kedua orang gurunya.

Kulana lalu keluar dan diapun minta diri, pamit hendak pulang lebih dulu. Kepada Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi yang duduk semeja denga Bi Lian, dia memberi hormat dan berkata.

“Saya mohon sudi kiranya kedua Locianpwe dan juga Nona Cu mengadakan waktu untuk berkunjung ke rumah saya.”

Bi Lian cemberut saja sedangkan dua orang gurunya mengangguk-angguk. Orang Birma itupun pergi, membuat para tamu lainnya diam-diam merasa bingung. Pertemuan itu sedang berlangsung, hanya terganggu kemunculan Bi Lian dan dua orang gurunya, pembicaraan mereka belum selesai, akan tetapi mengapa orang Birma yang menjadi orang penting dalam persekutuan ini telah pulang terlebih dahulu?

Setelah mengajak para tamunya makan minum bersama dua orang paman gurunya, Lam-hai Giam-lo melanjutkan pembicaraan mereka yang terputus tadi. Lebih dulu dia menerangkan kepada dua orang kakek itu tentang apa yang baru saja mereka bicarakan, tentang persekutuan antara golongan yang mereka bentuk.

“Untuk memudahkan mengatur persekutuan ini, kawan-kawan mengangkat teecu menjadi Bengcu.” Demikian Lam-hai Giam-lo menghentikan keterangannya.

“Ilmu kepandaian tinggi seperti dua pasang suami isteri itu, Min-san Mo-ko, Ji-Sun Bi, bahkan Saudara Sim Ki Liong ini yang biarpun masih muda akan tetapi telah memiliki ilmu kepandaian yang paling hebat diantara mereka, menjadi pembantu-pembantu teecu. Juga para tokoh Pek-lian-kauw menjadi pembantu-pembantu luar yang boleh diandalkan karena selain memiliki banyak orang pandai, juga memiliki anak buah yang banyak dan kuat. Para saudara yang hari ini menjadi tamu adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari berbagai penjuru, dan mereka sudah menyatakan setuju. Adapaun Saudara Kulana tadi, adalah seorang yang amat pandai, baik ilmu silat maupun ilmu perangnya, selain itu juga amat kaya raya, dan diapun menyatakan persetujuannya. Karena itu, setelah Ji-wi Susiok datang, kami mohon sudilah Ji-wi suka menjadi penasihat kami.”

Apalai Bi Lian, karena ia yang telah memiliki tingkat yang tinggi dapat mengenal ilmu silat indah dan kuat, juga yang mengandung tenaga sin-kang yang dahsyat! Setelah memainkan San-in Kun-hoat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang selama belasan jurus, tiba-tiba saja Ki Liong mengubah geraknnya dan kini dia memainkan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).

Sungguh jauh bedanya dengan ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung) tadi yang lambat dan mantap, kini Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dimainkan dengan pengerahan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya berkelebatan dan berputaran seolah-olah dia menyerang dari delapan penjuru! Anginpun bertiup dan mengeluarkan suara riuh. Ketika pemuda itu mengerahkan Ilmu Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) maka dari kedua telapak tangan ketika dia mendorong, keluarlah uap putih menyambar-nyambar.

Bi Lian makin kaget dan kagum. Bukan main, pikirnnya. Pemuda ini ternyata tidak membual dan menghadapi seorang pemuda yang memiliki tingkat ilmu silat seperti itu, ia sendiri merasa sangsi apakah ia akan mampu menandinginya!

Pek Eng juga kagum sekali dan gadis ini bertepuk tangan memuji.
“Hebat sekali ilmu silatmu, Sim-kongcu!” katanya.

Ia ikut menyebut “kong-cu” karena gurunya, Lam-hai Giam-lo dan juga para pembantunya juga menyebut koncu kepada pemuda itu. Mendengar sebutan ini, Bi Lian mengerutkan alisnya dan Ki Liong juga merasa betapa sebutan itu terlalu menghormat untuknya.

“Aih, Nona Pek Eng, mengapa menyebut aku kongcu? Namaku Sim Ki Liong, dan aku lebih tua darimu. Bagaimana kalau menyebut aku kaka saja?” katanya.

Pek Eng tersenyum gembira.
“Engkau sendiri menyebut aku Nona! Kalau aku menyebut Toako kepadamu, engkaupun harus menyebut aku adik!”

Ki Liong tersenyum, merasa bahwa dia telah mendapat kemenangan, dapat membuat Pek Eng bersikap ramah kepadanya.

“Baiklah, Eng-moi (Adik Eng), dan jangan engkau terlalu memujiku, jangan-jangan kepalaku akan kemasukan angin dan mengembung lalu meledak oleh pujianmu!”

Mendengar ucapan ini, Pek Eng tertawa dan Bi Lian juga tersenyum. Bagaimanapun juga, pemuda ini amat menyenangkan memang, menarik hati sekali. Sopan, ramah, dan pandai membawa diri, halus dan rendah hati.

“Saudara Sim Ki Liong, engkau adalah murid pendekar sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi kenapa engkau bersekutu dengan orang-orang seperti…. Kita, dari golongan hitam?”

Ditanya demikian, Sim Ki Liong terkejut, akan tetapi hal ini tidak diperlihatkannya dan dengan cerdik diapun menjawab.

“Nona Cu Bi Lian, agaknya pertanyaan seperti itu dapat juga ditujukan kepadamu atau kepada Eng-Moi, bukan? Kita masing-maisng memiliki alasan pribadi untuk mengambil jalan hidup kita. Dan aku bersekutu dengan Lam-hai Giam-lo Bengcu karena selain aku mengagumi kepandaiannya, juga karena aku bermusuhan dengan seorang diantara para pendekar sehingga tak mungkin bagiku bergabung dengan mereka.”

Percakapan sudah mulai akrab, akan tetapi tiba-tiba muncul Ji Sun Bi di tempat itu, melihat betapa Ki Liong bercakap-cakap dengan dua orang gadis cantik itu dengan sikap demikian akrabnya, tentu saja Ji Sun Bi merasa tidak senang dan cemburu. Ki Liong adalah kekasih barunya yang amat dicintainya karena pemuda itu adalah seorang jantan yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi darinya sehingga dapat mendatangkan kepuasan yang tak terbatas padanya. Kini melihat betapa kekasihnya itu bercakap-cakap dengan dua orang gadis muda yang cantik jelita, dalam suasan demikian akrabnya, tentu saja ia merasa khawatir dan cemburu.

“Sim-kongcu, teman-teman menunggu untuk merundingkan hal yang penting sekali. Marilah!” katanya tanpa memandang kepada dua orang gadis itu.

Biarpun ia cemburu dan marah, namun tentu saja ia tidak berani memperlihatkan sikap tidak senang kepada dua orang gadis itu. Yang seorang adalah murid bengcu, sedangkan yang ke dua adalah sumoi bengcu, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!

Melihat munculnya Ji Sun Bi dan mendengar ucapan itu, Ki Liong tidak ingin wanita itu membuat ribut, maka diapun menjura dengan sikap hormat kepada Pek Eng dan Bi Lian.

“Eng-moi, Nona Cu, maafkan aku. Agaknya mereka itu ingin merundingkan sesuatu yang penting dengan aku. Sampai lain waktu!”

Sambil tersenyum manis diapun pergi meninggalkan dua orang gadis itu, bersama Ji Sun Bi yang menunggunya.

Setelah pemuda itu pergi, Pek Eng manarik napas panjang.
“Aihh, dia seorang pemuda yang hebat….”

Bi Lian menjebi.
“Huh, berhati-hatilah terhadap seorang pria yang begitu halus budi dan manis tutur sapanya. Orang seperti itu pandai merayu dan siapa tahu hatinya palsu.”

Pek Eng menarik napas panjang.
“Bagaiamanapun juga, dia sungguh pandai, dan sikapnya rendah hati, hemm, mengingatkan aku kepada Hay-ko…”

“Eh? Siapa itu Hay-ko (Kakak Hay)?” Bi Lian bertanya.

“Hay-ko ya Hay-ko, namanya Hay Hay…”

“Hay Hay….?”

Tentu saja Bi Lian terkejut karena pemuda yang bernama Ha Hay itu pernah membuat ia tak dapat tidur karena selalu tekenang kepadanya.

“Ya, namanya Hay dan shenya kalau tidak salah, she Tang. Akan tetapi dia selalu mengaku bernama Hay Hay, tak pernah menyebutkan shenya. Apakah engkau pernah mengenalnya, Enci Lian?”

Bi Lian menggeleng kepala.
“Tidak, mengapa?”

“Ah, sudah lama aku mencarinya. Juga mencari kakakku yang bernama Pek Han Siong, akan tetapi tak berhasil menemukan mereka dan akhirnya malah aku ditawan oleh Lam-hai Sing-mo dan akhirnya malah aku dibawa oleh Lam-hai Siang-mo dan dibawa kesini. Untung Bengcu baik dan mau menerimaku sebagai muridnya, Enci.”

Bi Lian mengerutkan alisnya. Nasib gadis ini mirip dengan nasib dirinya. Tanpa disengaja terjatuh ke tangan golongan sesat. Ia sendiri kini menjadi murid dua orang datuk sesat yang paling tingi kedudukannya! Padahal dahulu, ia hanya puteri suami isteri dusun dan sudah mempunyai dua orang guru, yaitu sepasang suami isteri yang bertapa di dalam Kuil Siauw-lim-si dan kabarnya merupakan sepasang pendekar sakti.

Ia masih ingat akan nama dua orang gurunya itu, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan anehnya, ia pernah bertemu dengan Hay Hay, juga gadis ini. Akan tetapi, pertemuannya itu tidak perlu ia beritahukan Pek Eng.

“Kakakmu itu, kemana perginya, Adik Eng?”

Pek Eng menarik napas panjang. Begitu bertemu dengan Bi Lian, ia sudah tertarik, kagum dan suka sekali. Gasi ini demikian lihainya sehingga mampu mengalahkan hampir semua pembantu gurunya. Entah berapa kali lipat tingkat kepandaiannya sendiri!

“Aih, Kakakku itu semenjak kecilnya sudah dihebohkan orang, Enci Lian. Ketika baru terlahir, menurut penuturan orang tuaku, dia telah diperebutkan oleh orang-orang sakti di seluruh dunia….”

“Ehhh…..?

“Benar, Enci Lian. Kakakku itu sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan, sudah diramalkan oleh para pendeta La-ma di Tibet sebagai Sing-tong, seorang calon Dalai Lam Agung! Ketika dia terlahir, maka dia diperebutkan!”

“Ahh! Kiranya dia…?”

“Engkau tahu, Enci?”

“Pernah aku mendengar dari kedua orang Guruku. Lalu sekarang dia berada dimana, Eng-moi?”

”Entahlah. Aku sedang mencarinya. Ketika aku dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak kusuka, aku lalu lari untuk mencari kakakku itu, dan mencari Hay-ko yang amat baik kepadaku.”

Bi Lian menarik napas panjang.
“Pengalamanmu sungguh aneh, Adik Eng. Mudah-mudahan engkau akan dapat bertemu dengan Kakakmu atau dengan orang yang bernama Hay Hay itu. Oya, hubungan apakah antara engkau dan Hay Hay itu?”

Pandang mata Bi Lian penuh selidik, dan ia merasa betapa hatinya tidak enak. Mengapa ia merasa cemburu?

“Dia pernah datang ke rumah kami, Enci, untuk mempertanyakan dirinya. Ketahuilah bahwa di waktu masih bayi, pernah Kakakku disembunyikan oleh Kakek Buyut karena takut dicuri oleh pra pendeta Lama dan sebagai gantinya Hay Hay itulah yang dipelihara orang tuaku. Akan tetapi ketika masih bayi, diapun diculik orang! Nah, setelah dewasa, dia datang untuk bertanya kepada keluarga kami, siapa dirinya yang sebenarnya. Wah, dia lihai bukan main, Enci. Ilmunya… wah, selangit deh!”


                  *************** 

 Makin tak enak rasa hati Bi Lian mendengar betapa gadis ini memuji-muji Hay Hay.
“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Dia menghadapi para pendeta Lama yang menyerbu kami dan dia mempermainkan para pendeta Lama itu seperti anak kecil saja. Dan aku… aku telah mencium pipinya…”

“Ihh!”

Hampir saja tangan Bi Lian menampar pipi Pek Eng, akan tetapi ditahannya dan sebaliknya ia memandang dengan mata terbelalak dan muka merah.

“Engkau tak tahu malu, mengaku begitu!” bentaknya

Pek Eng tersenyum.
“Jangan salah sangka, Enci. Tadinya, karena dia mengaku sebagai Pek Han Siong di depan para pendeta Lama itu, tentu saja aku mengira dia kakak… kandungku yang sudah lama kurindukan, maka saking girangnya aku mencium pipinya. Eh, ternyata kemudian dia bukan kakakku. Hati siapa tidak menjadi marah dan jengkel, juga malu?”

Mendengar ini, mau tidak mau Bi Lian tersenyum, akan tetapi tetap saja ia merasa tidak senang.

Pada saat itu muncul Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kemunculan mereka mengejutkan Pek Eng karena tahu-tahu mereka telah berada disitu dan iapun baru tahu mereka muncul ketika Bi Lian membalikkan tubuh menegur mereka.

“Suhu berdua mencari aku?” tanya Bi Lian sambil menoleh dan baru Pek Eng melihat mereka.

Bergidik dara ini melihat dua orang aneh itu. Si Gendut Bulat kepala botak itu menyeringai terus, sedangkan raksasa tinggi besar brewok hitam itu cemberut terus. Mereka seperti bukan manusia melainkan iblis-iblis jahat. Gurunya sendiri, Si Muka Kuda, tidaklah begitu menyeramkan seperit dua orang guru dari Bi Lian ini.

“Bi Lian, mari ikut dengan kami. Kita memenuhi undangan Kulana, hendak kita lihat orang macam apa adanya dia.” Kata Pak Kwi Ong.

Bi Lian mengerutkan alisnya. Ia tadi sudah merasakan kelihaian Kulana dan ia curiga kepada orang itu. Akan tetapi dua orang gurunya pasti akan mampu menghadapi mereka, dan iapun ingin mengenal lebih dekat orang macam apa sebenarnya tokoh Birma yang aneh itu.

Ia mengangguk dan meninggalkan Pek Eng, mengikuti kedua orang kakek itu keluar dari taman. Sekali berkelebat tiga orang guru dan murid itupun lenyap dan Pek Eng menjadi bengong, kagum bukan main. Ia berjanji pada diri sendiri akan belajar dengan giat dari Lam-hai Giam-lo agar memiliki ilmu kepandaian setinggi Bi Lian......
























Terima kasih telah membaca Serial ini.




No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12